Friday, May 21, 2010

Ketundukan Santri

Pekan lalu, saya mengunjungi sebuah pesantren besar di Jawa Timur. Bertepatan dengan hari Jumat, ibadah shalat jumat pun dilaksanakan di masjid kompleks pesantren tersebut. Tidak ada yang beda dengan masjid kaum nahdliyin pada umumnya, yang pada pukul 11 hari Jumat masjid sudah disesaki jamaah, yang kemudian bersama-sama membaca zikir.

Hanya saja, beberapa saat sebelum bedug tanda waktu shalat masuk dibunyikan, terlihat pemandangan yang jarang atau malah tidak pernah tampak di masjid lain. Shaf jamaah yang tadinya rapat dari depan hingga belakang di dekat pintu, tiba-tiba terbuka.

Hal itu didahului dengan suara tepukan salah seorang santri, lalu tiba-tiba barisan shaf paling belakang membuka sekira cukup dilewati 1-2 orang, lalu diikuti shaf yang di depannya, lalu depannya, lalu depannya lagi, begitu seterusnya sampai shaf paling depan. Tidak itu saja, santri yang berada di dekat shaf yang terbuka itu pun lalu berebutan meletakkan sajadahnya di shaf-shaf yang terbuka.

Rupanya hal itu membentuk semacam jalan dari pintu masjid di belakang hingga bagian masjid di shaf terdepan. Jika diukur, barang kali jalan itu bisa dilalui sekitar dua orang secara berjejeran. Jalan tersebut pun dilengkapi sajadah yang tertata rapi (atau minimal agak rapi) layaknya jalan seorang raja; yang terhampar dengan karpet merah membentang.

Tidak lama kemudian, seseorang tampak berjalan dengan agak cepat melalui "jalan" tersebut. Para jamaah—yang hampir semuanya santri—pun tampak menundukkan kepala mereka saat orang itu melewati shaf-shaf demi shaf dari belakang hingga ke depan. Hmmm... rupanya yang baru lewat itu adalah seorang kiai. Kiai yang tentu sangat dihormati oleh para santrinya.

Fenomena seperti ini barangkali sebenarnya sudah umum terjadi di kalangan pesantren. Ketundukan dan penghormatan yang begitu besar dari seorang santri terhadap kiainya tentu bukan barang aneh di pesantren. Walaupun, di luar sana, bisa saja akan muncul pro-kontra mengenai hal itu.

Pada zaman modern sekarang ini, ketundukan semacam itu mungkin dianggap sebagai pengkultusan individu yang tidak perlu. Bisa saja hal itu malah dianggap sebagai semacam "perbudakan". Namun begitu, tentu saja penghormatan seperti itu bukan tidak mengandung nilai positif. Dalam kitab-kitab klasik, dijelaskan bahwa seorang penuntut ilmu diwajibkan menghormati gurunya. Tentu hal ini merupakan nilai positif yang tidak terbantahkan, bahkan oleh ilmuwan modern sekalipun. Terhadap semua orang kita memang harus hormat, apalagi kepada orang yang memberikan dan menularkan ilmu kepada kita.

Hanya saja, penerjemahan atas penghormatan ini bisa bermacam-macam. Di kalangan pesantren, penghormatan diterjemahkan dengan tatacara seperti fenomena di atas itu; tentu sah-sah saja. Di tempat lain, mungkin ada penerjamahan yang lain sama sekali—berbeda jauh dengan implementasi penghormatan seperti terjadi di pesantren Jawa Timur itu; tentu juga sah-sah saja. Bahkan sesama pesantren pun memiliki tatacara yang berbeda dalam menerjemahkan "kewajiban menghormati guru" itu. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan dalam hal perbedaan penerjemahan itu.


Ruang Kuliah KTT, 20 Mei 2010