Monday, April 29, 2013

Bersyukur Punya Pilihan Pekerjaan

Ada banyak alasan yang melatarbelakangi seseorang memilih pekerjaan. Ada yang karena merupakan impian atau cita-cita sejak kecil, ada yang karena disesuaikan dengan kuliah yang dijalani, ada yang karena menjalani peluang di depan mata sebagaimana air mengalir, ada yang karena sekadar untuk mengurangi jumlah pengangguran, atau mungkin karena dilandasi kompilasi alasan-alasan yang sudah disebutkan itu.

Tidak menutup kemungkinan pula ada yang bukan “memilih” pekerjaan, melainkan karena “terjerumus”. Sebut saja para korban human trafficking (perdagangan orang) atau people smuggling (penyelundupan manusia). Para korban itu tentu tidak sejak awal memilih menjadi korban untuk bekerja pada suatu tempat yang tidak ia harap sebelumnya. Namun, jika perjalanan hidupnya memang demikian, daripada mati sia-sia maka ia tetap harus memilih menjalani pekerjaan juga.

Bisa memilih tentu lebih memuaskan dan membahagiakan diri sendiri daripada terpaksa. Begitu banyaknya pilihan pekerjaan yang ada di depan mata membuat banyak pula jalan untuk memilih kepuasan dan kebahagiaan itu. Apakah nanti bahagia di tengah dan akhir hidupnya itu adalah urusan berikut. Setidaknya telah ada celah untuk disyukuri saat bisa memilih pekerjaan sesuai keinginan—sesuai cita-cita, sesuai peluang, sesuai kemampuan, sesuai/bersama teman-teman, atau yang lainnya.[]

Kelas C, 29 April 2013

Saturday, April 27, 2013

Bekerja

Manusia diciptakan untuk terus bergerak. Jika sudah tidak bergerak maka (setidaknya dianggap) mati. Untuk apa bergerak? Untuk menunjukkan kehidupan. Tentu tidak itu saja maksudnya. Ada banyak alasan untuk terus bergerak. Juga ada banyak macam untuk bergerak. Bernapas pun termasuk bergerak—setidaknya gerakan paru-paru. Demikian pula bermain, berpelesiran, belajar, bekerja, dan beragam gerakan-gerakan lain yang bisa menunjukkan adanya kehidupan.

Bekerja, salah satu ragam bergerak itu, merupakan kebutuhan manusia. Lebih khusus lagi bagi mereka yang menginjak usia dewasa. Karena usia dewasa sudah selayaknya diikuti dengan tindakan dewasa—independen dan tidak bergantung pada orang lain. Dengan usia di atas 20-an tahun, seseorang tentu sebaiknya harus bersiap untuk tidak “menyusu” terus kepada orang tuanya. Untuk itulah dia harus sudah bisa bekerja.

Bekerja, sebagaimana pernah disebut Voltaire, dapat menjauhkan manusia dari tiga hal buruk: kebosanan, kejahatan, dan kemiskinan. Orang yang menganggur akan mudah bosan karena tidak memiliki aktivitas yang memicu adrenalinnya. Imbasnya, ia dapat melakukan hal yang kontraproduktif. Pengangguran juga bisa memicu naiknya angka kejahatan. Orang yang tidak memiliki pekerjaan—baik karena malas, tidak mampu atau tidak mau bersaing, maupun karena dalam keadaan yang memaksanya tidak bisa bersaing—rentan untuk melakukan kejahatan.

Tanpa pekerjaan, seseorang mau makan apa? Jadilah ia melakukan tindakan di luar hukum untuk mencari sesuap nasi. Kalaupun ia atau keluarganya kaya, sehingga ia tidak harus mengais suap demi suap nasi untuk makan, ia rentan juga melakukan kejahatan lain karena tidak memiliki aktivitas yang bisa memuaskan batinnya.

Dengan pekerjaan pula seseorang dapat memperoleh uang. Uang itu bisa ia belanjakan untuk keperluan hidupnya. Ketika kebutuhan bisa terpenuhi maka tidaklah ia termasuk orang miskin. Dengan demikian, pekerjaan bisa dikatakan merupakan salah satu obat mujarab untuk menghapus atau setidaknya mengurangi kemiskinan.

Kebutuhan terpenuhi. Kiranya itulah “batasan” seseorang dalam bekerja. Maka jika kebutuhan sudah terpenuhi janganlah pekerjaan melalaikan hal lain yang tak kalah urgen, seperti soal kesehatan fisik dan mental, keluarga, serta kehidupan sosial. Beberapa hari lalu muncul dalam media sosial posting mengenai kisah anak yang merindukan kebersamaan dengan ayahnya yang begitu sibuk bekerja mencari nafkah untuk keluarga. Kira-kira kisahnya bisa diceritakan kembali seperti berikut:

Suatu malam pukul 21.00.
Anak : Selamat malam ayah.
Ayah : Malam sayang.
Anak : Ayah pasti capek sekali yah baru datang dari kantor.
Ayah : Iya nih...
Anak : Sini aku pijitin.
Ayah : Wah pinter sekali, makasih ya sayang.
Sambil memijit, sang anak terus mengajak ayahnya bercengkerama.
Anak : Ayah, boleh ga aku tahu berapa gaji ayah per bulan?
Ayah : Kenapa tiba-tiba ingin tahu gaji ayah, sayang?
Anak : Ah, hanya ingin tahu.
Ayah : Baiklah, gaji ayah sekitar 10 juta.
Anak : Jadi, setiap jam rata-rata ayah dibayar berapa tuh?
Ayah : Kalau 10 juta dibagi 30 hari berarti 330-an ribu, lalu dibagi 8 jam kerja, ya sekitar 40 ribu.
Anak : Ooh... kalau begitu, boleh tidak aku pinjam uang ayah 10 ribu?
Ayah : Buat apa sayang, besok saja ya, kan sudah malam, toko-toko pasti sudah tutup.
Anak : Aku maunya sekarang ayah. Uang jajan besok aku sisihkan untuk mencicil pinjaman dari ayah.
Ayah : Besok saja sekalian ayah belikan mainan ya, tapi dituntaskan dulu pijitnya ya sayang.
Anak : Aku butuhnya sekarang ayah.
Ayah : Hmmm, baiklah... ini sayang....
Anak : Terima kasih ayah.
Sang anak lalu berlari ke kamarnya mengambil amplop mungil berisi uang.
Anak : Ayah, ini aku tadi punya tabungan 30 ribu, lalu aku tambahin dengan uang dari ayah 10 ribu. Tolong ayah terima ya.
Ayah : Loh, untuk apa sayang?
Anak : Besok malam aku mau main sama ayah dari jam 20.00 sampai 21.00. Ayah kan biasanya pulang jam 21.00, jadi besok aku minta ayah pulang lebih cepat. Sebagai gantinya, ini aku mau beli waktu ayah 1 jam dengan 40 ribu ini. Boleh ya, ayah?
Sang ayah pun langsung memeluk anaknya. Tak kuasa ia menahan tangisnya. Ia baru tersadar bahwa tujuan awal ia bekerja adalah menafkahi keluarga agar mereka semua bahagia. Sayangnya, saat keasyikan bekerja ia kemudian lalai dengan kebahagiaan keluarga yang tak hanya bisa dinilai dengan uang dan nafkah lahir.

Oleh karena itu, bekerja harus dilakukan dengan sadar: untuk apa ia bekerja dan sejauh apa kemampuannya untuk bekerja. Bekerja kiranya adalah sarana, bukan tujuan. Maka jika tujuan di luar bekerja itu bisa diwujudkan, tentu jangan sampai aktivitas bekerja malah merusak tujuan awal. Demikian pula dengan mengukur kemampuan. Jika memang sadar kekuatannya belum digunakan secara maksimal maka ia harus terus memompa agar segala kemampuan dapat dihadirkan. Namun, harus dilihat juga keadaan fisik dan mental. Jika memang sudah tak sanggup maka tentu harus tahu diri agar tidak malah membahayakan diri. Intinya, harus terjadi keseimbangan. Bagaimana mengatur keseimbangan, kesadaran dirilah yang menjadi penilainya.[]

Masjid Attarbiyah, 27 April 2013