Thursday, December 20, 2012

Dari Pekalongan, Kembali ke Jakarta via Jogja


Domisili di Pekalongan, tetapi kembali ke Jakarta harus melalui Yogyakarta. Padahal, Yogya ada di sebelah tenggara Pekalongan, sedang Jakarta ada di barat Pekalongan. Namun, begitulah perjalanan kehidupan yang harus dilalui.

Tiga belas bulan tinggal di Jakarta, Februari 2008-Maret 2009 meninggalkan kesan cukup mendalam. Suka dan duka mewarnai perjalanan tiga belas bulan  itu. Sungguh-sungguh berkesan. Banjir, macet, dan polusi adalah hal yang paling menjengkelkan. Dan ketiganya adalah prototip Jakarta.

Jarak dan ketiga prototip Jakarta itu hanyalah merupakan tantangan, bukan hambatan. Atau hambatan yang dijadikan tantangan. Kini tantangan itu harus kembali untuk dihadapi. Diawali dengan berkelana di Yogya untuk melanjutkan kuliah di KTT UGM. Mulai September 2009, Alhamdulillah lulus Agustus 2011, lalu wisuda Oktober 2012.

Setahun berikutnya ada kesempatan, atau tantangan, balik ke Jakarta. Kali ini bukan swasta, melainkan rekrutmen CPNS Kementerian Luar Negeri. Menjadi diplomat adalah impian saat kuliah di Cairo dulu. Bercengkerama dengan para homestaff KBRI Cairo terasa menarik, lalu seperti ingin menarik diri untuk “bergabung” dengan korps mereka.

Itu pula salah satu alasan melanjutkan kuliah di Yogya. Dengan hanya S1, usia sudah habis untuk mendaftar CPNS Kemlu. Jadi, harus S2! Terima kasih kepada M. Najibul Khairi dan Wira Kautsari yang senantiasa “memanas-manasi” enaknya kuliah di KTT UGM. Bandingannya adalah dengan pekerjaan saat itu: editor di penerbit Jakarta.

Kuliah di Yogya berpendapatan (beasiswa) 1,5 juta, kerja berpendapatan 1,4 juta. Kuliah masuk paling 4-5 kali seminggu, itu pun hanya 2-4 jam di kampus tiap datangnya. Kerja masuk 5, bahkan belakangan 6 kali seminggu, mulai jam 8 pagi sampai jam 5 sore, belum kalau lembur. Siapa yang tidak ngiler?

Tapi sebenarnya kalau kondisi kantor masih mengasyikkan, saya tetap tak akan memilih kuliah lagi. Tapi itulah jalan hidup. Keluar kantor Maret 2009. Daftar S2 April 2009. Diumumkan diterima tanpa beasiswa Juli 2009. Eh, rupanya dapat beasiswa pada pengumuman September 2009. Ayo ke Yogya!

Dan rupanya ijazah Yogya itulah yang mengantarkan kembali langkah ke Jakarta yang: macet, banjir, polusi. Apa pun, profesi diplomat adalah impian. Seberat apa pun tantangan, siap dihadapi; cieeeeee…. :D

Yah, itulah yang terjadi. Sekarang, setelah daftar ulang ke Pejambon (5/12/12), lega rasanya. Lega sekali setelah melalui tahapan-tahapan tes yang begitu menguras tenaga. Dan… rasa yang paling terasa tentunya keberuntungan. Ya, tanpa keberuntungan, kiranya berat untuk dapat mengambil bagian dari 60 kursi yang tersedia. Walhamdulillah.[]

Wonoyoso, 19 Des 2012

Tuesday, November 20, 2012

Kisah Antikorupsi (1)

AB menyelesaikan S2-nya di Universitas Al-Azhar, sebagaimana ia mendapatkan gelar Lc.-nya. Sesaat setelah sidang tesis, ia pun mendatangi pembimbing utamanya. Sebagai rasa terima kasih, ia juga menyiapkan sejumlah uang untuk diberikan kepada sang pembimbing. Namun, sang pembimbing menolak dengan halus.

AB tak patah arang. Ia bertekad betul-betul bisa memberikan sejumlah uang itu kepada sang profesor. Maklum, selama bertahun-tahun di Al-Azhar, ia selalu mendapat beasiswa. Nyaris tak pernah mengeluarkan uang sepeser pun untuk keperluan pembelajarannya, apalagi uang yang kemudian diterimakan kepada dosen-dosennya.

Sebagai orang Indonesia yang menjunjung tinggi adat ketimuran, ia pun berniat mengucapkan terima kasih sekaligus berharap sang pembimbing mau menerima sejumlah uang. Tentu tidak sebagai suap atau semacamnya, karena toh nilai sidang tesis juga sudah keluar. Juga tidak ada kongkalikong sebelum sidang tesis antara dirinya dengan pembimbing utama untuk mengarahkan agar kelak dapat nilai tinggi.

Sidang tesis berjalan sebagaimana mestinya. Tidak ada intervensi atau arahan sedikit pun untuk menjadikan sidang tersebut menguntungkan salah satu pihak. Semua berjalan natural tanpa skenario. Artinya, memang tidak ada celah untuk terjadinya serah terima “uang terima kasih”.

Namun, tentu bukan itu niat AB. Ia ingin berterima kasih bukan karena nilai yang diterima saat sidang, atau berkat lancarnya jalannya sidang. Ia berterima kasih hanya karena merasa sang pembimbing telah betul-betul membimbingnya dengan baik, tulus, dan memberikan banyak manfaat. Sementara di sisi lain, AB merasa tak pernah mengeluarkan sesen pun untuk keperluan itu.

Karena itu, tekadnya betul-betul bulat untuk menyerahkan uang itu. Setelah ditolak pada kesempatan pertama, AB pun mencari siasat bagaimana uangnya itu bisa diterimakan kepada sang pembimbing utama. AB kemudian punya ide; memberikan hadiah mushaf, lalu uang itu dimasukkan ke dalam mushaf.

Setelah membeli mushaf, AB menghubungi pembimbing utama untuk diperkenankan sowan ke rumahnya. Pembimbing utama membolehkan, tetapi dengan syarat kedatangannya itu tidak untuk memberikan uang. AB setuju.

Pada hari yang ditentukan, AB sowan ke rumah pembimbing, tentu dengan membawa mushaf sebagai hadiah itu. Setelah berbasa-basi, AB mengeluarkan hadiah dan hendak menyerahkannya kepada sang profesor. Dengan halus, lagi-lagi profesor menolaknya. Menurut profesor, apa yang dilakukannya dalam membimbing selama ini sudah merupakan tugas dan kewajibannya, sehingga sama sekali tidak memiliki hak mendapatkan hadiah itu.

AB berkeras menyerahkan mushaf itu. Dengan memohon betul-betul, AB mengatakan bahwa hadiah itu diberikan dengan sangat ikhlas. Justru dengan ditolaknya hadiah itu, AB mengatakan akan merasa kecewa. Mendengar permohonan tulus seperti itu, sang profesor mulai luluh. Ia pun menyatakan siap menerima mushaf itu, tentu dengan syarat bahwa mushaf itu diberikan tidak ada kaitannya sama sekali dengan sidang tesis yang baru dijalankan. AB mengangguk.

Alhamdulillah, demikian pikiran AB saat pulang dari kediaman profesor. Sesampainya di rumah, hati AB pun terasa lega karena berhasil menyerahkan hadiah beserta uang sebagai bentuk rasa terima kasihnya.

Tak lama kemudian, muncul kejutan luar biasa. Kriiiing..., telpon genggam AB berdering. Ia pun segara mengangkatnya. Rupanya dari sang pembimbing utama. Dengan penuh sopan santun seperti biasa, AB menjawab panggilan itu. Tak disangka tak dinyana, rupanya sang profesor menelpon dengan kemarahan luar biasa. Melalui telpon itu, AB dimarahi habis-habisan karena berani-beraninya menyelipkan uang dalam mushaf yang diterima sang profesor.

Profesor juga mengingatkan kembali bahwa ia tak bisa menerima sepeser pun uang dari anak didiknya. Ia juga mengungkapkan bahwa pihak universitas telah memberikan anggaran tertentu kepada setiap pembimbing. Untuk itu, haknya sudah tercukupi, tidak perlu lagi mendapatkan tambahan dari pihak mahasiswa.

Satu hal yang paling mengagetkan adalah sang profesor mengancam jika uang dalam mushaf itu tak segera diambil, nilai yang sudah keluar saat sidang tesis justru akan dihapus! Tentu saja kata-kata pembimbing utama ini sangat menakutkan. AB pun bergegas mengambil kembali uang yang telah dengan sangat ikhlas ia siapkan untuk diberikan kepada sang pembimbing.[]

Wonoyoso, 18 Nov 2012

Friday, October 26, 2012

Daurah Tadribiyyah

Tajuk lengkap acara ini adalah "Daurah Tadribiyyah li Mu'allimii al-Lughah al-Arabiyyah li Ghair an-Nathiqin biha bi Kitab al-'Arabiyyah Baina Yadaik"

Hotel Dafam, Pekalongan
18-22 Oktober 2012

---underconstruction---




18 okt 2012
===
thoriqoh/metode:
-qawa'id wa tarjamah
-sam'iyyah syafahiyah
-mubasyiroh
-ittisholiyah
-intiqo'iyah

=====
pengajaran shout
-ta'rif
-tamyiz
-tajrid


19 okt 2012
====

pembelajaran bhs arab utk pemula
-cara lama:huruf-kalimat-hiwar
cara baru:
awal2 jgn ajari baca-tulis, ckup dengar dan ucapkan dulu
cara baru lbh cpt

=====


pembelajaran mufrodat
-bnyk dipake
-sesuai kbutuhan pndidikan
-sesuai jenjangnya
-utk dgunakan sbg sarana berhubungan dg org lain
-fusha

cara terangkan mufrodat:
-tunjuk brg
-tunjuk gmbar
-tamtsil makna
-tamtsil daur
-lawan kata
-padan kata
-sebut anggota/bagian2nya (kluarga=suami, istri, anak)
-isytiqaq kalimat
-terangkn dg b.arab
-ulangi bacanya
-cari di kamus!

langkah:
-taqdim/'ardh, melalui gambar, kalimat, dialog, bacaan.pastikan SEMUA siswa paham
-tadrib
-taqwim,


tujuan
1. bs mengucapkan
2. paham makna
3. bs mnggunakan dlm kalimat

======

tarkib: fungsi tanpa teori, utk pemula, diajarkan scr tdk lgsg
qawaid: fungsi dg teori, bukan utk pemula, diajarkan scr langsung


qa'idah
1. ta'limiyyah
: utk pelajar
2. ilmiyyah: utk para ahli/pakar
1. ta'limiyyah
: belajar bahas
2. ilmiyyah: belajar ttg bhs
1. ta'limiyyah
: tdk perlu tafshil
2. ilmiyyah: perlu tafshil
1. ta'limiyyah
: sarana belajar
2. ilmiyyah: tujuan belajar


================
20 okt 2012

kemampuan2 sbg tujuan ta'lim istima'
-bs membeda2kan suara huruf
-bs berdialog
-

langkah2 ta'lim istima' mukatstsaf
-siapkan siswa: tutup buku, tutup pintu spy tdk ada suara lain
-jgn baca bukunya sblm mndengar
-pelan2
-pastikan mereka paham, dg cara tanya mereka
-jgn hanya pastikan membeda2kan suara huruf, tp jg hrs pastikan paham atas makna kata/kalimat


====
maharatul kalam

langkah pengajaran
1. dialog2 yg jwbnya tertentu: masmuk? min aina anta?
2. dialog2 yg jwbnya luas: madza ta'kul?
3. mmbuat kata/kalimat tertentu/trbatas: shif ash-shuwar at-taliyah, qul asma' ma fish-shuwar
4. mmbuat kata/kalimat bebas: shif al-jawwa fi baladik, kaifa taqdhi uthlah usbu'iyyah

penting:
-pilih tema yg diketahui siswa
-buat kelompok, spy ksmptn mencoba brbicara lbh merata/bnyk
-pastikan menambah kemampuan bicara, bukan menambah pengetahuan
-pilih tema yg ada di sktr kita dr kejadian2 pnting
-smangati mereka agar mau bicara, salah tdk apa2, yg pntging brani, jgn takut dan jgn malu
-jgn potong bicara mereka d tngah ngomong, mskipun salah
***sbisa mgkn buat dialog2 yg hakiki, bukan buatan spt dlm buku
***pembelajaran tdk hrs slalu dlm kelas
***sesekali ada tamu ke kelas yg ngajak bicara bhs arab
***ksh tugas ktmu dosen trtntu dan ngomong bhs arab

pengajar jgn bnyk ngomong, siswa yg hrs bnyk ngomong

=======
21 okt 2012

latihan2
penting skali!
tanpa latihan, tdk dpt diketahui sejauh mana hasil pengajarn

tingkatan latihan:
1. tadrib aali: jawaban tertera
2. tadrib makna: jwbn tertentu, didahului bacaan/sima'ah, siswa hrs ditanya satu2 (tdk mgkn per klompok)
3. tadrib ittishal, ha huwal hadaf: prtanyaan dg jwbn luas/bebas, shg ada pngmbangan pngetahuan baru melalui prbdaan jwbn2 di antara para siswa

tadrib makna:
-baiknya ajukan soal dg kata/kalimat yg brbeda dg bacaan, jgn sama persis, biar jelas pemahamannya
-satu prtanyaan utk bnyk siswa, jgn cuma satu siswa

=====

maharatul qiraah

langkah2 qiraah mukatstsafah:
1. persiapan, pastikan smua siswa siap, tdk sibuk sndiri2
2. baca dg suara pelan
3. bikin latihan2
4. terangkan makna2 baru
5. baca dg suara keras, jika ada wktu (dmulai dg siswa yg paling baik)
6. PR

langkah2 qiraah hurrah/muwassa'ah: (biasanya di luar kelas, mgkn perpus, rmh/pr dll)
1. kasih siswa pemikiran umum
2. arahkan siswa membaca dan memahami, scr global saja
3. tnyakan ksulitan
4. arahkan utk diskusi
5. sesekali buatkan acara khusus brbhs arab, lalu dsuruh buat resume/ringkasan apa yg dipahami dr acara itu

=======

ujian harus:
1. tetap, tak lekang wktu dan tempat
2. jujur dan objektif
3. mudah dilaksanakan
4. bs mmbedakan

macam2 ujian brdasar tujuan:
1. ujian prsiapan
2. ujian pembagian kelas
3. ujian hasil belajar, bukan soal lulus atau tdk
4. ujian mlihat kmmpuan seseorg, mahir di bidang/unsur mana
5. ujian kemampuan berbahasa (smua bidang)

====
maharatul kitabah

marhalah:
1. rasm huruf
2. ta'bir muqayyad/muwajjah/muhaddad
3. ta'bir hurr

yg prlu diperbaiki dlm kesalahan kitabah hanya:
1. kesalahan berulang
2. kesalahan yg mmbuat tdk dpt dipahaminya kitabah


===============

22 okt 2012

manusia mengingat:
20% dr apa yg didengar
30% dr yg dilihat
50% dr yg didengar skaligus dilihat

manusia belajar:
83% dr penglihatan
11% dr pendengaran

===============

penutupan

ibnu taimiyyah:
man takallama bil arabiyyah fahuwa arabiyyun


Thursday, September 27, 2012

Kurikulum Antiterorisme


Kurikulum Antiterorisme

Beberapa pekan terakhir ini media cukup sering memberitakan perihal terorisme. Bermula dari penembakan terhadap anggota polisi di Solo, lalu penggerebekan para terduga teroris di Depok Jawa Barat, Solo Jawa Tengah, sampai Madiun Jawa Timur.

Mengiringi berita-berita tersebut, lalu muncul beberapa wacana untuk memperkuat usaha mencegah adanya aksi teror. Entah kebetulan entah tidak, rupanya kegiatan teror tersebut—baik dalam skala nasional maupun internasional—selalu melekat pada kalangan kaum muslimin. Dalam skala antarnegara, Islam dicap sebagai biang utama aksi teror menyusul ambruknya menara kembar WTC di New York akibat ditabrak pesawat yang kemudian dituduhkan dikendarai oleh anggota Al-Qaeda. Nama Al-Qaeda sendiri tentu sangat akrab dengan bahasa Arab, bahasa yang sangat dijunjung di antara kaum muslimin.

Adapun dalam skala nasional, meskipun tidak ada organisasi Islam resmi yang mengaku bertanggung jawab atas teror-teror di tanah air—yang mulai marak sejak Bom Bali I pada 2002, Islam harus menerima kenyataan dijadikan kambing hitam; seakan-akan berada di balik semua teror itu. Dalam hal ini, semua pihak tentunya harus lebih arif. Kalau mau memberikan stigma teror kepada Islam secara umum, tengoklah lebih dahulu kepada organisasi Islam terbesar di tanah air, Nahdlatul Ulama (NU).

NU, di samping ada organisasi Islam besar lain seperti Muhammadiyah dan Persis, dalam beberapa hal dapat dikatakan bisa mewakili. Nyatanya, dalam sejarah NU yang sejak berdiri pada tahun 1926, tak ada satu pun kegiatan teror yang dilakukan oleh—atau sekadar disematkan terhadap—organisasi ataupun personal NU. Kalaupun ada, mungkin terjadi pada masa prakemerdekaan, di mana teror itu bisa disematkan oleh kaum kolonial Belanda. Tentu saja oleh bangsa Indonesia, perlawanan terhadap penjajah, salah satunya yang dimotori oleh KH. Hasyim Asy’ari selaku pendiri NU melalui Resolusi Jihad, tidak bisa dikatakan sebagai terorisme terhadap bangsa ini.

Organisasi-organisasi Islam besar tersebut tak ada satu pun yang terkait secara langsung dengan aksi terorisme di tanah air. Lalu, bagaimana mungkin Islam secara umum harus menanggung cap sebagai agama teror? Tentu ada yang salah dalam pemberian stigma teror atas agama Islam.

Namun, kebetulan pelaku teror, terutama pelaku pengeboman dan perakit bom, rupanya selalu orang yang beragama Islam. Dan kebetulan pula, mereka yang terlibat itu selalu orang yang dianggap memiliki pengetahuan keislaman yang cukup. Dengan demikian, orang di luar Islam lalu mengambil kesimpulan bahwa “kecukupan” pengetahuan keislaman itulah yang mendorong seseorang melakukan aksi teror.

Berangkat dari situ, lalu muncul wacana untuk memberikan sertifikasi terhadap para ulama—setiap orang yang oleh masyarakat dianggap memiliki pengetahuan mencukupi terhadap kedalaman Islam. Atas wacana ini, ada beberapa tanggapan yang pro dan kontra, selain tanggapan adem ayem saja. Tanggapan adem ayem atau biasa saja tampak di antaranya diperlihatkan oleh NU, organisasi Islam terbesar di tanah air. Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. Said Aqil Siradj mengungkapkan bahwa sertifikasi ulama mungkin saja dilakukan. Namun, tentu hal itu akan menemui banyak kendala. Hambatan utamanya adalah karena gelar ulama atau kiai merupakan pemberian masyarakat terhadap seseorang karena keilmuan, kealiman, dan peranannya dalam bidang keagamaan di tengah masyarakat.

Wajar saja Kang Said—demikian panggilan akrab Ketua Umum PBNU itu—menanggapi biasa saja wacana sertifikasi ulama itu. Hal itu karena NU sama sekali tidak merasa bahwa aksi teror berasal dari salah satu anggotanya. Sementara itu, rupanya ada beberapa tokoh, baik skala nasional maupun daerah yang ternyata merasa “panas” dengan wacana sertifikasi ulama. Kalangan yang dengan lantang menolak wacana itu merasa bahwa wacana itu hanya untuk memojokkan umat Islam dan para tokohnya. Tentu pandangan ini juga bukan tanpa sebab, karena sebenarnya para pelaku teror, meskipun kebanyakan adalah orang Islam, itu hanyalah sebagian kecil saja.

Wacana lain untuk menanggulangi aksi teror adalah pengadaan kurikulum antiterorisme di sekolah-sekolah. Usulan seperti ini sepertinya mengikuti usulan mengenai pengadaan kurikulum penanggulangan bencana sebagaimana diusulkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Untuk itu, berbagai pihak yang concern dengan pencegahan terorisme mengusulkan pelajaran antiterorisme bagi para pelajar di tanah air.

Sebelum usul ini dibahas lebih jauh oleh para pemangku kebijakan, alangkah baiknya mereka melihat sekeliling dahulu, dalam hal ini fakta bahwa nyaris tidak seorang pun warga atau kader NU yang menjadi terduga apalagi pelaku terorisme. Tidak dapat dibantah pula bahwa sejak berdirinya republik ini, NU rupanya tidak pernah terlihat ingin atau terlibat dalam gerakan yang mengganggu stabilitas nasional. Justru yang ada adalah NU melalui Banser menjadi salah satu tembok kukuh saat bangsa Indonesia menghadapi PKI—terlepas dari kontroversi pandangan bahwa sebagian anggota PKI dilanggar HAM-nya oleh tentara ataupun Banser yang konon dimanfaatkan sebagian pihak untuk memuluskan kekuasaannya.

Dengan fakta semacam ini, perlu ditelisik lebih jauh, sebenarnya apa rahasia NU terlihat begitu setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, juga terlihat betapa kuat sikap toleransi warganya atas perbedaan yang berkembang di tanah air.

Jika mau mendatangi sekolah-sekolah NU, lalu melihat kurikulumnya, hampir dipastikan terdapat muatan lokal pelajaran ke-NU-an. Cobalah lihat lebih terperinci pelajaran ke-NU-an itu. Rupanya di dalamnya memuat nilai-nilai yang sangat mendukung sikap toleransi dan pengertian sebagai sesama warga Indonesia, bahkan sebagai sesama manusia.

Bahkan sejak tingkat dasar (SD/MI), kurikulum ke-NU-an di setiap tingkatan selalu mengajarkan 4 nilai penting yang dipegang NU. Keempat nilai dasar itu adalah tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (berimbang), dan i’tidal (adil). Empat ajaran ini betul-betul shglkhjgghjsh

Karena begitu ditekankannya keempat nilai ini dalam pikiran pelajar di setiap sekolah NU, wajar jika kemudian nyaris tidak ada warga apalagi kader NU menjadi terduga atau pelaku terorisme. Untuk itu, ada baiknya barangkali BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) mendalami lebih lanjut kurikulum ke-NU-an yang antiteror ini. Dengan begitu, diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif pengganti atau pemerkaya kurikulum antiteror yang tengah diwacanakan dimasukkan ke sekolah-sekolah di tanah air.[]

Wonoyoso, September 2012

Thursday, August 23, 2012

Pembentukan IAAI Pekalongan

Untuk kelima kalinya sejak tahun 2007, para alumni Al-Azhar di wilayah Pekalongan dan sekitarnya mengadakan pertemuan dalam rangka halal bi halal menyambut bulan fitri. Tahun ini, pertemuan digelar di Ponpes Syafi’i Akrom, Jenggot Kota Pekalongan pada hari Rabu (22/8/2012) petang.

Dijadwalkan untuk dilaksanakan pukul 18.30, acara baru bisa dimulai pada pukul 19.30 karena para peserta melaksanakan shalat isya berjamaah dahulu di musholla yang tak jauh dari tempat acara.

Sebagaimana umumnya acara reuni dan temu kangen, pertemuan ini pun lebih banyak diisi dengan ramah tamah. Hal itu wajar mengingat sebagian besar peserta sudah lama saling tak bersua dengan peserta-peserta lainnya.

Namun, pertemuan kali ini berbeda dengan empat pertemuan sebelumnya karena terdapat satu mata acara yang cukup “formal”, yaitu upaya pembentukan Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional (IAAI) Cabang Indonesia Kantor Perwakilan Pekalongan. Merujuk pada Multaqa II IAAI Indonesia yang digelar pada 7 Juli 2012 lalu di Hotel Mandarin Orienal Jakarta, memang diharapkan muncul perwakilan-perwakilan resmi perkumpulan alumni Al-Azhar di seluruh wilayah Indonesia.

Menyambut hal itu, Yasir Maqosid yang sehari-hari beraktivitas sebagai pengasuh Ponpes Syafi’i Akrom berinisiatif mengumpulkan para alumni Al-Azhar di wilayah Pekalongan di pesantrennya untuk mengadakan halal bi halal sekaligus upaya pembentukan IAAI Kantor Perwakilan Pekalongan. Karena itu, pada pertemuan tersebut dibahas langkah-langkah yang hendak ditempuh dalam rangka menjalin silaturahmi yang lebih terarah melalui wadah IAAI.

Setelah sharing cukup alot, forum memutuskan untuk membentuk sebuah tim berlabel Tim Pembentukan IAAI Pekalongan. Para peserta juga sepakat menunjuk Agus Hidayatulloh (lulusan 2007) sebagai koordinator tim, didampingi Yasir Maqosid (2006) sebagai sekretaris dan Nurul Faizah (2010) sebagai bendahara. Untuk melengkapi keanggotaan tim ini, 5 orang lainnya didaulat sebagai anggota tim, yaitu Mubarok (1997), Ali Burhan (S1 2000 dan S2 2008), Imam Ghazali (2005), Siti Irkhamah (2007), dan Benni Kamalia (2010).

Tugas awal tim ini adalah pendataan para alumni Al-Azhar di wilayah Pekalongan dan sekitarnya. Untuk memudahkan kinerja tim, istilah “Pekalongan dan sekitarnya” diterjemahkan melalui batas teritori 4 kabupaten/kota, yaitu Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Batang, dan Kabupaten Pemalang.

Dalam forum ini sempat juga dibahas mengenai pendanaan awal embrio IAAI. Selama ini, pertemuan-pertemuan halal bi halal selalu ditanggung penuh oleh tuan rumah. Para tuan rumah pertemuan selama ini selalu menolak jika membahas mengenai pendanaan. Hal yang sama juga terjadi pada pertemuan ke-5 ini. Namun, demi menuju organisasi IAAI yang lebih profesional, para peserta lalu mendesak pentingnya pembahasan pendanaan. Setelah berdebat cukup alot, diputuskan bahwa pendanaan awal Tim Pembentukan IAAI Pekalongan ditanggung oleh 8 anggota tim, tentu tanpa menutup kesempatan kepada pihak lain yang hendak berkontribusi, baik secara materi maupun imateri.

Sempat pula muncul ide-ide mengirigi upaya pembentukan IAAI Pekalongan ini. Sebut saja mengenai penerjemahan kata maktab yang secara struktural berada di bawah far’ yang melingkupi sebuah negara. Di Indonesia far’ diterjemahkan sebagai cabang, sedangkan kata maktab, sebagaimana yang didengar langsung oleh salah seorang peserta dari seorang pengurus pusat IAAI Cabang Indonesia, diterjemahkan sebagai kantor. Untuk itu, daerah-daerah yang mendirikan IAAI maka akan dinamakan sebagai IAAI Kantor tertentu (disebutkan nama daerahnya). Salah seorang peserta pertemuan lalu mengusulkan kata maktab itu tidak diterjemahkan letterlijk seperti itu, misalnya mungkin akan tampak lebih familiar diterjemahkan sebagai Kantor Perwakilan. Jika para alumni Al-Azhar di Pekalongan mendirikan IAAI maka, misalnya, nama resminya akan menjadi IAAI Kantor Perwakilan Pekalongan.

Masih banyak lagi ide-ide menarik yang muncul dalam pertemuan itu. Semua ide-ide itu lalu diinventarisasi oleh Tim 8 yang akan mengaplikasikannya secara teknis. Satu hal menarik lainnya dalam pertemuan itu, yaitu kehadiran dua orang wartawan, masing-masing satu dari Radar Pekalongan dan BatikTV. Bahkan, usai acara yang ditutup sesuai jadwal pada pukul 21.30 itu, tiga orang peserta pertemuan langsung diminta take action di depan kamera BatikTV untuk memberikan ceramah singkat untuk mengisi acara siraman rohani di televisi lokal milik Pemkot Pekalongan itu.[]

Wonoyoso, 23 Agustus 2012

Sunday, July 29, 2012

Meniru




Kekuatan anak kecil adalah meniru. Itu pula yang diperlihatkan jagoanku, Eja. Sekecil apa pun tindakan baru yang dilakukannya, sangatlah membahagiakan kami. Bahkan tindakan-tindakan yang mungkin masuk kategori “merusak”, kadang kita tetap harus memberinya applaus agar ia semakin berani untuk aktif dan bergerak.



Teringat iklan produk bayi beberapa tahun lalu, saat seorang bayi baru bisa berdiri. Tampak dalam iklan televisi itu, setelah merambat meja, ia lalu menarik taplak yang di atasnya terdapat beberapa barang pecah belah. Karena taplak ditarik, barang-barang itu pun jatuh dan menimbulkan suara “pyar” cukup keras. Tentu sang nenek yang melihat ulah si bayi tidak marah. Ia malah senang dan terlihat bangga sambil berucap, “Eee, cucuku sudah bisa berdiri.” 

Begitu pula dengan Eja. Apalagi tindakan-tindakan yang dilakukan Eja biasanya jauh dari kata merusak. Sebut saja saat beberapa waktu lalu, mungkin terhitung 3-4 bulan yang lalu, kami jalan-jalan ke Carefour Mega Center Pekalongan. Setelah capek keliling pusat perbelanjaan tersebut, kami pun membeli cemilan. Tak dinyana, setelah cemilan itu habis, bungkusnya diambil Eja, dan... ajaib! Eja berjalan menuju tempat sampah lalu meletakkan bungkus cemilan itu ke tempat sampah. Kami sendiri heran karena merasa tak pernah mengajari secara langsung. Lebih heran lagi orang-orang lain di sekitar kami; karena Eja memang masih bisa dibilang sangat kecil untuk bisa membuang sampah di tempatnya. Kira-kira saat itu Eja baru berumur 1 tahun lebih 2-3 bulanan.

Sejak itu, tindakan-tindakan Eja yang meniru siapa saja yang dilihatnya menjadi tidak terlalu mengherankan bagi kami. Sebut saja di antaranya tukang sate keliling yang membawa dagangannya di atas kepala. Eja pun dengan fasih menirukannya: membawa sesuatu seperti piring atau mangkok plastik di atas kepala, lalu ia berjalan sambil teriak, “Te... te....” Tentu saja maksudnya adalah sate, tapi baru suku kata terakhir “te” yang bisa ia ucapkan.

Ada pula saat kami menjemur kasur yang bisa diompoli Eja. Maka dengan merengek ia akan meminta alat pemukul kasur yang mirip raket, lalu segera ia tepuk-tepukkan alat itu ke kasur yang tengah dijemur. Di waktu lain, saat melihat anak kecil lain menangis maka ia akan menirukan tangisan itu. Tentu tanpa merasa berdosa dan tanpa sadar bagaimana ia juga masih suka menangis sendiri.

Demikian pula dengan menyikat gigi. Meski saat mandi lalu giginya hendak disikat maka ia menghindar, berontak, dan menangis meraung-raung. Namun, jika melihat sikat gigi tergeletak maka ia akan dengan sendirinya menyikat gigi, tentu saja dengan cara yang belum sempurna.

Ya, kami menjadi semakin sadar bahwa anak kecil memang punya kekuatan besar untuk meniru. Meniru apa saja yang dilihatnya, baik ataupun buruk. Untuk itu, mari kita perlihatkan kepada si kecil segala sesuatu yang baik-baik, agar ia bisa menjadi orang yang baik. Wallahul musta’an.[]

Wonoyoso, Juli 2012

Tuesday, June 12, 2012

Impresi Kata

Menurut KBBI, impresif berarti “dapat memberi atau meninggalkan kesan yg dalam; mengharukan”. Judul ini diambil karena memang hendak menggambarkan beberapa kata yang pernah saya sebutkan dan saya kira cukup membuat impres atau kesan, paling tidak untuk saya sendiri. Bahkan, kalau mau narsis, sepertinya itu juga lumayan berkesan bagi cukup banyak orang. Tidak selalu personal, malah mungkin tidak pernah personal. Ralat: mungkin yang tepat bukan “kalau mau narsis”, melainkan “inilah saatnya narsis!”

Pertama, mengenai sebuah majalah “siluman” bernama Flamboyan. Waktu itu, saya pikir flamboyan sama artinya dengan semacam playboy atau semacamnya. Kisah ini berawal saat saya sedang galau-galaunya memikirkan pelajaran sampai tidak naik kelas dua kali, lalu saya iseng-iseng belajar aplikasi Adobe Photoshop. Awalnya hanya mengedit foto-foto sendiri. Tapi, karena ketagihan, saya mencoba utak-atik foto lebih banyak lagi. Sampai akhirnya muncul ide mencoba belajar membuat cover majalah!

Entah siapa yang menuntun, tiba-tiba jadilah cover sebuah majalah yang membahas gosip-gosip hanya di Kairo. Isu-isu yang tengah hangat berkembang coba saya buatkan judul lalu dimasukkan dan dikumpulkan ke dalam sebuah bahan cover. Supaya lebih mantap, judul-judul ini kemudian dilengkapi foto. Atau, cara kerjanya berkebalikan, cari foto dulu kemudian berpikir-pikir kira-kira judul apa yang cocok ditempelkan pada foto dimaksud.

Nah, untuk melengkapi kata Flamboyan itu, sepertinya perlu tagline yang umumnya memang dilekatkan pada setiap koran atau majalah. Saya pun memilih kata “Cairo in Your Hands”. Dengan harapan, atau angan-angan, atau imajinasi, semua berita yang ada di Kairo pasti terkaver dalam majalah itu. Kira-kira begitu semangatnya. Buat saya yang tidak terlalu tahu bahasa Inggris, terkadang merasa bangga juga bisa membuat rangkaian kata yang konon grammarnya sudah cukup pas itu.

Kedua, saat diminta membuat spanduk untuk bus yang hendak diberangkatkan menuju makam para aulia dan shalihin di Mesir. Tugas ini diberikan oleh lembaga Jam’iyah Ahlit Thoriqoh Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, sering disingkat JATMANU. Karena saat itu memang saya tengah tinggal di markas PCI NU Mesir.

Diberi tugas mepet dengan hari pemberangkatan, ditambah tidak ada instruksi lebih jelas mengenai apa yang akan ditulis, saya pun bingung. Saya mencoba berpikir-pikir kira-kira apa yang mau ditulis. Kalau sekadar menulis JATMANU, tentu kurang menarik, kurang memberi impres. Kalau ditulis “Ziarah Makam Aulia”, sebagaimana yang ada dalam kop surat panitia, rasanya kaku sekali. Itu juga menjadi seperti yang biasa tertera di bus-bus rombongan ziarah di tanah air. Kurang seru!

Setelah berdiskusi entah dengan siapa saja (lupa), rupanya muncul benang merah bahwa ziarah adalah perjalan suci, atau wisata suci. Kalau diinggriskan, mungkin Holy Tour? Ya, Holy Tour! Sepertinya kata ini cukup menarik. Akhirnya terukirlah kata Holy Tour itu di spanduk yang ditempel di bus atau dibawa saat berfoto-foto. Ah, sayang sekali saya tidak ikut ziarah itu sehingga tidak tampak dalam foto. Tapi, alhamdulillahnya, ternyata kata Holy Tour itu sepertinya masih digunakan sampai kini. Haha, narsis abis!

Ketiga, mengenai kata “Griya Jateng.” Sekitar tahun 2004, ramai dibicarakan di mailing list (pacandu FB sekarang ini sepertinya tidak mengenal istilah yang disingkat milis itu ya?) mengenai akan dibangunnya sebuah gedung untuk kegiatan mahasiswa Jawa Tengah di Mesir. Pembangungan gedung ini didanai oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. 

Melihat antusiasme mahasiswa Jateng menyambut pembangunan gedung itu, saya pun ingin rasanya memberikan impres khusus. Melalui milis, saya coba usulkan gedung itu kelak diberi nama Griya Jateng. Hal itu mengingat baru saja mahasiswa Jatim menamakan gedungnya dengan Graha Jatim. Lalu sebelumnya ada Wisma Nusantara yang didirikan ICMI era Habibie. Ada pula Wisma Duta merujuk pada kediaman Dubes RI di Kairo.

Saya usulkan nama Griya Jateng dengan pemikiran untuk membedakan dengan gedung-gedung itu, juga untuk memudahkan penyebutkan kelak (selama ini Graha berarti Graha Jatim dan Wisma berarti Wisma Nusantara—jarang dirujuk pada Wisma Duta) sehingga cukup menyebut satu kata “Griya” untuk menunjuk gedung pemberian Pemprov Jawa Tengah itu. Tidak perlu menambah satu atau dua kata saat menyebut; misalnya Wisma Jateng atau malah Wisma Jawa Tengah, tentu terlalu panjang. Kata Griya menjadi lebih hemat dan efisien. Juga saya bayangkan dapat menjadi ciri khas tersendiri.

Namun, rupanya usulan saya itu hanya dianggap angin lalu. Sangat sedikit yang menanggapi positif. Bahkan, kemudian ada yang mencandai, nanti gedungnya dinamai “pagupon” saja. Pagupon adalah kandang untuk burung dara bukan? Tentu komentar seperti itu agak menyinggung perasaan saya. Meski tersinggung dengan hal itu, saya sama sekali tidak merasa tersinggung dengan didiamkannya usulan saya ini oleh pihak berwenang. Ya sudah, tidak apa-apa, namanya juga usulan, dipakai syukur, tidak dipakai ya tidak perlu mengamuk ya.

Namun, rupanya di masa depan takdir bicara lain. Usulan saya ternyata tidak benar-benar mati. Secara “tidak sengaja”, pada pertengahan 2005, saya kemudian terpilih sebagai ketua asosiasi mahasiswa Jateng sebagai pihak yang kelak diminta mengelola gedung itu. Ketika pemilihan yang mengantarkan saya menjadi ketua, gedung itu belum benar-benar sempurna. Kira-kira satu setengah bulan berikutnya gedung itu baru akan diresmikan oleh Wakil Gubernur yang akan terbang langsung dari Semarang.

Sebagai ketua, saya pun ikut cawe-cawe mempersiapkan segala keperluan penyempurnaan gedung itu. Di sinilah kekuasaan berbicara. Saat masih menjadi rakyat biasa, usulan saya tidak benar-benar bisa terespons. Namun, saat menjadi “penguasa”, rupanya saya punya keleluasaan lebih untuk menyuarakan usulan.

Saya pun mencoba kembali menghidupkan usulan saya soal Griya Jateng itu. Oleh panitia pembangunan rumah, usulan saya masih ditolak mentah-mentah. Alasannya? Pak Dubeslah yang sejak awal menyebut gedung ini sebagai Wisma Jateng. Saya pun protes, sudah ada dua “wisma” di Kairo, tidak akan menambah impres kalau gedung Jateng juga dinamai Wisma. Saya mendapat jawaban lebih keras daripada yang pertama: berani kamu menentang Dubes? Diam di sini menjadi emas.

Tidak berapa lama kemudian, rupanya harus ada audiensi dengan Dubes mengenai persiapan penyambutan Pak Wagub. Saya sebagai ketua juga kebagian waktu untuk bertemu Dubes membicarakan detail acara dan lainnya. Di saat audiensi inilah saya coba kembali sounding soal penamaan Griya Jateng. Saya beranikan menyatakannya langsung kepada Pak Dubes. Dan, sedikit tidak disangka, rupanya Pak Dubes menyambut baik! Ia justru sangat senang dengan usulan itu. Pak Dubes kebetulan memang menyukai seni dan kreatifitas, jadi terlihat ceria dengan nama baru itu. Jadilah disepakati bahwa nanti namanya adalah Griya Jateng.

Lalu, sebagai penutup, pelajaran yang dapat diambil adalah: rebutlah kekuasaan kalau mau membuat perubahan![]

Wonoyoso, 11 Juni 2012


“Bu, Polisi Kok Kayak Perampok Ya?”


Ini adalah oleh-oleh dari perjalanan keluarga ke Karawang beberapa hari yang lalu. Awalnya saya terdaftar ikut kondangan tersebut, tapi karena pekerjaan sedang banyak, akhirnya absen. Alhamdulillah, meski tidak ikut, dapat oleh-oleh berharga: cerita!

Kisah ini berawal justru saat kondangan berakhir. Tepatnya saat rombongan dalam perjalanan pulang. Melewati Karawang, tampaklah Indramayu yang panturanya amat panjang nan lama itu. Di sinilah setting cerita itu.

Saat tengah melintas di salah satu titik di Indramyu, rupanya sedang ada razia besar-besaran. Nyaris setiap kendaraan yang lewat, selalu diberhentikan dan diperiksa. Apa saja yang terlihat melanggar, maka tentu dijadikan pasal untuk merogoh dompet.

Rombongan keluarga yang menaiki Avanza, awalnya merasa tidak memiliki kesalahan apa pun. SIM dan STNK pengemudi ada; karena biasanya inilah yang menjadi fokus utama saat razia lalu lintas. Lampu-lampu dan asesori lain mobil juga terang masih berfungsi dengan baik karena kendaraannya memang masih cukup bagus.

Namun, rupanya perazia lebih teliti dan pintar. Terlihat satu kesalahan: kelebihan muatan! Ya, karena kendaraan minibus seperti Avanza ternyata harus diisi tak lebih dari delapan penumpang termasuk sopir. Kali ini, Avanza berisi 9 orang, dengan rincian 7 dewasa dan 2 anak-anak. Anak-anak dihitung? Ya, sama saja, kata si perazia!

Itulah hasil analisis paman saya yang menjadi “juru bicara” dengan keluar mobil untuk mempertanyakan alasan kesalahan. Diberi tahu kesalahan seperti itu, paman saya rupanya tidak mau terlalu lama berbelit mengenai kesalahan itu. Langsung saja diakui, daripada bakal dicari-cari kesalahan lain; mungkin tidak ada kotak P3K, mungkin kurang apa lagi, tidak tahu lah. Kira-kira begitu pengalaman paman saya itu.

Supaya lebih cepat, paman saya pun langsung menanyakan berapa denda yang harus dibayarkan. Perazia yang berpakaian seraham polisi itu pun menyebut angka tiga ratus ribu rupiah. Kami yang berangkat dari kampung tentu merasa tiga lembar uang merah itu sangat besar. Karenanya, paman saya coba menawar, 100 ribu bagaimana? Kira-kira hanya ditertawakan. Dua ratus ribu pun masih geleng-geleng.

Pak polisi ngotot dengan angka 300 ribu. Paman saya pun tidak bisa berkutik. Dia selalu ingat: lebih mengalah daripada semakin parah dicari-cari apalagi yang salah. Ya sudah, paman saya buka dompet, ambil beberapa lembar uang biru. Barangkali pak polisi itu tidak mengecek lagi uang yang diterima karena ternyata paman saya hanya menyerahkan lima lembar 50 ribuan, alias hanya 250 ribu. Atau barangkali uang sebesar itu sudah cukup mengingat banyaknya kendaraan yang kena razia?

Begitulah kisahnya. Namun, sebenarnya bukan itu inti pembahasan tulisan ini. Kalimat utama dalam tulisan ini adalah ucapan salah seorang anak kecil dalam Avanza itu, keponakan saya, yang masih kelas 4 SD. Melihat pak polisi mencegat kemudian membiarkan kendaraan berjalan kembali setelah menerima sejumlah uang, keponakan saya berkomentar, “Bu, pak polisi kok kayak perampok ya?”

Ya, begitulah kenyataannya. Begitulah yang dilihat keponakan saya. Mungkin di benaknya selama ini, hasil belajar di sekolah, polisi adalah penolong masyarakat, pengayom masyarakat, gagah berani melawan penjahat, tegas menangkap pencuri. Dan kesan-kesan kebaikan lain yang muncul dari promosi verbal via pelajaran sekolah.

Beberapa waktu sebelumnya, adik ipar saya yang masih TK kecil, diajak jalan-jalan ke kantor polisi oleh pengelola tempatnya belajar. Saya kira, tentu pak atau bu polisi yang ada di kantor polisi akan memperkenalkan tugas dan kesan yang baik bagi anak-anak TK. Dan seperti yang saya bayangkan saat masih kecil, kira-kira semua anak TK akan semakin hormat dengan kegagahberanian para polisi.

Itulah promosi verbal. Namun, kalau kemudian keponakan saya melihat dengan mata kepalanya sendiri kejadian seperti dalam razia itu, bergunakan promosi verbal itu? Kalau kelak adik ipar saya juga mungkin harus melihat tingkah buruk lain dari oknum polisi, mungkinkah dia masih terkesan dengan kegagahberanian pak polisi?[]

Wonoyoso, 11 Juni 2012

Tuesday, May 22, 2012

Menyoal Gelar

Hampir setahun yang lalu, saat dalam perjalanan menuju Jogja, seorang teman kuliah UGM mempertanyakan, “Itu si A kan belum lulus dari Al-Azhar ya, kok di mana-mana namanya diikuti gelar Lc sih?” Saya sendiri bingung menjawabnya. Saya sendiri bingung menjawabnya. Mau membantah, kenyataannya memang demikian adanya. Mau mengiyakan, tentu bakal malu sebagai alumni Al-Azhar.

Saya yakin pertanyaan demikian tidak hanya pernah ditujukan kepada saya. Saya yakin masih banyak teman-teman alumni Al-Azhar yang lain pernah mendapatkan pertanyaan yang sama. Baik dalam konteks (objek orang) yang sama maupun konteks dan objek orang yang berbeda. Atau mungkin, kisah semacam ini tidak hanya mengitari kalangan alumni Al-Azhar. Kalangan perguruan tinggi lain, baik dalam maupun luar negeri, mungkin juga pernah mendapati kenyataan yang sama: seseorang belum atau tidak lulus tetapi mengaku (atau tidak membantah saat disebut) sebagai alumni perguruan tinggi dimaksud. Karena kenyataannya, kelak teman saya yang mempertanyakan si A itu, juga giliran menjadi objek; oleh teman yang lain lagi ia dipertanyakan saat menggunakan dua gelar magister (satu magister di Solo memang sudah ia rengkuh secara resmi, tetapi gelar magister di Jogja belumlah sah ia raih).

Hal-hal semacam ini mungkin sudah biasa terjadi. Namun, kalau mau jujur, tentu kita tidak ingin kisah demikian akan berlanjut tanpa ada batasnya. Memang ada beberapa sudut pandang yang memungkinkan hal ini bisa terjadi. Misalnya saya kita sebut “pelaku pemalsuan gelar” ini si A. Kondisi pertama, si A memang sejak mula menginginkan dirinya disebut dengan gelar tertentu, seperti Lc jika sudah lulus dari Al-Azhar, meskipun ia belum atau tidak pernah lulus dari perguruan tinggi itu. Dalam kondisi ini, apalagi jika sekelilingnya tidak ada seorang pun yang pernah semasa saat belajar di Al-Azhar, bisa jadi ia dengan terang benderang tanpa malu menyebutkan gelarnya dalam setiap penyebutan namanya.

Kondisi kedua, sebenarnya si A tidak pernah mempersoalkan gelar. Ia juga tidak menyebutkan gelar apa pun saat diminta menuliskan namanya sendiri. Namun, saat kemudian orang-orang menyebutnya dengan gelar tertentu, misalnya diimbuhi dengan gelar Lc karena ia pernah kuliah di Universitas Al-Azhar, maka kemudian ia diam saja. Memang sungguh mulia ia tidak mempersoalkan gelar, tetapi tentu menjadi persoalan saat ia membiarkan kebanyakan orang menyebutkan gelar untuknya dengan gelar yang belum pernah ia raih.

Untuk si A semacam ini, saya sarankan sebaiknya sejak dini langsung mengklarifikasi gelar tersebut. Jika ia malu menyebut secara terang-terangan, alangkah baiknya ia sindir para penyebut gelarnya itu sehingga kelak mereka tidak lagi mengikutkan gelar tersebut untuk namanya. Salah satu caranya sudah pernah saya dengar sendiri dari seorang Guru Besar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat saya meminta tanda tangannya dan saya menyebutkan gelar di belakang nama beliau adalah S.U., M.A., beliau dengan bercanda mengatakan, “Wah saya dapat bonus gelar M.A. nih,” karena rupanya beliau hanya pernah mendapatkan S.U., tanpa M.A. Dengan senang hati dan lemah lembut beliau menolak gelar M.A. tersebut karena memang beliau merasa tidak atau belum pernah mendapatkannya.

Kondisi ketiga, jika si A memang sudah hampir pasti mendapatkan gelar tersebut, tetapi belum benar-benar secara resmi mendapatkannya. Kondisi ini memang debatable untuk dibahas. Misalnya jika situasinya adalah S1 Al-Azhar, di mana tidak ada upacara wisuda kelulusan, dan jarak antara pengumuman kelulusan dan penyelesaian berkas ijazah dll biasanya cukup lama, maka dalam hal ini mungkin tidaklah mengapa seseorang mengaku sudah Lc jika namanya dinyatakan najih dalam pengumuman kelulusan itu. Adapun untuk perguruan tinggi di Indonesia, peresmian kelulusan biasanya ditandai dengan wisuda sehingga orang yang belum wisuda sebaiknya tidak mencantumkan gelarnya untuk mengiringi namanya.

Semua tentu berpulang kepada pribadi masing-masing. Hanya saja, mari berhati-hati menyebut gelar ini agar tidak menimbulkan fitnah.[]

Wonoyoso, 21 Mei 2012

Monday, April 02, 2012

Satu-satunya Trik Mendidik Anak-Anak*

Saya punya adik ipar cukup banyak. Maklum, istri adalah si sulung, sementara keluarganya termasuk penganut setia program KB (Keluarga Besar) alias keluarga dengan jumlah anggota yang besar. Salah seorang adik iparku adalah seorang perempuan berusia 11 tahun. Meski belum balig, alhamdulillah dia sudah tidak pernah meninggalkan shalat.

Namun, karena justru merasa belum balig itulah kadang keinginannya untuk meremehkan shalat menjadi begitu besar. Terutama saat shalat subuh, di mana malamnya tidak terbiasa tidur cepat, otomatis paginya agak susah bangun. Tidak jarang dia harus menangis dulu sebelum mau benar-benar bangun dan beranjak menuju kamar mandi untuk bebersih dan wudhu lalu shalat.

Dia akan lebih mudah dibangunkan kalau ada maunya saja. Misalnya saat hari libur, paginya saya dan istri berniat jalan-jalan, sementara dia ingin ikut serta. Dengan syarat bangun pagi untuk ikut diajak, dia pun akan dengan bergegas bangun saat subuh. Atau saat hari-hari tertentu dia harus datang lebih pagi ke sekolah, maka dia meminta dibangunkan lebih awal dan dengan sendirinya dia akan langsung melek meski cuma ditepuk ringan di kakinya.

Suatu ketika, saya baru pulang dari luar kota dengan membawa oleh-oleh cukup langka. Terlebih, oleh-oleh itu berupa makanan yang sangat disukai anak-anak, termasuk sang adik ipar ini. Demi membuat surprise, saya pun diam saja di kamar dan memanggil-manggil namanya. Ia yang tengah asyik bermain dengan bonekanya tampaknya tak menggubris panggilan saya itu.

Dia memang menjawab “dalem” atau semacam kata “ya”, tetapi tidak datang juga. Saya dan istri hanya mesam-mesem di kamar. Jika dia tidak datang, biarlah oleh-oleh ini kami habiskan. Kami terus memanggil-manggilnya, tetapi rekasinya masih sama. Makin lama rasanya agak kesal, saya pun memanggilnya dengan nada sedikit lebih keras. Rupanya ia masih juga tak menghiraukan.

Akhirnya istri saya mendatanginya dan mengiming-iminginya dengan sesuatu yang sangat menarik minatnya. Dia pun dengan tanggap segera datang ke kamar kami. Berpura-pura seperti jinak-jinak merpati, kami pun sempat hanya memamerkan oleh-oleh itu tanpa boleh disentuhnya. Ia pun menjerit-jerit meminta bagian. Setelah beberapa saat bermain-main, akhirnya ia mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia mengatakan bahwa jika kami sejak awal memberi tahu adanya oleh-oleh tersebut di dalam kamar, maka tentu ia akan langsung datang saat dipanggil. Nah...

Usai kejadian itu, saya terpikir: memang seperti inilah manusia pada umumnya. Karena tidak melihat langsung seperti apa wujud balasan pahala yang dijanjikan Allah, kita terbiasa untuk tidak segera bergegas melaksanakan perintah-perintah-Nya.

Untuk itu, beberapa saat kemudian kami kembali memanggil si adik ipar. Saya ceritakan kembali runtutan kejadian pemanggilan tadi, lalu saya analogikan hal itu dengan “kisah-kisah pribadi”-nya pada shalat subuh, dan shalat atau ibadah serta perintah orang tua lainnya.

Saya tekankan, bahwa jika ia tahu betapa indah balasan yang akan ia terima ketika bergegas melek saat dibangunkan untuk shalat subuh, atau ketika ia segera mengiyakan saat diminta membantu orang tua, atau ketika ia cepat-cepat beranjak dari depan televisi saat dibimbing untuk belajar, tentu kelak ia akan melaksanakannya tanpa dibangunkan, tanpa diminta, tanpa dianjurkan. Hal itu sama persis dengan: ketika ia tahu ada oleh-oleh enak di dalam kamar maka ia akan langsung datang saat dipanggil. Sama halnya pula dengan: jika kita tahu setelah shalat kita mendapat hadiah A dari Allah, maka saat mendengar azan kita pun pasti langsung bertakbir.

Ia pun mengangguk-angguk. Saya sendiri pun mengangguk-angguk. Betapa kehidupan dunia ini sederhana: kita sudah terlalu sering mendengar janji surga, tetapi karena kita belum melihat surga itu seperti apa keindahannya, maka kita kadang lebih memilih jalan tercepat menikmati surga dunia, entah apa pun bentuknya.

Namun, karena saya tengah menghadapi anak-anak, tentu saya harus sadar dan sabar. Bahwa anak-anak lebih mudah mencerna pelajaran, tetapi juga lebih mudah melupakannya. Terbukti, keesokan harinya ia masih susah juga untuk dibangunkan saat shalat subuh. Jadi, telaten menghadapi anak-anak memang menjadi kuncinya.[]

Wonoyoso, 2 April 2012

*Judul sudah terpengaruh oleh “aliran berlebihan”, karena kalimat yang dimaksud adalah “salah satu trik mendidik anak-anak”

Wednesday, March 14, 2012

Menanti Pembaruan dari Partsai NasDem

Partai NasDem mungkin akan menjadi satu-satunya partai anyar pada Pemilu 2014 mendatang. Berdirinya Partai NasDem, meskipun mungkin berawal dari kekecewaan sebagian orang di partai lawas, sebenarnya bisa dijadikan model baru partai di Indonesia yang berbeda dengan partai-partai sebelumnya. Tentu saja ada beberapa hal yang harus dipersiapkan agar Partai NasDem ini mendapat simpati masyarakat.

Menurut survei-survei, kepercayaan rakyat Indonesia terhadap partai politik memang cenderung menurun. Partisipasi masyarakat pada Pemilu 2014, pun juga dikhawatirkan akan semakin lebih rendah dibanding pemilu sebelumnya. Hal itu tentu tidak mengherankan mengingat begitu banyaknya politisi yang tersandung kasus hukum dan utamanya tuduhan korupsi.

Nah, di sinilah Partai NasDem harus bisa menunjukkan suatu hal yang baru dalam dunia kepartaian Indonesia. “Hal yang baru”—tiga kata yang patut digarisbawahi—sebenarnya sempat diperlihatkan PKS sebelum Pemilu 2004. Berbekal kader partai militan di legislatif yang benar-benar memperjuangkan rakyat kecil, ditambah kader partai di luar lembaga resmi yang banyak membantu korban banjir dan bencana lainnya. Hasilnya, suara PKS naik berkali-kali lipat pada Pemilu 2004.

Sayangnya, PKS kemudian ikut terjebak dengan permainan partai-partai lain. PKS tak lagi menampakkan idealismenya, malah semakin terjerembab pada pragmatisme sebagaimana partai politik pada umumnya. Walhasil, pada Pemilu 2009, kursi yang mereka dapatkan di DPR tidak beranjak terlalu jauh. Memang tidak menurun, tetapi menunjukkan tidak ada peningkatan signifikan seperti dari 1999 ke 2004.

Untuk itu, jika benar-benar hendak menampilkan gaya baru dalam jagat politik, Partai NasDem harus bersungguh-sungguh meninggalkan gaya yang dianut semua partai yang ada di DPR saat ini. Dengan betul-betul memperjuangkan kebutuhan rakyat kecil, niscaya Partai NasDem akan mendapat simpati luas. Misalnya saja, dengan adanya BAHU (Badan Advokasi Hukum) dalam Partai NasDem, hal itu harus benar-benar dimanfaatkan untuk membela kepentingan rakyat yang terpinggirkan.

Jangan sampai BAHU hanya menjadi pembela kader partai jika ada yang tersangkut kasus hukum. Bahkan—jika perlu—demi menampilkan “hal yang baru” itu, Partai NasDem misalnya saja justru mengkhususkan BAHU ini untuk membela rakyat kecil. Kader partai, yang biasanya merupakan orang-orang elit, tidak perlu mendapat bantuan dari BAHU. Elit-elit partai (dan itu yang biasanya disebut sebagai kader partai) justru pada umumnya orang berduit yang mampu membayar sendiri para pengacara.

Dengan hanya mau membela orang di luar struktur partai, utamanya rakyat kecil, BAHU sebagai kepanjangan tangan Partai NasDem dapat membentuk image partai induknya yang betul-betul peduli pada wong cilik. BAHU juga sebaiknya tidak perlu memberi bantuan hukum kepada kader apalagi pengurus Partai NasDem. Hal ini untuk menjaga nama baik partai karena selama ini setiap nama yang sudah di-blow up media bahwasanya dia telah melakukan tindakan melawan hukum maka dengan sendirinya masyarakat umum langsung mengecap dirinya dengan gambaran aib. Tidak peduli apakah nanti blow up media itu dapat dibuktikan di pengadilan atau tidak. Apalagi, saat ini kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan semakin menurun. Kesan-kesan peduli rakyat kecil dan tidak membela elit bersalah seperti inilah yang kiranya akan membuat para pemilih tertarik mencoblos partai pada Pemilu nanti.

Langkah lain yang perlu dilakukan Partai NasDem adalah jangan mengikuti irama yang selama ini dimainkan partai-partai yang sudah ada. Misalnya saja berkaitan dengan rekrutmen kader. PKS sebenarnya sudah memberikan contoh yang baik dengan menjadi partai eksklusif dalam hal pengelolaan partai. Kader partai yang kemudian menanjak menjadi pengurus hinggal elit partai adalah mereka yang benar-benar telah melalui serangkaian pembinaan dari awal. Tidak ada kader jadi-jadian yang sebelumnya membela partai lain tiba-tiba masuk sebagai pengurus apalagi caleg.

Hanya saja, PKS rupanya kemudian terbawa arus partai lain dan terlihat tidak sabar dengan model pembinaan terencana dan bertahap seperti yang sudah dijalankan sebelumnya. Padahal, masyarakat sebenarnya tidak mempermasalahkan eksklusivitas pengelolaan suatu partai. Asalkan hasil kerjanya bisa dinikmati secara luas alias inklusif, masyarakat tetap akan lebih memilih partai demikian daripada partai yang dikelola beragam kulit warna, tetapi justru memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.

Beberapa hari yang lalu, sebuah televisi yang paling sering dijadikan media untuk mengiklankan Partai NasDem memberitakan bahwa seorang anggota DPR dari sebuah partai yang sudah cukup berumur rela meninggalkan partainya demi membela Partai NasDem. Berita demikian sesungguhnya tidak bisa dijadikan suatu bahan kebanggaan bagi Partai NasDem. Masyarakat tidak kemudian dengan mudah memiliki kesan bahwa Partai NasDem telah berhasil menarik minat politisi senior sehingga ke depan jalannya partai akan lebih baik. Sebaliknya, masyarakat justru bisa berkesan bahwa Partai NasDem tak ubahnya partai yang selama ini ada; yaitu menjadi batu loncatan untuk memperkaya dan melindungi diri sendiri serta kekayaannya.

Memang tidak ada salahnya merekrut tenaga-tenaga berpengalaman untuk memperkuat partai. Namun, semakin banyaknya politisi ternama yang dipenjara pengadilan atau ditahan kejaksaan, kepolisian, dan KPK, partai baru yang hendak bersaing seharusnya tidak perlu mendekati juga jangan mau didekati politisi yang justru sudah bergelut dengan dunia perpolitikan sebelumnya. Partai NasDem, jika memang ingin membawa slogan perubahan, tentu harus mengedepankan nama-nama baru dan tenaga-tenaga muda yang belum atau malah tidak terkontaminasi dunia kotor politik sebelumnya.

Intinya, Partai NasDem harus berhati-hati dalam rekrutmen kader. Jangan sampai Partai NasDem dihuni orang-orang oportunis yang hendak melipatgandakan kekayaan, mencari perlindungan, atau memperpanjang usia kekuasaannya. Jika betul niatnya adalah melakukan restorasi Indonesia, Partai NasDem harus menutup pintu serapat-rapatnya bagi politisi yang tidak bersih. Sebaliknya, Partai NasDem harus melakukan kaderisasi bertahap untuk menjaga partai agar tidak disusupi kepentingan pribadi dan sekelompok kecil golongan.[]

Pujut, 4 Maret 2012

Warisan Warisan Warisan

Kita sering mendengar adanya kabar cekcok keluarga yang dilatarbelakangi pembagian harta warisan anggota keluarga yang sudah meninggal dunia. Entah dari berita di televisi atau media massa lainnya, entah dari berita gosip ibu-ibu yang biasa berkumpul di pojok kampung tertentu, berita seperti itu sepertinya bukan barang baru.

Na’udzu billah min dzalik. Semoga kita dijauhkan dari percekcokan keluarga, utamanya yang didasari harta warisan seperti itu. Saya sendiri sudah pernah mengalami masa pembagian warisan. Hal itu berkaitan dengan wafatnya ayah tercinta hampir dua tahun yang lalu. Alhamdulillah, saat pembagian harta warisan, saya merasa seluruh anggota keluarga tidak ada yang keberatan sedikit pun.

Saya sendiri kebetulan menjadi satu-satunya anggota keluarga yang tidak ikut proses pembagian karena tengah sakit dan berada di rumah mertua. Namun, hingga sekarang, alhamdulillah saya melihat hubungan kami selalu baik. Semua menerima pembagian waris itu dengan hati lapang, termasuk saya yang tidak ikut prosesi pembagian.

Hanya saja, sebelum pembagian waris itu memang terjadi hal yang tidak diinginkan. Tidak, hal ini tidak berkaitan dengan cekcok keluarga. Justru barangkali malah karena saking jauhnya kami dari cekcok keluarga, insya Allah. Hal yang tidak cukup diinginkan itu adalah berkaitan dengan pembagian harta warisan sebagaimana prinsip yang dipegang ayah kami.

Saat ayah tercinta masih hidup, beliau memang seringkali dimintai tolong orang untuk mengatur pembagian harta warisan. Jika dimintai tolong seperti itu, beliau selalu berpesan dengan tegas bahwa membagi warisan harus dilakukan secepatnya, yaitu tidak melewati 40 hari dari wafatnya anggota keluarga yang meninggalkan harta warisan. Konon, hal itu agar si mayit lebih tenang di alam sana. Semakin cepat harta warisan dibagi maka semakin baik bagi si mayit.

Nah, kecepatan pembagian warisan itulah yang justru tidak bisa kami laksanakan. Kalau dari saya sendiri, hal itu terjadi karena saya merasa tidak elok meminta-minta harta waris. Saya kira demikian juga yang dirasakan anggota keluarga yang lain. Kami merasa bahwa bahkan jika semua harta peninggalan ayah tercinta diperuntukkan bagi ibunda, tentu hal itu masih belum cukup untuk mengobati duka ibunda. Karenanya, biarlah sementara ini harta warisan dikelola dan dimanfaatkan ibunda.

Hanya saja, perasaan kami yang bertentangan dengan prinsip ayah tercinta saat masih hidup itu mendapatkan tantangannya. Sejak ayah wafat pada 29 Maret 2010 sampai hari raya Idul Fitri 1421 (sekitar September 2010), saya sempat beberapa kali mimpi bertemu ayah tercinta. Di antara mimpi-mimpi itu, tiga di antaranya rupanya ada yang “menyindir” soal harta warisan. Dalam mimpi, saya melihat ayah membagi-bagikan sendiri harta yang ditinggalkannya kepada para ahli waris, termasuk saya tentunya.

Karena tidak hanya sekali bermimpi mirip seperti itu, akhirnya saya sampaikan saja perihal mimpi itu kepada anggota keluarga yang lain. Mendengar kisah mimpi itu, ibunda pun segera mengajak bermusyawarah untuk segera menentukan hari pembagian waris. Ibunda juga mengingatkan bahwa memang almarhum ayah tercinta senantiasa menyegerakan pembagian warisan saat diminta menjadi pengatur pembagiannya.

Masih suasana id 1421 H, keluarga pun berkumpul untuk menentukan pembagian harta warisan. Dengan meminta bimbingan dari tokoh desa dan orang yang sudah terkenal ahli dalam membagi warisan, kami pun hanya termanggut-manggut melihat ternyata pembagian warisan tidak serumit yang dibayangkan. Semuanya manggut-manggut, kecuali saya. Ya, karena saya sedang terbaring lemas di rumah mertua.

Keesokan harinya saat dikabari hasil pembagian warisan, saya pun hanya bisa bersyukur karena alhamdulillah harta peninggalan almarhum ayah tercinta sudah selesai dibagi. Mudah-mudahan almarhum ayah semakin tenang dan dilimpahi kenikmatan di alam sana. Saya tidak menghiraukan warisan apa saja yang saya dapat dan yang didapat anggota keluarga yang lain. Saya menerima apa adanya, dan saya yakin yang lain juga demikian.

Tidak lama setelah pembagian warisan itu, ibunda bermimpi bertemu almarhum ayah. Dalam mimpi, ibunda melihat almarhum ayah duduk di kursi layaknya singgasana. Dengan senyum mengembang, almarhum ayah terlihat dikelilingi cahaya putih bersinar terang. Rupanya tidak hanya ibunda yang bermimpi demikian. Ada pula seorang tetangga yang masih kerabat jauh bercerita kepada kami telah mengalami mimpi bertemu almarhum ayah. Isi mimpi yang diceritakannya tidak jauh berbeda dengan isi mimpi yang dialami ibunda.

Saya tadinya bingung menerawang apa gerangan di balik mimpi itu. Namun, kemudian ada yang mencoba menerjemahkan bahwasanya hal itu mungkin karena ketenangan almarhum ayah di alam sana. Mungkin almarhum ayah sudah benar-benar lega harta peninggalannya sudah dibagikan secara adil dan semua pihak menerima dengan hati senang. Alhamdulillah, semoga demikian benar adanya beliau di sana.[]

Pujut, 4 Maret 2012

Saturday, March 03, 2012

Teladan dari Esemka

Indonesia dengan jumlah penduduk termasuk lima besar dunia merupakan pangsa pasar menjanjikan. Sayangnya, lama kelamaan kok nyaris semua barang harus diimpor. Jangankan barang berteknologi tinggi, sayuran atau buah-buahan saja semakin banyak merk luar negeri.

Karena itu, tak mengherankan bila banyak yang berharap munculnya Esemka yang meluncurkan mobil buatan dalam negeri dapat menjadi cikal bakal industri mobil nasional. Hanya saja, jalan menuju cita-cita mulia itu rupanya harus menghadapi banyak rintangan.

Selain kelak harus bersaing dengan pabrikan impor dengan merk dagang mentereng, Esemka harus diujicobakan dulu kelaikannya di BPPT. Saat hendak melakukan uji emisi di BPPT, sebenarnya Esemka sudah benar-benar diuji dalam perjalanan dari Solo hingga tempat pengujian di Jakarta. Selama perjalanan malam itu, menurut penumpangnya, toh tidak pernah ada masalah.

Namun, hal itu tentu tidak bisa dijadikan patokan karena kebetulan pengemudi dan penumpangnya adalah orang yang selama ini getol memperjuangkan Esemka. Tentu saja bisa ada subjektivitas penilaian. Yang objektif adalah bila Esemka sudah benar-benar diuji emisi oleh lembaga berwenang—dalam hal ini BPPT—dengan ukuran standard angka-angka yang sudah jelas.

Meski begitu, namanya orang Indonesia, rupanya ada pula yang meragukan jalannya uji emisi itu. Memang banyak yang tidak tahu persis seperti apa uji emisi itu. Karenanya, beberapa orang ada yang sempat berprasangka bahwa jangan-jangan uji emisi itu hanyalah jalan untuk menjegal langkah Esemka. Orang-orang dengan prasangka demikian adalah mereka yang sudah bosan dengan budaya korupsi dan kolusi di negeri ini.

Bisa saja, menurut mereka itu, pabrikan yang selama ini menguasai pasar mobil Indonesia “membeli” orang-orang di BPPT agar tak meluluskan Esemka. Entah kebetulan entah bagaimana, setelah dilakukan uji emisi pada Senin (28/2/2012), Esemka dinyatakan tidak lulus uji. Gas buang dari knalpot masih terlalu polutif dan lampu utama kurang terang. Kontan saja sebagian pihak eksternal pendukung Esemka berprasangka yang tidak-tidak pada BPPT. Inikah sikap orang Indonesia korup yang tidak mau melihat produksi dalam negeri maju?

Itu sikap pihak eksternal. Bagaimana sikap internal para stakeholder pembuat Esemka. Diwakili Jokowi yang Walikota Solo, mereka mengatakan bahwa mereka kecewa dengan hasil uji emisi itu. Hanya saja, kekecawaan mereka konon hanya 2-3 menit. Sikap mereka sungguh kesatria. Meski sebelum uji emisi sudah berulang kali berkoar di berbagai media bahwa Esemka pasti lulus uji, mereka tetap berlapang dada saat mengetahui Esemka dinyatakan belum laik jalan.

Pihak Esemka rupanya tidak pernah secuil pun menyebutkan bahwa kegagalan lulus uji emisi itu karena BPPT “bermain di belakang”. Sama sekali tidak ada prasangka buruk seperti itu, berbeda dengan pendukung Esemka yang mungkin juga tidak banyak tahu bagaimana jalannya uji emisi itu. Entah karena sudah jelas mengetahui jalannya uji emisi, entah karena ke-gentle-an, pihak Esemka dengan berbesar hati menerima kegagalan itu. Mereka dengan legowo akan pulang ke Solo untuk memperbaiki kekurangan yang ada dan berjanji dua pekan berikutnya siap uji emisi lagi.

Dari kejadian itu, ada beberapa hal yang perlu dijadikan contoh bagi kita bangsa Indonesia. Pertama, tidak usah berprasangka buruk kepada siapa pun. Kedua, jika ada pihak yang mencegah langkah kita, sementara niat kita baik dan mereka juga terlihat berpegang pada aturan main, maka carilah jalan lain sehingga kita tidak bisa dicegah lagi. Tidak perlu kita memaki-maki pencegah langkah kita itu.

Ketiga, jauhkan diri dari sikap arogan. Esemka adalah kebanggaan bangsa Indonesia. Meski belum diproduksi massal, kehadirannya sudah menyita perhatian publik dan mendapatkan dukungan luas dari berbagai kalangan. Namun, dukungan itu tidak lantas digunakan pihak Esemka untuk dengan seenaknya menabrak aturan yang ada. Pihak Esemka juga tidak mau menggunakan kesempatan itu untuk menjatuhkan BPPT selaku pihak yang menyatakan Esemka belum laik jalan.

Keempat, bahkan demi kebaikan, jujur harus didahulukan meski ada kesempatan untuk tidak berbuat jujur. Ada yang mengatakan bahwa sebenarnya saat hendak uji emisi, mobil Esemka bisa saja menggunakan lampu dengan merk mapan dan mesin tertentu yang bukan asli Esemka dalam rangka mendapatkan sertifikat lulus uji emisi. Namun, hal itu sama sekali tidak dilakukan Esemka karena mereka hendak mengikuti aturan main yang sebenarnya.

Dengan keempat langkah teladan itu, semoga Esemka benar-benar dapat menjadi pionir industri mobil nasional yang dapat dibanggakan. Tidak hanya secara lahiriah mampu membangkitkan produksi dalam negeri untuk semua aspek kebutuhan negeri ini, tetapi juga secara batiniah dapat membenahi mental masyarakat Indonesia untuk selalu bermain bersih.[]

Pujut, 2 Maret 2012

Friday, February 24, 2012

Salah Kostum

Bagaimana rasanya salah memakai kostum di acara penting? Memalukan… ya, amat sangat malu sekali. Saya pernah mengalaminya; atau bahkan sering. Maklum, saya bukan orang yang begitu perhatian terhadap penampilan. Sayangnya, ketidakpedulian itu keterlaluan, jadinya harus memetik malu berkali-kali.

Salah satu yang paling memalukan adalah saat menjadi ketua panitia lokakarya dan silaturahmi NU luar negeri, Cairo, Juli 2003. Padahal, delegasi peserta datang dari NU Inggris, NU Sudan, NU Arab Saudi, ilmuwan Belanda, juga ada Ketua Umum PBNU. Pak Kiai Hasyim rawuh ditemani beberapa kiai, semisal Kiai Fawaid As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), Kiai Manarul Hidayat (Jakarta), dan Kiai Said Aqil Sirodj (yang kini giliran menjabat Ketua Umum PBNU). Tidak ketinggalan intelektual muda yang saat itu menjabat Ketua PP Lakpesdam, Ulil-Abshar Abdalla.

Ceritanya pada acara pembukaan, saya mewakili panitia dijadwalkan memberikan sambutan. Untuk acara selevel itu, seharusnya saya sudah mempersiapkan segala hal untuk tampil maksimal, selain rancangan isi pidato juga termasuk kostum yang layak dipakai untuk menyambut sekian banyak tamu yang datang dari berbagai negara itu.

Nahas, saya sama sekali tidak memiliki sense of clothing (apa itu???) yang cukup untuk itu. Walhasil, beginilah dandanan saya: tanpa peci, tanpa minyak rambut, baju panjang berwarna merah agak oranye, celana warna hijau (!), dan lebih aneh lagi adalah sepatu kets yang sangat cocok untuk lari pagi. Ckckck….

Saat itu saya sih sama sekali tidak menghiraukan. Tetapi setelah beberapa waktu berlalu dan ingin melihat-lihat foto acara tersebut, barulah saya merasakan betapa memalukannya penampilan saat itu. Sungguh terlalu, begitu kira-kira komentar Bang Haji kalau melihatnya.

Hanya saja, pengalaman waktu itu rupanya tak cukup memberikan pelajaran bagi saya. Buktinya, momen penting lain harus berurusan kembali dengan salah kostum atau yang dalam bahasa gaul disingkat saltum itu. Kali ini malah acara spesial: lamaran manten. Ya, acara yang berlangsung sekitar dua tahun lalu itu meninggalkan cerita lugu (lucu plus wagu).

Saat itu berangkat dari rumah berombongan semobil bersama orang tua dan sanak keluarga. Saya dengan santainya memakai baju batik panjang dan celana panjang yang menurut saya warnanya sudah cukup matching. Tidak ketinggalan mengenakan peci juga dong.

Namun, di tengah jalan rupanya ada yang memerhatikan “keanehan”: saya tampak terlalu tua. Yap, rupanya kemeja batik berwarna coklat tua itu menambahkan usia saya. Beruntung, salah seorang kakak lelaki saya memakai kemeja dengan nada warna serupa, hanya saja warnanya lebih kalem dan ngenomi. Solusinya tukar baju lah. Jadilah di tengah jalan kami bertukar baju, saya meminjam kemeja mas saya.

Saltum kembali terjadi di almamater yang patut dibanggakan: UGM. Tapi bagaimana saya berharap bisa balik dibanggakan, kalau saat malam kelulusan wisuda pascasarjana saja saya pakai sandal jepit! Saya sendiri awalnya mengira itu hanyalah acara makan malam dan ramah tamah. Makan-makan lalu ngobrol-ngobrol. Tidak tahunya, ada acara resmi selayaknya wisuda beneran.

Ketika keluar dari lift di lantai lima, kebetulan ada Bapak Kaprodi yang tengah berdiri di tengah kerumunan. Saya pun langsung menyalami, lalu meninggalkan beliau karena sepertinya beliau tengah serius mengobrol dengan orang-orang di sekelilingnya. Sedetik kemudian saya menuju meja makan karena menganggap itu acara intinya, hehe.

Saat menikmati makan malam itu, salah seorang staf Prodi mendatangi saya. Dengan halus dia mengatakan: Gus, kok pakai sandal sih, ditegur Pak Kaprodi tuh, nanti kan kamu diminta maju untuk mendapat penghargaan cumlaude dari Direktur Sekolah Pasca. Ou ouw… ada acara maju segala to buat teman-teman yang dapat cumlaude. Apes, rupanya Pak Kaprodi memerhatikan saya memakai sandal tadi, hiks hiks.

Saya pun langsung celingukan sekiranya ada yang bisa meminjamkan sandal. Alhamdulillah, ada suami dari teman calon wisudawati yang bersedia bertukar sandal-sepatu. Jadilah kami duduk berdekatan di tempat acara, lalu saat saya dipanggil saya meminjam sepatunya.

Tidak berhenti di situ, saat keesokan harinya acara wisuda, saya kembali kena saltum. Tapi menurut saya kali ini tidak terlalu parah. Sebagaimana umumnya acara wisuda, para peserta diwajibkan mengenakan celana hitam dan hem putih. Nah, karena saya tidak punya celana hitam kecuali kusut karena umurnya senja, saya pun nekat memakai celana hijau tua—tua sekali lah menyerupai hitam.

Namun, rupanya ada juga teman yang terlalu baik sehingga begitu perhatian dengan kostum saya. Dia pun menegur kenapa saya tidak memakai hitam. Saya pun menjawab bahwa warna ini toh tidak terlalu mencolok. Dibukanya pula baju wisuda saya; duhhhh kenapa Agus bajunya tidak putih, melainkan biru malah bergaris-garis. Ah, biarlah, toh tidak kelihatan, wong tertutup baju toga kan.

Benar-benar seluruh kisah yang memilukan ya. Mudah-mudahan tidak akan terjadi lagi. Eh, sebelum tulisan ini ditutup, mungkin ada baiknya saya ceritakan juga “kisah pelipur lara” untuk cerita-cerita tadi. Tepatnya saat ujian wawancara menuju Mesir. Waktu itu seluruh calon penerima beasiswa Al-Azhar yang sudah lulus tes di Depag harus kembali diuji oleh Kedutaan Mesir di Jakarta.

Di sini kartu truf saya soal kostum benar-benar menunjang karier, hehe. Dengan pakaian batik, saya mencoba pede memasuki ruang para penguji. Benar saja, saat tes wawancara itu, saya ditanya berasal dari mana. Saya pun menjawab: Pekalongan. Nah, rupanya sudah takdir, penguji meneruskan dengan pertanyaan: apa yang terkenal dari daerahmu? Dengan amat sangat pede sekali, saya menjawab: pakaian batik! Tentu saja dengan pede tingkat tinggi, saya tunjuk-tunjuk pula pakaian yang saya kenakan sambil berucap: ini loh batik yang terkenal berasal dari Pekalongan. Benar-benar ces pleng![]

Pujut, 20 Februari 2012

Sunday, January 29, 2012

Kisah Shalat Istikharah (2)

Cerita lainnya tentang istikharah saya adalah soal pernikahan. Beberapa kali gagal dalam usaha menggaet pendamping hidup, puji syukur kepada Allah akhirnya saya ditautkan dengan seorang istri yang sempurna buat saya. Begitu sempurna sehingga untuk mendapatkannya pun saya harus seperti “bermandikan darah”. Harus melalui usaha keras yang saya kira tanpa kekuatan keyakinan kepada petunjuk-Nya maka akan dengan mudah saya menyerah.

Saya mulai mengenal istri saya sekitar Juli atau Agustus 2009. Mungkin karena kasihan melihat saya jomblo sekian lama, mbak saya mengenalkan saya dengan si dia. Saya hanya diberi nomor telpon dan dipersilakan melakukan hubungan lebih lanjut sendiri. Karena berbeda jauh soal latar belakang pendidikan dan pergaulan, kami memang sering tidak nyambung saat mengobrol . Kiranya hanya kejombloan saya yang membuat saya terus mencoba menghubunginya. Sementara dia mungkin hanya punya satu alasan untuk tetap menerima telpon saya: tidak enak sama mbak saya. Dia memang adik kelas mbak saya di pondok.

Pun saat menerima telpon saya, biasanya dia nyambi menyapu, mengobrol dengan adiknya, atau malah tiba-tiba bilang, “Maaf ya saya harus mengerjakan ini dan itu, jadi sekian dulu ya telponnya.” Bagaimana dengan berkirim sms? Jangan harap mendapat balasan! Tapi karena saya jomblo, ditambah saya sudah istikharah untuk memulai hubungan ini, ya saya mencoba terus saja untuk mengenalnya lebih dekat (meski hasilnya malah tambah jauh). Saya bahkan harus agak “memaksa” datang ke rumahnya, sekitar akhir Agustus 2009, untuk mengetahui langsung bagaimana orangnya.

Dengan diberi rute yang—entah sengaja entah tidak—diputer-puter sehingga membuat saya sempat bingung, akhirnya saya menemukan rumahnya. Kami pun jadi saling tahu secara off air, dan rupanya saya semakin tertarik. Hanya saja, sepertinya tidak demikian si dia. Si dia sepertinya malah semakin pantang untuk mau saya dekati. Tidak mau menjawab telpon atau sms. Kalaupun dijawab maka bahasanya sangat ketus dan saya yakin tidak ada seorang pun berharap mendapatkan jawaban seperti itu. Semangat saya pun sempat mengendur untuk mendekatinya.

Sampai akhirnya iseng-iseng itu mendapat “hadiah”. Pada hari kelima (kalau tidak salah ingat) lebaran tahun 2009, saya hendak menghadiri reuni alumni Kairo di Pekalongan, kira-kira 50km dari rumah saya dan hanya 2-3 km dari rumah istri saya. Kebetulan juga mbak saya ke Pekalongan bersama suami dan anak-anaknya untuk bersilaturahmi dan berbelanja batik. Saat saya sudah di Pekalongan, mbak saya menelpon. Rupanya mbak saya tengah berada di toko batiknya bu lik dari istri saya. Mbak saya mengajak saya datang ke toko batik itu dan entah kenapa seperti agak memaksa saya—dan saya enjoy saja—untuk ikut ke rumah bu lik saya yang berimpitan dengan rumah istri saya. Karena rumahnya berdekatan itu dan saya juga sudah mengenal (tahu) dia dan keluarganya, tentu tidaklah elok untuk tidak mampir.

Pertemuan itu pun terjadilah. Bagi saya, sama sekali tidak ada niatan pendekatan saat pertemuan itu. Saya sudah berpikir nyaris mustahil mendekatinya, karena saya pun tahu dia mungkin belum bisa melupakan kondisi baru saja putus dari pacarnya karena tidak direstui orang tua. Hanya saja, saat mau berpamitan pulang, saya iseng berbisik kepada mbak saya, “Tawarkan kapan giliran si dia mau mampir ke rumah?” Mbak saya pun menyalurkan aspirasi saya. Tanpa dinyana sama sekali, neneknya menjawab penuh keyakinan, “Ya segera lah, insya Allah 2-3 hari lagi.”

Saya kaget mendengar jawaban itu. Niat nanya iseng bin basa-basi malah dijawab dengan amat sangat serius. Saya juga melihat mimik kaget bercampur tidak percaya ada di wajah istri saya saat itu. Hal yang sama juga ditunjukkan ibu mertua saya. Saya sangat maklum, karena tanpa musyawarah dulu—minimal dengan ibu mertua karena ayah mertua sedang tidak di rumah, kok bisa-bisanya nenek menjawab seperti itu. Tapi kemudian semua mencair dengan saling senyum.

Dengan keluarga yang sudah saling mengunjungi, mau tidak mau kami menjadi seakan-akan makin dekat. Mungkin dia tidak menginginkan hal seperti ini, tapi saya pun tidak bisa mengelak kejadian ini. Tidak mau berlarut-larut memainkan hati yang tidak jelas ujungnya, saya pun segera istikharah untuk menanyakan secara resmi kesediaan si dia bagaimana jika berlanjut ke pelaminan. Kondisi sebelum istikharah adalah saya berharap dia mau menjadi istri saya. Namun, saya pun tahu sepertinya harapan saya itu sangat kecil kemungkinannya, melihat betapa sengitnya dia saat menjawab telpon atau sms.

Justru karena “perlawanan” sengit seperti itulah yang membuat saya “mempercepat” proses. Saya tidak mau berlama-lama terkungkung dalam keadaan seperti itu. Jangan sampai bertepuk sebelah tangan ini berlarut-larut. Kalau memang jodoh, biarkan kami segera duduk bersama di pelaminan. Kalau memang bukan jodoh, biarlah saya tenang memikirkan bakal calon lainnya. Bismillah, segera saya melakukan shalat istikharah. Kalau tidak salah ingat malah sampai tiga kali.

Setelah shalat istikharah, saya pun memberanikan diri menyatakan dengan tegas maksud saya, yaitu hendak melamarnya. Melalui telpon, saya pun menanyakan, “Bagaimana dengan Anda?” (tentu tidak seperti itu bahasanya) Deg-degan menunggu jawaban? So pasti! Mau tahu jawabannya? Setelah yang satu ini ya…. Eh, malah kayak iklan…. Sama sekali tidak disangka, dia menjawab MAU! Nah loh, lalu apa yang membuatnya mau? Saya bertanya demikian. Dia menjawab, ya karena keinginannya. Aneh banget ya, selama ini kan kalau dihubungi seperti selalu menghindar, diajak nikah kok malah menjawab mau. Sempat saya ragu dengan jawaban itu, namun saya percaya sajalah, daripada berabe.

Sungguh, saya tidak menyangka jawabannya MAU. Bahkan saya sudah benar-benar sangat siap jika jawabannya TIDAK. Malah saat itu saya berjanji pada diri saya, melihat gelagat menjauh seperti yang selama ini dia tampakkan, kalau jawabannya TIDAK maka saya tidak akan mengulangi pertanyaan yang sama. Saya akan langsung mundur dan benar-benar melupakannya. Saya sangat yakin semua sudah diatur oleh-Nya dan saya sangat yakin dengan istikharah. Berbeda sekali dengan usaha-usaha sebelumnya mencari pendamping hidup, yang tidak akan mundur sebelum tiga kali menanyakan dan selalu dijawab TIDAK. Karena mendapat jawaban MAU, saya pun segera menghubungi keluarga di rumah (saat itu saya di Jogja) agar dalam pekan itu secara resmi melamar si dia ke rumahnya.

Itulah kekuatan istikharah. Sesuatu yang tadinya abu-abu, masih ragu-ragu untuk dijalankan, menjadi begitu mudah dan ringan untuk dilalui. Sementara sesuatu yang sudah tidak diragukan untuk dikerjakan, layak juga untuk diistikharahi dulu, supaya lebih mantap lagi untuk dilaksanakan. Yakinlah, kalau itu memang terbaik menurut pandangan-Nya maka jalannya akan semakin dilempangkan. Adapun jika itu tidak baik menurut-Nya maka akan dicarikan jalan lain yang lebih mudah lagi ditempuh.[]

Kampung Sawah, 27 Desember 2011-Wonoyoso, 29 Januari 2012