Friday, April 13, 2007

Kubah Istimewa Masjid Ibnu Thulun

Catatan Perjalanan Holy Tour (3-habis)


Dari makam Ibnu Hajar al-Asqalani, semua kembali mengayunkan langkah menuju makam ulama lainnya. Terasa agak lebih lama dari perjalanan sebelumnya, rombongan akhirnya sampai di makam Robiah al-Adawiyah. Makam ulama perempuan yang terkenal dengan zuhud dan kesufiannya, bersandingan dengan makam sufi agung lainnya, Dzunnun al-Mishry.

Hanya saja, konon makam kedua orang ini masih diperdebatkan kebenarannya. Ada yang mengatakan benar bahwa di situlah jasad kedua ulama ini dikuburkan. Tapi ada juga yang membantah bahwa itu hanya merupakan salah satu tempat singgah. Mukhlishin pun menjelaskan bahwa hal-hal perbedaan pendapat dalam hal kebenaran makam semacam itu sudah biasa terjadi. Sebagai contoh, makam satu ulama Walisongo di tanah Jawa pun bahkan tidak diyakini berada di satu tempat saja.

Tak jauh dari areal makam Robi'ah al-Adawiyah, ada makam 3 sahabat Nabi Saw. Dari 3 makam yang berada di satu tempat itu, hanya satu saja yang diyakini benar-benar merupakan makam seorang sahabat Nabi Saw., yaitu makam sahabat Uqbah bin Amir Ra. Sahabat Uqbah merupakan tokoh kebanggaan Mesir, yang menyebarkan Islam di masa awal masuknya agama Allah masuk Mesir, di bawah komando Amr bin al-Ash Ra.

Selesai berziarah di makam sahabat Uqbah, panitia langsung meminta seluruh peserta Holy Tour untuk kembali ke bus. Saking banyaknya peserta, panitia pun sempat kerepotan meminta semuanya agar bergegas, apalagi masing-masing ingin berziarah dengan caranya sendiri-sendiri. Namun tak sampai setengah jam, semua sudah kembali ke busnya masing-masing.


Sesuai agenda, rombongan menuju ke masjid Sultan Hasan dan masjid Rifa'i. Sayangnya saat sampai di kedua masjid yang berdiri kokoh persis berdampingan itu, sudah tak ada arahan dari guide. Peserta pun berpencar sendiri-sendiri. Masjid Sultan Hasan lebih terkenal dengan masjid 4 madzhab, karena di dalamnya ada 4 sisi yang digunakan sebagai madrasah Syafi'iyah, Hambaliyah, Hanafiyah dan Malikiyah.

Sementara di masjid Rifa'i, terdapat makam Imam Rifa'i, pendiri Thoriqoh Rifa'iyah. Selain itu juga terdapat makam mantan salah seorang penguasa Iran sebelum revolusi Iran, Reza Pahlevi. Bagi para turis yang ingin memasuki areal kedua masjid ini, paling tidak harus merogoh kocek sebesar LE.10,00 (turis mahasiswa) atau LE.20,00 (turis biasa). Namun bagi mahasiswa Al-Azhar bisa masuk bebas setiap harinya. Bahkan panitia membagikan jatah makan siang di jalan antara kedua masjid, tentu dengan tetap menjaga kebersihannya.


Usai shalat duhur dan makan siang, peserta diajak berziarah ke masjid Ibnu Thulun. Masjid ini terkenal dengan salah satu kubahnya yang memiliki bentuk khusus dibanding dengan kubah umumnya masjid di seantero Mesir. Konon, kubah khusus itu hanya ada 2, dimana satunya berada di negeri Iran.

Usai puas mengelilingi masjid Ibnu Thulun yang amat luas itu, juga naik ke atas menara untuk menikmati suasana Kairo dari atas, peserta nampak kelelahan. Walhasil, saat ditawari panitia apakah perjalanan akan dilanjutkan untuk berziarah ke makam Sayyidah Zainab dan makam Sayyidina Husain, peserta banyak yang geleng-geleng kepala. Maklum, kedua makam itu secara umum juga mudah dijangkau serta banyak yang tahu. Lebih-lebih makam Sayyidina Husain yang terletak bersebelahan dengan kampus Al-Azhar putra, sehingga bisa saja tiap hari disambangi jika rajin pergi ke kuliah.[]

Bawabah Tiga, 13 April 2007

Makam Alim Ulama di Mesir Kurang Terawat

Catatan Perjalanan Holy Tour (2)


Di sekitar makam Syaikh Ibnu Atho'illah Assakandari, terdapat banyak juga makam para alim ulama dan salafusshaleh. Daerah pemakaman yang biasa disebut sebagai al-Qurrofah al-Kubro ini memang layaknya pemakaman umum. Namun karena umurnya sudah ratusan bahkan ribuan tahun, sehingga banyak juga orang istimewa yang dimakamkan di situ.

Selain makam Syaikh Ibnu Atho'illah yang terkenal dengan kitab Al-Hikamnya, di al-Qurrofah al-Kubro juga terdapat makam Syaikh Abu Jamra, seorang ahli hadis ternama yang juga salah satu guru Syaikh Ibnu Atho'illah. Makam Syaikh Abu Jamra ini terletak persis di depan masjid sekaligus makam Syaikh Ibnu Atho'illah.

Selain kedua ulama masyhur ini, masih banyak lagi tokoh zaman dulu yang dimakamkan di sekitar al-Qurrofah al-Kubro. Hanya saja karena guide utama belum juga nampak sementara saat dihubungi lewat ponselnya juga tak ada jawaban, peserta Holy Tour hanya menziarahi 2 tempat itu, serta satu lagi di samping kiri makam Syaikh Ibnu Atho'illah, yaitu makam Syaikh Taqiyyuddin bin Daqiquddin, sosok wirai yang hidup pada abad ke-7 Hijriyah.

Saat rombongan 5 bus sudah masuk ke armadanya masing-masing, barulah nampak M. Mukhlishin, guide utama datang dengan tergopoh-gopoh. Kepada panitia, mantan Ketua Jam'iyyah Ahli al-Thoriqoh al-Mu'tabaroh al-Nahdliyyah NU Mesir itu meminta maaf karena terlambat. Dijelaskannya, saat memasak air untuk mandi sebelum keberangkatan, dirinya tertidur secara tidak sengaja. Sementara tempat tinggalnya di asrama berjarak cukup jauh dari kantor sekretariat NU Mesir. Saat sampai di kantor sekretariat NU Mesir semua sudah sepi dan dirinya langsung berinisiatif mengejar ke makam Syaikh Ibnu Atho'illah, itupun dengan menumpang angkutan umum dan harus berganti bus 3 kali.

Dengan munculnya guide utama, ziarah pun lebih terarah. Tujuan kedua di sekitar makam Imam Syafi'i, dengan baik dan lancar diterangkan satu per satu oleh Mukhlishin. Mulai dari sejarah sang penghuni makam, hingga makam siapa saja yang berada di sekitarnya.

Masih di sekitar masjid dan makam Imam Syafi'i, terdapat makam Syaikh Zakaria al-Anshari. Sementara sebelumnya, dijelaskan bahwa bus sudah melewati makam guru Imam Syafi'i, yaitu Syaikh Imam Waqi', yang terkenal dalam sebuah syair yang dikarang oleh Imam Syafi'i saat imam madzhab itu berkeluhkesah tentang kesusahan saat menghafal.


Selesai berziarah di sekitar makam Imam Syafi'i, Mukhlishin mengajak semuanya berjalan kaki ke jalan di samping makam Imam Syafi'i. Sebelumnya, semua diberitahu bahwa perjalanan harus ditempuh dengan jalan kaki karena tidak memungkinkan untuk dilewati bus. Meski cukup jauh, tapi karena berjalan bersama 250-an orang, tak terasa capai.

Sekitar 750 meter dari makam Imam Syafi'i, Mukhlishin berhenti di sebuah makam dengan batu prasasti tertera nama Sayyidah Fathimah binti al-Qosim al-Thoyyib. Jika dirunut, Sayyidah Fathimah al-'Aina (disebut al-'Aina' karena konon matanya menyerupai kecantikan Fathimah putri Rosul Saw.) merupakan cicit dari Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Tholib. Tak jauh dari situ, ada juga makam sang ayah, yaitu al-Qosim al-Thoyyib, serta 3 saudara Fathimah yang memiliki keistimewaan masing-masing, termasuk kakak kandungnya yang bergelar al-Syabih karena konon memiliki ciri tubuh seperti Nabi Saw.

Saat meneruskan perjalanan lagi dimana kanan-kiri merupakan daerah pemakaman umum, sekitar 500 meter kemudian sampai di makam ulama terkenal, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani. Sayangnya karena berada di tengah pemakaman umum, makam ahli hadis ternama ini terkesan tak terawat. Hanya sebuah prasasti kecil di luar makam agak sempit yang menjelaskan sebuah nama masyhur di kalangan santri.


Menurut Mukhlishin, Imam Ibnu Hajar ini juga sangat dijunjung oleh kalangan Al-Azhar. Terbukti di samping batu nisannya, terdapat replika semacam peci kebesaran Al-Azhar dengan warna khas paduan merah dan putih. Sayangnya, jalanan di depan makam benar-benar memprihatinkan, becek bila terkena air dan amat berdebu jika musim panas.

Demikian juga ruang dalam areal makam yang terkunci itu, terkesan kotor tak terawat. Lebih mengenaskan lagi, Mukhlishin menceritakan bahwa pada setiap Jumat jalanan di sekitar situ dijadikan pasar kaget oleh penduduk setempat. Pernah pada satu kesempatan Mukhlishin berziarah ke makam Imam Ibnu Hajar ini pada hari Jumat. Tak disangka, rupanya jeruji pintu makam malah dijadikan pijakan tali penjual binatang ternak. Mukhlishin hanya bisa mengelus dada melihat itu. Karena kalau makam itu terletak di Indonesia, niscaya akan dihias sedemikian rupa sehingga para peziarah bisa lebih khusyuk menyelami dunia khazanah ilmu agama zaman dahulu.[]

Bawabah Tiga, 13 April 2007

NU Mesir Berangkatkan 5 Bus Peziarah Makam Wali

Catatan Perjalanan Holy Tour (1)


Dalam beberapa hal, semangat ke-NU-an beberapa mahasiswa yang sebenarnya berlatar belakang nahdliyin memang tak terlalu tampak. Hal ini terlihat dari minimnya peserta setiap acara kegiatan NU. Meski orang yang sudah terdaftar menjadi anggota NU Mesir sudah melewati angka 1000, namun yang datang pada setiap acara NU paling banyak hanya sekitar 150 orang. Itupun yang aktif hanya itu-itu saja, tak banyak bergeser dari wajah beberapa aktifis.

Namun berbeda dengan umumnya kegiatan NU Mesir, Holy Tour jilid ketiga yang diselenggarakan Selasa (10/4/2007) kemarin memunculkan banyak wajah baru yang ternyata warga NU juga. Meski sudah memberangkatkan 5 bus alias sekitar 250 orang, sebenarnya masih banyak lagi para peminat Holy Tour yang terpaksa ditolak panitia.

"Mau tidak mau kami harus membatasi peserta, meski kami juga tahu sebenarnya banyak dari mereka yang kecewa," ujar Ihya, salah seorang panitia. Bahkan, imbuhnya, awalnya jajaran panitia hanya menyanggupi melayani 3 bus. "Namun karena terlalu banyak yang kami tolak, akhirnya kami tak kuasa menambah 1 bus lagi," katanya.


Tak dinyana, dua hari sebelum pelaksanaan Holy Tour, salah seorang panitia yang sebelumnya susah dihubungi tiba-tiba menghubungi kantor sekretariat NU dan mengatakan bahwa dirinya sudah menerima pendaftaran 34 orang. Ihya sebagai koordinator pelaksana pun langsung bergerak cepat mengumpulkan beberapa pentolan panitia. Setelah dimusyawarahkan, disepakati akan ditambah 1 bus lagi sehingga total ada 5 bus dengan rincian 4 armada untuk laki-laki dan sisanya untuk perempuan. "Itupun masih ada sekitar 100 orang yang harus gigit jari menunggu giliran tahun depan, insya Allah," lanjut Ihya sesaat sebelum berangkat.

Sebelum pukul 07.00 yang merupakan jadwal pemberangkatan sebagaimana dalam pamflet, 5 bus yang dijanjikan pihak travel sudah datang ke jalan besar Bawabah Tiga, tak jauh dari kantor sekretariat NU. Sayangnya, peserta yang nampak baru sedikit sekali, bahkan belum mencapai 50 persen dari 250 orang yang terdaftar. Sementara belasan orang yang memakai kokard panitia sibuk mondar-mandir saling berkoordinasi. Sebagian lagi nampak datang membawa nasi kotak untuk bekal perjalanan.

Satu jam kemudian, sebagian besar peserta sudah nampak duduk manis di kursinya masing-masing. Hanya beberapa kursi yang masih kosong. Namun satu bus untuk perempuan rupanya masih cukup banyak kosongnya. Hingga beberapa saat kemudian sebuah mobil eltramco yang membawa belasan anggota rombongan peserta dari asrama putri datang. Mereka pun langsung masuk ke dalam bus.

Saat semuanya masuk, rupanya masih ada beberapa anggota Fatayat yang tak kebagian kursi, sehingga dipindahkan ke bus nomer 5. Beruntung ada sebagian laki-laki yang tak juga datang hingga menjelang pukul 08.30. Demikian juga di bus nomer 4, tercatat 4 kursi masih kosong, meski sebenarnya sudah dipesan.


Saat peserta di 5 bus yang ada gerah menunggu kepastian berangkat, panitia rupanya masih kelabakan menunggu guide utama. Sementara jarum jam sudah melewati angka 08.30, panitia lalu memutuskan berangkat saja meski tanpa guide utama.

Masalah berikutnya muncul saat sopir bus nomer 3 yang berjalan di urutan paling depan justru tersesat. Saat berada di daerah Muqattam, bus nomer 3 yang dipercaya bus lainnya untuk menunjukkan jalan malah berputar-putar di daerah Muqattam. Hingga di salah satu sudut Muqattam, sopir bus nomer 3 terpaksa menghentikan kendaraannya dan meminta bus lain untuk bergerak terlebih dahulu.

Akhirnya bus khusus perempuan nomer 1 yang berada di baris terdepan. Keluar dari daerah Muqattam, bus nomer 1 mengajak yang lainnya langsung menuju jalur ring road. Baru beberapa saat kemudian semua sudah bisa sampai ke tujuan pertama ziarah, yakni areal makam Syaikh Ibnu Atho'illah Assakandari.

Selain 5 bus yang disediakan untuk peserta, sebenarnya masih ada lagi sebuah eltramco kapasitas 15 orang. Hanya saja, eltramco hasil pinjaman dari KBRI ini memang dikhususkan untuk para panitia. Sementara sebuah sedan yang juga berisi 6 orang mahasiswa juga tampak mengikuti rute peserta Holy Tour. Tapi karena mereka membawa kendaraan sendiri, panitia pun tak memungut biaya yang secara reguler seharga LE.20,00.

Holy Tour kali ini merupakan penyelenggaraan ketiga, setelah April 2004 dan April 2007. Pada penyelenggaraan pertama, peserta hanya memenuhi 1 bus saja. Sementara tahun lalu, panitia memberangkatkan 3 bus besar ditambah 2 bus kecil.[]

Bawabah Tiga, 13 April 2007

Monday, April 09, 2007

Peringati Maulid Nabi, KSW Gelar Malam Cinta Rosul


Dalam rangka memperingati perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw., KSW menyelenggarakan peringatan bertajuk "Malam Cinta Rosul dan Istighotsah Kubro". Pada Senin (9/4/2007) petang, sekitar 80 warga KSW berbondong-bondong datang ke aula Griya Jateng untuk mengikuti acara yang dipublikasikan melalui email dan Yahoo Messenger itu.

Dimulai pada pukul 17.00, acara didahului dengan hiburan rebana yang dibawakan oleh 5 orang penerbang. Di bawah pimpinan Agus Hamid, tim rebana menyanyikan beberapa lagu shalawat. Meski hanya dengan menggunakan 3 alat musik rebana yang dimainkan Lutfi, Sugeng dan Tono, tim rebana mampu membuat penonton berdecak kagum seraya beberapa kali mengikuti alunan shalawat yang dibawakan oleh 2 vokalis, Agus Hamid dan Jawada.

Usai penampilan rebana, istighotsah dipimpin oleh Ust. Syamsul Hilal, yang juga tampak didampingi beberapa koleganya sesama aktifis Toriqoh Burhamiyah. Pembacaan dzikir dengan gaya khas Thoriqoh Burhamiyah berlangsung hingga adzan magrib tiba.


Setelah shalat magrib berjamaah, acara dilanjutkan kembali dengan ceramah maulid Nabi yang disampaikan Ust. Husni Hidayat. Dalam ceramahnya, Ust. Husni yang juga aktifis Thoriqoh Burhamiyah, menekankan kebebasan berekspresi dalam merayakan kelahiran Nabi Agung Muhammad Saw. Kebebasan di sini, hanya dibatasi 2 hal, yaitu tidak menyekutukan Allah, serta tidak mengganggu makhluk lain.

Asal tidak musyrik dan tak mengganggu orang lain, setiap orang bebas melakukan apa saja dalam rangka mengekspresikan setiap kemenangan atau kebahagiaan. Bisa dengan berteriak, menangis atau hanya dengan diam saja. Dengan gayanya yang cukup mengocok perut audien, Ust. Husni juga menjelaskan pentingnya setiap Muslim bersyukur atas karunia dan rizki yang bernama iman. Karena sepandai-pandai orang menghafal Alquran dan menguasai tafsirnya seperti orientalis Snouck Hurgronje, tak bisa dikatakan bahagia karena tidak mendapati keimanan dalam hatinya.

Lebih khas lagi sebagai dai muda yang tak ingin dikatakan "gak gaul", Ust. Husni mengakhiri ceramahnya dengan mengajak hadirin menyanyikan lagu Happy Birth Day. Kalau selama ini lagu semacam itu dianggap bid'ah, menurut Ust. Husni tak jauh beda dengan adanya mushaf Alquran yang juga merupakan bid'ah. Lalu kembali dengan mengatakan bahwa bid'ah juga tak harus dihindari asal tidak menyekutukan Allah dan tak menggaunggu kehidupan orang lain.

Di penghujung acara, panitia kembali menyuguhkan hiburan menarik. Tak lain dan tak bukan tentu saja OM Watoni yang selama ini sudah menjadi andalan setiap kegiatan KSW untuk mengibur hadirin. Hanya membawakan 2 buah lagu berjudul "Islam Adalah" dan sebuah shalawat Nabi, Watoni sebenarnya diminta para hadirin untuk menambah lagu yang dinyanyikan. Namun karena keterbatasan waktu, Hilmi yang menjadi juru bicara Watoni hanya memberikan himbauan kepada para hadirin untuk datang besok pada acara puncak "Pekan Cinta Tanah Air PPMI" dimana Watoni juga mendapat jatah untuk tampil.[]

Bawabah Tiga, 9 April 2007

Indomie Seleraku


Masih kental rasanya ingatan, di awal tahun 2000-an, setiap jamaah haji Masisir saat kembali dari tanah suci tak lupa membawa oleh-oleh khas makanan Indonesia. Yang paling laris tentu saja kerupuk, kecap, saos dan mi instan. Meski banyak macam dan mereknya, tapi yang paling mudah ditemukan tetap saja produk keluaran Indofood dengan mi instan Indomie menempati peringkat teratas most wanted.

Barangkali karena harganya lebih terjangkau sekaligus terlihat murah meriah, Indomie selalu jadi primadona. Baik jamaah haji Masisir maupun para "penunggu"-nya yang senantiasa berharap banyak buah tangan, sama-sama memandang Indomie-lah barang yang "wajib" dibawa. Maka tak mengherankan jika beberapa jamaah haji Masisir malah sebagian membawa sampai 3-4 kardus Indomie sebagai oleh-oleh andalan. Apalagi yang memiliki banyak teman, atau tinggal bersama banyak orang, tentu saja Indomie menjadi pilihan tepat agar semua dapat mencicipi secara lebih merata dan terasa.

Tidak hanya jamaah haji, bahkan mahasiswa yang liburan ke Indonesia, tak jarang yang kembali ke Cairo membawa 1-2 karton Indomie. Ya karena alasan murah meriah dan juga mudah dibagi secara merata itu. Selain itu, timbangan Indomie yang tak terlalu berat juga menjadi pertimbangan kuat mahasiswa yang balik dari mudik.

Itu di awal tahun 2000-an. Kini, seiring berjalannya waktu, Indomie rupanya tidak termasuk hal paling banyak dibawa jamaah haji ataupun mereka yang baru datang dari tanah air. Tak lain dan tak bukan karena memang sekarang Indomie sudah teramat mudah dijumpai di banyak supermarket maupun toko Mesir.

Sebagai makanan instan, Indomie memang benar-benar amat membantu mereka yang terlanjur kelaparan atau sekadar sedang malas masak. Saat tidak ada apapun di dapur, sementara perut mulai keroncongan dan anggaran belanja menipis, Indomie jadi sasaran utama. Cukup dengan modal satu seperempat pound sudah bisa memenuhi rongga perut. Atau kalau masih terlalu lapar, Indomie juga bisa dimasak sebagai lauk agar lebih mudah melarutkan nasi melewati mulut dan kerongkongan.

Di lain kesempatan, ketika jadwal piket masak tiba, sementara hati dan pikiran sedang tidak mood dibawa ke dapur, Indomie juga bisa jadi solusi. Daripada mengolah bahan mahal —mahal menurut ukuran mahasiswa tentunya— semisal daging, ikan dan semacamnya, lalu tidak "jadi" (baca: tidak enak), tentu sayang. Karenanya, mengolah Indomie yang sudah pas takaran bumbunya, kiranya tak perlu mengorbankan selera makan teman serumah.

Bahkan saat ini, di beberapa sekretariat organisasi, Indomie menjadi menu "wajib" saat makan bersama. Apalagi jika kantor sekretariat sering dihampiri banyak anggota, tinggal beli 2-3 bungkus Indomie, dihiasi aneka macam sayur, ditambah telur dadar —kalau perlu—campur tepung, dijamin tetap dapat menjangkau semua perut sekian banyak aktifis yang ada.

Selain amat menguntungkan dari sisi cepat sajinya, harga Indomie juga sangat pas di kantong mahasiswa. Meski Indomie yang tersedia di Cairo dan Mesir pada umumnya adalah merupakan impor dari Arab Saudi, tapi bandrolnya amat terjangkau. Dan lagi, sebagai warga negara Indonesia di luar negeri, tentu bangga dapat membeli barang hasil kerja keras bangsa sendiri. Karena meski diproduksi di Arab Saudi, tetap saja perusahaan asing di sana berada di bawah lisensi dan pengawasan PT Indofood Sukses Makmur dalam memproduksi merek Indomie. Semua juga pantas menepuk dada melihat hasil karya anak bangsanya diakui dan dijual bebas di negeri orang.

Bahkan menurut kabar yang ada, kini sedang dijajaki kemungkinan membuat pabrik Indomie di Mesir. Jika berita ini benar, pendirian pabrik Indomie tentu bukan karena hanya ingin memenuhi keinginan mahasiswa Indonesia dalam mengobati rasa rindu makanan tanah air. Apalagi jumlah komunitas mahasiswa dan masyarakat Indonesia yang tak bisa dibilang besar untuk ukuran bisnis pembuatan pabrik.

Karenanya, akan adanya produksi besar-besaran Indomie di Mesir, pastilah karena pasar di Mesir juga terbuka dan tertarik dengan mi instan khas Indonesia itu. Atau barangkali selain Indomie, banyak juga makanan dan bahan makanan dari PT. Indofood Sukses Makmur yang mampu merebut hati konsumen Mesir. Karena bagaimanapun juga, kecap dan saos Indofood juga laku keras di kalangan orang pribumi. Maka adanya produksi besar-besaran Indomie di Mesir, pastilah karena pasar di Mesir sudah kepincut dengan mi instan khas Indonesia itu.

Kalau sekarang ini yang banyak dikenal adalah mi instan Indomie, kecap dan saos Indofood, bukan tidak mungkin di masa mendatang akan semakin banyak produk Indonesia menjadi pajangan utama supermarket Mesir. Yang pasti, pekerjaan besar selalu dimulai dari hal terkecil. Di awal pengenalan Indomie, siapa yang akan menyangka produk makanan andalan PT. Indofood itu bakal melanglangbuana hingga ke negeri padang pasir seperti Mesir dan Arab Saudi? Bahkan mungkin dulu angan bisa menyaingi Sarimi (pioneer mi instan sekaligus merek paling dikenal di tahun 1990-an) saja sudah dianggap tinggi.

Peran setiap warga negara Indonesia di luar negeri dalam mempromosikan produk tanah air, tentu sangat membantu kampanye menghadapi era perdagangan bebas. Awalnya mungkin satu bungkus makanan sampai ke suatu negara, tapi jika respon penduduk setempat baik, "serangan" bergelombang membawa makanan berjenis sama dapat membuat ketagihan para penikmatnya. Berikutnya, produk jenis lain bisa menyusul belakangan.

Demikian juga dengan masuknya Indomie ke Arab Saudi dan Mesir, pastilah dimulai dari sedikit demi sedikit. Melihat Indomie sebagai produk paling mencolok dan paling sering ditemui di supermarket tanah Arab, maka mi instan itulah yang diyakini paling awal masuk. Bahkan karena cerita suksesnya, Indomie lantas dapat "mengajak" kecap, saos juga beragam produk lainnya menembus pasar mancanegara. Imbasnya, jika pasar benar-benar amat membutuhkan produk-produk dimaksud, ekspor besar-besaran tentu dapat menjadi salah satu penyumbang utama devisa negara. Atau kalau sudah dalam skala tinggi, pembuatan pabrik dengan lisensi perusahan asal di Indonesia juga terlihat lebih gagah membawa nama harum Indonesia.

Ekspor atau pembuatan pabrik, sama-sama menarik keuntungan bagi negara Indonesia baik secara materi maupun non-materi. Maka tak salah nyanyian dalam iklan yang sering kita dengar di televisi, "Indomie Indomie seleraku, Indomie dari dan bagi Indonesia".[]

PKS FC Tahan Walisongo 1-1

Usai menjadi juara Java Cup 2007, Walisongo untuk pertama kalinya turun dalam partai persahabatan memenuhi undangan tim sepakbola PIP-PKS Mesir. Bermain di lapangan Fakultas Kedokteran, Walisongo tidak turun dengan kekuatan penuh. Sementara tim PKS yang dikoordinir oleh Bidang Kepanduan PIP-PKS Mesir mengandalkan beberapa talenta dari lintas kekeluargaan.

Molor setengah jam dari jadwal semula, acara yang digelar pada Jumat (6/4/2007) kemarin itu didahului dengan upacara pembukaan layaknya turnamen resmi. Tim Walisongo yang hanya terdiri dari para pemain tanpa membawa suporter, berjumlah tak lebih dari 16 orang, berdiri membentuk satu baris. Sementara tim PKS yang memang terbiasa berolahraga di tempat yang sama setiap Jumatnya, berjumlah lebih dari 3 kali lipatnya.

Dalam upacara pembukaan, masing-masing pimpinan delegasi memberikan kata sambutan. Oni Sahroni, Ketua PIP-PKS Mesir mendapat kesempatan lebih dahulu untuk menyampaikan kalimat sambutan, lalu disusul Alek Mahya Shofa, Ketua KSW Mesir. Di penghujung acara pembukaan, Oni Sahroni memberikan plakat sebagai ucapan terima kasih atas kesediaan tim sepakbola Walisongo memenuhi undangan tim PKS.

Pukul 08.30, wasit Muhammad Sami meniup peluit tanda dimulainya pertandingan. PKS FC yang mendapat kesempatan menendang bola terlebih dahulu, langsung berusaha menekan pertahanan Walisongo. Namun karena lapangan becek, permainan terpaksa tak bisa dikendalikan secara cepat. Kedua tim tampak bermain hati-hati, bahkan harus menahan tenaga saat mengayunkan langkah, menghindari beberapa bagian lapangan yang tergenang air.

Bola pun lebih banyak bergulir di daerah yang tampak lebih kering. Saat memasuki area basah, para pemain kedua tim juga menurunkan kecepatan lari. Meski begitu, permainan tetap enak ditonton dengan kedua tim silih berganti mencoba menekan pertahanan lawannnya. Sayangnya hingga babak pertama usai, tak ada gol tercipta.

Di babak kedua, Walisongo baru memainkan lebih banyak para pemain intinya yang sudah makan banyak asam garam. Tercatat Kholid, Shofa dan Hartono baru masuk di babak kedua, itupun dengan posisi yang selama ini jarang mereka tempati saat berlangsungnya turnamen-turnamen resmi. Sementara tim PKS yang memiliki stok pemain lebih banyak, juga mengganti beberapa pemainnya.

Tidak sampai sepuluh menit babak kedua dimulai, PKS melalui Syafruddin Umar berhasil menjebol gawang Walisongo yang dijaga kiper Ulum. Mengandalkan otak serangan Isa Anshori, pemain yang pernah diandalkan Walisongo saat awal-awal Java Cup dulu, PKS terus mencoba menambah gol. Namun justru saat asyik menyerang, giliran Walisongo melakukan serangan balik.

Melalui Shofa yang membawa bola di sayap kanan, menusuk kotak penalti sebelah kiri lalu mengirimkan umpan silang. Miko yang mencoba menyundul bola kalah cepat dengan pemain belakang PKS. Hanya saja, karena menyerobot bola dengan mengangkat kaki terlalu tinggi, justru wasit menunjuk titik putih memberikan hukuman penalti pada PKS. Shofa yang menjadi algojo tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyamakan kedudukan.

Beberapa menit kemudian, pelatih Walisongo yang merangkap striker veteran, Ulin, mendapat kesempatan emas saat mendapat umpan matang di tengah kotak penalti. Hanya saja tendangannya masih membentur badan pemain lawan. Pun saat mendapatkan kembali bola muntah, justru tendangannnya malah melintas jauh di atas gawang. Hingga berakhirnya babak kedua, skor tetap imbang 1-1.[]

Bawabah Tiga, 9 April 2007