Thursday, September 27, 2012

Kurikulum Antiterorisme


Kurikulum Antiterorisme

Beberapa pekan terakhir ini media cukup sering memberitakan perihal terorisme. Bermula dari penembakan terhadap anggota polisi di Solo, lalu penggerebekan para terduga teroris di Depok Jawa Barat, Solo Jawa Tengah, sampai Madiun Jawa Timur.

Mengiringi berita-berita tersebut, lalu muncul beberapa wacana untuk memperkuat usaha mencegah adanya aksi teror. Entah kebetulan entah tidak, rupanya kegiatan teror tersebut—baik dalam skala nasional maupun internasional—selalu melekat pada kalangan kaum muslimin. Dalam skala antarnegara, Islam dicap sebagai biang utama aksi teror menyusul ambruknya menara kembar WTC di New York akibat ditabrak pesawat yang kemudian dituduhkan dikendarai oleh anggota Al-Qaeda. Nama Al-Qaeda sendiri tentu sangat akrab dengan bahasa Arab, bahasa yang sangat dijunjung di antara kaum muslimin.

Adapun dalam skala nasional, meskipun tidak ada organisasi Islam resmi yang mengaku bertanggung jawab atas teror-teror di tanah air—yang mulai marak sejak Bom Bali I pada 2002, Islam harus menerima kenyataan dijadikan kambing hitam; seakan-akan berada di balik semua teror itu. Dalam hal ini, semua pihak tentunya harus lebih arif. Kalau mau memberikan stigma teror kepada Islam secara umum, tengoklah lebih dahulu kepada organisasi Islam terbesar di tanah air, Nahdlatul Ulama (NU).

NU, di samping ada organisasi Islam besar lain seperti Muhammadiyah dan Persis, dalam beberapa hal dapat dikatakan bisa mewakili. Nyatanya, dalam sejarah NU yang sejak berdiri pada tahun 1926, tak ada satu pun kegiatan teror yang dilakukan oleh—atau sekadar disematkan terhadap—organisasi ataupun personal NU. Kalaupun ada, mungkin terjadi pada masa prakemerdekaan, di mana teror itu bisa disematkan oleh kaum kolonial Belanda. Tentu saja oleh bangsa Indonesia, perlawanan terhadap penjajah, salah satunya yang dimotori oleh KH. Hasyim Asy’ari selaku pendiri NU melalui Resolusi Jihad, tidak bisa dikatakan sebagai terorisme terhadap bangsa ini.

Organisasi-organisasi Islam besar tersebut tak ada satu pun yang terkait secara langsung dengan aksi terorisme di tanah air. Lalu, bagaimana mungkin Islam secara umum harus menanggung cap sebagai agama teror? Tentu ada yang salah dalam pemberian stigma teror atas agama Islam.

Namun, kebetulan pelaku teror, terutama pelaku pengeboman dan perakit bom, rupanya selalu orang yang beragama Islam. Dan kebetulan pula, mereka yang terlibat itu selalu orang yang dianggap memiliki pengetahuan keislaman yang cukup. Dengan demikian, orang di luar Islam lalu mengambil kesimpulan bahwa “kecukupan” pengetahuan keislaman itulah yang mendorong seseorang melakukan aksi teror.

Berangkat dari situ, lalu muncul wacana untuk memberikan sertifikasi terhadap para ulama—setiap orang yang oleh masyarakat dianggap memiliki pengetahuan mencukupi terhadap kedalaman Islam. Atas wacana ini, ada beberapa tanggapan yang pro dan kontra, selain tanggapan adem ayem saja. Tanggapan adem ayem atau biasa saja tampak di antaranya diperlihatkan oleh NU, organisasi Islam terbesar di tanah air. Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. Said Aqil Siradj mengungkapkan bahwa sertifikasi ulama mungkin saja dilakukan. Namun, tentu hal itu akan menemui banyak kendala. Hambatan utamanya adalah karena gelar ulama atau kiai merupakan pemberian masyarakat terhadap seseorang karena keilmuan, kealiman, dan peranannya dalam bidang keagamaan di tengah masyarakat.

Wajar saja Kang Said—demikian panggilan akrab Ketua Umum PBNU itu—menanggapi biasa saja wacana sertifikasi ulama itu. Hal itu karena NU sama sekali tidak merasa bahwa aksi teror berasal dari salah satu anggotanya. Sementara itu, rupanya ada beberapa tokoh, baik skala nasional maupun daerah yang ternyata merasa “panas” dengan wacana sertifikasi ulama. Kalangan yang dengan lantang menolak wacana itu merasa bahwa wacana itu hanya untuk memojokkan umat Islam dan para tokohnya. Tentu pandangan ini juga bukan tanpa sebab, karena sebenarnya para pelaku teror, meskipun kebanyakan adalah orang Islam, itu hanyalah sebagian kecil saja.

Wacana lain untuk menanggulangi aksi teror adalah pengadaan kurikulum antiterorisme di sekolah-sekolah. Usulan seperti ini sepertinya mengikuti usulan mengenai pengadaan kurikulum penanggulangan bencana sebagaimana diusulkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Untuk itu, berbagai pihak yang concern dengan pencegahan terorisme mengusulkan pelajaran antiterorisme bagi para pelajar di tanah air.

Sebelum usul ini dibahas lebih jauh oleh para pemangku kebijakan, alangkah baiknya mereka melihat sekeliling dahulu, dalam hal ini fakta bahwa nyaris tidak seorang pun warga atau kader NU yang menjadi terduga apalagi pelaku terorisme. Tidak dapat dibantah pula bahwa sejak berdirinya republik ini, NU rupanya tidak pernah terlihat ingin atau terlibat dalam gerakan yang mengganggu stabilitas nasional. Justru yang ada adalah NU melalui Banser menjadi salah satu tembok kukuh saat bangsa Indonesia menghadapi PKI—terlepas dari kontroversi pandangan bahwa sebagian anggota PKI dilanggar HAM-nya oleh tentara ataupun Banser yang konon dimanfaatkan sebagian pihak untuk memuluskan kekuasaannya.

Dengan fakta semacam ini, perlu ditelisik lebih jauh, sebenarnya apa rahasia NU terlihat begitu setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, juga terlihat betapa kuat sikap toleransi warganya atas perbedaan yang berkembang di tanah air.

Jika mau mendatangi sekolah-sekolah NU, lalu melihat kurikulumnya, hampir dipastikan terdapat muatan lokal pelajaran ke-NU-an. Cobalah lihat lebih terperinci pelajaran ke-NU-an itu. Rupanya di dalamnya memuat nilai-nilai yang sangat mendukung sikap toleransi dan pengertian sebagai sesama warga Indonesia, bahkan sebagai sesama manusia.

Bahkan sejak tingkat dasar (SD/MI), kurikulum ke-NU-an di setiap tingkatan selalu mengajarkan 4 nilai penting yang dipegang NU. Keempat nilai dasar itu adalah tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (berimbang), dan i’tidal (adil). Empat ajaran ini betul-betul shglkhjgghjsh

Karena begitu ditekankannya keempat nilai ini dalam pikiran pelajar di setiap sekolah NU, wajar jika kemudian nyaris tidak ada warga apalagi kader NU menjadi terduga atau pelaku terorisme. Untuk itu, ada baiknya barangkali BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) mendalami lebih lanjut kurikulum ke-NU-an yang antiteror ini. Dengan begitu, diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif pengganti atau pemerkaya kurikulum antiteror yang tengah diwacanakan dimasukkan ke sekolah-sekolah di tanah air.[]

Wonoyoso, September 2012