Thursday, November 27, 2008

Tentang "Ketika Cinta Bertasbih" (2)


Baru saja saya mendapat kabar bahwa syuting film "Ketika Cinta Bertasbih" (KCB) di Mesir telah usai. Rombongan yang dipimpin sutradara kawakan, Chaerul Umam, dan disimak langsung oleh sang penulis novel, Kang Abik, pun telah kembali ke tanah air. Menurut produser film ini, KCB bakal lebih booming daripada AAC. Barangkali salah satu kelebihan sekaligus daya tarik film ini dibandingkan AAC dalah bahwa film itu didominasi setting Mesir. Berbeda dengan AAC yang justru "menembak" sungai di India untuk dijadikan sebagai Nil yang terkenal itu.

Itu memang salah satu keunggulan yang kiranya bakal menyedot rasa penasaran audiens. Hanya saja, saya kira sebenarnya dari segi cerita, novel KCB ini tidak bisa diunggulkan dibandingkan dengan AAC. Bukti paling konkret kiranya dapat kita lihat dari angka penjualan KCB yang--konon--masih di bawah novel AAC.

Kelebihan lain yang dimiliki buku ini, tokoh utama lebih “membumi”. Banyak yang mengatakan bahwa Fahri dalam AAC laksana malaikat—karena memang seperti sosok sempurna. Sisi kesempurnaan Fahri dalam AAC terkurangi dalam sosok Azzam dalam KCB. Namun, tetap saja rasanya Kang Abik “konsisten” dengan bayang-bayang sosok teladan yang harus ditiru pemuda masa kini: ulet, pekerja keras, dan pantang menyerah.

Sama seperti AAC, KCB juga mengandung banyak hikmah. Kaya dengan nasihat-nasihat, baik yang tersurat maupun tersirat. Bahkan, dalam bab tertentu tanpa sungkan Kang Abik menukilkan kutipan dari kitab karya ulama klasik. Kitab tasawuf terkenal misalnya, Al-Hikam dinukil dan diterangkan begitu panjang lebar.

Selain itu, ilmu-ilmu dalam bidang lain juga sempat diselipkan di antara jalan cerita. Psikologi, fisika, bahkan ilmu titen yang banyak dipakai orang-orang Jawa kiranya dapat turut memperluas wawasan pembaca. Ada juga puisi-puisi yang terangkai begitu indah, baik karya Kang Abik sendiri maupun kutipan dari para pujangga. Dan dengan jujur, Kang Abik menyebutkan sumber kutipan—jika memang mengutip dari orang lain.

Kelas Kang Abik dalam KCB begitu kentara dalam buku kedua dari dwilogi ini. Di episode klimaks dan antiklimaks, Kang Abik sangat pandai memainkan emosi pembaca. Saat membaca buku kedua, kita akan dengan mudah merasuk menjadi sosok-sosok yang seakan terlibat langsung dalam jalan cerita.

Perbedaan cukup mencolok terlihat jika dibandingan dengan buku pertama. Bahkan, bisa jadi muncul prasangka, akankah buku ini sekadar “proyek” dua jilid? Maklum, inti cerita hampir semua terkumpul dalam episode kedua. Pada buku pertama, kelihatannya terlalu banyak “bunga-bunga” tulisan yang sebenarnya tidak perlu. Memang, jika “bunga-bunga” itu tidak dicantumkan, barangkali untuk dijadikan satu jilid masih terlalu tebal. Namun, alangkah indahnya jika “bunga-bunga” yang ada dapat lebih “dikendalikan” sehingga tidak mengurangi kehebatan novel ini.

Pada jilid pertama juga, terdapat deskripsi alam yang bertele-tele sehingga membuat kesan kurang renyah dibaca. Hal ini bukannya memperindah dan memperlihatkan kelihaian Kang Abik memainkan kata-kata, melainkan justru mengurangi bobot buku ini.

Kekurangan lain buku ini, yaitu masih cukup banyak kesalahan penulisan ‘salah ketik’, padahal yang saya baca adalah cetakan kelima. Masih bisa ditoleransi barangkali jika sekadar kurang satu-dua huruf atau titik-koma. Namun, kesalahan cukup fatal sempat terlihat dalam penyebutan nama orang.

Secara umum, novel KCB ini memang layak diangkat menjadi tontonan di layar lebar. Kita lihat saja nanti, akankah Azzam mampu mengalahkan popularitas Fahri? Dalam versi buku, Azzam masih kalah populer, bagaimana dengan versi film? Kita tunggu saja![]


Ruang Produksi, 28 November 2008