Setahun lalu, pemilu raya PPMI begitu semarak. Calon presdiennya saja ada 4. Seakan tak mau kalah ramai, saya pun iseng-iseng menuliskan sebuah prediksi. Apa yang ada dalam hati saya, berdasarkan pengamatan waktu itu, saya curahkan dalam tulisan. Hasilnya, saya urutkan perkiraan perolehan suara pemilu raya PPMI.
Aneh bin ajaib, secara tidak sengaja, setelah penghitungan suara yang dilakukan beberapa hari setelah tulisan saya muncul, hasilnya benar-benar sesuai dengan prediksi yang saya tulis, persis! Tentu itu suatu kebetulan belaka.
Tahun ini, oleh redaksi Informatika, saya kembali didaulat untuk berpura-pura kembali menjadi dukun; memprediksi kira-kira siapa pemenang di antara 3 capres PPMI yang ada sekarang ini. Saya mencoba menolak mengingat kesibukan pribadi saya akhir-akhir ini. Apalagi, beberapa hari lagi saya harus memberikan laporan pertanggungjawaban KSW.
Tapi saya pikir, asyik juga rasanya bergelut dengan prediksi, perkiraan atau ramalan semacam itu. Oleh karenanya, saya tetap mencoba mengumpulkan huruf demi huruf, kata demi kata dan menjadi kalimat atau alinea yang kemudian (akan) saya beri judul "Capres Kita, Dua Lawan Satu?".
Barangkali menjadi kekhilafan saya, karena sebelum ini pernyataan saya sudah tampil dalam iklan seorang capres. Namun, seperti tahun lalu, tahun ini pun apa yang saya tulis memang dari pikiran saya sendiri. Menjadi pandangan pribadi saya, pengamatan yang memang sangat subyektif dari apa yang saya lihat selama ini.
Menurut saya, persaingan di antara 3 capres sekarang ini akan tetap seru. Tapi kiranya tahun ini juga tidak jauh beda dengan tahun sebelumnya, bahwa persaingan yang sebenarnya adalah di antara 2 capres saja. Satu kursi persaingan panas barangkali sudah menjadi milik calon nomer 3, Nur Fuad Shofiyullah, yang kampanye dengan jargon andalannya: anti status-quo.
Sementara 1 kursi lagi saya sendiri masih meraba-raba saja antara calon nomer 1 (Ahmad Yani, Lc.) atau nomer 2 (Al-Fakhri). Karena menurut saya, keduanya merupakan representasi dari teman-teman tarbiyah yang selama 4 tahun terakhir ini bisa selalu unggul dalam perebutan PPMI-1.
Berdasarkan pengalaman tahun 2002, dimana saya ikut menjadi panitia pemilu raya, pernah ada 2 calon dari satu kalangan teman-teman tarbiyah itu, tapi nyatanya yang memang benar-benar akan digolkan menjadi penguasa kursi PPMI-1 hanya satu calon saja. Sementara satunya lagi, memang menjadi bahan strategi tersendiri.
Tahun ini, saya kira juga tidak jauh beda strateginya. Apalagi mereka juga punya pengalaman tahun 2004, dimana Suhartono TB., Lc. menjadi calon tunggal presiden PPMI waktu itu. Menurut pengalaman 2004 itu, tentu saja sangat disayangkan tidak ada yang berani melawan Suhartono. Bukan apa-apa, jika terjadi hal yang sama (calon tunggal) ditakutkan legitimasi terhadap presiden terpilih menjadi kurang kuat. Kalau sudah ada saingan, baru legitimasi menjadi semakin kuat, dan tentunya tantangan juga semakin terasa. Nah, di sinilah kemudian —menurut saya— teman-teman tarbiyah ini mengajukan 2 calon, jaga-jaga jika seandainya benar tak ada calon dari orang selain mereka.
Namun ternyata, setelah 2 calon ini mendaftar, ada satu lagi calon yang datang ke PPSU. Jadilah ada 3 calon presiden PPMI periode 2006-2007. Dengan adanya 1 saingan ini, saya yakin mereka punya strategi khusus untuk menghadapi calon terakhir, Nur Fuad.
Menurut hitung-hitungan saya, jumlah kader teman-teman tarbiyah selalu meningkat dari tahun ke tahun. Kalau Suhartono mendapatkan sekitar 400 suara pada 2004, lalu Rio Erismen pada 2005 berhasil mendulang sekitar 600 suara, maka tahun ini, antara Ahmad Yani atau Al-Fakhri saya perkirakan akan mendapatkan suara sekitar 700-800. Jelas sudah, jika tim sukses Nur Fuad hendak menaikkan jagoannya ke kursi PPMI-1, maka harus dapat mengumpulkan suara —jika ingin aman— di atas 800.
Mengapa 800? Karena sudah jamak diketahui bahwa teman-teman tarbiyah amat besar militansinya terhadap calon mereka. Jika sudah mengusung satu nama (sementara yang satu sebagai taktik untuk memecah suara lawan misalnya), maka satu calon itu akan mendapat dukungan penuh dari seluruh kader. Tidak ada yang bisa meragukan itu, terbukti kemampuan mereka dalam menyikat hampir seluruh suara Masisir pada Pemilu Legislatif 2004, Pemilu Raya 2004, Pilpres RI 2004, lalu pemilu Raya 2005. Suara mereka terbukti solid dan tak ada yang bisa menandingi.
Lalu, bagaimana peluang Nur Fuad, apakah sudah tertutup? Bagi saya, belum! Masih ada beberapa varian yang bisa menjadi faktor pendukung kemenangan Ketua IKPM ini. Pertama, kepemimpinannya di IKPM. Saat ini, anggota IKPM berjumlah sekitar 400 orang. Jika rasa memiliki terhadap PM Gontor masih lekat pada para alumninya yang di Mesir ini, maka tim sukses Fuad memiliki kans besar untuk menggiring 400 suara agar memilih Nur Fuad. Tentu kalau dengan 400 suara saja, masih amat jauh langkah untuk bersaing dengan Ahmad Yani atau Al-Fakhri.
Kedua, popularitas Nur Fuad. Dibanding dua calon lain, saya kira Nur Fuad lebih populer. Apalagi, acara Gelar Mahakarya Seni IKPM akhir Maret lalu benar-benar membius Masisir. Sejak saya di Mesir tahun 2001, tak pernah ada acara yang mampu mengundang audien sebanyak Gelar Mahakarya Seni itu. Maka, kalau seluruh hadirin pada Gelar Mahakarya Seni itu bisa kembali datang ke tempat pemungutan suara (TPS) mendukung Nur Fuad, Ahmad Yani dan Al-Fakhri tentu tak bisa hanya mengandalkan suara dari kalangan mereka sendiri.
Ketiga, pengalaman. Sebenarnya, kalau pengalaman di DPP PPMI secara langsung, yang paling unggul adalah Ahmad Yani, karena sekarang pun masih menjabat sebagai salah seorang Menko. Tapi kalau hitung-hitungan pengalaman berkecimpung di organisasi, sesuai informasi yang ada di situs ppmimesir.info, maka Nur Fuad lebih unggul. Kalau lebih mengerucut menjadi top leader organisasi, maka Nur Fuad juga masih unggul, disusul Al-Fakhri yang sebelumnya menjabat Ketua KMM, baru Ahmad Yani.
Keempat, semangat perubahan. Hampir semua maklum bahwa Ahmad Yani atau Al-Fakhri adalah penerus rezim Saiful Bahri, Suhartono dan Rio Erismen. Jika mayoritas Masisir menginginkan suasana yang tidak jauh berbeda dan puas dengan yang selama ini ada, maka kans Nur Fuad yang mengusung terma anti status-quo tentu mengecil.
Tapi kalau mayoritas Masisir ingin perubahan —dan sejauh pengamatan saya selama ini yang menguat adalah itu— maka Nur Fuad punya peluang besar untuk berkantor di 8 Wahran St. Tapi tentu tidak mudah menggiring minimal 800 orang untuk datang ke TPS. Apalagi, selama ini juga sudah amat maklum kalau mereka yang menginginkan perubahan tidak semuanya bertindak konkret dengan mencoblos capres pilihan mereka. Kebanyakan hanya bisa menolak capres tertentu, tapi juga tak datang ke TPS untuk memilih salah seorang yang dapat mereka anggap sebagai agen perubahan mereka.
Nah, di sinilah tantangan tim sukses Nur Fuad agar mampu meyakinkan mereka yang menginginkan perubahan, bahwa jika benar-benar ingin perubahan, Nur Fuad lah sosok yang tepat untuk diberi mandat. Ini bukanlah tugas enteng, karena sekali lagi saya perkirakan bahwa tanpa kampanye pun, Ahmad Yani atau Al-Fakhri kiranya sudah mendapat jaminan minimal memperoleh 700 suara.
Adalah suatu pertarungan hebat, jika tim sukses masing-masing kandidat berebut pada 3000-an suara mengambang. Yang pasti, yang saya harapkan adalah persaingan fair play, menjunjung tinggi demokrasi dan kejujuran. Siapapun calon yang kelak terpilih, semua harus legawa dan ikhlas menerima. Atau, ada yang bersiap jadi oposisi? WalLâhu a‘lam.
*Dimuat dalam buletin informatika, 1 Agustus 2006
No comments:
Post a Comment