Saturday, January 26, 2013

Sekdilu XXXVII


Setelah melewati tahapan demi tahapan seleksi yang cukup melelahkan tenaga, pikiran, dan hati, tibalah saat berkumpul dengan teman-teman baru. Kamis (24/1/2013) siang menjadi deadline bagi peserta yang dinyatakan lulus seleksi CPNS Kemlu T.A. 2012. Sorenya, langsung diadakan acara pertama berupa perkenalan singkat dan briefing dari Direktur Sekolah Dinas Luar Negeri (Sekdilu) atau sebut saja “bos” untuk memudahkan.

Menurut bos, idealnya yang datang haruslah mewakili semua provinsi yang ada di tanah air. Namun, faktanya, dari tahun ke tahun, yang masuk hanya dari situ-situ saja. UI, Unpad, UGM, Unair. Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya, Surabaya. Nyaris semua dari Jawa. Mungkin ada satu dua dari luar Jawa. Tapi sangatlah minim.

Tahun 2012, 60 kursi disediakan untuk formasi diplomat. Namun, dari 35 provinsi yang ada, tidak ada separuh yang memiliki “wakil”. Begitulah fenomena yang terjadi dari tahun ke tahun. Wajar saja, seluruh ujian dilakukan di Jakarta. Saat pendaftaran online, yang tentu saja bisa diakses dari belahan mana pun di dunia, tercatat 23 ribu lebih pendaftar. Tapi jumlahnya langsung mengecil menjadi sekitar 3000 saja saat ujian pertama di Jakarta.

Memang itu sudah melalui seleksi berkas. Namun, kalaupun 23 ribu orang itu lolos berkas semua, kira-kira tidak akan semuanya datang ke Jakarta. Bagaimana beratnya peserta dari pojok Aceh atau ujung Papua, harus datang ke Jakarta tiga kali untuk ujian, ditambah satu kali untuk daftar ulang jika lulus sampai tahap akhir.

Untuk itu, dari 59 orang Sekdilu angkatan 37—seharusnya 60, tapi satu mengundurkan diri—ini, 5 di antaranya merupakan peserta yang disaring melalui jalur khusus. Jalur ini merupakan kebijakan untuk memberikan kesempatan pemerataan pengabdian bagi talenta muda Indonesia yang jauh dari ibukota negara. Lima orang itu dari Aceh, Palangkaraya, Palu, Kendari, dan Manokwari.

Penguji dari Kemlu mendatangi langsung kota-kota itu, bekerjasama dengan perguruan tinggi setempat untuk menyeleksi calon-calon diplomat. Mata ujian yang dihidangkan rupanya sama dengan yang di Jakarta, tetapi dengan waktu yang lebih singkat. Di Jakarta antara 6-7 hari terpecah dalam 3 sesi (ujian tulis dasar dan substansi pada September; ujian bahasa pada Oktober; dan ujian psikologi serta lisan substansi pada November), tetapi di kota-kota itu hanya 2 hari.

Dua hari untuk semua mata ujian itu tentu menguras tenaga dan pikiran. Namun, kelebihannya adalah efisiensi waktu dan biaya. Baik biaya penguji maupun biaya peserta ujian. Yang pasti, asas pemerataan ini sangat penting agar stigma awal “Kemlu dari situ-situ saja” dapat diubah menjadi lebih baik: Kemlu dari seluruh Indonesia.

Keuntungan langsung bagi peserta Sekdilu 37 ini, dapat bertukar pikiran dengan berbagai macam latar belakang budaya, bahasa, selain pendidikan dan pengalaman. Keragaman ini sangat dibutuhkan untuk memperkaya wawasan duta bangsa saat ditugaskan di mancanegara, agar tidak ada salah persepsi bahwa Indonesia hanya Jawa atau yang dekat-dekat ibukota saja.[]

Anggrek 301, 19 Feb 2013