Wednesday, March 20, 2013

Mitos dan Trik Masuk Kemlu (3)

Selain tidak diketahuinya latar belakang pendidikan atau keluarga, efek lain dari ditutupnya data pendaftar sampai tersaring 60 orang terpilih adalah tidak diketahui pula gender mereka. Kalau kemudian terkumpul 32 orang perempuan dan 27 orang laki-laki (satu orang mengundurkan diri), maka tidak ada yang mendesainnya pula. Artinya, sangat mungkin juga kelak yang diterima adalah kesemuanya perempuan, atau kesemuanya laki-laki.

Bahkan, bisa jadi tidak akan diterima semuanya kalau memang tidak ada yang memenuhi standar minimal. Kemlu meletakkan standar kompetensi di puncak penilaian, lalu latar belakang pendidikan dan gender mengikutinya. Lihat saja komposisi formasi PKKRT (Penata Keuangan dan Ketatarumahtanggaan Perwakilan) dan PK (Petugas Komunikasi). Dari 40 kursi yang disediakan untuk PKKRT, hanya 10 yang terisi, padahal di tahapan ujian akhir diikuti hanya 13 peserta. Logika awalnya tentu 13 orang itu akan diterima semua sebagai PNS Kemlu kan?

Jika mau menggunakan aji mumpung bahwa 40 kursi PKKRT sudah disetujui Kemenkeu, Kementerian PAN dan RB, serta Badan Kepegawaian Negara, tentu saja terasa “sayang” hanya menerima 10 orang. Semua juga tahu bahwa kementerian/lembaga/instansi mana pun tidak mudah “meminta jatah” formasi PNS, karena harus melewati begitu banyak proses dan pertimbangan. Namun, itu tadi, kompetensi tetap menjadi alasan utama seseorang dapat diterima di Kemlu.

Jangan kaget pula saat melihat komposisi 10 orang PKKRT itu: 9 orang perempuan dan hanya 1 orang laki-laki! Jelas ini lebih “menyedihkan” dibanding formasi PDK (Pejabat Diplomatik dan Konsuler) ya. Hanya komposisi PK yang terlihat agak berimbang: 6 laki-laki dan 7 perempuan sehingga total 13 orang. Namun, itu pun sebenarnya tidak sesuai kebutuhan awal yang 20 kursi. Padahal, hampir sama dengan “kisah” PKKRT, pada ujian akhir jumlah peserta seleksi PK juga mepet, hanya 20 orang. Dengan 20 kursi disediakan, mestinya bisa lulus semua kan? Tapi, kalau perlu diulang: semua tergantung kompetensi peserta.

Jadi, kalau kelak Anda mengikuti ujian di Kemlu untuk formasi yang jumlahnya 60 kursi, misalnya, lalu yang ikut ujian tahap akhir hanya 60 peserta atau malah kurang dari itu, maka jangan kepedean pasti akan diterima. Tetaplah mengikuti ujian dengan mengeluarkan segenap kemampuan. Jangan sampai ada kekuatan atau kelebihan kita tidak terlihat, terutama diferensiasi kemampuan tertentu yang dapat menjadikan kita menonjol.

Hal-hal kecil harus disiapkan betul. Jangan sampai datang terlambat, jauh lebih baik menyediakan waktu setidaknya setengah jam sebelum waktu yang ditentukan untuk kita datang. Pakaian, apalagi saat wawancara substansi, harus dicamkan betul. Ada cerita bahwa salah satu peserta ujian mengenakan kemeja warna cerah dan celana bahan warna gelap. Itu pun rupanya masih dikritik seorang panelis penguji bahwa pakaian seperti itu sudah semestinya dilengkapi dasi, syukur-syukur disempurnakan dengan jas sekalian. Entah karena alasan itu atau karena alasan lain, peserta ujian itu pun tidak terlihat di antara nama-nama peserta Sekdilu 37.

Kejujuran penyelenggaraan seleksi juga terbukti dari kedisiplinan panitia. Misalnya saja suatu ketika saya mau tanya rute perjalanan ke tempat ujian. Karena sebelumnya sudah mendapatkan email dari satu panitia itu mengenai perubahan tempat ujian, sementara dalam email itu tercantum nomor ponsel bersangkutan, maka saya coba sms supaya lebih efektif dan efisien—karena saya pikir kalau menelpon ke nomor kantor pasti melewati beberapa “pesan cantik” alias operator telepon.

Saya sempat agak kesal juga waktu tidak mendapatkan balasan sms. Mau tanya rute saja kenapa tidak dijawab? Namun, saya kemudian tersadar bahwa saat mendaftar, memang ada ketentuan bahwa panitia tidak mengadakan surat-menyurat dengan peserta seleksi. Satu-satunya jalur komunikasi hanyalah melalui website https://e-cpns.kemlu.go.id. Di luar itu tidak akan dilayani.

Mungkinkah sms saya tidak sampai? Sepertinya tidak. Sepertinya memang karena panitia itu menyadari betul ketentuan tersebut. Karena saat kemudian selesai ujian tahap akhir, lalu saya kembali mengirim sms mengenai ketentuan daftar ulang di Pejambon, sms saya langsung dijawab. Dengan “tertutup”nya panitia seperti itu, tentu semakin terjamin independensi panitia tanpa terganggu intervensi siapa pun.

Proses rekrutmen CPNS Kemlu ini sendiri konon sering secara “gratis dipromosikan” oleh Kementerian PAN dan RB. Sebagai kementerian/lembaga pertama yang proses seleksinya sudah tersertifikasi Sertifikat Sistem Manajemen ISO 9001:2008, tidak mengherankan Kementerian PAN dan RB selalu merujuk pada Kemlu saat berbicara mengenai rekrutmen yang bersih, jujur, transparan, dan akuntabel.

Malahan, ada cerita bahwa pernah kementerian/lembaga lain ingin “memotong kompas” rekrutmen: karena percaya bahwa proses rekrutmen pegawai Kemlu demikian baik, instansi itu pun “meminta” peringkat tertinggi setelah formasi Kemlu terisi penuh. Misalnya Kemlu mengambil 60 orang, maka peringkat 61 dan seterusnya hendak diambilnya. Pihak Kemlu tentu tidak masalah, justru menyatakan bahwa sebenarnya memang perbedaan nilai antara tangga-tangga peringkat itu sangat tipis, mungkin hanya berbeda nol koma sekian. Namun, tentu tergantung pada peserta seleksi bersangkutan. Saat betul ditanyakan apakah peserta peringkat 61 itu mau direkrut instansi lain, rupanya dia menolak karena masih ingin berjuang mendapat tempat di Kemlu. Tentu tidak ada yang bisa memaksa.[]

Kelas C, 19 Maret 2013

Mitos dan Trik Masuk Kemlu (2)

Pada tahun 2007, sepupu saya masuk Kemlu. Hmm, saya pun hanya bisa bermimpi waktu itu. Dia menceritakan dengan gamblang bahwa dia tidak mengeluarkan sepeser pun untuk masuk Kemlu. Tidak pula dia punya famili atau kerabat di Kemlu. Dan kini, saya mengalami sendiri bahwa saya juga tidak perlu membayar serupiah pun untuk mendapatkan satu kursi calon diplomat ini.

Malahan, teman-teman banyak yang tidak percaya bahwa kemarin nyaris setiap kali tahapan ujian di Kemlu disediakan makan besar! Dimulai saat ujian tulis di PRJ Kemayoran pada September, memang seluruh peserta dikarantina dari pagi sampai hampir petang. Bisa bikin tambah stres, mungkin, selain stres menjawab ujian. Namun, Kemlu mau “bertanggung jawab” untuk itu, yaitu dengan menyediakan makanan yang amat layak: bisa memilih hoka hoka bento, KFC, atau McD. Porsinya pun terasa cukup sekali, bahkan untuk orang yang mudah lapar seperti saya.

Pada tahapan ujian selanjutnya, yaitu ujian bahasa pilihan, berbahagialah yang mengikuti ujian bahasa tertentu yang dilaksanakan di Pusdiklat Kemlu. Saya yang mengikuti ujian bahasa Arab, bersama seorang lainnya, alhamdulillah mendapat makan berat (lagi). Padahal, ujiannya hanya berlangsung dua jam, memang sih setiap ujian setidaknya kita harus datang satu jam sebelumnya. Adapun yang ikut ujian di luar Pusdiklat, setidaknya seperti bahasa Inggris di LIA Rawamangun, bahasa Jerman di Goethe Institute, rupanya tidak “seberuntung” kami.

Namun, saat ujian berikutnya yang berlangsung 5-9 November 2012 di Pusdiklat, kembali disediakan makan besar. Hanya hari pertama sih, mengingat ujiannya dari pagi jam 8 sampai jam 4 sore. Sementara hari-hari berikutnya tidak karena memang hanya berlangsung antara 30-60 menit untuk tiap peserta per harinya.

Saya memang tidak bisa menjanjikan bahwa ke depan akan selalu sama. Poin yang hendak saya garis bawahi adalah bahwa tidak perlu membayar sesen pun untuk masuk Kemlu, malahan pada saat tertentu kita begitu dihargai dengan disediakannya konsumsi itu. Tentu saja itu sangat membantu konsentrasi dan fokus kita mengikuti ujian, daripada masih harus memikirkan nanti di tengah-tengah ujian harus mencari makan apa dan di mana.

Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, saya memang punya saudara sepupu yang sudah 6 tahun sebelumnya masuk Kemlu, melalui Sekdilu 32. Namun, saat saya mengikuti seleksi Kemlu 2012, satu kali pun saya tidak pernah berhubungan dengannya. Pertama, karena saya dengar dia tengah penempatan di Yordania. Kedua, karena saya yakin betul bahwa ada tidaknya famili di Kemlu sama sekali tidak akan berpengaruh terhadap hasil seleksi.

Jauh sebelum itu, pada tahun 2005, saat masih di Cairo, saya berkesempatan bergaul dengan dua orang calon diplomat yang tengah magang di KBRI Cairo. Keduanya menceritakan bahwa memang ada anak menteri yang bisa masuk Kemlu. Tapi keduanya, juga teman-temannya, mengakui kompetensi sang anak menteri itu memang tinggi. Cerdas, wawasan luas, bahasa asing aduhai. Jadi, dapat dipastikan bahwa bukan karena anak menteri dia diterima di Kemlu, melainkan karena kemampuannya.

Beberapa hari yang lalu, saat Pembukaan Diklat Sekdilu 37 di Pejambon, kami berkesempatan bertemu dan berbincang santai dengan para pejabat eselon I dan II. Salah satunya adalah Kepala Biro Kepegawaian, Yuwono A. Putranto. Beliau menjelaskan bahwa tidak seorang pun di Kemlu, terutama panitia seleksi, tahu siapa saja yang lolos tahapan demi tahapan seleksi. Itu karena data yang digunakan hanyalah nomor-nomor ujian, bukan nama apalagi data lengkap peserta ujian.

Pada akhir seleksi, barulah dibuka satu persatu data peserta yang lulus tahap purna. Dari situlah kemudian dapat diketahui bahwa si A rupanya anak petani, atau anak pejabat, atau tidak pernah tinggal di tanah air sebelumnya, atau saudaranya B yang tahun sebelumnya masuk Kemlu, atau ini C dan D ternyata saudara kandung yang sama-sama diterima di Kemlu pada waktu bersamaan.

Karena itu pula, tidak ada yang menyangka kalau kemudian di antara 59 peserta yang kemudian mengikuti Sekdilu 37 rupanya hanya ada 4 sarjana hukum, padahal kebutuhan riilnya di Kemlu jauh di atas itu. Tidak ada yang tahu juga kalau ada 20 orang lulusan hubungan internasional, belasan lulusan ekonomi/manajemen, dan yang lain dari sastra asing, dan pendidikan bahasa.

Di sisi lain, ada pula yang mengatakan bahwa yang lulus CPNS Kemlu hanya dari kota/perguruan tinggi itu-itu saja. Ya itu tadi, sebetulnya tidak ada beda lulus dari mana pun. Asal lembaga yang mengeluarkan ijazahnya terakreditasi, lalu mengikuti seleksi dan memiliki kecakapan yang cukup, maka tidak ada halangan baginya masuk Kemlu. Posisinya sama dengan yang lain tanpa membedakan asal-usul. Itu tadi, datanya disimpan sejak pendaftaran, hanya angka-angka yang digunakan dalam setiap tahapan tes, lalu data baru akan dibuka lagi saat purna ujian.

Meski begitu, memang tidak dapat dimungkiri bahwa letak geografis cukup memengaruhi kesempatan seseorang untuk mengikuti seleksi CPNS kementerian/lembaga pusat, tidak hanya Kemlu tentunya. Untuk mengatasi hal ini, demi pemerataan, Kemlu membuka seleksi jalur khusus, yakni mendatangi beberapa perguruan tinggi di luar Jawa lalu mengadakan seleksi di sana. Seleksi pada 2012, terjaringlah 5 orang atau sekitar 10 persen dari keseluruhan formasi diplomat, dari Banda Aceh, Palangka Raya, Palu, Kendari, dan Manokwari.[]

Auditorium, 19 Maret 2013

Tuesday, March 19, 2013

Mitos dan Trik Masuk Kemlu (1)

Saat menjawab pertanyaan orang tentang pekerjaan lalu saya jawab, “Diterima CPNS (Kemlu),” maka seringkali ada pertanyaan mengiringi, “Bayar berapa,” atau “Ada kenalan siapa,” atau “Masak gratis sih?” Hal itu terutama terjadi jika orang tersebut tidak mengetahui seluk-beluk Kementerian Luar Negeri. Bahkan, sebagian teman yang sudah mengetahui tata cara formal masuk Kemlu pun rupanya ada yang masih menyangka bahwa beberapa kursi dari formasi yang ada sudah “dikhususkan” untuk para famili diplomat atau pejabat Kemlu.

Kebetulan teman satu ini memang ikut seleksi CPNS Kemlu 2012. Setelah mengikuti ujian tulis kompetensi dasar dan kompetensi bidang di Kemayoran pada 8 September 2012, semua peserta tentu dag-dig-dug menunggu-nunggu pengumuman kelulusan. Dijadwalkan akan diumumkan tanggal 2 Oktober 2012, rupanya mundur menjadi 9 Oktober 2012.

Para peserta ujian pun dibuat makin dag-dig-dug, tak terkecuali kami, saya dan teman itu. Suatu ketika, di hari antara 2-9 Oktober 2012 itu, teman saya menyeletuk, “Wah, ada apa nih Kemlu, masak sudah dijadwalkan sedemikian rupa kok ditunda?” Pada kesempatan berikutnya, dia menyangka—setengah canda dan setengah serius—bahwa bisa saja semua itu sudah di-setting sedemikian rupa, barangkali untuk mengakomodasi “titipan-titipan”. Saya sih meragukan sangkaan itu, meski saya tidak tahu juga saat itu.

Saya hanya tetap berusaha berbaik sangka bahwa di Kemlu kiranya tidak ada main-main. Mudah saja logikanya: akan terlalu mahal jika berani “menjual” kursi diplomat. Bukan Kemlu saja yang rugi kalau mempermainkan rekrutmen itu, salah-salah tercoreng semua wajah Indonesia. Itu karena profesi diplomat akan sering dan nyaris selalu bersinggungan dengan negara lain. Sedikit saja salah diketahui negara lain, tentu akan sangat memalukan bangsa Indonesia.

Maka saat kemudian diumumkan pada tanggal 9 Oktober 2012, yang menunjukkan bahwa saya dipersilakan ikut tahapan selanjutnya, sedang dia tidak, saya jadi berpikir, “Apakah ini berkah dari berbaik sangka atau husnudzon itu?” Tidak tahu juga. Tapi barangkali mau mencari pembenaran, entah pas atau tidak, sebenarnya jawaban saya untuk pertanyaan esai berbahasa Inggris jauh lebih pendek daripada jawaban teman itu. Dari 4 soal, saya hanya menulis jawaban 1 halaman lebih sedikit, sedang dia menjawab sampai 4 halaman.

Artinya, itu menunjukkan betapa bahasa Inggris saya begitu payah—mungkin dia lebih berhak untuk maju jika dinilai dari bahasa Inggris ini. Atau artinya yang lain: jawaban tidak mesti panjang, asalkan jelas dan tepat sasaran. Saya sendiri tidak begitu yakin apakah jawaban-jawaban saya betul-betul mengena, tetapi setidaknya saya berusaha melokalisasi jawaban dengan langsung ke pokok jawaban, tidak perlu bertele-tele. Karena saya memang tidak bisa berbasa-basi, ya, dalam bahasa Inggris. So, itukah efek baik positive thinking buat saya? Wallahu a'lam.

Trik padat-singkat itu yang saya pegang betul, mengingat minimnya kosakata apalagi grammar bahasa Inggris. Untuk mengakali serba-minim-Inggris itu, saya pun mengandalkan kosakata dan grammar yang ada dalam lembar soal. Beruntunglah karena lembar soal juga “menyediakan” cukup banyak kosakata Inggris. Nyaris setiap mau menjawab soal, selalu saya buka-buka dan teliti soal-soal sebelum dan/atau sesudahnya, barangkali ada kata-kata yang akan berguna untuk membantu saya menjawab satu soal esai tersebut.

Tertundanya pengumuman kelulusan ujian tulis juga bisa terjawab setelah mengetahui kesulitan teknis saat mengoreksi hasil ujian. Bayangkan, soal esai dari 3000 orang harus dikoreksi dan diteliti betul kelayakannya. Tentu bukan sekadar sepanjang apa jawaban, tetapi harus dilihat juga apakah substansi jawaban mengena sesuai pertanyaan yang ada. Hal ini justru menunjukkan keseriusan seleksi.

Entah mengapa sebagian orang masih menganggap bahwa setiap kali masuk menjadi CPNS maka seseorang harus membayar sejumlah tertentu uang tunai—atau transfer. Di mana pun instansi kementerian/lembaga itu. Sungguh ini merupakan PR kita semua, terutama para pemangku kebijakan, untuk menjaga agar jangan sampai rekrutmen CPNS, atau pegawai apa pun, bahkan di swasta, terkontaminasi suap-menyuap. Mari kita mulai dari diri kita sendiri, syukur kalau bisa menularkan pada orang lain.[]

Kelas A, 19 Maret 2013