Tuesday, November 30, 2010

Korupsi di Sekitar Kita (3)

Kali ini bukan cerita tentang kasus korupsi wa dzurriyyatihi, justru cerita kontrakorupsi. Kisah didapat dari cerita saat mengunjungi kerabat yang baru pulang dari Tanah Suci. Seperti biasa, orang yang baru saja melaksanakan ibadah haji memiliki segudang cerita untuk dibagi, selain doa tentu saja.

Saga antikorupsi bermula saat Lik Kaji (paman yang baru saja menunaikan berhaji) yang sejak awal keberangkatan ke Tanah Suci sudah sakit-sakitan sehingga saat turun di bandara debarkasi harus mendapatkan perawatan. Maklum, keberangkatannya saja sudah menarik isak tangis keluarga karena kesehatan ngedrop sesaat sebelum tiba di asrama haji pemberangkatan. Pemberangkatannya pun ditunda hingga 2 hari, bahkan sempat hendak ditunda hingga tahun berikutnya. Di Tanah Suci, kondisinya juga naik turun, meskipun—alhamdulillah—akhirnya bisa menyelesaikan seluruh ritual haji dengan sempurna, amin.

Oleh karena itu, saat berada di atas pesawat, dokter kloter senantiasa mengawasinya. Pun saat tiba di bandara debarkasi, ambulans sudah disiapkan demi memastikan kondisinya benar-benar baik hingga sampai ke rumah lagi. Karena merasa sehat-sehat saja, Lik Kaji sempat menolak menggunakan ambulans. Sang istri Lik Kaji yang mendampingi juga tidak ingin kesannya bagi keluarga nanti akan mengkhawatirkan.

Namun, setelah didesak tim kesehatan panitia haji bahwa hal itu demi kebaikan bersama, Lik Kaji dan sang istri pun bersedia mengendarai ambulans. Rupanya, ambulans tersebut tidak sekadar membawa Lik Kaji dan istri ke tempat transit, ruang pemeriksaan kesehatan, rumah sakit, atau sejenisnya. Justru ambulans tersebut memang disediakan untuk mengantarkan Lik Kaji dan istri sampai ke rumahnya.

Dalam perjalanan, Lik Kaji sempat mengeluh tiduran dalam posisi yang kurang tepat. Naik mobil tentu saja tidak senyaman naik pesawat, apalagi jalan raya yang dilalui berkelok-kelok. Karena itu, terdengar beberapa kali Lik Kaji merintih seperti kesakitan. Melihat hal itu, istri Lik Kaji merasa bersyukur karena bersedia naik ambulans. Menurut istri Lik Kaji, jika bersikeras naik bus penjemputan bersama rombongan lainnya, tentu akan merepotkan anggota rombongan, paling tidak mereka bisa khawatir dan merasa prihatin.

Perjalanan darat pun dilalui dengan lebih cepat dibandingkan bus penjemputan. Apalagi sang sopir ambulans juga beberapa kali—atau malah seringkali—memanfaatkan sirene untuk membuka jalan. Bahkan, terkadang iseng saja menyalakan sirene. Entah, barangkali itu untuk mencandai istri Lik Kaji yang memang dari awal meminta supaya sirene ambulans tidak usah dihidupkan sehingga tidak terkesan mengerikan.

Sopir ambulans dan seorang temannya—perawat—pun terkekeh-kekeh saat istri Lik Kaji menggerutu karena mengetahui sirene dibunyikan. Benar-benar mencandai untuk menghibur rupanya. Apalagi, saat sekitar tiga kilometer sebelum sampai rumah Lik Kaji sirene memang tidak dihidupkan sama sekali, sesuai permintaan istri Lik Kaji.

Karena istri Lik Kaji sudah menelpon bahwa sesungguhnya ambulans yang membawa mereka hanya dalam rangka menjaga kondisi, bukan merawat Lik Kaji, keluarga yang melihat Lik Kaji dan istri tampak sehat pun terlihat lebih tenang saat menyambut. Tentu saja pertemuan setelah sekitar empat puluh hari berpisah tetap mengharu biru; karena kebahagiaan yang terlampau besar.

Di sinilah kisah kontrakorupsi berada. Setelah menjalankan tugasnya dengan baik mengantarkan pasien ke rumahnya, sopir ambulans dan petugas kesehatan berpamitan pulang. Sebagai rasa terima kasih, istri Lik Kaji menyiapkan amplop berisi dua lembar kertas merah dan selembar kertas biru untuk mereka berdua. Ajaib! Tanpa basa-basi keduanya menolak dengan halus. "Tentu kami membutuhkan uang, tetapi ini adalah tugas kami sehingga kami tidak berhak menerimanya," begitu kira-kira jawaban kedua petugas tersebut.

Istri Lik Kaji tetap memaksa agar mereka mau menerima, toh uang tersebut bukanlah suap ataupun permintaan mereka (semacam pemerasan). Namun, mereka berdua lebih berkeras lagi menolaknya. "Ini sudah tugas kami, tentu bukan berarti kami ingin menolak pemberian Ibu," jawab mereka.

Luar biasa! Benar-benar mental antikorupsi yang hebat. Jika saja kita semua bermental seperti itu, niscaya kesempatan naiknya angka korupsi dapat semakin ditekan. Syukur-syukur bisa lebih jauh lagi: korupsi dapat dihapuskan dari muka bumi (Indonesia) ini.

Betapa sedikit orang seperti mereka. Karena memang banyak alasan yang logis untuk menerima pemberian seperti itu, apalagi pemberian tersebut benar-benar tulus, sama sekali tidak diminta atau sekadar disinggung-singgung oleh calon penerima. Jadi, untuk menerimanya bukan hal yang haram kan?

Eittt... tunggu dulu, sepertinya kita tidak bisa dengan mudah menghalalkan hal seperti itu. Bisa saja saat itu halal, tetapi saat kesempatan berikutnya, misalnya, giliran bertugas mengantarkan pasien lain, lalu pasien tersebut sama sekali tidak berpikiran untuk memberi "ungkapan terima kasih"—karena memang semua sudah benar-benar ditanggung ONH, apa yang kira-kira ada dalam pikiran si sopir dan temannya? "Ah, orang ini benar-benar tidak pengertian! Sudah dibantu diantarkan, tetapi tidak mau menghargai keringat kita." Begitu mungkin ungkapan yang bisa tiba-tiba muncul dari hati.

Astaghfirullah... tentu saja pemberian yang tadi itu bisa menjadi tidak halal seratus persen lagi. Barangkali seperti inikah salah satu model gratifikasi yang dilarang itu?

Mari lebih berhati-hati menerima pemberian orang lain. Bukan untuk sombong, bukan untuk mengharamkan yang halal, tetapi untuk melawan korupsi![]

Wonoyoso, 9 Desember 2010