Sunday, January 02, 2011

Makna Ketundukan Santri

Pesantren salaf selama ini mungkin dicap sebagai lembaga pendidikan yang terbelakang, kumuh, dan tidak sesuai perkembangan zaman. Namun, sebenarnya ada banyak nilai yang diajarkan di pesantren salaf yang sulit dapat ditemukan di lembaga pendidikan lainnya. Nilai niat mencari ilmu biasanya tidak ditekankan dalam pendidikan formal di tanah air. Karena itu, sudah jamak adanya jika peserta didik ditanya untuk apa belajar di sekolah ekonomi, misalnya, maka dia akan menjawab supaya menjadi pengusaha kelas atas sehingga menjadi orang yang makmur dan memiliki uang atau harta melimpah.

Di pesantren, tentu saja tidak dibenarkan mempelajari suatu ilmu niatnya justru hanya untuk mengumpulkan kekayaan dunia. Pesantrenlah yang dengan kuat memegang hadits Rasulullah saw., "Barang siapa yang mempelajari suatu ilmu yang seharusnya ditujukan untuk memperoleh ridha Allah, tetapi ia justru mempelajarinya hanya untuk mendapatkan keuntungan di dunia maka pada hari Kiamat ia tidak akan dapat mencium bau surga." (HR. Abu Dawud)

Nilai lain yang biasanya ditekankan di pesantren-pesantren—dan tidak ditekankan atau malah terabaikan di lembaga formal mana pun—adalah pernghormatan terhadap guru, dosen, ustad, atau kiai. Pada umumnya, pengajar—baik itu guru, dosen, ustad, maupun kiai—tentu lebih tua atau memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik—baik siswa, santri, maupun mahasiswa. Karena itu, tentu saja peserta didik wajib menghormati pengajarnya. Setidaknya hal itu merupakan cerminan dari penghayatan hadits Rasulullah saw., "Tidak termasuk umatku orang yang tidak mau mengasihi orang yang lebih kecil (muda) atau tidak mau menghormati orang yang lebih besar (tua)." (HR. Tirmidzi)

Di sisi lain, pengajar selaku orang yang memiliki kelebihan ilmu dibandingkan dengan peserta didik begitu dijunjung oleh Islam. Allah swt. dan Rasulullah saw. tidak hanya sekali atau dua kali menyebutkan kelebihan orang yang memiliki ilmu. Allah swt. berfirman, "...niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat." (QS. Al-Mujadilah [58]: 11)

Adapun Rasulullah saw. bersabda, "...Sesungguhnya seluruh penduduk langit dan bumi, bahkan ikan-ikan di dalam lautan akan memohonkan ampunan kepada Allah untuk orang yang berilmu...." (QS. Abu Dawud)

Rasulullah saw. juga pernah bersabda, "Keutamaan seorang ulama (orang yang berilmu) atas seorang yang rajin beribadah sama seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah derajatnya di antara kalian (umat Islam)." Beliau lalu melanjutkan, "Sesungguhnya Allah swt., para malaikat, seluruh penduduk langit dan bumi, bahkan semut di lubang persembunyian mereka dan ikan-ikan senantiasa berdoa (menghormati) orang yang mau mengajarkan kebaikan kepada orang lain (manusia)." (HR. Tirmidzi)

Dari hadits yang terakhir disebutkan tadi, kita dapat melihat betapa Allah sangat menghormati orang yang berilmu, apalagi orang tersebut mau menularkan ilmunya kepada orang lain. Karena itu, tidak mengherankan jika di pesantren-pesantren, santri diajarkan untuk sangat menghormati ustad dan kiai. Saya sendiri pernah melihat betapa unik cara para santri menghormati pengajar mereka. Saya pernah mengunjungi sebuah pesantren besar di Jawa Timur bertepatan dengan hari Jumat. Ibadah shalat jumat pun dilaksanakan di masjid kompleks pesantren tersebut. Tidak ada yang beda dengan masjid pada umumnya, sejak sebelum pukul 11 masjid sudah disesaki jamaah, yang kemudian bersama-sama membaca zikir.

Hanya saja, beberapa saat sebelum bedug ditabuh tanda masuk waktu shalat, terlihat pemandangan unik. Shaf jamaah yang tadinya rapat dari depan hingga belakang di dekat pintu luar masjid, tiba-tiba terbuka. Hal itu didahului dengan suara tepukan salah seorang santri, lalu tiba-tiba barisan shaf paling belakang membuka selebar satu meter, lalu diikuti shaf yang di depannya, lalu depannya, lalu depannya lagi, begitu seterusnya sampai shaf paling depan. Tidak itu saja, santri yang berada di dekat shaf yang terbuka itu pun lalu berebutan meletakkan sajadahnya di shaf-shaf yang terbuka.

Rupanya hal itu membentuk semacam jalan dari pintu masjid di shaf paling belakang hingga bagian masjid di shaf terdepan. Jika diukur, barangkali jalan itu bisa dilalui sekitar dua orang secara berjejeran. Jalan tersebut pun dilengkapi sajadah yang tertata cukup rapi layaknya jalan seorang raja yang terhampar dengan karpet merah.

Tidak lama kemudian, seseorang tampak berjalan dengan agak cepat melalui "jalan" tersebut. Para jamaah—yang hampir semuanya santri—pun tampak menundukkan kepala mereka saat orang itu melewati shaf-shaf demi shaf dari belakang hingga ke depan. Rupanya yang baru lewat itu adalah seorang kiai. Kiai yang tentu sangat dihormati oleh para santrinya.

Fenomena seperti ini barangkali sebenarnya sudah umum terjadi di kalangan pesantren. Ketundukan dan penghormatan yang begitu besar dari seorang santri terhadap guru dan kiainya tentu bukan barang aneh di pesantren. Walaupun, di luar sana, bisa saja akan muncul pro-kontra mengenai hal itu.

Pada zaman modern sekarang ini, ketundukan semacam itu mungkin dianggap sebagai kultus individu yang tidak perlu. Bisa saja hal itu malah dianggap sebagai semacam "perbudakan". Namun, sebenarnya penghormatan seperti itu merupakan salah satu implementasi dari hadits tadi. Tentu hal ini merupakan nilai positif yang tidak terbantahkan. Terhadap semua orang kita memang harus hormat, apalagi kepada orang yang memberikan dan menularkan ilmu kepada kita.

Hanya saja, penerjemahan atas penghormatan ini bisa bermacam-macam. Di kalangan pesantren, penghormatan diterjemahkan dengan tatacara seperti fenomena di atas itu; tentu sah-sah saja. Di tempat lain, mungkin ada penerjamahan yang berbeda sama sekali; tentu juga sah-sah saja. Bahkan, sesama pesantren pun memiliki tatacara yang berbeda dalam menerjemahkan "kewajiban menghormati guru" itu. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan dalam hal perbedaan penerjemahan itu. Satu hal yang perlu dipermasalahkan adalah jika ada seorang peserta didik tidak menghormati guru atau pengajarnya.[]

*Tulisan untuk buletin jumat sebuah masjid dan merupakan hasil revisi dari tulisan sebelumnya berjudul "Ketundukan Santri"