Tuesday, June 15, 2010

Korupsi di Sekitar Kita (2)

Seorang teman bekerja pada lembaga pemerintah yang salah satu tugasnya adalah memberikan lisensi kepada perusahaan swasta untuk mengeluarkan produk tertentu. Aku percaya bahwa ia memiliki integritas yang baik dan kiranya tidak termasuk orang yang mudah tergiur dengan harta—demi mempertahankan idealismenya.

Ia hafal Al-Qur`an, dan hafalannya itu memang sangat berguna untuk menunjang tugas-tugasnya. Selain karena memang lembaga pemerintah itu mewajibkan—atau paling tidak mengutamakan—mereka yang sudah hafal Al-Qur`an.

Suatu ketika sebuah perusahaan seluler A meminta lisensi untuk mengeluarkan salah satu produknya yang berisi muatan Al-Qur`an. Lembaga pemerintah itu pun segera mengecek software dimaksud. Tentu saja sang teman tadi kebagian tugas. Entah apa tugas spesifiknya, tetapi intinya adalah bahwa software Al-Qur`an yang akan ditanam pada ponsel keluaran perusahaan A tadi harus sesuai dengan ajaran Islam.

Setelah diteliti secara mendalam, diputuskan bahwa produk perusahaan A itu layak mendapatkan lisensi dari lembaga pemerintah dimaksud. Entah sekadar sebagai rasa terima kasih ataukah ada maksud lain, perusahaan A tadi memberikan "oleh-oleh" kepada lembaga pemerintah itu berupa sekian unit produk yang sudah berlisensi tadi. Karena jumlahnya cukup banyak, hampir semua karyawan pun kebagian ponsel itu, termasuk sang teman tadi. Alhamdulillah, senangnya dapat bonus....

Namun, di sinilah masalah mulai muncul. Hal ini berkaitan saat beberapa waktu kemudian, perusahaan B juga mengajukan permohonan untuk lisensi yang seirama dengan perusahaan A tadi. Penelitian pun dilakukan oleh lembaga pemerintah tadi. Walhasil, software untuk produk perusahaan B tadi juga dinyatakan layak mendapatkan izin untuk diperbanyak.

Manusiawi memang ketika para karyawan lembaga pemerintah itu menjadi berharap akan mendapatkan perlakuan dari perusahaan B sebagaimana diperlakukan oleh perusahaan A. Mereka pun seakan melewati hari demi hari di belakang meja kantor dengan menunggu kedatangan wakil dari perusahaan B dengan menenteng "oleh-oleh".

Namun, setelah ditunggu sekian lama ternyata tidak ada seorang pun dari perusahaan B datang lagi untuk bagi-bagi hape. Kekecewaan pun tak pelak menaungi wajah para karyawan lembaga pemerintah itu. Sialnya, hal itu diungkapkan pada orang lain, mungkin sekadar ingin curhat. Ia mengatakan, "Perusahaan A itu bagus, mau bagi-bagi hape yang sudah kita beri lisensi. Beda banget sama perusahaan B yang tidak tahu terima kasih; sudah diberi lisensi tapi seperti tidak tahu saja 'aturan main'nya."

Loh, kenapa bisa jadi begini? Hadiah yang tadinya diharapkan sekadar menjadi bonus kok berubah jadi bahan untuk menjelek-jelekkan pihak lain? Jangan-jangan, kalau kelak ada perusahaan B itu meminta lisensi lagi, bakal mendapatkan perlakuan yang tidak adil—semisal dipersulit atau malah tidak diberi lisensi sebagaimana mestinya. Atau bahkan nanti kalau perusahaan C datang maka sejak awal sudah diberi syarat: mau bagi-bagi produknya gak?

Mungkin semacam ini ya namanya gratifikasi. Wajar saja kalau kemudian gratifikasi ini diharamkan karena memang bisa—dan potensinya sangat besar—untuk mengubah kinerja seseorang, termasuk membuatnya tidak ikhlas bekerja.[]


Wonoyoso, 6 Juni 2010