Wednesday, December 04, 2013

DOA PERPISAHAN KAPUSDIKLAT

Bismillah, hamdalah, shalawat.
Allahummaj’al jam’ana hadza jam’an marhuma, wa tafarruqana mim ba’dihi tafarruqan ma’shuma.
Ya  Allah,  jadikanlah pertemuan  kami  ini  sebagai pertemuan yang Engkau rahmati,  dan  perpisahan  kami   setelah  ini , perpisahan yang Engkau jaga dan Engkau pelihara.
Rabbana adkhilna mudkhala shidqin wa akhrijna mukhraja shidqin waj’al lana mil ladunka sulthanan nashira.
Ya Allah, masukkanlah kami dengan cara masuk yang baik dan benar, keluarkanlah kami dengan cara keluar yang baik dan benar, serta jadikanlah jabatan/kekuasaan yang Engkau berikan kelak bisa menolong kami di kemudian hari.
Ya Allah, saat ini kami berkumpul, dalam rangka pelepasan Bapak Kapusdiklat kami tercinta, orang tua kami, sekaligus guru kami, Bapak Duta Besar Hazairin Pohan. Kami mohon, kiranya acara ini berada dalam ridha-Mu.
Ya Allah, dengan tiada terasa, masa bakti Bapak Duta Besar Hazairin Pohan sebagai Kepala Pusdiklat Kemlu, secara resmi mendekati ujungnya. Kami sangat mencintai beliau. Kami sangat bangga dengan beliau. Kami sangat banyak mendapat bimbingan dan arahan dari beliau. Kami akan sangat kehilangan dengan berakhirnya masa tugas beliau di sini.
Oleh karena itu, ya Allah, jadikanlah acara pelepasan ini sebagai pelepasan secara formal semata. Jadikanlah acara perpisahan ini sebagai perpisahan dalam makna organisatoris belaka. Hati kami telah begitu menyatu dengan hati beliau.
Ya Allah, janganlah cerai-beraikan hati kami, hanya karena berakhirnya masa bakti beliau. Kami mohon, ya Allah, peliharalah persaudaraan dan kekeluargaan di antara kami dengan beliau, langgengkanlah kehangatan dan keakraban di antara kami dengan beliau, serta jadikanlah hubungan selanjutnya, antara kami semua dengan beliau, sebagaimana hubungan kami saat ini yang penuh dengan kedamaian dan kemesraan.
Kami mohon, ya Allah, limpahkanlah kepada beliau, umur yang panjang, kesehatan yang prima, kehidupan yang berkah, serta ketenangan dan kebahagiaan yang sejati. Limpahkanlah kepada kami semua, taufik dan hidayah-Mu, sehingga kami semua mendapatkan kebahagian di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzaban nar. Wa adkhilna ma’al abrar ya aziz ya ghaffar ya rabbal alamin. Shalawat. Salam.

Caraka Loka, 29 November 2013

Friday, November 29, 2013

KJRI Imbau WNIO di Rudenim Saling Pengertian

Ribuan WNIO yang ditahan di Rudenim Syumaisi kini berada di bawah kewenangan pemerintah Arab Saudi. Namun, mengingat persiapan awal yang hanya akan menampung 3000 warga asing ilegal, distribusi makanan dari pemerintah Saudi kepada tahanan pun agak tersendat. Apalagi, warga Indonesia saja jumlahnya hampir mencapai angka 8.000.

Karena itu, pihak KJRI Jeddah menyiapkan bahan makanan tambahan untuk dapat dibagikan kepada WNIO yang ada di Rudenim Syumaisi. Air mineral, makanan, dan obat-obatan secara bergantian dibagikan ke blok-blok tahanan yang dihuni WNIO.

Sayangnya, terkadang pembagian makanan tidak dikoordinir langsung oleh sipir. Sipir di beberapa blok memang memperbolehkan petugas KJRI untuk membagikan langsung ke tangan WNIO, sementara di blok lainnya dibagikan oleh para sipir itu.

Sayangnya, beberapa kejadian menunjukkan sipir hanya menaruh makanan di dekat pintu, lalu para tahanan mengambil makanan sendiri-sendiri. Dalam hal ini, sangat disayangkan karena beberapa WNIO mengeluh tidak kebagian jatah, padahal jumlah yang dibawakan sudah disesuaikan dengan jumlah penghuni blok tersebut. 

Tadi malam, Jumat (8/11), malah ada satu blok yang berisi 68 orang kekurangan sampai 24 box nasi. Hal itu disinyalir karena ada beberapa WNIO yang mengambil jatah temannya.

Untuk itu, KJRI mengimbau para WNIO untuk mengedepankan tenggang rasa kepada sesama, terlebih sama-sama tengah berada dalam tahanan yang tidak memungkinkan untuk membeli makanan atau jajanan.[]

kjrijeddah, 9 nov 2013

Wednesday, November 27, 2013

KJRI Tenangkan WNI Overstayers di Jeddah

Sejak menjelang berakhirnya masa amnesti di Arab Saudi (3/11), KJRI Jeddah terus berusaha menenangkan para WNI overstayer (WNIO) di Jeddah. Mengingat banyak info liar yang beredar di antara masyarakat WNIO, KJRI menugaskan sedikitnya 10 orang staf untuk menelpon WNIO agar mereka tetap tenang meskipun masa amnesti sudah berakhir.

Dalam telpon itu, WNIO diberi tahu mengenai kebijakan Arab Saudi terhadap warga asing overstayer. Sesuai pengumuman resmi pemerintah Saudi, warga asing overstayer yang ditangkap akan dibawa ke Rudenim Syumaisi. Perwakilan-perwakilan atau konsul negara asing pun sudah diajak untuk melihat rudenim tersebut, sekitar 40 km dari Jeddah menuju Mekkah. 

Rudenim tersebut sama sekali tidak terlihat seperti penjara, sebagaimana dikhawatirkan para WNIO, tetapi lebih mirip penampungan, dilengkapi ranjang tingkat, selimut, dan kipas angin, bahkan sebagian gedung menggunakan AC.

Untuk itu, WNIO yang tidak sempat menyelesaikan dokumen pemutihannya sampai akhir amnesti, tidak perlu takut atau panik. Apalagi, konsul-konsul negara asing juga diberi ruang kantor di area rudenim seluas 500 hektar itu. Dengan demikian, KJRI Jeddah dapat lebih mudah membantu menyiapkan dokumen WNIO yang akan dideportasi.

Penelponan itu perlu dilakukan untuk meng-counter isu-isu tak berdasar mengenai "pemulangan gratis" atau "pemenjaraan" bagi WNIO. 

Selain penelponan itu, nomor hp ke-10 petugas itu juga dengan cepat tersebar di antara para WNIO. Ke-10 petugas itu pun dengan telaten menjawab satu persatu WNIO penelpon yang umumnya sempat mendengar isu-isu liar yang disebarkan orang-orang tak bertanggung jawab.[]

kjrijeddah, 7 Nov 2013

Monday, September 16, 2013

Satpol PP, Pungli

Kami adalah panitia 4000 Salam ASEAN, upaya pencatatan rekor MURI untuk salam terpanjang di dunia. Salam itu dilaksanakan dengan menautkan 4000 orang dengan mengelilingi Monas. Acara ini sebenarnya untuk menyosialisasikan ASEAN Community 2015 yang sudah ada di depan mata. Indonesia, juga Jakarta sebagai ibukota ASEAN, tentu harus siap menghadapi ASEAN Community yang meniscayakan seperti sudah tidak ada lagi batas di antara negara-negara anggota ASEAN itu.

Sabtu (14/9/2013) petang, panitia sudah mulai berdatangan ke Monas. Sayangnya, saat hendak loading barang-barang kebutuhan acara, seperti panggung, tenda, kursi, sound system dll, terkendala penjagaan ketat Satpol PP yang selalu ada di setiap gerbang. Penjagaan seperti ini tentu bagus untuk memastikan Monas nyaman dikunjungi semua warga Jakarta dan para turis.

Namun, ada yang aneh dalam hal itu. Penjagaan ketat memang mutlak diperlukan, tetapi sayangnya Satpol PP yang berjaga itu justru mempermainkan kewenangannya. Hal itu dilakukan dengan menarik pungutan kepada siapa saja yang kendaraannya hendak diperbolehkan memasuki area Monas. Satpol PP tidak peduli dengan apakah mereka itu memiliki surat izin penggunaan Monas (dari UPT Monas) ataukah tidak. 

Lebih parah lagi, di atas jam 1 dinihari, gerbang Monas di sisi Istana Negara justru “diberikan” kepada para preman. Mereka pun menjaga gerbang tanpa seragam apa pun, lalu memungut lembar demi lembar rupiah kepada siapa pun yang kendaraannya hendak masuk ke area Monas, baik motor maupun mobil. Saya sendiri sekitar jam 1.30 berjalan melewati para preman itu, mendengar salah seorang di antara mereka berkata, “Baru 400 ribu nih, 100 ribu lagi ya.” Itukah angka yang akan diberikan sebagai “retribusi” kepada penguasa gerbang sebenarnya yang sehari-hari berseragam hijau?

Kami selaku penyelenggara acara yang telah menyewa sesuai aturan UPT Monas menolak membayar kepada Satpol PP saat hendak memasukkan kendaraan yang membawa peralatan-peralatan acara. Sebagai bukti, personel-personel kami selalu membawa kopi surat izin penggunaan Monas. Satpol PP yang ada di lapangan, ketika disodori surat itu, selalu berkilah, “Kami hanya menjalankan perintah atasan, kendaraan Kemlu tidak diperbolehkan masuk.” Rupanya para anak buah ini begitu taat (atau takut?) kepada atasan mereka. 

Beberapa saat kemudian, ada kendaraan lain dari penyelenggara event lain yang juga menggunakan Monas Minggu (15/9/2013) pagi. Kendaraan tersebut pun dengan leluasa memasuki Monas setelah menyebutkan nama penyelenggara event kepada petugas Satpol PP. Hmmm, rupanya ada perlakuan berbeda. Untuk memastikan bagaimana aturannya, kami segera menelpon pihak UPT Monas. Oleh UPT Monas, diyakinkan bahwa sudah tidak perlu ada lagi biaya apa pun selain biaya sewa tempat area Monas. 

Lalu, kenapa Satpol PP tidak memperbolehkan kendaraan Kemlu a.k.a. panitia 4000 Salam ASEAN memasuki area Monas?

Kami pun menemui bos para Satpol PP di situ, berinisial JS, Kasi Ops Pam Monas, yang sudah sempat kami temui Kamis (12/9/2013) siang. Dalam pertemuan itu, JS agak menyalahkan kami, “Kan sudah saya bilang kita harus koordinasi lagi sebelum Bapak-Ibu sekalian loading barang.” Koordinasi apa lagi? “Kita kan mengamankan acara Bapak-Ibu, ya anak buah saya butuh dana untuk itu,” jawabnya setelah mbulet mengungkapkan beberapa istilah “koordinasi”.  Oh, koordinasi artinya dana.

Sebelumnya, JS memang meminta kami menemuinya lagi sebelum kami akan datang ke Monas mempersiapkan acara. Pada pertemuan Kamis siang, JS dengan penuh antusias menyatakan siap membantu acara kami. Siap mengamankan acara yang rencananya memang dihadiri Gubernur Jokowi. JS juga mengaku siap melakukan sterilisasi di sekitar panggung 4000 Salam ASEAN. Namun, setelah itu JS meminta kami menemuinya di tempat lain, baiknya di luar kantornya, untuk “koordinasi” lagi sebelum loading barang keperluan acara.

Kami pun berkomitmen menolak pemberian dana pengamanan itu. Kami yakin itu adalah pungli yang harus dihindari, baik oleh pemungut maupun calon korban. Kami yakinkan JS bahwa acara kami sudah dikoordinasikan dengan Pemprov bahkan Gubernur DKI Jokowi. Dengan wajah ketus, JS lalu memperbolehkan kendaraan-kendaraan Kemlu memasuki area Monas. Termasuk saat dinihari melewati gerbang Monas sisi Istana Negara yang dijaga preman, alhamdulillah tidak ada kendala apa pun. Sementara kami melihat sopir-sopir kendaraan event lain tetap saja memberikan salam tempel kepada para preman penjaga gerbang itu.

Imbas kami menolak memberikan “dana koordinasi” itu kami rasakan ketika Minggu pagi acara kami hendak berlangsung. Rupanya tidak ada satu pun petugas Satpol PP, sebagaimana dijanjikan JS sebelumnya, di sekitar acara kami. Kami pun menghubungi JS via telpon, di menjawab “Petugas kami terbatas, hanya bisa menjaga gerbang saja.” OK, begitu cara Satpol PP di Monas bekerja ya.

Kami pun berinisiatif membujuk para PKL yang sudah telanjur berjualan di sekitar panggung. Dengan hati-hati, kami meminta mereka bergeser sedikit ke kanan atau kiri sekiranya tidak terlalu mencolok terlihat dari panggung dan tenda tamu VIP (termasuk perwakilan negara-negara anggota ASEAN). Lagi pula, area tempat berjualan PKL itu memang bakal digunakan untuk salam ASEAN mengelilingi Monas bagi tamu VIP.

Syukurlah, sebagian besar PKL itu mau mengerti. Karena mereka sendiri sadar sebenarnya berjualan di area Monas merupakan bentuk perlawanan terhadap ketentuan. Kami sendiri tidak mau terlalu tegas apalagi keras menghadapi mereka. Termasuk saat salah satu di antara mereka ngedumel ketika kami minta bergeser. Bahkan, ada seseorang yang menakut-nakuti kami, “Bapak ini siapa, kok berani-beraninya meminta PKL pindah. Nanti kalau ada PKL yang kalap bagaimana? Satpol PP saja kadang dilawan. Hati-hati nanti Bapak dipukul pedagang yang marah.” Kami tetap menghadapi mereka ini dengan senyuman—sempat ketar-ketir juga mendengar cerita itu sih. Tapi lebih dari itu, acara 4000 Salam ASEAN harus sukses!

Beruntung, hingga berakhirnya acara, tidak ada kejadian apa pun yang menyulitkan bergulirnya acara. Rekor MURI pun bisa dicatat. Hanya saja, kami tetap concern dengan upaya pungli yang dilakukan Satpol PP itu. Pungli harus dilawan![]

Raflesia Dua, 16-9-13

Thursday, August 08, 2013

Lebaran, Tradisi

Bagaimana tradisi menyambut lebaran di tempatmu?

Desa Pujut, Kecamatan Tersono, Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah.

Lebaran tidak hanya identik dengan perayaan 1 Syawal, tetapi jauh-jauh hari orang sudah merindukan atau mempersiapkan penyambutannya. Tanpa bulan suci Ramadhan, apalah arti Syawal, kira-kira begitu. Demikian pula yang terjadi di Pujut, hari-hari puasa Ramadhan sudah dihiasi dengan tradisi-tradisi yang terkait dengan  lebaran.

Di atas tanggal 20 Ramadhan, biasanya tanggal 25, dilaksanakan peringatan Nuzulul Qur`an, dimeriahkan pembagian santunan kepada kaum dhuafa.

Tanggal 21 dan 27 (kadang juga ditambahkan tanggal 23), tiap-tiap masjid dan musola mengadakan “ambengan” disebut sebagai selikuran (kalau tanggal 21), atau pitulikuran (kalau tanggal 27), atau telulikuran (kalau tanggal 23). Tiap-tiap kepala keluarga dijatah setidaknya satu kali membawa sebuah nampam berisi nasi dan beraneka lauknya untuk 5-6 orang. Dihidangkan dengan daun pisang, biasanya tanpa kuah.

Namun, dua tahun terakhir ini event yang bisa terjadi 2-3 kali dalam satu kali Ramadhan dikurangi menjadi hanya satu kali terkait dengan renovasi masjid. Oleh pengurus takmir masjid, kegiatan ambengan itu hanya diperuntukkan bagi beberapa KK, sedangkan sisanya tetap diminta mengeluarkan “anggaran” untuk ambengan itu, tetapi bentuknya mentah alias uang tunai yang dialokasikan untuk tambahan biaya renovasi masjid. Tentu tak ada keberatan karena sama-sama manfaat.

Pada malam id, beberapa tahun lalu selalu dimeriahkan dengan takbir keliling menggunakan truk. Dengan speaker besar, anak-anak diangkut truk berkeliling ke desa-desa tetangga, bahkan pernah sampai ke luar kecamatan dan nyaris saja menyeberangi batas kabupaten. Anak-anak muda merasa bangga jika truk mereka bisa menyusuri jalur pantura yang terkenal padat itu.

Bagaimana dengan orang tua? Tentu saja malah merasa resah. Apalagi, kampung sendiri justru menjadi sepi. Atau sesekali ramai dilalui truk-truk dari desa lain yang juga melakukan hal yang sama. Tapi itukah yang diharapkan? Polisi pasti akan semakin sibuk mengatur lalu lintas takbir keliling itu, memastikan keamanan mereka juga, padahal pengaturan jalur mudik yang melewati pantura sudah sangat-sangat menguras tenaga.

Untuk itulah kemudian muncul ide meramaikan kampung sendiri menyambut malam takbiran. Sejak 3 tahun terakhir, perayaan takbiran dipusatkan di tengah kampung. Tahun pertama hanya berkumpul saja dan bersama-sama memekikkan lantunan takbir. Namun, tahun berikutnya muncul ide diadakannya lomba tabuh bedug dan alunan takbir. Anak-anak muda semakin tertarik dengan hal itu; melupakan gengsi naik truk berkeliling desa-desa dan jalur pantura.

Apalagi, tahun lalu ada seorang relawan yang mau merogoh koceknya dalam-dalam untuk membeli kembang api berharga ratusan ribu. Semakin meriahlah malam takbiran di tengah kampung itu. Orang semakin tertarik saja meramaikan kampung sendiri untuk menyambut malam idul fitri. Bahkan, mereka yang menikah dengan tetangga-tetangga kampung dan membangun rumahnya di kampung sebelah itu mau menyempatkan diri datang ke kampung kelahiran untuk turut serta meramaikan malam idul fitri itu.

Tahun ini, panitia malam takbiran pun dengan sadar menyediakan dana khusus untuk pesta kembang api. Yang penting kampung semarak dan tidak membahayakan siapa pun. Relawan yang tahun lalu membawa sekian banyak kembang api tampaknya semakin semangat saja menyemarakkan kampungnya.

Tak kalah menarik, sebelum dilakukan pemusatan konsentrasi massa di tengah kampung, diadakan dulu takbir keliling berjalan kaki membawa oncor (obor). Bermodalkan bambu yang diisi bahan bakar minyak tanah lalu disumpal kain, menyalalah obor-obor itu berarakan mengelilingi kampung; mengajak mereka yang masih di rumah untuk turut bergabung dan berkumpul di tengah kampung. Tradisi ini sebenarnya pernah ada pada zaman bahauela, ketika belum ada listrik dan jalanan belum diaspal.

Dengan 2 ribu rupiah, setiap anak-anak, juga orang tua, bisa mendapatkan sebuah obor yang disediakan panitia. Bahkan, setelah panitia berhasil menggandeng sponsor, peserta tidak hanya mendapatkan obor, tetapi juga mendapatkan nomor undian untuk memperebutkan doorprize-doorprize meriah. Ada pop mie, gelas, dan kebanyakan kembang api kecil.

Pada hari H Idul Fitri, setelah shalat id di masjid (tahun lalu dilaksanakan di halaman madrasah diniyyah karena masjid baru dibongkar untuk mulai direnovasi), jamaah laki-laki berbondong-bondong berziarah ke makam kampung. Mereka bersama-sama mendoakan arwah ayah, ibu, kakek, nenek, saudara, dan handai taulan yang telah meninggal dunia. Hal ini sebenarnya juga sudah dilakukan secara perorangan sebelum datangnya bulan Ramadhan. Namun, secara serentak kemudian dilakukan lagi usai shalat Idul Fitri.

Sepulang dari maqbarah, hampir semuanya mengganti baju dengan yang tidak baru, atau malah sudah agak kotor. Hal itu dilakukan karena kegiatan tradisi selanjutnya yang dilakukan adalah—lagi-lagi—ambengan di masjid atau musola terdekat. Tiap-tiap KK juga dijatah sekali, antara 1 Syawal atau 8 Syawal (menyambut syawalan).

Hanya saja, kali ini menunya sangat khas dengan nuansa Idul Fitri di tempat-tempat lain, yaitu ketupat dan opor ayam. Karenanya, nampan biasanya tidak hanya dihiasi daun pisang, tetapi juga dilengkapi dengan piring mengingat menunya agak basah berkuah. Namun, barangkali demi kesemarakan, beberapa nampan terkadang juga tampak tidak menyediakan menu basah. Bahkan, ada juga yang berisi ketan dengan srundeng parutan kelapanya. Malahan, menu ketan ini biasa menjadi rebutan karena yang menyediakan hanya segelintir orang—FYI, tahun ini tak ada satu pun yang membawa menu ini! L

Setelah ambengan di masjid ini, semua orang kembali ke rumahnya masing-masing. Pakaian-pakaian baru dipakai lagi—atau malah pakaian baru yang lain lagi. Selanjutnya tentu saja sungkem kepada keluarga terdekat: orang tua, kakek-nenek, dan saudara-saudara kandung yang masih serumah.

Setelah saling memaafkan sesama penghuni satu rumah, orang-orang yang belum merasa tua atau dituakan akan keluar rumah, berkeliling seluruh kampung. Ya, seluruh isi kampung! Sementara yang tua berdiam di rumah menunggu orang-orang muda dan anak-anak, maka selebihnya berjalan menyusuri setiap rumah untuk saling meminta maaf dengan penghuninya. Yang terjadi adalah keramaian di tengah kampung. Orang-orang muda dan anak-anak bertemu dan saling memaafkan dengan bersalam-salaman di jalan—atau kapan dan di mana pun mereka bisa bertemu. Bisa di jalan, bisa di rumah orang yang kebetulan sedang sama-sama di situ.

Dulu, mendatangi seluruh rumah di kampung bisa diselesaikan sebelum azan zuhur. Kini, dengan jumlah KK yang hampir mencapai 300-an, saat azan zuhur berkumandang masih menyisakan beberapa rumah belum dikunjungi. Pertama, karena semakin banyak saja rasanya rumah di kampung ini berjejalan. Kedua, karena memang kami sudah punya banyak buntut—anak-anak kecil dan bayi—sehingga jalannya tentu saja tidak seperti masih single semua.

Karena belum selesai sebelum zuhur itulah, bakda asharnya atau malamnya harus dilanjutkan lagi ke rumah-rumah yang belum dikunjungi. Baru di hari kedua bisa melanjutkan bersilaturahmi ke tetangga-tetangga desa atau sanak saudara yang ada di desa lain. Jika di desa sendiri jarang sekali duduk—paling hanya salaman dan meminta maaf lalu pamitan, mengingat banyaknya rumah yang harus dikunjungi—maka saat berkunjung ke desa lain lebih sering duduk, minum, mencicipi makanan, dan mengobrol. Selain karena biasanya lebih jarang ketemu, juga untuk menambah stamina, tentu saja.[]

Pujut, 8-8-13

Friday, July 05, 2013

Tentang Abdi Negara

Banyak yang mengatakan bahwa menjadi PNS berarti menjadi abdi negara. Artinya, ia akan terus melayani negara dalam pekerjaannya yang digaji menggunakan anggaran negara. Bahkan, dengan label “abdi negara”, kira-kira idealnya seseorang tanpa digaji negara pun ia akan tetap bekerja sebaik-baiknya melayani negara. Begitulah mengabdi. Dalam KBBI, mengabdi diartikan menghamba atau menghambakan diri. Sebagai hamba, tentu tidak elok mengharapkan timbal balik atas apa yang dilakukan.

Betulkah demikian yang ada di lapangan? Sepertinya jauh panggang dari api. Barangkali ada, mungkin tidak akan mencapai 1 persen atau bahkan 0,1 persen dari seluruh jumlah PNS yang ada saat ini. Bolehlah berharap atau lebih jauh melakukan doktrinasi bahwa setiap PNS adalah abdi negara yang harus tulus ikhlas menjalankan tugas negara. Namun, kenyataan tetaplah kenyataan.

Doktrin mengenai abdi negara sepertinya justru dibelokkan oleh oknum tertentu. Dengan dalih “hanya” mengabdi, maka pelayanan kepada masyarakat dilakukan seadanya, atau malah lebih parah lagi ogah-ogahan. Mereka mengambinghitamkan penghasilan mereka yang dianggap kurang. Mungkin ada benarnya bahwa penghasilan mereka tidak lebih besar dibanding pegawai swasta tertentu.

Sama-sama lulus dari perguruan tinggi yang sama, nilai 11-12, kemampuan juga barangkali tidak jauh berbeda. Satu memilih menjadi PNS, lalu yang lain meniti karier di perusahaan swasta elite. Lalu peniti karier swasta yang beruntung bisa berada di perusahaan elite bisa lebih makmur. Sementara di sisi lain pemilih PNS justru tidak berkembang. Kenyataan seperti ini rasanya banyak terjadi di antara kita.

Namun, tentu tidak dibenarkan memaki-maki diri karena menjadi PNS yang berimbas pada kualitas pengerjaan tugas yang tidak maksimal. Menjadi PNS adalah pilihan. Tentu sangat sedikit orang yang “dipaksa” negara untuk menjadi abdi negara dengan gaji yang “segitu-segitu aja”. Atau barangkali malah tidak ada sama sekali.

Dalam kasus ada teman yang bekerja di sektor swasta lalu lebih makmur, tentu tidak bisa melihat satu sisi saja. Harus dilihat pula bagaimana keadaan masyarakat di kelas-kelas yang lain. Tidak bisa hanya melihat teman sendiri. Sebagai PNS yang digaji negara, sementara negara mendapatkan dana dari hasil pajak rakyat, maka rakyat kebanyakanlah yang harus dilihat. Benarkah PNS berada di barisan paling bawah penerima besaran penghasilan? Pasti tidak! Bahkan mungkin banyak masyarakat yang belum bisa berpenghasilan tetap.

Atas hal itu, PNS tidak elok lagi beralasan penghasilan yang kurang. Apalagi, saat ini gaji PNS terus dinaikkan, sementara ini terakhir dinaikkan April 2013 dengan besaran kenaikan sekitar 7 persen. Jika merasa kurang maka tentu akan terus merasa kurang. Dalam Islam, ada ajaran “mau membandingkan rezeki maka lihatlah yang di bawah, mau membandingkan ilmu atau amal maka lihatlah yang di atas”. Ajaran ini sepertinya sangat relevan untuk ditanamkan kepada siapa pun PNS, atau juga pegawai swasta, atau siapa pun juga, tanpa melihat latar belakang agama.

Begitulah kira-kira tuntutan kepada para PNS. Namun, tentu saja perubahan yang baik selayaknya tidak dilakukan hanya oleh salah satu pihak. Pihak lainnya, misalnya pembuat kebijakan, baik PNS (karier) maupun non-PNS (pejabat politik) juga harus ikut memikirkan perubahan menuju kebaikan. Di antaranya dengan dilakukannya terobosan profesionalisme PNS.

Doktrin PNS sebagai abdi negara bila perlu diubah dengan “PNS adalah pekerja profesional”. Doktrin ini diharapkan membuat para PNS terpacu untuk bertindak secara profesional. Kesan yang dilihat pun kelak PNS bisa menjadi jajaran elite, asal tidak elitis. Namun, tentu profesionalisme pekerjaan sudah selayaknya dibarengi profesionalisme penghasilan.

Arah menuju perbaikan penghasilan sebenarnya sudah mulai terlihat dengan kenaikan gaji PNS juga adanya remunerasi atau tunjangan kinerja. Tinggal sekarang harus memasukkan doktrin profesionalisme agar para PNS bisa bekerja lebih maksimal. Kelak tidak perlu ada lagi jargon PNS abdi negara, tetapi kenyataan harus bisa membuktikan bahwa PNS betul-betul bekerja maksimal untuk melayani bangsa dan negara.[]

Ruang Belanda, 5 Juli 2013

Wednesday, June 05, 2013

Kemenag Selenggarakan Seleksi Masuk S1 Al-Azhar Mesir

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Kementerian Agama menyelenggarakan seleksi masuk Universitas Al-Azhar untuk jenjang S1. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kali ini ujian dilakukan melalui dua tahapan. Tahap pertama dilakukan pada 29 Juni 2013 dan tahap kedua dilakukan pada 20 Juli 2013. 

Menurut rilis yang diumumkan melalui website Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dan dikirimkan kepada para Rektor UIN/IAIN, Ketua STAIN, dan Kepala Kantor Wilayah Kemenag di seluruh Indonesia, disebutkan bahwa sebelum mengikuti tahapan ujian itu, para lulusan MA/pondok pesantren harus melakukan registrasi online melalui http://ditpertais.net pada 1-15 Juni 2013.

Setelah mendaftar melalui website tersebut, bakal calon mahasiswa Al-Azhar Mesir harus menyerahkan berkas-berkas yang disyaratkan kepada penyelenggara ujian. Berkas-berkas yang harus dilengkapi adalah sebagai berikut.
1. Fotokopi ijazah Madrasah Aliyah/pondok pesantren yang telah dilegalisir Kantor Kementerian Agama.
    - Usia ijazah tidak lebih dari 2 tahun.
    - Bagi yang belum memiliki ijazah, diperkenankan menyerahkan surat keterangan lulus.
2. Pas foto ukuran 3X4 sebanyak 2 lembar.

Penyelenggara ujian (tahap pertama, 29 Juni 2013) adalah sebagai berikut.
1. UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
2. UIN Sultan Syarif Kasim, Riau.
3. Kantor Kementerian Agama Wilayah Nangroe Aceh Darussalam.
4. Kantor Kementerian Agama Wilayah Sumatra Barat.
5. Kantor Kementerian Agama Wilayah Jambi.
6. IAIN Raden Fatah, Palembang.
7. UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
8. UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang.
9. UIN Alauddin, Makassar.
10. IAIN Antasari, Banjarmasin.

Khusus peserta yang memilih ujian di UIN Syarif Hidayatullah, menyerahkan berkas-berkasnya ke Subdit Kelembagaan Ditdiktis Kemneterian Agama, Jl. Lapangan Banteng Barat, Jakarta. Penyerahan berkas dilakukan pada 17-20 Juni 2013. 

Jika lolos pada tahap pertama, harus mengikuti seleksi tahap kedua yang dilakukan secara terpusat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Para penguji pada ujian tahap pertama terdiri dari para alumni Al-Azhar/Timur Tengah, sedangkan pada ujian tahap kedua pengujinya adalah para dosen Universitas Al-Azhar, Mesir.

Materi ujian, baik lisan maupun tulisan, menggunakan bahasa Arab, meliputi hafalan Al-Qur`an (minimal 2 juz), tata bahasa Arab, dan pengetahuan agama Islam.[]

Kelas C, 5 Juni 2013

Thursday, May 02, 2013

CPNS

Berbicara mengenai PNS sebenarnya bisa dibilang langsung melompat. Itu karena sebelum menjadi PNS penuh, seseorang yang tentu mengikuti seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil. Nah, dari awal saja sudah disebutkan “seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)”. Artinya harus menjalani masa percobaan dulu sebelum diangkat menjadi PNS penuh. Dalam masa percobaan itulah seseorang disebut sebagai CPNS.

Semua warga negara Indonesia yang telah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk dipilih dan diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Syarat menjadi CPNS antara lain lulus mengikuti serangkaian tes yang diadakan oleh panitia seleksi CPNS, baik tertulis maupun lisan.

Setelah mengikuti tes-tes tersebut dan dinyatakan lulus, selanjutnya diterima sebagai CPNS. Kemudian untuk dapat diangkat menjadi PNS (tanpa huruf C), disyaratkan telah lulus Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan (sering disebut Diklat Prajab atau Prajab) yang dilakukan instansi masing-masing atau kerjasama dengan lembaga diklat di lingkungan instansi pemerintah, baik tingkat pusat maupun daerah.

Ketika seseorang telah diangkat sebagai CPNS, ia memiliki waktu dua tahun untuk segera mengikuti Diklat Prajab sebagai syarat menjadi PNS. Jika dalam waktu dua tahun terhitung mulai tanggal diangkat sebagai CPNS itu ia tidak juga mengikuti dan lulus Diklat Prajab maka haknya untuk diangkat sebagai PNS pun gugur.

Menurut penuturan salah satu widyaiswara (instruktur) saat Diklat Prajab Kemlu 2013 pada 25 Januari-16 Februari lalu, dalam beberapa tahun ini Diklat Prajab dilakukan sekitar 3 pekan. Namun, berdasar peraturan baru, sejak 1 Januari 2014 Diklat Prajab akan dilaksanakan dalam 3 bulan. Aturan baru ini sudah langsung dicontohkan dulu oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) sebagai lembaga yang mengatur modul/kurikulum Diklat Prajab (juga Diklat Dalam Jabatan).

Jadi, siap-siap saja yang saat ini belum menjadi CPNS, dan baru akan mengikuti seleksi CPNS tahun 2013, maka akan mengikuti Diklat Prajab pada 2014. Tentu harus siap mental dan fisik untuk 3 bulan lamanya “dikarantina”. Sangat sedikit kiranya kementerian/lembaga yang mengadakan seleksi pada sekitar September, lalu mengadakan Diklat Prajab pada bulan-bulan berikutnya di tahun yang sama.

Kemlu sendiri, pada 2012, setelah rangkaian tes seleksi yang berakhir pada pertengahan November, bisa mengumumkan hasil seleksi akhir November. Diklat Prajab untuk para CPNS baru pun terlaksana mulai Januari 2013. Padahal, Kemlu termasuk instansi yang calon pegawainya sudah langsung mengikuti Diklat Prajab beberapa saat setelah daftar ulang.

Sementara itu, konon banyak instansi yang calon pegawainya harus “magang” dulu beberapa bulan untuk kemudian bisa mengikuti Diklat Prajab. Ada pula instansi yang begitu cepat menyelenggarakan Diklat Prajab untuk CPNS-nya. Sebagai contoh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Salah seorang peserta Diklat Prajab 2013 di bawah bendera Kemlu ada yang berasal dari BPK. Ia dititipkan ke Kemlu karena tidak bisa mengikuti Diklat Prajab yang diselenggarakan BPK segera begitu daftar ulang hasil seleksi 2012. Teman-temannya di BPK sudah mengikuti Diklat Prajab pada November 2012.

Setelah selesai mengikuti Diklat Prajab, maka sekitar setahun kemudian diangkat menjadi PNS tanpa embel-embel C. Menurut sebuah sumber, biasanya pengangkatan PNS penuh dilakukan pada 1 April dan 1 Oktober tiap tahunnya. Jadi, teman-teman yang telah mengikuti Diklat Prajab Kemlu Januari-Februari 2013 lalu kira-kira diangkat sebagai PNS per 1 April 2014. Dan barangkali mereka yang telah mengikuti Diklat Prajab BPK November 2012 diangkat sebagai PNS pada 1 Oktober 2013. Wallahu a’lam.[]

Kelas C, 2 Mei 2013

Wednesday, May 01, 2013

PNS

Di antara sekian banyak pilihan pekerjaan, setiap tahun selalu saja ada ribuan atau bahkan mungkin jutaan orang berharap dirinya dapat tersangkut menjadi Pegawai Negeri Sipil. Maklum, formasi yang ditawarkan sangat beragam dan bisa menampung berbagai latar belakang pendidikan, selain angka yang dibutuhkan memang cukup besar—tidak ada satu perusahaan pun di Indonesia yang jumlah karyawannya melebihi PNS kan?

Sebagai contoh saja, saat masih ada moratorium penerimaan PNS pada 2011-2012. Pada 2012, ada beberapa lembaga/kementerian yang diperbolehkan menyelenggarakan seleksi penerimaan PNS. Di antaranya Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kesehatan, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Badan Pertanahan Nasional.

Tahun lalu, 2012, saat-saat moratorium itu, Kementerian Keuangan membuka lowongan untuk lebih dari 700 kursi. Padahal, moratorium artinya penangguhan atau penundaan. Hanya karena kebutuhan sangat mendesak kemudian moratorium itu dikecualikan. Saat betul-betul mendesak saja Kemenkeu berupaya merekrut 700 pegawai baru. Bagaimana jika keadaannya “hanya” mendesak atau malah sedang tidak ada moratorium?

Selain jumlah formasi yang begitu besar, iming-iming lain dari bekerja sebagai PNS mungkin nominal yang bakal didapat tiap bulannya. Beberapa tahun lalu saja, saat belum ada kenaikan gaji—apalagi istilah remunerasi—lowongan PNS senantiasa menjadi idola para angkatan kerja. Tahun 2008, seorang kawan pekerja swasta yang pernah coba-coba seleksi PNS berseloroh, “Gaji PNS mungkin tidak seberapa—dibanding gaji saya saat ini. Namun, setidaknya ada jaminan lebih layak untuk hari tua, pensiun.”

Ada pula orang mengatakan, “Menjadi PNS tidak akan bisa kaya, kecuali punya usaha lain. Hanya saja, insya Allah tidak akan miskin juga.” Apalagi saat ini ada tambahan tunjangan kinerja atau remunerasi. Kementerian/lembaga yang ratingnya bagus, misalnya dihitung remunerasinya adalah 100%, maka pegawai golongan III/a (lulusan S1 fresh graduate) mendapatkan tambahan sekitar 5 juta. Gaji pokoknya memang “hanya” sekitar 2 juta. Belum lagi jika ada tunjangan jabatan, perjalanan dinas, dll.[]

Auditorium Lt 3, 1 Mei 2013

Monday, April 29, 2013

Bersyukur Punya Pilihan Pekerjaan

Ada banyak alasan yang melatarbelakangi seseorang memilih pekerjaan. Ada yang karena merupakan impian atau cita-cita sejak kecil, ada yang karena disesuaikan dengan kuliah yang dijalani, ada yang karena menjalani peluang di depan mata sebagaimana air mengalir, ada yang karena sekadar untuk mengurangi jumlah pengangguran, atau mungkin karena dilandasi kompilasi alasan-alasan yang sudah disebutkan itu.

Tidak menutup kemungkinan pula ada yang bukan “memilih” pekerjaan, melainkan karena “terjerumus”. Sebut saja para korban human trafficking (perdagangan orang) atau people smuggling (penyelundupan manusia). Para korban itu tentu tidak sejak awal memilih menjadi korban untuk bekerja pada suatu tempat yang tidak ia harap sebelumnya. Namun, jika perjalanan hidupnya memang demikian, daripada mati sia-sia maka ia tetap harus memilih menjalani pekerjaan juga.

Bisa memilih tentu lebih memuaskan dan membahagiakan diri sendiri daripada terpaksa. Begitu banyaknya pilihan pekerjaan yang ada di depan mata membuat banyak pula jalan untuk memilih kepuasan dan kebahagiaan itu. Apakah nanti bahagia di tengah dan akhir hidupnya itu adalah urusan berikut. Setidaknya telah ada celah untuk disyukuri saat bisa memilih pekerjaan sesuai keinginan—sesuai cita-cita, sesuai peluang, sesuai kemampuan, sesuai/bersama teman-teman, atau yang lainnya.[]

Kelas C, 29 April 2013

Saturday, April 27, 2013

Bekerja

Manusia diciptakan untuk terus bergerak. Jika sudah tidak bergerak maka (setidaknya dianggap) mati. Untuk apa bergerak? Untuk menunjukkan kehidupan. Tentu tidak itu saja maksudnya. Ada banyak alasan untuk terus bergerak. Juga ada banyak macam untuk bergerak. Bernapas pun termasuk bergerak—setidaknya gerakan paru-paru. Demikian pula bermain, berpelesiran, belajar, bekerja, dan beragam gerakan-gerakan lain yang bisa menunjukkan adanya kehidupan.

Bekerja, salah satu ragam bergerak itu, merupakan kebutuhan manusia. Lebih khusus lagi bagi mereka yang menginjak usia dewasa. Karena usia dewasa sudah selayaknya diikuti dengan tindakan dewasa—independen dan tidak bergantung pada orang lain. Dengan usia di atas 20-an tahun, seseorang tentu sebaiknya harus bersiap untuk tidak “menyusu” terus kepada orang tuanya. Untuk itulah dia harus sudah bisa bekerja.

Bekerja, sebagaimana pernah disebut Voltaire, dapat menjauhkan manusia dari tiga hal buruk: kebosanan, kejahatan, dan kemiskinan. Orang yang menganggur akan mudah bosan karena tidak memiliki aktivitas yang memicu adrenalinnya. Imbasnya, ia dapat melakukan hal yang kontraproduktif. Pengangguran juga bisa memicu naiknya angka kejahatan. Orang yang tidak memiliki pekerjaan—baik karena malas, tidak mampu atau tidak mau bersaing, maupun karena dalam keadaan yang memaksanya tidak bisa bersaing—rentan untuk melakukan kejahatan.

Tanpa pekerjaan, seseorang mau makan apa? Jadilah ia melakukan tindakan di luar hukum untuk mencari sesuap nasi. Kalaupun ia atau keluarganya kaya, sehingga ia tidak harus mengais suap demi suap nasi untuk makan, ia rentan juga melakukan kejahatan lain karena tidak memiliki aktivitas yang bisa memuaskan batinnya.

Dengan pekerjaan pula seseorang dapat memperoleh uang. Uang itu bisa ia belanjakan untuk keperluan hidupnya. Ketika kebutuhan bisa terpenuhi maka tidaklah ia termasuk orang miskin. Dengan demikian, pekerjaan bisa dikatakan merupakan salah satu obat mujarab untuk menghapus atau setidaknya mengurangi kemiskinan.

Kebutuhan terpenuhi. Kiranya itulah “batasan” seseorang dalam bekerja. Maka jika kebutuhan sudah terpenuhi janganlah pekerjaan melalaikan hal lain yang tak kalah urgen, seperti soal kesehatan fisik dan mental, keluarga, serta kehidupan sosial. Beberapa hari lalu muncul dalam media sosial posting mengenai kisah anak yang merindukan kebersamaan dengan ayahnya yang begitu sibuk bekerja mencari nafkah untuk keluarga. Kira-kira kisahnya bisa diceritakan kembali seperti berikut:

Suatu malam pukul 21.00.
Anak : Selamat malam ayah.
Ayah : Malam sayang.
Anak : Ayah pasti capek sekali yah baru datang dari kantor.
Ayah : Iya nih...
Anak : Sini aku pijitin.
Ayah : Wah pinter sekali, makasih ya sayang.
Sambil memijit, sang anak terus mengajak ayahnya bercengkerama.
Anak : Ayah, boleh ga aku tahu berapa gaji ayah per bulan?
Ayah : Kenapa tiba-tiba ingin tahu gaji ayah, sayang?
Anak : Ah, hanya ingin tahu.
Ayah : Baiklah, gaji ayah sekitar 10 juta.
Anak : Jadi, setiap jam rata-rata ayah dibayar berapa tuh?
Ayah : Kalau 10 juta dibagi 30 hari berarti 330-an ribu, lalu dibagi 8 jam kerja, ya sekitar 40 ribu.
Anak : Ooh... kalau begitu, boleh tidak aku pinjam uang ayah 10 ribu?
Ayah : Buat apa sayang, besok saja ya, kan sudah malam, toko-toko pasti sudah tutup.
Anak : Aku maunya sekarang ayah. Uang jajan besok aku sisihkan untuk mencicil pinjaman dari ayah.
Ayah : Besok saja sekalian ayah belikan mainan ya, tapi dituntaskan dulu pijitnya ya sayang.
Anak : Aku butuhnya sekarang ayah.
Ayah : Hmmm, baiklah... ini sayang....
Anak : Terima kasih ayah.
Sang anak lalu berlari ke kamarnya mengambil amplop mungil berisi uang.
Anak : Ayah, ini aku tadi punya tabungan 30 ribu, lalu aku tambahin dengan uang dari ayah 10 ribu. Tolong ayah terima ya.
Ayah : Loh, untuk apa sayang?
Anak : Besok malam aku mau main sama ayah dari jam 20.00 sampai 21.00. Ayah kan biasanya pulang jam 21.00, jadi besok aku minta ayah pulang lebih cepat. Sebagai gantinya, ini aku mau beli waktu ayah 1 jam dengan 40 ribu ini. Boleh ya, ayah?
Sang ayah pun langsung memeluk anaknya. Tak kuasa ia menahan tangisnya. Ia baru tersadar bahwa tujuan awal ia bekerja adalah menafkahi keluarga agar mereka semua bahagia. Sayangnya, saat keasyikan bekerja ia kemudian lalai dengan kebahagiaan keluarga yang tak hanya bisa dinilai dengan uang dan nafkah lahir.

Oleh karena itu, bekerja harus dilakukan dengan sadar: untuk apa ia bekerja dan sejauh apa kemampuannya untuk bekerja. Bekerja kiranya adalah sarana, bukan tujuan. Maka jika tujuan di luar bekerja itu bisa diwujudkan, tentu jangan sampai aktivitas bekerja malah merusak tujuan awal. Demikian pula dengan mengukur kemampuan. Jika memang sadar kekuatannya belum digunakan secara maksimal maka ia harus terus memompa agar segala kemampuan dapat dihadirkan. Namun, harus dilihat juga keadaan fisik dan mental. Jika memang sudah tak sanggup maka tentu harus tahu diri agar tidak malah membahayakan diri. Intinya, harus terjadi keseimbangan. Bagaimana mengatur keseimbangan, kesadaran dirilah yang menjadi penilainya.[]

Masjid Attarbiyah, 27 April 2013

Wednesday, March 20, 2013

Mitos dan Trik Masuk Kemlu (3)

Selain tidak diketahuinya latar belakang pendidikan atau keluarga, efek lain dari ditutupnya data pendaftar sampai tersaring 60 orang terpilih adalah tidak diketahui pula gender mereka. Kalau kemudian terkumpul 32 orang perempuan dan 27 orang laki-laki (satu orang mengundurkan diri), maka tidak ada yang mendesainnya pula. Artinya, sangat mungkin juga kelak yang diterima adalah kesemuanya perempuan, atau kesemuanya laki-laki.

Bahkan, bisa jadi tidak akan diterima semuanya kalau memang tidak ada yang memenuhi standar minimal. Kemlu meletakkan standar kompetensi di puncak penilaian, lalu latar belakang pendidikan dan gender mengikutinya. Lihat saja komposisi formasi PKKRT (Penata Keuangan dan Ketatarumahtanggaan Perwakilan) dan PK (Petugas Komunikasi). Dari 40 kursi yang disediakan untuk PKKRT, hanya 10 yang terisi, padahal di tahapan ujian akhir diikuti hanya 13 peserta. Logika awalnya tentu 13 orang itu akan diterima semua sebagai PNS Kemlu kan?

Jika mau menggunakan aji mumpung bahwa 40 kursi PKKRT sudah disetujui Kemenkeu, Kementerian PAN dan RB, serta Badan Kepegawaian Negara, tentu saja terasa “sayang” hanya menerima 10 orang. Semua juga tahu bahwa kementerian/lembaga/instansi mana pun tidak mudah “meminta jatah” formasi PNS, karena harus melewati begitu banyak proses dan pertimbangan. Namun, itu tadi, kompetensi tetap menjadi alasan utama seseorang dapat diterima di Kemlu.

Jangan kaget pula saat melihat komposisi 10 orang PKKRT itu: 9 orang perempuan dan hanya 1 orang laki-laki! Jelas ini lebih “menyedihkan” dibanding formasi PDK (Pejabat Diplomatik dan Konsuler) ya. Hanya komposisi PK yang terlihat agak berimbang: 6 laki-laki dan 7 perempuan sehingga total 13 orang. Namun, itu pun sebenarnya tidak sesuai kebutuhan awal yang 20 kursi. Padahal, hampir sama dengan “kisah” PKKRT, pada ujian akhir jumlah peserta seleksi PK juga mepet, hanya 20 orang. Dengan 20 kursi disediakan, mestinya bisa lulus semua kan? Tapi, kalau perlu diulang: semua tergantung kompetensi peserta.

Jadi, kalau kelak Anda mengikuti ujian di Kemlu untuk formasi yang jumlahnya 60 kursi, misalnya, lalu yang ikut ujian tahap akhir hanya 60 peserta atau malah kurang dari itu, maka jangan kepedean pasti akan diterima. Tetaplah mengikuti ujian dengan mengeluarkan segenap kemampuan. Jangan sampai ada kekuatan atau kelebihan kita tidak terlihat, terutama diferensiasi kemampuan tertentu yang dapat menjadikan kita menonjol.

Hal-hal kecil harus disiapkan betul. Jangan sampai datang terlambat, jauh lebih baik menyediakan waktu setidaknya setengah jam sebelum waktu yang ditentukan untuk kita datang. Pakaian, apalagi saat wawancara substansi, harus dicamkan betul. Ada cerita bahwa salah satu peserta ujian mengenakan kemeja warna cerah dan celana bahan warna gelap. Itu pun rupanya masih dikritik seorang panelis penguji bahwa pakaian seperti itu sudah semestinya dilengkapi dasi, syukur-syukur disempurnakan dengan jas sekalian. Entah karena alasan itu atau karena alasan lain, peserta ujian itu pun tidak terlihat di antara nama-nama peserta Sekdilu 37.

Kejujuran penyelenggaraan seleksi juga terbukti dari kedisiplinan panitia. Misalnya saja suatu ketika saya mau tanya rute perjalanan ke tempat ujian. Karena sebelumnya sudah mendapatkan email dari satu panitia itu mengenai perubahan tempat ujian, sementara dalam email itu tercantum nomor ponsel bersangkutan, maka saya coba sms supaya lebih efektif dan efisien—karena saya pikir kalau menelpon ke nomor kantor pasti melewati beberapa “pesan cantik” alias operator telepon.

Saya sempat agak kesal juga waktu tidak mendapatkan balasan sms. Mau tanya rute saja kenapa tidak dijawab? Namun, saya kemudian tersadar bahwa saat mendaftar, memang ada ketentuan bahwa panitia tidak mengadakan surat-menyurat dengan peserta seleksi. Satu-satunya jalur komunikasi hanyalah melalui website https://e-cpns.kemlu.go.id. Di luar itu tidak akan dilayani.

Mungkinkah sms saya tidak sampai? Sepertinya tidak. Sepertinya memang karena panitia itu menyadari betul ketentuan tersebut. Karena saat kemudian selesai ujian tahap akhir, lalu saya kembali mengirim sms mengenai ketentuan daftar ulang di Pejambon, sms saya langsung dijawab. Dengan “tertutup”nya panitia seperti itu, tentu semakin terjamin independensi panitia tanpa terganggu intervensi siapa pun.

Proses rekrutmen CPNS Kemlu ini sendiri konon sering secara “gratis dipromosikan” oleh Kementerian PAN dan RB. Sebagai kementerian/lembaga pertama yang proses seleksinya sudah tersertifikasi Sertifikat Sistem Manajemen ISO 9001:2008, tidak mengherankan Kementerian PAN dan RB selalu merujuk pada Kemlu saat berbicara mengenai rekrutmen yang bersih, jujur, transparan, dan akuntabel.

Malahan, ada cerita bahwa pernah kementerian/lembaga lain ingin “memotong kompas” rekrutmen: karena percaya bahwa proses rekrutmen pegawai Kemlu demikian baik, instansi itu pun “meminta” peringkat tertinggi setelah formasi Kemlu terisi penuh. Misalnya Kemlu mengambil 60 orang, maka peringkat 61 dan seterusnya hendak diambilnya. Pihak Kemlu tentu tidak masalah, justru menyatakan bahwa sebenarnya memang perbedaan nilai antara tangga-tangga peringkat itu sangat tipis, mungkin hanya berbeda nol koma sekian. Namun, tentu tergantung pada peserta seleksi bersangkutan. Saat betul ditanyakan apakah peserta peringkat 61 itu mau direkrut instansi lain, rupanya dia menolak karena masih ingin berjuang mendapat tempat di Kemlu. Tentu tidak ada yang bisa memaksa.[]

Kelas C, 19 Maret 2013

Mitos dan Trik Masuk Kemlu (2)

Pada tahun 2007, sepupu saya masuk Kemlu. Hmm, saya pun hanya bisa bermimpi waktu itu. Dia menceritakan dengan gamblang bahwa dia tidak mengeluarkan sepeser pun untuk masuk Kemlu. Tidak pula dia punya famili atau kerabat di Kemlu. Dan kini, saya mengalami sendiri bahwa saya juga tidak perlu membayar serupiah pun untuk mendapatkan satu kursi calon diplomat ini.

Malahan, teman-teman banyak yang tidak percaya bahwa kemarin nyaris setiap kali tahapan ujian di Kemlu disediakan makan besar! Dimulai saat ujian tulis di PRJ Kemayoran pada September, memang seluruh peserta dikarantina dari pagi sampai hampir petang. Bisa bikin tambah stres, mungkin, selain stres menjawab ujian. Namun, Kemlu mau “bertanggung jawab” untuk itu, yaitu dengan menyediakan makanan yang amat layak: bisa memilih hoka hoka bento, KFC, atau McD. Porsinya pun terasa cukup sekali, bahkan untuk orang yang mudah lapar seperti saya.

Pada tahapan ujian selanjutnya, yaitu ujian bahasa pilihan, berbahagialah yang mengikuti ujian bahasa tertentu yang dilaksanakan di Pusdiklat Kemlu. Saya yang mengikuti ujian bahasa Arab, bersama seorang lainnya, alhamdulillah mendapat makan berat (lagi). Padahal, ujiannya hanya berlangsung dua jam, memang sih setiap ujian setidaknya kita harus datang satu jam sebelumnya. Adapun yang ikut ujian di luar Pusdiklat, setidaknya seperti bahasa Inggris di LIA Rawamangun, bahasa Jerman di Goethe Institute, rupanya tidak “seberuntung” kami.

Namun, saat ujian berikutnya yang berlangsung 5-9 November 2012 di Pusdiklat, kembali disediakan makan besar. Hanya hari pertama sih, mengingat ujiannya dari pagi jam 8 sampai jam 4 sore. Sementara hari-hari berikutnya tidak karena memang hanya berlangsung antara 30-60 menit untuk tiap peserta per harinya.

Saya memang tidak bisa menjanjikan bahwa ke depan akan selalu sama. Poin yang hendak saya garis bawahi adalah bahwa tidak perlu membayar sesen pun untuk masuk Kemlu, malahan pada saat tertentu kita begitu dihargai dengan disediakannya konsumsi itu. Tentu saja itu sangat membantu konsentrasi dan fokus kita mengikuti ujian, daripada masih harus memikirkan nanti di tengah-tengah ujian harus mencari makan apa dan di mana.

Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, saya memang punya saudara sepupu yang sudah 6 tahun sebelumnya masuk Kemlu, melalui Sekdilu 32. Namun, saat saya mengikuti seleksi Kemlu 2012, satu kali pun saya tidak pernah berhubungan dengannya. Pertama, karena saya dengar dia tengah penempatan di Yordania. Kedua, karena saya yakin betul bahwa ada tidaknya famili di Kemlu sama sekali tidak akan berpengaruh terhadap hasil seleksi.

Jauh sebelum itu, pada tahun 2005, saat masih di Cairo, saya berkesempatan bergaul dengan dua orang calon diplomat yang tengah magang di KBRI Cairo. Keduanya menceritakan bahwa memang ada anak menteri yang bisa masuk Kemlu. Tapi keduanya, juga teman-temannya, mengakui kompetensi sang anak menteri itu memang tinggi. Cerdas, wawasan luas, bahasa asing aduhai. Jadi, dapat dipastikan bahwa bukan karena anak menteri dia diterima di Kemlu, melainkan karena kemampuannya.

Beberapa hari yang lalu, saat Pembukaan Diklat Sekdilu 37 di Pejambon, kami berkesempatan bertemu dan berbincang santai dengan para pejabat eselon I dan II. Salah satunya adalah Kepala Biro Kepegawaian, Yuwono A. Putranto. Beliau menjelaskan bahwa tidak seorang pun di Kemlu, terutama panitia seleksi, tahu siapa saja yang lolos tahapan demi tahapan seleksi. Itu karena data yang digunakan hanyalah nomor-nomor ujian, bukan nama apalagi data lengkap peserta ujian.

Pada akhir seleksi, barulah dibuka satu persatu data peserta yang lulus tahap purna. Dari situlah kemudian dapat diketahui bahwa si A rupanya anak petani, atau anak pejabat, atau tidak pernah tinggal di tanah air sebelumnya, atau saudaranya B yang tahun sebelumnya masuk Kemlu, atau ini C dan D ternyata saudara kandung yang sama-sama diterima di Kemlu pada waktu bersamaan.

Karena itu pula, tidak ada yang menyangka kalau kemudian di antara 59 peserta yang kemudian mengikuti Sekdilu 37 rupanya hanya ada 4 sarjana hukum, padahal kebutuhan riilnya di Kemlu jauh di atas itu. Tidak ada yang tahu juga kalau ada 20 orang lulusan hubungan internasional, belasan lulusan ekonomi/manajemen, dan yang lain dari sastra asing, dan pendidikan bahasa.

Di sisi lain, ada pula yang mengatakan bahwa yang lulus CPNS Kemlu hanya dari kota/perguruan tinggi itu-itu saja. Ya itu tadi, sebetulnya tidak ada beda lulus dari mana pun. Asal lembaga yang mengeluarkan ijazahnya terakreditasi, lalu mengikuti seleksi dan memiliki kecakapan yang cukup, maka tidak ada halangan baginya masuk Kemlu. Posisinya sama dengan yang lain tanpa membedakan asal-usul. Itu tadi, datanya disimpan sejak pendaftaran, hanya angka-angka yang digunakan dalam setiap tahapan tes, lalu data baru akan dibuka lagi saat purna ujian.

Meski begitu, memang tidak dapat dimungkiri bahwa letak geografis cukup memengaruhi kesempatan seseorang untuk mengikuti seleksi CPNS kementerian/lembaga pusat, tidak hanya Kemlu tentunya. Untuk mengatasi hal ini, demi pemerataan, Kemlu membuka seleksi jalur khusus, yakni mendatangi beberapa perguruan tinggi di luar Jawa lalu mengadakan seleksi di sana. Seleksi pada 2012, terjaringlah 5 orang atau sekitar 10 persen dari keseluruhan formasi diplomat, dari Banda Aceh, Palangka Raya, Palu, Kendari, dan Manokwari.[]

Auditorium, 19 Maret 2013

Tuesday, March 19, 2013

Mitos dan Trik Masuk Kemlu (1)

Saat menjawab pertanyaan orang tentang pekerjaan lalu saya jawab, “Diterima CPNS (Kemlu),” maka seringkali ada pertanyaan mengiringi, “Bayar berapa,” atau “Ada kenalan siapa,” atau “Masak gratis sih?” Hal itu terutama terjadi jika orang tersebut tidak mengetahui seluk-beluk Kementerian Luar Negeri. Bahkan, sebagian teman yang sudah mengetahui tata cara formal masuk Kemlu pun rupanya ada yang masih menyangka bahwa beberapa kursi dari formasi yang ada sudah “dikhususkan” untuk para famili diplomat atau pejabat Kemlu.

Kebetulan teman satu ini memang ikut seleksi CPNS Kemlu 2012. Setelah mengikuti ujian tulis kompetensi dasar dan kompetensi bidang di Kemayoran pada 8 September 2012, semua peserta tentu dag-dig-dug menunggu-nunggu pengumuman kelulusan. Dijadwalkan akan diumumkan tanggal 2 Oktober 2012, rupanya mundur menjadi 9 Oktober 2012.

Para peserta ujian pun dibuat makin dag-dig-dug, tak terkecuali kami, saya dan teman itu. Suatu ketika, di hari antara 2-9 Oktober 2012 itu, teman saya menyeletuk, “Wah, ada apa nih Kemlu, masak sudah dijadwalkan sedemikian rupa kok ditunda?” Pada kesempatan berikutnya, dia menyangka—setengah canda dan setengah serius—bahwa bisa saja semua itu sudah di-setting sedemikian rupa, barangkali untuk mengakomodasi “titipan-titipan”. Saya sih meragukan sangkaan itu, meski saya tidak tahu juga saat itu.

Saya hanya tetap berusaha berbaik sangka bahwa di Kemlu kiranya tidak ada main-main. Mudah saja logikanya: akan terlalu mahal jika berani “menjual” kursi diplomat. Bukan Kemlu saja yang rugi kalau mempermainkan rekrutmen itu, salah-salah tercoreng semua wajah Indonesia. Itu karena profesi diplomat akan sering dan nyaris selalu bersinggungan dengan negara lain. Sedikit saja salah diketahui negara lain, tentu akan sangat memalukan bangsa Indonesia.

Maka saat kemudian diumumkan pada tanggal 9 Oktober 2012, yang menunjukkan bahwa saya dipersilakan ikut tahapan selanjutnya, sedang dia tidak, saya jadi berpikir, “Apakah ini berkah dari berbaik sangka atau husnudzon itu?” Tidak tahu juga. Tapi barangkali mau mencari pembenaran, entah pas atau tidak, sebenarnya jawaban saya untuk pertanyaan esai berbahasa Inggris jauh lebih pendek daripada jawaban teman itu. Dari 4 soal, saya hanya menulis jawaban 1 halaman lebih sedikit, sedang dia menjawab sampai 4 halaman.

Artinya, itu menunjukkan betapa bahasa Inggris saya begitu payah—mungkin dia lebih berhak untuk maju jika dinilai dari bahasa Inggris ini. Atau artinya yang lain: jawaban tidak mesti panjang, asalkan jelas dan tepat sasaran. Saya sendiri tidak begitu yakin apakah jawaban-jawaban saya betul-betul mengena, tetapi setidaknya saya berusaha melokalisasi jawaban dengan langsung ke pokok jawaban, tidak perlu bertele-tele. Karena saya memang tidak bisa berbasa-basi, ya, dalam bahasa Inggris. So, itukah efek baik positive thinking buat saya? Wallahu a'lam.

Trik padat-singkat itu yang saya pegang betul, mengingat minimnya kosakata apalagi grammar bahasa Inggris. Untuk mengakali serba-minim-Inggris itu, saya pun mengandalkan kosakata dan grammar yang ada dalam lembar soal. Beruntunglah karena lembar soal juga “menyediakan” cukup banyak kosakata Inggris. Nyaris setiap mau menjawab soal, selalu saya buka-buka dan teliti soal-soal sebelum dan/atau sesudahnya, barangkali ada kata-kata yang akan berguna untuk membantu saya menjawab satu soal esai tersebut.

Tertundanya pengumuman kelulusan ujian tulis juga bisa terjawab setelah mengetahui kesulitan teknis saat mengoreksi hasil ujian. Bayangkan, soal esai dari 3000 orang harus dikoreksi dan diteliti betul kelayakannya. Tentu bukan sekadar sepanjang apa jawaban, tetapi harus dilihat juga apakah substansi jawaban mengena sesuai pertanyaan yang ada. Hal ini justru menunjukkan keseriusan seleksi.

Entah mengapa sebagian orang masih menganggap bahwa setiap kali masuk menjadi CPNS maka seseorang harus membayar sejumlah tertentu uang tunai—atau transfer. Di mana pun instansi kementerian/lembaga itu. Sungguh ini merupakan PR kita semua, terutama para pemangku kebijakan, untuk menjaga agar jangan sampai rekrutmen CPNS, atau pegawai apa pun, bahkan di swasta, terkontaminasi suap-menyuap. Mari kita mulai dari diri kita sendiri, syukur kalau bisa menularkan pada orang lain.[]

Kelas A, 19 Maret 2013

Wednesday, February 06, 2013

Diklat Prajab Kemlu 2013


Sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil, Diklat Prajabatan (biasa disebut Prajab), merupakan kewajiban. Di mana pun instansi yang menaunginya, setiap CPNS haruslah mengikuti Prajab ini agar dapat dihilangnya C-nya, menjadi PNS. Kalau dalam dua tahun sejak diangkat CPNS tidak mengikuti Prajab, atau tidak lulus Prajab, maka ia dicoret dari daftar CPNS, alias hanguslah haknya untuk diangkat menjadi PNS.

Untung pula buat peserta Prajab Kemlu tahun 2013 (rekrutmen 2012) ini. Hal itu karena nanti mulai 1 Januari 2014, Prajab untuk setiap CPNS dilakasanakans selama 3 bulan. Sebelum itu, akan tetap sama seperti yang selama ini ada, yaitu 3 minggu.

Bagi sebagian orang, 3 minggu saja sudah cukup membuat suntuk, meski pada saat tertentu seru dan meninggalkan impres tersendiri. Lalu, bagaimana dengan 3 bulan? Wouwww...

Namun, itulah yang kiranya harus dihadapi oleh 2 orang teman kami Sekdilu Angkatan 37. Itu karena keduanya tidak bisa mengikuti Prajab bersama 57 orang lainnya. Satu karena baru saja melahirkan sesaat sebelum pembukaan Prajab, satu lagi karena belum bisa meninggalkan pekerjaan sebelumnya karena terlambat mengundurkan diri dari sana.

Dua orang teman ini pada awalnya sempat ditolak meminta izin tidak bisa mengikuti Prajab. Itu karena sesungguhnya setiap CPNS Kemlu, sebelum mengikuti Diklat Fungsional (Sekdilu buat para calon diplomat), harus mengikuti Prajab dulu. Setelah melakukan pembicaraan-pembicaraan yang cukup panjang dan konon lumayan njlimet, keduanya akhirnya diizinkan mengikuti Prajab pada periode berikutnya, mungkin tahun 2014.

Mungkin juga pada 2013 ini, jika setelah Diklat Sekdilu ada instansi di luar Kemlu yang membuka Diklat Prajab. Yang pasti, selama berlangsungnya Sekdilu sekitar 8 bulan, sampai kira-kira bulan September 2013, keduanya tidak mungkin mengikuti Prajab, meskipun instansi lain ada yang kebetulan menggelar Prajab. Itu karena Diklat Sekdilu secara ketat mengatur tingkat kehadiran pesertanya. Kira-kira totalnya maksimal 4-5 hari diperbolehkan tidak mengikuti kegiatan. Itu pun dihitung per mata ajaran. Dengan demikian, tiga minggu meninggalkan Sekdilu untuk ikut Prajab tentu tidak memungkinkan.

“Titip-menitip” peserta Prajab merupakan hal yang lumrah. Itu karena sebenarnya yang namanya CPNS ya CPNS, di mana pun di seluruh Indonesia, di mana pun instansinya. Ini sejalan dengan dijalankannya penyeragaman penomoran NIP (Nomor Induk Pegawai). Dengan demikian, tidak masalah seorang CPNS di instansi A mengikuti Prajab di instansi B, C, D, atau malah Z. Yang penting adalah ikut Prajab, toh materinya juga sama sesuai standar LAN (Lembaga Administrasi Negara).

Demikian pula dengan Prajab Kemlu 2013 ini, diikuti 81 orang. Dengan perincian 57 dari formasi PDK (calon diplomat), 13 dari formasi petugas komunikasi, 10 orang dari formasi keuangan/kerumahtanggaan. Sementara satu orang lagi, “titipan” dari BPK. Hasil rekrutmen 2012 juga, tetapi saat itu BPK langsung mengadakan Prajab pada sekitar bulan November (saat Kemlu baru masih seleksi tahap akhir), rupanya karena satu dan lain hal dia tidak bisa mengikutinya.

Prajab Kemlu dibuka pada Jumat (25/1/2013). Senin (28/1/2013) siang, seluruh peserta diajak ke Pusat Pendidikan Manajemen dan Kepemimpinan Pertanian (PPMKP) Kementan di Ciawi, Bogor. Selama di Ciawi, materinya dikemas melalui outbond. Melelahkan, tapi tentu menyenangkan. Sampai Kamis (31/1/2013) pagi di Ciawi, baru pada Sabtu (2/2/2013) dimulai materi yang disampaikan melalui metode ceramah dan diskusi di Pusdiklat Kemlu, Kebayoran Baru, Jakarta.

Dimulai dengan outbond di Ciawi, dilanjutkan dengan kegiatan kelas di Pusdiklat sampai dua minggu. Suasana yang jauh berbeda. Outbond tentu identik dengan senang-senang dan seru-seruan. Sementara kegiatan kelas, lebih dekat ke: jemu, ngantuk, bahkan tidur! Tapi tunggu dulu. Memang ada beberapa momen yang membuat sebagian peserta menguap atau terlihat memejamkan (atau terpejam?) matanya.

Namun, bukan Sekdilu 37 kalau sampai seharian diam saja (ketiduran). Ada banyak cara untuk membuat suasana tidak semakin membosankan. Ledek-ledakan, jodoh-jodohan, atau memanggil teman tiba-tiba tanpa ada kepentingan apa pun bisa jadi alternatif. Namun, yang paling sering adalah “mementingkan packaging daripada isi”. Ya! Ini pula yang rupanya mengesankan bagi sebagian widyaiswara. Setidaknya begitu pengakuan sebagian widyaiswara.

Saat diskusi kelompok, terutama ketika ada pertanyaan yang sama untuk 4-5 kelompok yang ada di kelas, tentu jawabannya mestinya sama, atau mirip-mirip lah. Untuk mengatasi hal itu, saat jawaban sama, maka penampilan atau packaging-nya tentu harus beda. Biar tidak dibilang nyontek, biar meramaikan kelas, dan biar ada yang beda. Be creative! Memang itu satu di antara empat pesan penting yang harus diingat Sekdilu.[]

Auditorium, 20 Feb 2013

Saturday, January 26, 2013

Sekdilu XXXVII


Setelah melewati tahapan demi tahapan seleksi yang cukup melelahkan tenaga, pikiran, dan hati, tibalah saat berkumpul dengan teman-teman baru. Kamis (24/1/2013) siang menjadi deadline bagi peserta yang dinyatakan lulus seleksi CPNS Kemlu T.A. 2012. Sorenya, langsung diadakan acara pertama berupa perkenalan singkat dan briefing dari Direktur Sekolah Dinas Luar Negeri (Sekdilu) atau sebut saja “bos” untuk memudahkan.

Menurut bos, idealnya yang datang haruslah mewakili semua provinsi yang ada di tanah air. Namun, faktanya, dari tahun ke tahun, yang masuk hanya dari situ-situ saja. UI, Unpad, UGM, Unair. Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya, Surabaya. Nyaris semua dari Jawa. Mungkin ada satu dua dari luar Jawa. Tapi sangatlah minim.

Tahun 2012, 60 kursi disediakan untuk formasi diplomat. Namun, dari 35 provinsi yang ada, tidak ada separuh yang memiliki “wakil”. Begitulah fenomena yang terjadi dari tahun ke tahun. Wajar saja, seluruh ujian dilakukan di Jakarta. Saat pendaftaran online, yang tentu saja bisa diakses dari belahan mana pun di dunia, tercatat 23 ribu lebih pendaftar. Tapi jumlahnya langsung mengecil menjadi sekitar 3000 saja saat ujian pertama di Jakarta.

Memang itu sudah melalui seleksi berkas. Namun, kalaupun 23 ribu orang itu lolos berkas semua, kira-kira tidak akan semuanya datang ke Jakarta. Bagaimana beratnya peserta dari pojok Aceh atau ujung Papua, harus datang ke Jakarta tiga kali untuk ujian, ditambah satu kali untuk daftar ulang jika lulus sampai tahap akhir.

Untuk itu, dari 59 orang Sekdilu angkatan 37—seharusnya 60, tapi satu mengundurkan diri—ini, 5 di antaranya merupakan peserta yang disaring melalui jalur khusus. Jalur ini merupakan kebijakan untuk memberikan kesempatan pemerataan pengabdian bagi talenta muda Indonesia yang jauh dari ibukota negara. Lima orang itu dari Aceh, Palangkaraya, Palu, Kendari, dan Manokwari.

Penguji dari Kemlu mendatangi langsung kota-kota itu, bekerjasama dengan perguruan tinggi setempat untuk menyeleksi calon-calon diplomat. Mata ujian yang dihidangkan rupanya sama dengan yang di Jakarta, tetapi dengan waktu yang lebih singkat. Di Jakarta antara 6-7 hari terpecah dalam 3 sesi (ujian tulis dasar dan substansi pada September; ujian bahasa pada Oktober; dan ujian psikologi serta lisan substansi pada November), tetapi di kota-kota itu hanya 2 hari.

Dua hari untuk semua mata ujian itu tentu menguras tenaga dan pikiran. Namun, kelebihannya adalah efisiensi waktu dan biaya. Baik biaya penguji maupun biaya peserta ujian. Yang pasti, asas pemerataan ini sangat penting agar stigma awal “Kemlu dari situ-situ saja” dapat diubah menjadi lebih baik: Kemlu dari seluruh Indonesia.

Keuntungan langsung bagi peserta Sekdilu 37 ini, dapat bertukar pikiran dengan berbagai macam latar belakang budaya, bahasa, selain pendidikan dan pengalaman. Keragaman ini sangat dibutuhkan untuk memperkaya wawasan duta bangsa saat ditugaskan di mancanegara, agar tidak ada salah persepsi bahwa Indonesia hanya Jawa atau yang dekat-dekat ibukota saja.[]

Anggrek 301, 19 Feb 2013