Tuesday, December 30, 2008

3 Doa 3 Cinta; Kampanye Islam Moderat

Sebuah tontonan berkualitas kembali hadir di layar lebar. Kali ini mengangkat seluk-beluk dunia pesantren tradisional, suatu komunitas yang menjadi salah satu kekuatan Islam—terutama di pulau Jawa. Tidak tanggung-tanggung, duet Nicholas Saputra-Dian Sastrowardoyo yang menjadi pendongkrak kebangkitan perfilman Indonesia melalui ”Ada Apa dengan Cinta” (2001) dihadirkan guna mendukung film ini.

Konon, film ini telah cukup lama diproduksi, tetapi malah terlalu sibuk mengikuti festival-festival film di mancanegara sehingga baru sekarang ini dapat dinikmati para pencinta bioskop tanah air. Melihat wajah Dian dan—terutama—Nicholas yang terlihat masih lugu, rasanya memang dapat dimaklumi jika film itu sebenarnya tidak diproduksi sebelum kurun setahun terakhir ini. Kecuali, jika hal itu memang efek dari kelihaian para penata rias.

Dunia pesantren tradisional yang belakangan ini agak kerepotan menahan laju pertumbuhan pesantren modern dipotret dengan apa adanya oleh Nurman Hakim, sutradara film ini. Mengambil setting di sebuah kampung di pedalaman Yogyakarta, film ini mengetengahkan kehidupan kaum sarungan secara gamblang.

Jelas terekam dalam film ini bagaimana rupa pesantren yang konon bisa mencetak ulama-ulama panutan umat. Di dalam bangunan amat sederhana berdinding kayu atau anyaman bambu, santri-santri tidur beralaskan tikar. Barangkali hal seperti itu semakin jarang ditemukan, tetapi sesungguhnya masih banyak yang lebih ngenes daripada itu, di mana terkadang santri tidur tanpa alas ataupun bantal. Masih lumayan juga dalam film itu terdapat sekat berupa kain di antara kamar-kamar yang berisi masing-masing 3-4 orang. Karena bahkan di beberapa pesantren salaf yang telah memiliki bangunan beton kukuh pun ada kamar-kamar berukuran kira-kira 8 x 8 meter diisi puluhan orang tanpa satu sekat pun.

Untuk melengkapi fenomena yang terjadi di dunia pesantren, sang sutradara dengan beraninya menampilkan gambaran kenakalan para santri, seperti ”budaya” merokok—dengan mencuri-curi waktu tentunya, juga keluar malam sekadar untuk minum kopi di warung warga perkampungan, menonton televisi, menelpon orang tua di wartel, atau menonton pasar malam dan dangdutan. Bahkan, kenakalan tingkat tinggi sekelas sodomi alias homoseks pun ditampilkan secara blak-blakan. Hanya saja, dengan cerdas sang sutradara mengakhirinya dengan apik: pelaku sodomi—yang ditampilkan sebagai sosok santri senior yang karenanya ditakuti yunior-yuniornya—akhirnya diusir setelah sang korban berani menceritakan kejadian tak senonoh itu kepada teman-temannya.

Demi menambah kesemarakan film ini, potret-potret konyol pun tak jarang ditampilkan. Di antaranya seorang santri yang dengan nikmatnya tertidur saat sujud terakhir dalam suatu jamaah shalat subuh. Ada pula keluguan Huda (Nicholas) yang diam saja saat bibirnya dicium Dona (Dian Sastro) sang penyanyi dangdut, tetapi kemudian cepat-cepat beristighfar dan segera menundukkan kepalanya. Selain itu, ada pula gambaran santri yang rutin mengendap-endap mengintip lawan jenis; bukan, bukan sedang mandi, si lawan jenis hanya berdiri biasa di kamar atau pekarangan rumahnya.

Ada juga tampilan yang mengetengahkan budaya yang erat dipegang sebagian kiai alias pemimpin pesantren: poligami. Namun, lagi-lagi dengan sangat baik sutradara film ini menghadirkan counter demi menjaga image pesantren; sesungguhnya tidak semua pemimpin pesantren doyan mengoleksi istri, betapa pun itu halal dan sah-sah saja. Tokoh kiai utama dalam film berdurasi 114 menit ini pun tidak mau berpoligami hingga akhir hayatnya, meski keinginan memiliki anak laki-laki tak jua kesampaian.

Karena berlatar dunia pesantren, tak lupa sang pembuat film menanamkan nilai-nilai religius. Di antaranya tuntunan melakukan hubungan suami-istri yang baik: berdoa dan bersalaman terlebih dahulu sebelum sang istri ”menyerahkan diri”. Nilai terdalam dari kitab-kitab salaf nan klasik juga turut ditampilkan: jika ingin anak laki-laki, cobalah meletakkan bantal di bawah pantat istri saat sang suami melakukan penetrasi. Tentu saja tuntunan itu tidak dipertontonkan secara vulgar, malah dengan konyolnya diselingi dengan potret-potret lain yang membuat penonton mencukupkan diri mengambil nilai religius tanpa melihat adegan mesum.

Doa Tiga Santri

Kekurangan film ini barangkali terbatas pada terlalu banyaknya potongan-potongan yang dipotret sehingga terkesan tidak fokus ingin memotret bagian mana. Meski begitu, hal itu bisa saja terbantahkan oleh judulnya: menceritakan tiga santri dengan tiga doa mereka.

Secara umum film ini memang menceritakan tiga santri yang berteman akrab. Huda, Rian (Yoga Pratama), dan Syahid (Yoga Bagus) setiap awal tahun hijriah selalu berkumpul di salah satu pojok lingkungan pesantren, menuliskan doa atau target yang akan mereka bidik setahun ke muka. Mereka menulis dengan huruf-huruf Arab sehingga terkesan sangat natural. Hingga tahun terakhir mereka mondok, Huda selalu menuliskan nama ibunya, sementara Rian terakhir berkeinginan mendirikan studio fotografi, sedangkan Syahid, sesuai namanya, ingin mati syahid di jalan Allah—di sini dengan cantiknya ditampilkan model lain dunia pesantren: Islam radikal—sebagai ujung keikutsertaannya dalam pengajian di sebuah surau tak jauh dari pondok mereka.

Saat lulus dari pesantren, Huda pun nekat berangkat ke Jakarta mencari ibunya, setelah sebelumnya meminta bantuan Dona untuk mencarikan alamat ibunda tercinta. Huda melakukannya diam-diam agar tidak ketahuan sang kiai yang mengharapkannya menetap saja di pesantren untuk dijadikan menantu dan meneruskan tongkat kepemimpinan pesantren itu. Hanya beberapa hari di Jakarta, Huda tidak kuasa menahan tangis setelah mengetahui bahwa ibundanya ternyata seorang wanita penghibur. Lebih menyesakkan lagi karena ternyata orang yang selalu dirindukannya itu telah meninggal dunia setahun sebelumnya. Itu artinya sama dengan kurun waktu dari surat terakhir yang diterimanya.

Sementara itu, Rian, yang mau dibujuk sang ayah untuk masuk pesantren dengan syarat dibelikan handycam mendapat kejutan dari ibunya. Kejutan pertama berupa kiriman handycam yang bahkan dia sendiri telah lupa syarat itu. Ia senang bukan kepalang. Namun, kejutan kedua membuatnya shock: ibunya datang membawa ayah baru untuk Rian. Rian pun berontak karena merasa ibunya terlalu cepat menikah lagi; belum setahun dari kematian ayah Rian. Rian pun memutuskan tidak mau pulang ke rumah ibunya di Surabaya dan merajuk untuk ikut pada pemilik usaha layar tancap yang biasa ditontonnya.

Adapun Syahid terus bersedih karena ayahnya tidak juga sembuh dari penyakit kronis yang membuatnya terbaring lama di rumah sakit. Untuk membayar biaya rumah sakit, mereka pun terpaksa menjual sawah. Calon pembeli hanya seorang asing warga negara AS, itupun dengan harga murah—paling tidak menurut Syahid. Tak pelak hal itu makin membuat Syahid membenci orang asing yang diyakininya sebagai kafir Yahudi yang akan selalu memusuhi Islam. Ditambah dengan intensitas bergaul dengan orang-orang Islam radikal, Syahid malah kemudian membaiat diri untuk ikut menjadi calon syahid yang siap mengorbankan diri ”demi tegaknya Islam” atau ”demi hancurnya musuh (?) Islam”.

Hanya saja, suatu ketika Syahid mengetahui bahwa justru warga asing itulah yang membayar lunas semua biaya rumah sakit yang tak cukup dibayarnya dengan hasil menjual sawah. Ia pun segera insyaf dan menyatakan keluar dari barisan calon syahid, meski hal itu harus dibayarnya dengan dikucilkan dari ustadnya di surau luar pondok itu.

Namun, rupanya langkah Syahid sedikit terlambat karena pergerakannya telah lama diintai intel. Ia pun digelandang ke kantor polisi, bersama sang kiai, Huda, dan Rian karena wajah mereka semua muncul dalam kaset rekaman yang penah digunakan Syahid untuk ”menyatakan perpisahan” dengan kaum muslimin. Mereka semua ditahan, meski akhirnya hanya Syahid yang divonis penjara.

Di akhir film, Huda memang akhirnya menjadi penerus sang kiai setelah mempersunting putri kiai. Rian pun dapat mewujudkan impiannya memiliki usaha shooting film acara pernikahan. Adapun Syahid keluar dari penjara tepat saat pernikahan Huda. Mereka pun berkumpul lagi, mengenang masa-masa menuliskan cita-cita mereka saat masih sama-sama mondok.[]

Kos Cempaka Warna, 30 Desember 2008 - 2 Januari 2009

Thursday, November 27, 2008

Tentang "Ketika Cinta Bertasbih" (2)


Baru saja saya mendapat kabar bahwa syuting film "Ketika Cinta Bertasbih" (KCB) di Mesir telah usai. Rombongan yang dipimpin sutradara kawakan, Chaerul Umam, dan disimak langsung oleh sang penulis novel, Kang Abik, pun telah kembali ke tanah air. Menurut produser film ini, KCB bakal lebih booming daripada AAC. Barangkali salah satu kelebihan sekaligus daya tarik film ini dibandingkan AAC dalah bahwa film itu didominasi setting Mesir. Berbeda dengan AAC yang justru "menembak" sungai di India untuk dijadikan sebagai Nil yang terkenal itu.

Itu memang salah satu keunggulan yang kiranya bakal menyedot rasa penasaran audiens. Hanya saja, saya kira sebenarnya dari segi cerita, novel KCB ini tidak bisa diunggulkan dibandingkan dengan AAC. Bukti paling konkret kiranya dapat kita lihat dari angka penjualan KCB yang--konon--masih di bawah novel AAC.

Kelebihan lain yang dimiliki buku ini, tokoh utama lebih “membumi”. Banyak yang mengatakan bahwa Fahri dalam AAC laksana malaikat—karena memang seperti sosok sempurna. Sisi kesempurnaan Fahri dalam AAC terkurangi dalam sosok Azzam dalam KCB. Namun, tetap saja rasanya Kang Abik “konsisten” dengan bayang-bayang sosok teladan yang harus ditiru pemuda masa kini: ulet, pekerja keras, dan pantang menyerah.

Sama seperti AAC, KCB juga mengandung banyak hikmah. Kaya dengan nasihat-nasihat, baik yang tersurat maupun tersirat. Bahkan, dalam bab tertentu tanpa sungkan Kang Abik menukilkan kutipan dari kitab karya ulama klasik. Kitab tasawuf terkenal misalnya, Al-Hikam dinukil dan diterangkan begitu panjang lebar.

Selain itu, ilmu-ilmu dalam bidang lain juga sempat diselipkan di antara jalan cerita. Psikologi, fisika, bahkan ilmu titen yang banyak dipakai orang-orang Jawa kiranya dapat turut memperluas wawasan pembaca. Ada juga puisi-puisi yang terangkai begitu indah, baik karya Kang Abik sendiri maupun kutipan dari para pujangga. Dan dengan jujur, Kang Abik menyebutkan sumber kutipan—jika memang mengutip dari orang lain.

Kelas Kang Abik dalam KCB begitu kentara dalam buku kedua dari dwilogi ini. Di episode klimaks dan antiklimaks, Kang Abik sangat pandai memainkan emosi pembaca. Saat membaca buku kedua, kita akan dengan mudah merasuk menjadi sosok-sosok yang seakan terlibat langsung dalam jalan cerita.

Perbedaan cukup mencolok terlihat jika dibandingan dengan buku pertama. Bahkan, bisa jadi muncul prasangka, akankah buku ini sekadar “proyek” dua jilid? Maklum, inti cerita hampir semua terkumpul dalam episode kedua. Pada buku pertama, kelihatannya terlalu banyak “bunga-bunga” tulisan yang sebenarnya tidak perlu. Memang, jika “bunga-bunga” itu tidak dicantumkan, barangkali untuk dijadikan satu jilid masih terlalu tebal. Namun, alangkah indahnya jika “bunga-bunga” yang ada dapat lebih “dikendalikan” sehingga tidak mengurangi kehebatan novel ini.

Pada jilid pertama juga, terdapat deskripsi alam yang bertele-tele sehingga membuat kesan kurang renyah dibaca. Hal ini bukannya memperindah dan memperlihatkan kelihaian Kang Abik memainkan kata-kata, melainkan justru mengurangi bobot buku ini.

Kekurangan lain buku ini, yaitu masih cukup banyak kesalahan penulisan ‘salah ketik’, padahal yang saya baca adalah cetakan kelima. Masih bisa ditoleransi barangkali jika sekadar kurang satu-dua huruf atau titik-koma. Namun, kesalahan cukup fatal sempat terlihat dalam penyebutan nama orang.

Secara umum, novel KCB ini memang layak diangkat menjadi tontonan di layar lebar. Kita lihat saja nanti, akankah Azzam mampu mengalahkan popularitas Fahri? Dalam versi buku, Azzam masih kalah populer, bagaimana dengan versi film? Kita tunggu saja![]


Ruang Produksi, 28 November 2008

Sunday, October 26, 2008

Perubahan Daftar Harga Great Sale Pena


Melihat maraknya pengunjung yang datang ke arena Great Sale dan banyaknya permintaan tambahan diskon, manajemen Pena akhirnya dengan berbesar hati menurunkan harga beberapa buku. Dengan begitu, diharapkan konsumen Pena memiliki lebih banyak semangat untuk melahap buku-buku yang telah diterbitkan penerbit yang lahir awal 2005 itu.

Awalnya, diskon 70% hanya diberikan kepada pihak distributor atau konsumen yang membeli minimal sepuluh eksemplar untuk satu item. Namun, dengan adanya perubahan diskon, sebanyak delapan judul buku langsung dilabeli diskon 70%, meski konsumen hanya membeli satu eksemplar.

Berikut ini daftar harga setelah perubahan.

NO

Judul Buku

Harga

Diskon

Harga Nett



DISKON 70% (PROGRAM GREAT SALE)


1

BotherHood

44,500

70%

13,350


2

Cahaya Kemuliaan

36,000

70%

10,800


3

Kutunggu di Bukit Bunga

28,500

70%

8,550


4

Life is Beautiful

23,500

70%

7,050


5

Manajemen Lisan

18,000

70%

5,400


6

Parameter Kebaikan

19,000

70%

5,700


7

Pena Juz Amma Tajwid

29,000

70%

8,700


8

The Agent of Change

23,500

70%

7,050


DISKON 45% (PROGRAM GREAT SALE)


9

Amalan Hati

33,000

45%

18,150


10

Amarah dan Cinta Rasulullah

80,000

45%

44,000


11

Aminah

69,000

45%

37,950


12

Fiqih Sunnah Lux

675,000

45%

371,250


13

Fiqih Sunnah Wanita

117,000

45%

64,350


14

Fiqih Wanita

54,000

45%

29,700


15

Tafsir Quran Wanita 1

72,000

45%

39,600


16

Tafsir Quran Wanita 2

79,000

45%

43,450


DISKON 40%


17

Bukan Shalat Biasa

49,000

40%

29,400


18

Hikmah dari Langit

53,000

40%

31,800


19

Jumpai Aku Ya Rasul

69,000

40%

41,400


20

Keajaiban Shalat Berjamaah

10,000

40%

6,000


21

Mutiara Hikmah

62,000

40%

37,200


22

Panduan Shalat

54,000

40%

32,400


23

Syamail Muhammad

90,000

40%

54,000


DISKON 35%


24

Aisyah

63,000

35%

40,950


25

Aku Mohon Petunjuk-Mu

60,000

35%

39,000


26

Arabic Kamasutra

69,000

35%

44,850


27

Candu Sholat

25,000

35%

16,250


28

Doa Harian Rasulullah

35,000

35%

22,750


29

Ensiklopedia Doa & Zikir

90,000

35%

58,500


30

Fiqih Sunnah Lengkap

450,000

35%

292,500


31

Hadits Qudsi

81,000

35%

52,650


32

Ihya Ulumiddin

150,000

35%

97,500


33

Kamus Quran

135,000

35%

87,750


34

Keluar dari Kemelut Hidup

63,000

35%

40,950


35

Khadijah The True Love (Small)

28,000

35%

18,200


36

Mukjizat al-Fatihah & an-Naas

72,000

35%

46,800


37

Quran Wanita Kancing

45,000

35%

29,250


38

Tazkiyatun Nafs

108,000

35%

70,200


39

The Great Women

63,000

35%

40,950


DISKON 30%


40

Khadijah The True Love (Large)

69,000

30%

48,300


41

Pena Quran Tajwid Cet. IK

250,000

30%

175,000


42

Pena Quran Tajwid Cet. 4 IK

250,000

30%

175,000


43

Pena Quran Tajwid Cet. 6 IK

250,000

30%

175,000


44

Pena Quran Tajwid Balai Citra

250,000

30%

175,000


45

Pena Quran Tajwid Satin

340,000

30%

238,000


46

Quran Wakaf Kecil

45,000

30%

31,500


DISKON 25%


47

AQ Darusalam Linen Lux 17X24

99,500

25%

74,625


48

AQ Darusalam Super Lux 14x20

91,000

25%

68,250


49

Pena Quran HC 14X10 Ahkam

39,500

25%

29,625


50

Pena Quran HC 17X24 Ahkam

90,000

25%

67,500


51

Pena Quran Reist. 10X14

37,500

25%

28,125


52

Pena Quran Wanita Besar

90,000

25%

67,500


53

Pena Quran Wanita Kecil

45,000

25%

33,750