Sunday, March 27, 2011

Korupsi di Sekitar Kita (5)

Indahnya menikmati hari-hari bersama si kecil. Hidup jadi terasa "lebih hidup". Impian untuk menggantungkan cita-cita setinggi pun mungkin rasanya semakin dekat. Tentu saja euforia semacam itu tidak lantas boleh membuat kita terlupa untuk mengurus administrasi kelahiran.

Ya, akta kelahiran tentu semakin terasa perlu di era sekarang ini. Bagi orang seumuran saya, barangkali masih ada beberapa yang tidak memiliki akta lahir. Atau paling tidak terlambat mengurus akta kelahiran. Apalagi jika dibandingkan dengan "para pendahulu" orang-orang seangkatan saya, bisa-bisa masih ada yang sampai sekarang tidak memiliki akta kelahiran.

Kebetulan tanggal 5 bulan depan KTP istri saya sudah harus ganti. Pertengahan bulan ini, KTP bu lik-nya juga sudah kadaluwarsa. Istri saya lalu mengajak bu lik untuk bersama-sama mengurus pembaruan KTP. Namun, rupanya bu lik enggan. "Buat apa bikin KTP?" begitu kira-kira bu lik menyergah. Nah loh... Saya sendiri tidak tahu apakah anak bu lik yang berusia lebih dari satu tahun itu sudah dibuatkan akta kelahiran. Mudah-mudahan sih sudah.

Namun, bukan itu sebenarnya yang penting. Ada satu masalah yang barangkali perlu disimak bersama-sama, syukur-syukur kelak bakal ditemukan solusinya. Kisah ini berawal saat saya mencukur rambut di barber langganan. Kebetulan si pencukurnya dahulu adalah tetangga rumah di desa. Obrolan di antara kami pun asyik kian kemari. Hingga menyinggung masalah anak, rupanya ia baru saja mengurus akta kelahiran tiga anaknya sekaligus.

Ya, karena awalnya merasa tidak perlu, atau merasa ah bisa belakangan, akhirnya ia terpojok untuk harus merapel pembuatan akta kelahiran langsung tiga anaknya. Peraturan yang saat ini berlaku berkaitan dengan pembuatan akta kelahiran rupanya belum terlalu disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Si tukang cukur pun harus bertanya berkali-kali ke beberapa instansi yang memang harus dilaluinya. Dimulai dari balai desa, kantor kecamatan, dindukcapil, hingga pengadilan.

Ckckckckck... barangkali niat pembuat undang-undang adalah untuk meminimalisasi ruang gerak teroris atau semacamnya, tetapi hal semacam itu ternyata hanya menyasar orang-orang kecil untuk semakin kecil dan sulit. Betapa tidak, untuk pembuatan akta kelahiran ketiga anaknya--yang pertama sudah masuk SD, yang kedua berusia sekitar empat tahun, dan yang ketiga berusia lebih dari dua bulan--ia harus merogoh kocek dalam-dalam, nyaris dua juta rupiah. Mari berkata, "Wouuuuwwww...." Tanpa bermaksud mengecilkan pendapatan tukang cukur, tentu itu angka yang sangat fantastis untuk siapa saja yang berpendapatan minim. Bahkan untuk diri saya sendiri sekalipun.

Mari kita hitung untuk apa saja dia harus mengeluarkan fulus. Saat datang ke kantor balai desa, meskipun tidak ada ketentuan yang menyebutkan harus membayar berapa, katakan saja harus mengisi "kotak amal". Kemudian di kantor kecamatan, siapa yang berani menjamin tidak ada pungli? (Kabupaten lain mungkin berbeda, tetapi lihat saja di kabupaten si tukang cukur)

Yang mengejutkan adalah di pengadilan. Sssshhhhh, birokrasi yang ada sekarang ini memang meliuk-liuk. Anak-anak yang terlambat dibuatkan akta kelahiran lebih dari jangka waktu tertentu (kalau tidak salah dua bulan) harus disidangkan di pengadilan negeri. Nah, saat disidang, selain membayar lewat loket resmi, rupanya ada pungli yang konon untuk "uang capek" perangkat sidang. Belum lagi dia harus membawa dua saksi untuk masing-masing anak. Karena jarak pengadilan tidak dekat, tentu ia harus membayarkan--paling tidak--ongkos transport, yang tentu saja lebih dari cukup untuk membayar angkutan umum dan konsumsi. Alkisah, si tukang cukur mengeluarkan uang lebih dari satu juta rupiah untuk "berputar-putar" di area pengadilan ini.

Setelah itu, di kantor dindukcapil juga rupanya tidak bisa melenggang begitu saja tanpa uang. Lagi-lagi duit berbicara. Itu pun tidak bisa dilayani secara maksimal jika tidak memberi uang tambahan bagi para pegawainya. Luar biasa memang mentalitas para birokrat kita. Sudah telanjur tidak bisa bekerja hanya dengan gaji yang halal.

Kegetiran si tukang cukur rupanya tidak sampai di situ. Beberapa saat setelah semua urusan birokrasi selesai dan tinggal menunggu pengambilan akta kelahiran, ada seorang temannya yang "terlambat" memberikan trik. Ya, si teman rupanya tidak harus jauh-jauh mengurus sidang ke pengadilan. Konon, ia hanya cukup mendatangi kepala dinas dukcapil, lalu berbisik-bisik "meminta tolong" pengurusan akta kelahiran. Bim salabim, cukup dengan 300 ribuan, akta kelahiran sudah jadi dengan waktu yang super kilat.

Jadi, saat masih tinggal di negeri Indonesia, silakan pilih saja: birokrasi berbelit dengan biaya mahal atau jalur potong kompas dengan biaya murah.[]

Wonoyoso, 19 April 2011