Tuesday, June 12, 2012

Impresi Kata

Menurut KBBI, impresif berarti “dapat memberi atau meninggalkan kesan yg dalam; mengharukan”. Judul ini diambil karena memang hendak menggambarkan beberapa kata yang pernah saya sebutkan dan saya kira cukup membuat impres atau kesan, paling tidak untuk saya sendiri. Bahkan, kalau mau narsis, sepertinya itu juga lumayan berkesan bagi cukup banyak orang. Tidak selalu personal, malah mungkin tidak pernah personal. Ralat: mungkin yang tepat bukan “kalau mau narsis”, melainkan “inilah saatnya narsis!”

Pertama, mengenai sebuah majalah “siluman” bernama Flamboyan. Waktu itu, saya pikir flamboyan sama artinya dengan semacam playboy atau semacamnya. Kisah ini berawal saat saya sedang galau-galaunya memikirkan pelajaran sampai tidak naik kelas dua kali, lalu saya iseng-iseng belajar aplikasi Adobe Photoshop. Awalnya hanya mengedit foto-foto sendiri. Tapi, karena ketagihan, saya mencoba utak-atik foto lebih banyak lagi. Sampai akhirnya muncul ide mencoba belajar membuat cover majalah!

Entah siapa yang menuntun, tiba-tiba jadilah cover sebuah majalah yang membahas gosip-gosip hanya di Kairo. Isu-isu yang tengah hangat berkembang coba saya buatkan judul lalu dimasukkan dan dikumpulkan ke dalam sebuah bahan cover. Supaya lebih mantap, judul-judul ini kemudian dilengkapi foto. Atau, cara kerjanya berkebalikan, cari foto dulu kemudian berpikir-pikir kira-kira judul apa yang cocok ditempelkan pada foto dimaksud.

Nah, untuk melengkapi kata Flamboyan itu, sepertinya perlu tagline yang umumnya memang dilekatkan pada setiap koran atau majalah. Saya pun memilih kata “Cairo in Your Hands”. Dengan harapan, atau angan-angan, atau imajinasi, semua berita yang ada di Kairo pasti terkaver dalam majalah itu. Kira-kira begitu semangatnya. Buat saya yang tidak terlalu tahu bahasa Inggris, terkadang merasa bangga juga bisa membuat rangkaian kata yang konon grammarnya sudah cukup pas itu.

Kedua, saat diminta membuat spanduk untuk bus yang hendak diberangkatkan menuju makam para aulia dan shalihin di Mesir. Tugas ini diberikan oleh lembaga Jam’iyah Ahlit Thoriqoh Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, sering disingkat JATMANU. Karena saat itu memang saya tengah tinggal di markas PCI NU Mesir.

Diberi tugas mepet dengan hari pemberangkatan, ditambah tidak ada instruksi lebih jelas mengenai apa yang akan ditulis, saya pun bingung. Saya mencoba berpikir-pikir kira-kira apa yang mau ditulis. Kalau sekadar menulis JATMANU, tentu kurang menarik, kurang memberi impres. Kalau ditulis “Ziarah Makam Aulia”, sebagaimana yang ada dalam kop surat panitia, rasanya kaku sekali. Itu juga menjadi seperti yang biasa tertera di bus-bus rombongan ziarah di tanah air. Kurang seru!

Setelah berdiskusi entah dengan siapa saja (lupa), rupanya muncul benang merah bahwa ziarah adalah perjalan suci, atau wisata suci. Kalau diinggriskan, mungkin Holy Tour? Ya, Holy Tour! Sepertinya kata ini cukup menarik. Akhirnya terukirlah kata Holy Tour itu di spanduk yang ditempel di bus atau dibawa saat berfoto-foto. Ah, sayang sekali saya tidak ikut ziarah itu sehingga tidak tampak dalam foto. Tapi, alhamdulillahnya, ternyata kata Holy Tour itu sepertinya masih digunakan sampai kini. Haha, narsis abis!

Ketiga, mengenai kata “Griya Jateng.” Sekitar tahun 2004, ramai dibicarakan di mailing list (pacandu FB sekarang ini sepertinya tidak mengenal istilah yang disingkat milis itu ya?) mengenai akan dibangunnya sebuah gedung untuk kegiatan mahasiswa Jawa Tengah di Mesir. Pembangungan gedung ini didanai oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. 

Melihat antusiasme mahasiswa Jateng menyambut pembangunan gedung itu, saya pun ingin rasanya memberikan impres khusus. Melalui milis, saya coba usulkan gedung itu kelak diberi nama Griya Jateng. Hal itu mengingat baru saja mahasiswa Jatim menamakan gedungnya dengan Graha Jatim. Lalu sebelumnya ada Wisma Nusantara yang didirikan ICMI era Habibie. Ada pula Wisma Duta merujuk pada kediaman Dubes RI di Kairo.

Saya usulkan nama Griya Jateng dengan pemikiran untuk membedakan dengan gedung-gedung itu, juga untuk memudahkan penyebutkan kelak (selama ini Graha berarti Graha Jatim dan Wisma berarti Wisma Nusantara—jarang dirujuk pada Wisma Duta) sehingga cukup menyebut satu kata “Griya” untuk menunjuk gedung pemberian Pemprov Jawa Tengah itu. Tidak perlu menambah satu atau dua kata saat menyebut; misalnya Wisma Jateng atau malah Wisma Jawa Tengah, tentu terlalu panjang. Kata Griya menjadi lebih hemat dan efisien. Juga saya bayangkan dapat menjadi ciri khas tersendiri.

Namun, rupanya usulan saya itu hanya dianggap angin lalu. Sangat sedikit yang menanggapi positif. Bahkan, kemudian ada yang mencandai, nanti gedungnya dinamai “pagupon” saja. Pagupon adalah kandang untuk burung dara bukan? Tentu komentar seperti itu agak menyinggung perasaan saya. Meski tersinggung dengan hal itu, saya sama sekali tidak merasa tersinggung dengan didiamkannya usulan saya ini oleh pihak berwenang. Ya sudah, tidak apa-apa, namanya juga usulan, dipakai syukur, tidak dipakai ya tidak perlu mengamuk ya.

Namun, rupanya di masa depan takdir bicara lain. Usulan saya ternyata tidak benar-benar mati. Secara “tidak sengaja”, pada pertengahan 2005, saya kemudian terpilih sebagai ketua asosiasi mahasiswa Jateng sebagai pihak yang kelak diminta mengelola gedung itu. Ketika pemilihan yang mengantarkan saya menjadi ketua, gedung itu belum benar-benar sempurna. Kira-kira satu setengah bulan berikutnya gedung itu baru akan diresmikan oleh Wakil Gubernur yang akan terbang langsung dari Semarang.

Sebagai ketua, saya pun ikut cawe-cawe mempersiapkan segala keperluan penyempurnaan gedung itu. Di sinilah kekuasaan berbicara. Saat masih menjadi rakyat biasa, usulan saya tidak benar-benar bisa terespons. Namun, saat menjadi “penguasa”, rupanya saya punya keleluasaan lebih untuk menyuarakan usulan.

Saya pun mencoba kembali menghidupkan usulan saya soal Griya Jateng itu. Oleh panitia pembangunan rumah, usulan saya masih ditolak mentah-mentah. Alasannya? Pak Dubeslah yang sejak awal menyebut gedung ini sebagai Wisma Jateng. Saya pun protes, sudah ada dua “wisma” di Kairo, tidak akan menambah impres kalau gedung Jateng juga dinamai Wisma. Saya mendapat jawaban lebih keras daripada yang pertama: berani kamu menentang Dubes? Diam di sini menjadi emas.

Tidak berapa lama kemudian, rupanya harus ada audiensi dengan Dubes mengenai persiapan penyambutan Pak Wagub. Saya sebagai ketua juga kebagian waktu untuk bertemu Dubes membicarakan detail acara dan lainnya. Di saat audiensi inilah saya coba kembali sounding soal penamaan Griya Jateng. Saya beranikan menyatakannya langsung kepada Pak Dubes. Dan, sedikit tidak disangka, rupanya Pak Dubes menyambut baik! Ia justru sangat senang dengan usulan itu. Pak Dubes kebetulan memang menyukai seni dan kreatifitas, jadi terlihat ceria dengan nama baru itu. Jadilah disepakati bahwa nanti namanya adalah Griya Jateng.

Lalu, sebagai penutup, pelajaran yang dapat diambil adalah: rebutlah kekuasaan kalau mau membuat perubahan![]

Wonoyoso, 11 Juni 2012


“Bu, Polisi Kok Kayak Perampok Ya?”


Ini adalah oleh-oleh dari perjalanan keluarga ke Karawang beberapa hari yang lalu. Awalnya saya terdaftar ikut kondangan tersebut, tapi karena pekerjaan sedang banyak, akhirnya absen. Alhamdulillah, meski tidak ikut, dapat oleh-oleh berharga: cerita!

Kisah ini berawal justru saat kondangan berakhir. Tepatnya saat rombongan dalam perjalanan pulang. Melewati Karawang, tampaklah Indramayu yang panturanya amat panjang nan lama itu. Di sinilah setting cerita itu.

Saat tengah melintas di salah satu titik di Indramyu, rupanya sedang ada razia besar-besaran. Nyaris setiap kendaraan yang lewat, selalu diberhentikan dan diperiksa. Apa saja yang terlihat melanggar, maka tentu dijadikan pasal untuk merogoh dompet.

Rombongan keluarga yang menaiki Avanza, awalnya merasa tidak memiliki kesalahan apa pun. SIM dan STNK pengemudi ada; karena biasanya inilah yang menjadi fokus utama saat razia lalu lintas. Lampu-lampu dan asesori lain mobil juga terang masih berfungsi dengan baik karena kendaraannya memang masih cukup bagus.

Namun, rupanya perazia lebih teliti dan pintar. Terlihat satu kesalahan: kelebihan muatan! Ya, karena kendaraan minibus seperti Avanza ternyata harus diisi tak lebih dari delapan penumpang termasuk sopir. Kali ini, Avanza berisi 9 orang, dengan rincian 7 dewasa dan 2 anak-anak. Anak-anak dihitung? Ya, sama saja, kata si perazia!

Itulah hasil analisis paman saya yang menjadi “juru bicara” dengan keluar mobil untuk mempertanyakan alasan kesalahan. Diberi tahu kesalahan seperti itu, paman saya rupanya tidak mau terlalu lama berbelit mengenai kesalahan itu. Langsung saja diakui, daripada bakal dicari-cari kesalahan lain; mungkin tidak ada kotak P3K, mungkin kurang apa lagi, tidak tahu lah. Kira-kira begitu pengalaman paman saya itu.

Supaya lebih cepat, paman saya pun langsung menanyakan berapa denda yang harus dibayarkan. Perazia yang berpakaian seraham polisi itu pun menyebut angka tiga ratus ribu rupiah. Kami yang berangkat dari kampung tentu merasa tiga lembar uang merah itu sangat besar. Karenanya, paman saya coba menawar, 100 ribu bagaimana? Kira-kira hanya ditertawakan. Dua ratus ribu pun masih geleng-geleng.

Pak polisi ngotot dengan angka 300 ribu. Paman saya pun tidak bisa berkutik. Dia selalu ingat: lebih mengalah daripada semakin parah dicari-cari apalagi yang salah. Ya sudah, paman saya buka dompet, ambil beberapa lembar uang biru. Barangkali pak polisi itu tidak mengecek lagi uang yang diterima karena ternyata paman saya hanya menyerahkan lima lembar 50 ribuan, alias hanya 250 ribu. Atau barangkali uang sebesar itu sudah cukup mengingat banyaknya kendaraan yang kena razia?

Begitulah kisahnya. Namun, sebenarnya bukan itu inti pembahasan tulisan ini. Kalimat utama dalam tulisan ini adalah ucapan salah seorang anak kecil dalam Avanza itu, keponakan saya, yang masih kelas 4 SD. Melihat pak polisi mencegat kemudian membiarkan kendaraan berjalan kembali setelah menerima sejumlah uang, keponakan saya berkomentar, “Bu, pak polisi kok kayak perampok ya?”

Ya, begitulah kenyataannya. Begitulah yang dilihat keponakan saya. Mungkin di benaknya selama ini, hasil belajar di sekolah, polisi adalah penolong masyarakat, pengayom masyarakat, gagah berani melawan penjahat, tegas menangkap pencuri. Dan kesan-kesan kebaikan lain yang muncul dari promosi verbal via pelajaran sekolah.

Beberapa waktu sebelumnya, adik ipar saya yang masih TK kecil, diajak jalan-jalan ke kantor polisi oleh pengelola tempatnya belajar. Saya kira, tentu pak atau bu polisi yang ada di kantor polisi akan memperkenalkan tugas dan kesan yang baik bagi anak-anak TK. Dan seperti yang saya bayangkan saat masih kecil, kira-kira semua anak TK akan semakin hormat dengan kegagahberanian para polisi.

Itulah promosi verbal. Namun, kalau kemudian keponakan saya melihat dengan mata kepalanya sendiri kejadian seperti dalam razia itu, bergunakan promosi verbal itu? Kalau kelak adik ipar saya juga mungkin harus melihat tingkah buruk lain dari oknum polisi, mungkinkah dia masih terkesan dengan kegagahberanian pak polisi?[]

Wonoyoso, 11 Juni 2012