Tuesday, November 20, 2012

Kisah Antikorupsi (1)

AB menyelesaikan S2-nya di Universitas Al-Azhar, sebagaimana ia mendapatkan gelar Lc.-nya. Sesaat setelah sidang tesis, ia pun mendatangi pembimbing utamanya. Sebagai rasa terima kasih, ia juga menyiapkan sejumlah uang untuk diberikan kepada sang pembimbing. Namun, sang pembimbing menolak dengan halus.

AB tak patah arang. Ia bertekad betul-betul bisa memberikan sejumlah uang itu kepada sang profesor. Maklum, selama bertahun-tahun di Al-Azhar, ia selalu mendapat beasiswa. Nyaris tak pernah mengeluarkan uang sepeser pun untuk keperluan pembelajarannya, apalagi uang yang kemudian diterimakan kepada dosen-dosennya.

Sebagai orang Indonesia yang menjunjung tinggi adat ketimuran, ia pun berniat mengucapkan terima kasih sekaligus berharap sang pembimbing mau menerima sejumlah uang. Tentu tidak sebagai suap atau semacamnya, karena toh nilai sidang tesis juga sudah keluar. Juga tidak ada kongkalikong sebelum sidang tesis antara dirinya dengan pembimbing utama untuk mengarahkan agar kelak dapat nilai tinggi.

Sidang tesis berjalan sebagaimana mestinya. Tidak ada intervensi atau arahan sedikit pun untuk menjadikan sidang tersebut menguntungkan salah satu pihak. Semua berjalan natural tanpa skenario. Artinya, memang tidak ada celah untuk terjadinya serah terima “uang terima kasih”.

Namun, tentu bukan itu niat AB. Ia ingin berterima kasih bukan karena nilai yang diterima saat sidang, atau berkat lancarnya jalannya sidang. Ia berterima kasih hanya karena merasa sang pembimbing telah betul-betul membimbingnya dengan baik, tulus, dan memberikan banyak manfaat. Sementara di sisi lain, AB merasa tak pernah mengeluarkan sesen pun untuk keperluan itu.

Karena itu, tekadnya betul-betul bulat untuk menyerahkan uang itu. Setelah ditolak pada kesempatan pertama, AB pun mencari siasat bagaimana uangnya itu bisa diterimakan kepada sang pembimbing utama. AB kemudian punya ide; memberikan hadiah mushaf, lalu uang itu dimasukkan ke dalam mushaf.

Setelah membeli mushaf, AB menghubungi pembimbing utama untuk diperkenankan sowan ke rumahnya. Pembimbing utama membolehkan, tetapi dengan syarat kedatangannya itu tidak untuk memberikan uang. AB setuju.

Pada hari yang ditentukan, AB sowan ke rumah pembimbing, tentu dengan membawa mushaf sebagai hadiah itu. Setelah berbasa-basi, AB mengeluarkan hadiah dan hendak menyerahkannya kepada sang profesor. Dengan halus, lagi-lagi profesor menolaknya. Menurut profesor, apa yang dilakukannya dalam membimbing selama ini sudah merupakan tugas dan kewajibannya, sehingga sama sekali tidak memiliki hak mendapatkan hadiah itu.

AB berkeras menyerahkan mushaf itu. Dengan memohon betul-betul, AB mengatakan bahwa hadiah itu diberikan dengan sangat ikhlas. Justru dengan ditolaknya hadiah itu, AB mengatakan akan merasa kecewa. Mendengar permohonan tulus seperti itu, sang profesor mulai luluh. Ia pun menyatakan siap menerima mushaf itu, tentu dengan syarat bahwa mushaf itu diberikan tidak ada kaitannya sama sekali dengan sidang tesis yang baru dijalankan. AB mengangguk.

Alhamdulillah, demikian pikiran AB saat pulang dari kediaman profesor. Sesampainya di rumah, hati AB pun terasa lega karena berhasil menyerahkan hadiah beserta uang sebagai bentuk rasa terima kasihnya.

Tak lama kemudian, muncul kejutan luar biasa. Kriiiing..., telpon genggam AB berdering. Ia pun segara mengangkatnya. Rupanya dari sang pembimbing utama. Dengan penuh sopan santun seperti biasa, AB menjawab panggilan itu. Tak disangka tak dinyana, rupanya sang profesor menelpon dengan kemarahan luar biasa. Melalui telpon itu, AB dimarahi habis-habisan karena berani-beraninya menyelipkan uang dalam mushaf yang diterima sang profesor.

Profesor juga mengingatkan kembali bahwa ia tak bisa menerima sepeser pun uang dari anak didiknya. Ia juga mengungkapkan bahwa pihak universitas telah memberikan anggaran tertentu kepada setiap pembimbing. Untuk itu, haknya sudah tercukupi, tidak perlu lagi mendapatkan tambahan dari pihak mahasiswa.

Satu hal yang paling mengagetkan adalah sang profesor mengancam jika uang dalam mushaf itu tak segera diambil, nilai yang sudah keluar saat sidang tesis justru akan dihapus! Tentu saja kata-kata pembimbing utama ini sangat menakutkan. AB pun bergegas mengambil kembali uang yang telah dengan sangat ikhlas ia siapkan untuk diberikan kepada sang pembimbing.[]

Wonoyoso, 18 Nov 2012