Tuesday, July 26, 2011

Jujur Hancur Lebur

Dunia hukum-politik tanah air sedang marak pembahasan mengenai perlindungan terhadap whistleblower, yaitu orang yang berani mengungkap kesalahan sistemis, meski ia sendiri termasuk dalam lingkaran kesalahan itu. Namun, perlindungan terhadap whistleblower rupanya maih perlu ditingkatkan. Buktinya, Agus Condro (orang Batang euy!) yang berani jujur mengungkap skandal suap pemilihan Deputi Gubernur BI, dihukum nyaris sama dengan tersangka lain yang berbelit-belit saat ditanya kasus sama. Mungkin hukuman Agus Condro sudah pas, hukuman untuk tersangka yang lain itulah yang perlu dilipatgandakan sekian kali agar lebih adil.

Namun, begitulah “hukum” di Indonesia, siapa yang berani jujur, dia akan hancur lebur; siapa yang mau berbuat baik, tak jarang justru menjadi panik. Begitu banyak cerita penipuan atau bahkan penggarongan yang dimulai dengan kedok minta tolong terlebih dahulu. Buat para sopir lintas Jawa-Sumatra, konon tidak pernah mau menolong orang di tengah jalan. Semisal ada orang yang melambai-lambai di tengah jalan, katanya lebih baik ditabrak sekalian karena bisa jadi itu tipu muslihat para perampok atau bajing loncat untuk menghentikan kendaraan lalu ganti menguasainya.

Tadi pagi pun saya mengalami kisah yang mirip: jujur mungkin hancur. Kalau saya jujur mau membantu, mungkin saya bisa dikerjai di tengah jalan. Ceritanya berawal dari menjemput teman di jalan besar, sekitar pukul empat pagi. Kami berempat, dua penjemput dan dua tamu, mengendarai dua motor. Di belokan terakhir sebelum sampai rumah—sekitar 20 meter dari rumah—ada perempuan teriak-teriak minta tolong.

“Tolong saya Mas, laki-laki ini mengganggu saya. Dia menggerayangi saya. Memegang-megang kemaluan saya,” katanya sambil (mencoba) terengah-engah. Sementara lelaki di sampingnya, bermotor plat AB, menimpali, “Bohong Mas, saya gak ngapa-ngapain kok.”

Saya tidak mau langsung percaya. Sempat sedikit deg-degan juga, akhirnya saya ajak keduanya ke depan rumah tetangga saya yang kebetulan seorang polisi. Si perempuan mau jalan, tetapi si lelaki malah ngilang ga tau ke mana. Di depan rumah pak polisi, saya tanya, “Mba asli mana?” Dia jawab, “Pekalongan.” “Wah, nekad bener ini jawabnya, ga tau yang dia hadapi ini orang pekalongan,” pikir saya. “Pekalongan mana?” tanya saya. Setelah agak lama mikir, dia jawab dengan agak ragu, “Bendan... mmm, Podosugih.” Saya tanya lagi, “Mana tu?” Dia jawab lagi-lagi dengan ragu, “Pekalongan Barat.” Saya bentak aja, “Mana ada itu Pekalongan Barat.” Padahal saya sendiri ragu benar atau tidak itu masuknya Pekalongan Barat, hehe. Tapi itu saya lakukan untuk menggoyahkan dia saja.

Merasa saya belum percaya, dia bilang sakit perut. Saya masih diam saja. Dia lalu minta air. Air putih saja. Saya masih tidak menggubris. Lalu saya tanyakan kartu identitasnya. “Tidak ada Mas, saya buru-buru. Tadi saya dikejar-kejar pacar saya.” Saya makin tidak percaya karena mana mungkin orang lari sampai ke kampung saya yang agak di dalam, lumayan jauh dari jalan besar.

Setelah melihat saya tidak begitu memedulikannya dan justru menanyakan macam-macam, dia memilih lari. Ketika saya kejar, dia lari makin menjauh. “Sini Mbak kalau mau berlindung, ini rumah pak polisi,” saya teriakkan begitu. Dia menjawab, “Tidak usah Mas.” Begitu sambil lari makin menjauh lagi.

Tidak lama kemudian, pak polisi keluar dari rumahnya. Menanyakan ada apa, saya ceritakan apa yang sebelumnya terjadi. Pak polisi pun berkesimpulan bahwa itu salah satu modus kejahatan. Kebetulan di depan rumah pak polisi ada mobil Xenia punya tetangga diparkir di luar rumah. “Mungkin dia ngincer mobil ini,” kata pak polisi.

Seandainya saya luluh, jujur, mau menolong perempuan itu, apa yang kira-kira terjadi? Wallahu a’lam. Bukannya berburuk sangka, tetapi inilah kewaspadaan.[]

Jomblangan, 26 Juli 2011