Friday, July 29, 2016

Galau karena Tadarus Al Quran

Alhamdulillah berada di tengah-tengah orang yang suka beribadah. Team Site Leader dari Malaysia juga rajin mengajak shalat maktubah berjamaah. jadilah salah satu ruangan di TS2 ini menjadi mushola. Berawal dari ngobrol soal keislaman, kemudian diputuskan bersama untuk menambah kegiatan, berupa tadarus/mengaji Alquran setiap selesai shalat isya.

Sesuai ajaran kitab Ta’limul Muta’allim, di mana saat memulai pembelajaran ada baiknya dimulai pada malam/hari Ahad atau Rabu maka diputuskan tadarus dimulai pada Sabtu malam Ahad, 23 Juli 2016. Dalam tadarrus itu, saya diminta memulai dengan membaca Al Fatihah dan halaman pertama surah Al Baqarah. Kemudian dilanjutkan dengan 3 member TS2 lain yang saat itu hadir.

Kembali saya bersyukur karena pernah nyantri di Kudus dan belajar membaca Al Quran kepada para ahlinya. Bersyukur pula karena menghabiskan masa kecil di Pujut, desa yang secara tradisi “memaksa” anak-anak seusia SD-SMP untuk banyak bergelut dengan ilmu-ilmu agama Islam di sekolah sore (madrasah diniyah), dilanjutkan mengaji Al Quran pada waktu bakda magrib sampai masuk waktu shalat isya. Setiap hari.

Sehingga sebelum melanjutkan nyantri di Kudus, atau juga melanjutkan sekolah tingkat SMA/MA di kota lain, warga Pujut bisa telah 2 kali khataman Al Quran di hadapan para ustadz yang dengan ikhlas berbagi ilmu tilawahnya. Khataman pertama bisa diselesaikan saat masih usia SD dengan menghadap pada ustadz di masjid atau mushola-mushola yang tersebar di berbagai titik di Pujut.

Khataman kedua biasanya didapatkan dari ustadz atau kiai yang dianggap lebih mumpuni lagi bacaan Al Qurannya, di masjid desa, setiap usai shalat shubuh. Juga setiap hari. Khataman kemudian dirayakan pada penutupan Pengajian Rutin Selasa yang setiap tahunnya digelar pada bulan Sya’ban. Perayaan mungkin sekadar menampilkan rasa syukur, tahadduts bin ni’mah, selain sebagai “uji mental” karena para santri yang telah khatam itu diminta membaca surah Adh Dhuha hingga An Nas di hadapan ratusan jamaah yang tidak hanya berasal dari desa Pujut.

Rasa syukur ini sangat terasa bila kemudian merantau ke sekitar kota besar, atau bahkan ke luar negeri seperti saat di Iligan City ini. Saat merantau di Jakarta, kemudian masuk ke kantong-kantong masjid/musola, alhamdulillah rasanya karena bacaan yang disampaikan, terutama saat tiba-tiba diminta menjadi imam shalat magrib/isya/subuh/tarawih, tidak terlalu memalukan.

Demikian pula saat menjadi TPI-IMT ini, di mana di sekeliling terdapat orang-orang yang senang dengan shalat jamaah, kemudian malah beberapa kali mendorong saya untuk menjadi imam shalat jamaah. Ditambah lagi dengan tadarus bersama setiap usai shalat isya. Dalam tadarrus itu, saya beranikan diri untuk mencoba mengoreksi cara baca—yang menurut ilmu yang saya dapat—kurang tepat. Alhamdulillah, orang yang saya koreksi menerima dengan terbuka.

Kemudian di hari-hari berikutnya malah saya tidak dapat giliran membaca Al Quran. Saya hanya diminta menyimak kemudian mengoreksi sekiranya ada bacaan-bacaan mereka yang kurang tepat, baik dari segi makhraj, tanda baca, maupun cara berhenti di tengah ayat saat napas tak kuat hingga ujung ayat. Bahkan kemudian juga ada beberapa tanya jawab mengenai cara membaca Al Quran ini.

Berkahnya menjadi warga Pujut, juga santri Kudus, bisa berbagi ilmu di tempat yang jauh dari keluarga seperti ini. Meski saya akui jika misalnya saya diberi kesempatan nyantri lagi di hadapan para asatidz dan ulama ahli Al Quran, belum tentu saya langsung diluluskan setiap kali membaca surah atau ayat tertentu. Namun, sebatas pengetahuan saya, ilmu yang pernah saya dapatkan semoga dapat bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain.

Di tengah obrolan santai, saya dapat cerita bahwa member TS2 ini umumnya memang hanya belajar Al Quran “sekadarnya”. Mereka mengakui tidak pernah mengenyam pendidikan agama Islam secara khusus, seperti misalnya madrasah diniyah atau pesantren. Salah satu member TS2 dari Brunei bahkan mengakui bahwa baru beberapa bulan yang lalu dirinya kembali bersemangat belajar membaca Al Quran, padahal mungkin usianya sudah sekitar 50-an tahun. Semangat belajar dan beribadah mereka tentu tetap harus diacungi jempol.

Saya kemudian jadi berpikir, seandainya masa kecil saya dulu tidak di Pujut, tidak nyantri di Kudus, bagaimana keadaan saya saat ini? Saya juga berpikir untuk anak-anak saya nanti. Merantau di Jakarta membuat anak-anak saya tidak mendapati “tradisi” pemaksaan mengaji seperti di Pujut. Betul bahwa ada SD Islam Terpadu di dekat rumah. Tapi saya masih merasa bahwa sekolah nonformal semacam madrasah diniyah, apalagi jika ditambah mengaji di malam hari kepada para ahlinya, menjadi ujung tombak kemampuan pembelajaran agama—khususnya membaca Al Quran.

Ingin sekali bisa mendidik anak-anak secara mandiri, tapi dengan keterbatasan waktu karena harus berangkat kerja di pagi buta dan pulang terkadang sudah malam, saya khawatir tidak cukup waktu untuk memerhatikan pendidikan agama mereka. Bagi saya, tetap madrasah diniyah dan pesantren adalah solusi paling jitu. Semoga ada jalan keluar terbaik agar anak-anak kita menjadi orang soleh.[]


Iligan City, 26 Juli 2016

Saturday, July 23, 2016

Senyaman Rumah Sendiri

Sejak sebelum berangkat ke Filipina, saya sudah mengetahui akan ditempatkan di Illigan City, tempat pos Team Site-2 berada. Menuju Illigan City, menempuh perjalanan sekitar 6 jam melalui darat ke arah utara dari Cotabato City, tempat markas besar alias Headquarter (HQ) International Monitoring Team (IMT) berada. Memang sebelum di-deployment ke pos masing-masing, seluruh personel Tim Pengamat Indonesia (TPI)-IMT, mendapatkan induction training di HQ.

Usai menyelesaikan induction training di HQ pada 8-11 Juli 2016, kami segera menuju TS masing-masing, di mana saya bersama Mayor Agus Maha (AU TNI) akan menempati pos di TS-2 Illigan City. Berangkat dengan mobil HQ sekitar pukul 09.00, kami diantar hingga sampai di sebuah rest area di Malabang. Di mobil yang sama, ada juga Mayor Bondan (Marinir TNI) yang akan diantar sampai Pagadena, kira-kira 2 jan berikutnya setelah Malabang. Waktu saat itu menunjukkan sekitar pukul 12.00. Di rest area tersebut, seorang driver TS-2 didampingi 2 petugas keamanan masing-masing satu orang dari Pemerintah Filipina dan MILF. Ketiganya menyambut kami dengan begitu ramah.


Mayor Bondan, Mayor Agus Maha, Agus Hidayat, Jamel, Roy, Efren, dan driver HQ (Dok. Agus Maha)

Untuk melepas lelah, kami pun beristirahat dulu di rest area tersebut. Kami memesankan nasi bungkus (semacam nasi bakar), ayam panggang, durian, dan yang istimewa adalah kelapa muda khas resto rest area tersebut. Istimewanya adalah kelapa muda tersebut tidak sekadar dibuka atasnya untuk memudahkan memasukkan sedotan ke dalam air, tetapi juga seluruh buah kelapanya sudah diangkat. Dengan demikian, sangat memudahkan kami untuk menikmatinya tanpa repot-repot menyendoknya usai air kelapa habis. Sungguh nikmat.


Ayam panggang, kelapa muda, dan durian. (Foto: Agus H.)

Setelah cukup kenyang menikmati hidangan tersebut—dan murah pula, kira-kira tidak sampai 300 ribu rupiah untuk 9 orang yang ada saat itu, kami pun melanjutkan perjalanan. Mayor Bondan kembali naik mobil van HQ bersama seorang sopir dan  pengawal, sementara saya dan Mayor Agus Maha menuju sebuah Fortuner yang dikirimkan TS-2.

Sesampai di pos Illigan City pada Selasa (12/7/2016) sore, langsung disambut oleh Letkol Hadi (AL Malaysia) selaku Deputy Team Site Leader Illigan City. Sambutan hangat langsung kami rasakan, misalnya dengan tangannya sendiri Letkol Hadi menawarkan sepasang sandal dalam rumah untuk kami pakai sebelum memasuki ruangan. Setelah memasuki kamar masing-masing, Letkol Hadi kemudian mengajak kami ke ruang makan. Rupanya sudah disediakan pula makan siang untuk kami. Letkol Hadi yang sedang berpuasa dengan ramah menceritakan seluk-beluk tentang TS-2, sementara kami dipersilakan sambil menikmati makan siang.

Usai shalat magrib dan isya berjamaah, Letkol Hadi menyampaikan agenda keesokan harinya, yakni  perkenalan dengan seluruh “penghuni” TS-2. Rabu (13/7/2016) pagi, kami berkumpul di teras depan rumah/kantor  TS-2. Kami berdua diberi kesempatan untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Kemudian berturut-turut memperkenalkan diri adalah Ryan (pengawal/Pemerintah Filipina atau biasa disingkat GPH), Roy (pengawal/GPH), Sowaib (pengawal/MILF), Jamel (pengawal/MILF), Efren (driver Fortuner), Tampon Keji (driver Innova), Wilfredo (tukang kebun), Emi (pembantu umum), Jane (pembantu umum), dan Tata (admin assistance/Office of the Presidential Advicer on the Peace Process atau biasa disingkat OPAPP). Letkol Hadi menambahkan bahwa ada 1 lagi pegawai yang hari itu sedang libur yakni Edit selaku tukang masak.

Dalam perkenalan itu, juga komunikasi dan interaksi sebelum dan setelahnya, kesan yang ada hanyalah keramahan. Rasanya seperti menemui keluarga sendiri saat memasuki TS-2 ini. Ada cukup perbedaan yang dirasakan dibandingkan dengan waktu-waktu lainnya saat berada di Filipina ini. Demikian pula dengan kesan yang didapat dari group whatsapp TS-2 yang berisi 6 anggota (3 militer Malaysia, 1 militer Brunei, 1 militer Indonesia, dan 1 sipil Indonesia), meski belum bertemu dengan 3 personel lainnya dari Malaysia dan Brunei, kehangatan sudah dapat dirasakan saat bertegur sapa di group WA tersebut. Tentu saja keakraban seperti ini diharapkan dapat terus dirasakan hingga misi IMT ini selesai, juga dapat dilanjutkan di kesempatan-kesempatan lainnya dan berikutnya.[]

Illigan City, 13 Juli 2016

Cotabato yang “Tak Jauh” dari Pekalongan


Ketika tiba di Bandara Cotabato, yang posisinya persis di samping Markas Besar 6th Infantry Division (6ID), rasanya kontras sekali dengan yang dirasakan di Manila. Saat menunggu koper bagasi, banyak sekali orang terlihat memakai jilbab. Ketika sampai di Bandara Manila 5 hari sebelumnya, kira-kira hanya ada 5% penumpang berjilbab. Mereka nyaris tak terlihat karena tertutup oleh paha dan dada yang berseliweran.

Saat memasuki wilayah Cotabato, atau disebut juga Cotawato (dalam bahasa lokal, bato=wato=batu), suasana “santri” cukup terasa. Dimulai dengan pemandangan di Bandara yang rasanya seperti di Bandara A. Yani, Semarang, kemudian dilanjutkan dengan alam, jalan-jalan,bangunan, dan keramaian yang rasanya tak jauh beda dengan kota Pekalongan. Hanya saja sebagai warga Indonesia patut berbangga, Pekalongan terlihat masih lebih rapi dibandingkan dengan Cotabato.

Di sepanjang jalan dari Bandara menuju tengah kota Cotaba to untuk mencari hotel, kanan-kiri terlihat ada beberapa masjid. Kira-kira tidak sampai 300 meter usai meninggalkan bangunan Bandara pun di kiri jalan sudah tampak masjid. Hanya saja, mengingat sepertinya kemakmuran Cotabato masih harus mengejar kota-kota selevel di Indonesia, termasuk Pekalongan, maka masjid-masjid yang ada pun rasanya juga harus dipoles. Padahal, Cotabato disebut-sebut sebagai tempat kelahiran para saudagar muslim asli Mindanao.

Ada satu masjid besar yang berdiri di Cotabato, tepatnya di pinggiran kota, yaitu The Sultan Haji Hassanal Bolkiah Masjid, atau juga dikenal sebagai the Grand Mosque of Cotabato. Masjid ini disebut-sebut sebagai masjid terbesar di Filipina. Maklum, Cotabato menjadi pusat keislaman di Mindanao dan Mindanao adalah pusat keislaman di seluruh Filipina. Jika kita mengharapkan masjid terbesar itu ada di ibukota, Manila, tentunya masih harus bersabar menunggu saudagar lain seperti Sultan Brunei yang mau membangunnya.



Grand Masjid ini pun jika dibandingkan dengan masjid Al-Fairus di Pekalongan, yang dibangun oleh keluarga H. Abdullah Mahcrus, pengusaha lokal Pekalongan, sepertinya tidak unggul jauh. Hanya saja, mengingat keberadaannya di Filipina yang mayoritas penduduknya nonmuslim, tentu pengurusan pembangunan—apalagi dibangun oleh pihak asing—dan perawatannya juga menghadapi banyak tantangan. Itulah salah satu keistimewaan masjid ini.

Untuk menggerakkan dan memakmurkan masjid, dibentuk sebuah Executive Board yang saat ini kepemimpinannya dipegang oleh Alim Nour. Di Filipina, alim digunakan untuk sapaan bagi ahli agama Islam lulusan luar negeri, sedangkan mereka yang “hanya” bersekolah atau mengaji di dalam Filipina dipanggil ustad. Alim Nour menamatkan pendidikannya di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi dan kini juga menjadi salah satu pentolan MILF. Saat Tim Pemantau Indonesia-IMT/Konga XXXIV-E melakukan courtesy call kepada Chairman MILF, Alhaj Murad Ibrahim, di Camp Darapanan, Alim Nour juga turut mendampingi.

Keberadaan masjid terbesar ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal. Saat kami melakukan shalat jumat dan beberapa hari kemudian shalat duhur berjamaah, tampak banyak orang datang menggunakan mobil angkutan umum yang disewa (bukan rutenya). Saat berbincang dengan local staff HQ IMT, diketahui bahwa para penziarah ini sepertinya datang dari wilayah yang cukup jauh dari Cotabato. Hal itu karena dialek yang terdengar dari pembicaraan mereka konon bukanlah dialek yang banyak digunakan di Cotabato.

Selain penampakan masjid-masjid yang mungkin masih harus “belajar”dari Indonesia, atau bisa saja sebut satu kota, Pekalongan, mungkin Cotabato juga mesti belajar soal pengelolaan hotel. Di kota “sebesar” Cotabato, hanya ada 3 hotel bintang tiga saat ini, yaitu Hotel Al Noor yang terletak satu kompleks dengan Mall Al Noor, Hotel Em Manor, dan Hotel (?) Pacific Heights. Satu hotel yang disebut pertama konon adalah yang terbaik di antara ketiga hotel berbintang ini. Sayangnya, kami TPI-IMT Angkatan ke-5 Militer/ke-9 Sipil belum sempat bisa merasakannya.

Saat pertama kami datang dari Bandara, kami langsung diajak oleh OPAPP (Office of Presidential Adviser on the Peace Process), lembaga pemerintah Filipina yang menjadi fasilitator IMT, ke Pacific Heights. Konon disebut sebagai bintang 3, tetapi kesan yang muncul dalam benak kami adalah sebuah gua yang lama tak dihuni. Kurang pencahayaan, air yang kadang mati, dan tidak terlalu ramai pengunjung juga. Hanya ada 3 lantai dan mungkin tak lebih dari 30 kamar tersedia, tapi sepertinya tak pernah penuh. Konon, malah ada cerita salah satu ruangan di lantai 1 beberapa tahun sebelumnya menjadi saksi pembunuhan dengan penembakan atas sebuah keluarga yang tengah bermalam. Ngeri!

Meski begitu, makanan yang disajikan Pacific Heights cukup sesuai selera kami bangsa Indonesia. Karena itu, meski kemudian pindah ke hotel lain, dalam hal ini Hotel Em Manor, “katering” makanan kami tetap dimintakan ke Pacific Heights. Sarapan pagi tetap mengambil di hotel tempat tinggal, sedangkan makan siang dan makan malam selalu “merindukan” Pacific Heights Resto (sayang rasanya untuk menyebut kata “hotel”).

Sebelum pindah ke Hotel Em Manor setelah 2 hari bermalam di Pacific Heights, sebetulnya sudah dijajaki juga untuk menginap di Hotel Al Noor, namun diurungkan karena mendapatkan kabar jika OPAPP saat ini sedang kesulitan diterima manajemen Hotel Al Noor. Konon, hal itu karena masalah keuangan yang belum diselesaikan kedua belah pihak secara clear. Padahal, sejak sebelum ke Filipina, TPI-IMT selalu mendapatkan cerita-cerita mengenai kelebihan Hotel Al Noor, yang terutama karena satu kompleks dengan mall, mengingat betapa susahnya mencari hiburan di Filipina Selatan ini.

Di Cotabato sendiri hanya ada 2 mall. Selain Mall Al Nor yang belum berfungsi 100% karena belum selesai pembangunannya, ada Mall Cotabato City yang lebih dulu eksis. Namun, lagi-lagi, mall ini sepertinya masih sebesal-dua belas soal kebesaran dan keramaian dibandingkan dengan Plaza Pekalongan dan Ramayana Pekalongan. Belum lagi Pekalongan masih memiliki Sri Ratu (yang saat ini sedang tidak diaktifkan) dan Carefour.

Kemiripan lain juga terjadi dalam hal kemacetan. Saat pagi dan sore, berkendara di Cotabato juga mesti sabar, sama seperti di Pekalongan. Pekalongan mungkin lebih macet karena dilalui oleh jalur Pantura yang dilewati ratusan atau bahkan ribuan bus dan truk besar. Hanya saja, jika ingin semakin menaikkan pamornya di atas Cotabato, Pekalongan harus membangun sebuah: bandara![]

Iligan City, 23 Juli 2016

Manila ya Jakarta

Saat pertama tiba di Manila, Sabtu (2/72016) pagi, suasana terasa tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Karena datang saat weekend, Bandara pun tampak sepi. Memang Bandara Ninoy Aquino masih cukup jauh dibandingan dengan luas lahan dan keramaian Bandara Soekarno-Hatta. Hanya saja, rasa-rasanya, ketika mendarat itu, seperti tidak sedang berada di negara lain.

Wajah orang-orang, pakaian mereka, keramahan yang ditampilkan, nyaris persis seperti Jakarta. Hanya bahasa yang mungkin terdengar asing di telinga. Namun saat mendengar mereka bercakap-cakap bahasa Inggris, maka nyaris kita tidak akan ingat bahwa kita tidak sedang berada di tanah air; karena di Indonesia pun sudah semakin banyak yang berbincang dengan bahasa Inggris.

Dari segi penggunaan bahasa Inggris, persentase penduduk Indonesia sepertinya memang masih kalah dibandingkan dengan Filipina. Di Filipina, atau khususnya di Manila, bagian mana pun, rasa-rasanya tidak sulit untuk berkomunikasi dengan penduduk setempat, dengan bahasa Inggris. Hanya saja, saat kita membiarkan mereka yang memulai percakapan, maka siap-siaplah kita bengong sekian detik dulu.

Maklum, mereka juga tak akan menyangka kita—warga Indonesia pada umumnya—adalah warga asing. Mereka pun, sama seperti saya, mengira orang yang dihadapinya adalah berasal dari negara yang sama. Karena itu, dengan mudah dan pedenya mereka akan nyerocos dengan bahasa lokal, entah Tagalog atau bahasa lokal mereka.

Entah sudah berapa warung atau supermarket yang saya masuki, kemudian kasir dengan santainya nyerocos entah maksudnya apa. Jika ia tak melihat saya kebingungan, maka dia akan terus berbicara dengan “bahasa planet” itu. Saat kita ucapkan, “English please,” barulah biasanya ia akan memerhatikan wajah kita kemudian tertawa kecil menyadari orang yang dihadapinya bukanlah seorang Pinoy.


Salah satu sudut kota Manila yang tampil rapi nan bersih. (Dok. Agus Hid)

Setelah dijemput oleh staf lokal di Bandara Ninoy, kami pun dibawa ke KBRI di kawasan tengah kota, Makati. Melihat sekeliling, saya pun kagum dengan Filipina, khususnya Manila, lebih khusus lagi Makati ini. Kesan yang tertangkap adalah rapi, bersih, disiplin. Jalanan yang cukup luas dengan trotoar lebar dan tampak rapi. Nyaris tak terlihat sampah di jalanan ataupun pojok-pojok bangunan. Orang yang lalu lalang pun, baik jalan kaki maupun naik kendaraan, terlihat disiplin dengan aturan dan rambu yang ada.

Saat diajak berjalan-jalan ke Makati Square, kira-kira 1 km saja dari KBRI, rasanya tidak asing. Seperti tengah berada di ITC Cempaka Mas atau Glodok. Hanya saja dari segi ukuran, Makati Square tentu masih kalah jauh. Namun, suasana yang didapat nyaris persis. Oia, ada perbedaan mencolok lain sebetulnya, di mana para penjaga di pos pemeriksaan pintu masuk Makati Square menenteng senjata, ada pistol ada senapan laras panjang. Mungkin karena senjata boleh dimiliki secara legal di Filipina sehingga para mall, bahkan toko-toko seperti Seven Eleven dan semacamnya pun dijaga petugas bersenjata api.

Baru saat hari berikutnya, Senin (4/7/016) hendak membayar zakat, Manila secara lebih utuh mulai didapat. Mengingat pengumpulan zakat di Masjid At-Taqwa KBRI Manila sudah ditutup dan malah sudah didisitribusikan, kami pun mencari tempat lain untuk membayar zakat fitrah. Muncullah alternatif amil zakat di Blue Mosque, pinggiran kota Filipina. Cukup menjadi PR untuk menuju ke sana dari KBRI, meski dari jarak sebenarnya hanya berkisar belasan kilometer. Itu karena macet—sama seperti Jakarta—dan harus melalui jalanan kampung di pinggiran ibukota yang tidak seperti Makati: rapi, bersih, luas. Kekaguman atas Filipina atau Manila pun kemudian meluntur: ah, sama saja, persis seperti Jakarta di mana ada kawasan elit dan kawasan tidak elit.


Membayar zakat di Blue Mosque. (Dok. Agus Hid)

Selain soal tentengan senjata, perbedaan lain adalah soal pakaian. Meski di Jakarta atau Indonesia juga cukup banyak gadis, ibu-ibu, atau bahkan nenek-nenek berpakaian minim, tapi sepertinya masih “kalah” dibandingkan Manila atau Filipina. Sungguh-sungguh godaan berat saat harus keluar di siang hari berkeliling kota, apalagi mall, Manila, di tengah waktu puasa pula. Pakaian-pakaian minim itu juga sepertinya menunjukkan “keterbukaan” mereka dalam pergaulan. Konon, melihat keramahan penduduk Filipina, akan sangat mudah untuk dekat dengan mereka, termasuk lawan jenis. Selanjutnya, bisa terserah Anda.

Ya, keramahan mereka memang begitu terasa. Saat coba saja masuk gerai Seven Eleven atau semacamnya, maka hampir selalu security yang menenteng senapan api itu akan ramah menyapa, kemudian mungkin juga mengajak ngobrol. Tidak ada beda laki-laki atau perempuan, sama atau beda jenis, mereka begitu ramah. Apalagi setelah mengetahui bahwa kita dari Indonesia, mereka sepertinya semakin hormat, atau tertarik, entahlah.[]

Illigan City, 16 Juli 2016