Monday, October 04, 2010

Lebaran Kelas Berat

Hari Raya Idul Fitri selalu disambut dengan suka cita dan kemeriahan. Sesuai umur, berarti sudah dua puluh delapan kali saya melewati hari yang biasa disebut juga sebagai hari raya kemenangan itu. Saya pun menikmati datangnya hari yang oleh Upin dan Ipin disebut hari raye itu. Bahkan selama enam kali merayakan Hari Raya Idul di negeri nan jauh, negeri Firaun, rasanya juga fine-fine saja. Dalam artian, meski jauh dari keluarga, tetap saja bisa melewati raya id dengan riang gembira.

Namun, berbeda sekali dengan Idul Fitri 1430 yang baru lewat ini. Hari raya yang seharusnya bisa disambut dengan begitu bahagia, kali ini rasanya begitu getir. Ya, ada cukup banyak alasan yang bisa membuat kegetiran rasanya tidak mau menjauh dari hati ini. Memang harus bersabar, dan karenanya muncul tulisan ini, sekadar untuk curhat sehingga saya berharap dapat sedikit lega mengeluarkan uneg-uneg yang melanda kalbu.

Alasan pertama dan utama adalah tentu karena lebaran kali ini merupakan lebaran paling awal tanpa ada orang yang sangat saya—dan keluarga—cintai dan butuhkan di tengah kami: Bapak. Saya pribadi mungkin bisa tidak terlalu merasakan kekurangan itu karena saya berlebaran di rumah mertua, yang masih lengkap bahkan dengan jumlah keluarga besar yang jauh lebih banyak dibanding keluarga saya.

Namun, bagaimana dengan Ibu yang untuk pertama kalinya setelah berpuluh-puluh tahun berlebaran tidak ditemani belahan hati? Memang sudah hampir setengah tahun Ibu tidak didampingi Bapak dalam keseharian. Duka mendalam yang dirasakan saat kehilangan Bapak mungkin sudah bisa dilupakan sedikit demi sedikit. Hanya saja, rupanya ujian memang harus terjadi jika memang sudah "dijadwalkan" oleh-Nya.

Hari pertama Idul Fitri, masih seperti tahun-tahun sebelumnya, meski tidak seramai tahun-tahun yang lalu, rumah kami tetap didatangi orang-orang sekampung. Begitulah jika rumah masih ditinggali orang yang sudah tua atau dituakan; senantiasa didatangi banyak orang. Ibu yang pada hari-hari akhir bulan puasa mengerahkan tenaga lebih banyak untuk bersiap berlebaran, kondisi fisiknya menurun, meriang dan batuk-batuk. Alhamdulillah masih kuat menunaikan shalat id, tetapi setelah itu ngedrop.

Di luar itu, sempat ada beberapa orang yang datang, saat bersalaman dengan Ibu, tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Apalagi jika yang datang masih sanak keluarga, menangis lebih menjadi-jadi dan tanpa sadar terkadang menyebut atau mengingatkan agar Ibu tabah. Tentu hal ini makin mendekatkan lagi Ibu pada bayang-bayang Bapak. Ibu pun menjadi ikut-ikutan menangis tak bisa menahan sedih ataupun haru. Walhasil, sampai hari kelima lebaran, Ibu masih belum sehat betul. Bahkan pada hari kedua hingga keempat, Ibu menemui tamu dengan tiduran di kamar.

Selain Ibu, rupanya Mas Luqman (kakak ketiga saya) dan Kaisa (2 tahun, putri Mas Luq) juga sakit. Mas Luqman terkena gejala typhus, sementara Kaisa sepertinya gejala demam berdarah. Ada pula Dayat (8 tahun, anak ketiga Mba Anis [kakak pertama saya]) yang terkena radang tenggorokan. Mas Luqman tidak fit dari sekitar dua hari sebelum lebaran sehingga hari pertama lebaran pun tidak bisa keliling kampung bermaaf-maafan.

Kaisa malahan sampai harus dirawat di Puskesmas Rawat Inap Limpung pada siang hari kedua lebaran. Malam harinya, Dayat yang tak kunjung membaik juga akhirnya dibawa ke tempat perawatan yang sama. Awalnya Mba Anis sekadar mau menjenguk Kaisa, tetapi kemudian ditelpon orang rumah bahwa Dayat makin rewel. Mbak Anis pun berinisiatif membawa Dayat ke Puskesmas Rawat Inap pula, paling tidak untuk menemani Kaisa.

Ternyata sore keesokan harinya, Kaisa sudah membaik dan diperbolehkan pulang, sedangkan Dayat justru belum sehat juga. Kaisa pun dibawa pulang sehingga terpaksa Dayat sendirian. Malahan, Dayat sampai tiga hari harus dirawat di Puskesmas. Itupun sebenarnya belum terlalu sehat, tetapi karena Dayat sendiri yang selalu minta dibawa pulang. Begitu pula dengan Kaisa, sesungguhnya sama belum terlalu sehat, karenanya saat dibawa ke rumah masih rewel-rewel saja.

Di permukaan bumi yang lain, tepatnya Nganjuk, Mas Hakim (kakak kedua saya), Mbak Hikmah (kakak keempat saya) dan Mas Malik (suami Mbak Hikmah) beserta kedua anak, hendak sungkem pada Ibu, berangkat pada hari kedua malam sekitar pukul 23.00. Baru sekitar lima kilometer perjalanan, rupanya ada pula ujian yang harus mereka lalui. Zebra milik Mas Malik yang mereka tumpangi harus mogok. Mereka pun tidak bisa melanjutkan perjalanan.

Selalu ada solusi dalam setiap permasalahan. Mereka pun memilih kembali dan menyervis mobil di rumah daripada kelak dalam perjalanan harus mogok lagi. Setelah itu, Mas Malik dan Mas Hakim terpaksa ke Jombang untuk mengambil Super Carry milik Mas Hakim. Keesokan paginya, mereka baru bisa melakukan perjalanan lagi. Itupun bukan perjalanan yang mulus-mulus saja karena macet mengadang di mana-mana. Perjalanan yang biasanya dapat ditempuh dalam 7-8 jam, kali ini memakan waktu 15 jam lebih.

Memang lebaran yang berat untuk kami. Ya Allah, kuatkan hati kami dan seluruh kaum muslimin.[]

Demblaksari, 1 Oktober 2010


Khasiat Shalawat

Tadi subuh serasa ada yang menggerakkan tangan untuk memencet remot TV, rupanya menuju SCTV, sebuah film komedi produksi Hongkong. Genre favorit nih. Namun, baru sekian adegan tiba-tiba beralih menuju siaran SCTV lokal Yogyakarta. Hmm... bakal ada siaran yang sedikit amatiran pastinya, pikirku. Remot pun dipencet-pencet lagi berubah-ubah saluran.

Tidak ada juga acara yang cocok hingga akhirnya kembali ke SCTV. Tampak seorang yang memakai blangkon tengah ceramah, menerangkan tentang... shalawat. Tentu shalawat kepada Baginda Rasul Muhammad. Hmm, asyik juga cara SCTV Jogja menunjukkan identitas daerah. Pakaian yang njawani, tetap isi ceramahnya sungguh universal, untuk kalangan penganut agama Islam tentunya.

Dengan bahasa yang renyah dan diselingi candaan-candaan yang rada garing, dipikir-pikir sayang nih tidak mengikuti dari awal sehingga tidak tahu siapa nama penceramahnya. Guyonan yang dimunculkan sebenarnya asyik juga, tetapi karena tidak dihadapi audiens langsung sehingga tidak ada yang tertawa, menjadikan suasana garing. Saya mau tertawa sendiri tentu juga tidak lucu karena hari masih benar-benar sepi.

Saat mendengar ceramah ustadz (demikian ia mengidentifikasi dirinya sendiri) ini, saya mendapatinya tengah menerangkan bahwa seseorang kelak akan bersama orang yang dicintainya. Ia lalu menafsirkan bahwa jika seseorang mencintai artis maka kelak di akhirat orang itu akan bersama artis. Hubungannya dengan shalawat, sang ustadz melanjutkan, jika seseorang kelak ingin berada di surga, ditemani Rasulullah, maka tentu harus mencintai beliau. Nah, salah satu cara yang paling mudah sebagai implementasi mencintai Rasulullah adalah sering-sering membaca shalawat.

Sang ustadz juga mendakwahkan bahwa shalawat memiliki banyak manfaat. Di antaranya sebagai "pengabul" doa, dalam artian dengan diiringi shalawat maka doa tidak akan ditolak oleh Allah swt. Hal ini sudah banyak contohnya. Sebut saja kisah manusia pertama, Nabi Adam, yang dahulu dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi, demikian halnya sang istri, Siti Hawa, tetapi keduanya dipisahkan jauh-jauh.

Begitu kangennya Nabi Adam kepada sang istri sehingga selalu berdoa, meminta kepada Allah agar ia dipertemukan lagi dengan Siti Hawa. Bertahun-tahun Nabi Adam berjalan sendirian menyusuri permukaan bumi untuk mencari sang istri tercinta. Selama itu pula ia selalu berdoa memohon bantuan Allah agar segera bisa bertemu Siti Hawa; dan selama itu pula doanya tidak juga dikabulkan Allah.

Hingga suatu ketika Nabi Adam teringat sebuah tulisan di salah satu pintu surga: Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Ia pun kembali memanjatkan doa: Ya Allah, atas kemuliaan asma Muhammad yang tertera di pintu surga, pertemukanlah aku dengan istriku. Tidak lama setelah itu, benar saja, di jabal Rahmah, keduanya bertemu kembali.

Dalam kisah lain, sang ustadz menukil dari kitab Durratun Nashihin, ada seorang yang ketika hidup berkulit putih dan wajahnya pun senantiasa berseri-seri. Namun, saat ajal menjemput, setelah dikafani dan dishalati, ternyata wajahnya berubah menjadi berwarna hitam. Keluarganya yang melihat pun menangis. Apalagi setelah itu muncul sas-sus yang menyebutkan bahwa orang itu berarti mati dalam keadaan su`ul khatimah.

Saat tidur, anak orang yang meninggal itu bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat Rasulullah saw. mendatangi jenazah ayahnya. Beliau terlihat membuka kain kafan sang ayah, lalu mengusap wajahnya dengan tangan beliau yang mulia. Ajaib, seketika itu pula wajah jenazah itu berubah menjadi putih berseri lagi. Sang anak pun heran, bagaimana mungkin Baginda Rasul mau mendatangi ayahnya yang menurut banyak orang dianggap STMJ: shalat terus maksiat jalan.

Sang anak pun bertanya kepada Rasulullah mengapa beliau mau mendatangi ayahnya dan memberikan syafaat beliau kepadanya. Rasulullah menjawab bahwa beliau mendatangi ayahnya karena ayahnya itu rajin membaca shalawat kepada beliau. Setiap kali ada waktu senggang, rupanya sang ayah selalu membacakan shalawat kepada Rasulullah.

Saat terbangun dari tidurnya, sang anak pun segera mendatangi jenazah ayahnya yang memang belum dikuburkan. Ia membuka kain kafan yang menutupi wajah ayahnya. Masyaallah, rupanya apa yang ada dalam mimpinya benar-benar nyata; wajah ayahnya kembali terlihat cerah berseri-seri.

Ada pula cerita lain dari Turki. Alkisah, ada seorang yang begitu mencintai Rasulullah hingga ia menciptakan beberapa bait syair khusus yang berisi shalawat untuk beliau. Bait yang dirangkai nan indah itu pun senantiasa ia panjatkan kepada Rasulullah. Dalam bait itu ia juga mengungkapkan betapa ia sangat merindukan Tanah Suci. Namun, apa daya, ia bukanlah orang yang cukup mampu untuk pergi haji.

Pada saat yang lain, ia juga menulis Alquran secara lengkap dengan tangannya sendiri. Setelah selesai menulis Alquran itu, ia berwasiat kepada anaknya bahwa kelak jika ia meninggal dunia, Alquran hasil tulisan tangan sendiri itu ikut dikuburkan bersama jasadnya. Ketika ia wafat, sang anak pun melaksanakan wasiat ayahnya itu.

Sekitar sepuluh tahun kemudian, sang anak ditakdirkan menjadi orang berada dan memiliki cukup bekal untuk menunaikan ibadah haji. Ia pun berangkat ke Tanah Suci untuk melaksanakan rukun Islam kelima. Di Tanah Suci, selain beribadah, ia menyempatkan diri untuk mampir ke sebuah toko membeli sesuatu. Di toko itu, rupanya ia melihat sebuah Alquran yang menurutnya sangat familiar biasa ia lihat. Saat Alquran itu ia buka, ia sangat takjub, sepertinya Alquran itu persis sekali dengan Alquran hasil tulisan tangan ayahnya.

Ia pun bertanya kepada penjaga toko dari mana mendapatkan Alquran tersebut. Penjaga toko menjawab bahwa Alquran itu didapatkan dari seorang penggali kubur. Sang anak pun meminta dipertemukan dengan penggali kubur dimaksud. Saat bertemu, sang anak bertanya dari mana si penggali kubur menemukan Alquran itu. Si penggali kubur bercerita bahwa saat menggali kubur di Madinah, ia mendapati Alquran tersebut di dalam liang lahat. Sang anak pun meminta diantar ke kuburan dimaksud.

Penggali kubur mengantarkan sang anak ke Madinah tepat di mana ia menemukan Alquran. Sang anak lalu meminta penggali kubur untuk membuka kembali liang lahat tempat ditemukannya Alquran tadi. Luar biasa, saat digali, kain kafan yang menyelimuti jasad itu masih utuh, demikian juga dengan tubuh yang dikubur. Saat melihat jasad itu secara lengkap, sang anak kaget bukan main karena jasad itu adalah jasad ayahnya. Karena syafaat Rasulullah, jasad sang ayah rupanya berpindah dari Turki ke Tanah Suci.[]

Demblaksari, 1 Oktober 2010