Sunday, December 31, 2006

10 Ekor Hewan Kurban di KBRI Cairo


Cairo, Sabtu (30/12/2006) pagi. Hawa dingin sekitar 12 derajat celcius yang menutupi udara, tak menyiutkan nyali mahasiswa dan masyarakat Indonesia untuk berbondong-bondong mendatangi KBRI di kawasan Garden City. Sejak pukul 7.30 atau sekitar setengah jam dari terbitnya matahari, banyak rombongan keluarga maupun yang datang sendiri-sendiri mulai memenuhi pelataran parkir yang disulap jadi tempat shalat.

Setengah jam kemudian, meski udara sangat dingin dan setiap mulut berbicara mengeluarkan asap semacam kabut, arena shalat idul adha sudah dipenuhi jamaah. Maka tepat pukul 08.00, sesuai jadwal shalat idul adha masyarakat Indonesia di Cairo dimulai. Bertindak sebagai imam adalah Ust. Taufikurrahman, S.Ag., bapak tiga anak asal Tegal yang sedang menyelesaikan pendidikan S2-nya di Universitas Al-Azhar.

Setelah shalat 2 rakaat yang diikuti ratusan orang, khutbah idul adha disampaikan oleh Ust. Zain An-Najah, MA., calon doktor yang berasal dari Klaten. Dalam khutbahnya, pria yang mengenyam pendidikan S1-nya di Madinah, Arab Saudi ini menguraikan ayat-ayat Alquran yang ada pada surat Al-Shaffat ayat 99-111.


Sesuai dengan gayanya yang cukup nyentrik, satu demi satu ayat itu dijelaskan, menceritakan perjalanan Nabi Ibrahim dalam mengorbankan anak kesayangannya Nabi Ismail, sesuai perintah Allah. Mulai dari doa-doa Nabi Ibrahim yang terus dipanjatkan selama puluhan tahun untuk mendapatkan anak. Kemudian setelah diberi putra yang saleh dan baik, tiba-tiba mendapatkan mimpi bahwa sang ayah menyembelih putranya itu.


Padahal mimpi seorang nabi adalah wahyu ilahi, yang artinya harus dilaksanakan. Setelah Nabi Ibrahim menceritakan hal itu, Nabi Ismail dengan tegar dan sabar siap menerima wahyu itu, dan meminta ayahnya untuk tak ragu melaksanakan wahyu yang telah diterimanya. Sungguh besar cobaan yang diterima Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, namun atas keyakinan pada Allah, semuanya dijalani dengan kesabaran.

Semua cerita ini barangkali sudah banyak didengar, namun dengan uraian yang runtut, Ust. Zain mampu menceritakannya dengan penuh penghayatan. Bahkan tiap ayat diterangkan kesimpulan atau hikmah yang harus diambil manfaatnya bagi umat Islam.

Setelah shalat dan khutbah idul adha, dilanjutkan ramah-tamah antar masyarakat Indonesia di Cairo. Disediakan banyak nasi kotak untuk disantap bersama. Meski panitia sudah menyediakannya dengan jumlah banyak, namun kian siang yang datang kian banyak. Walhasil, yang datang belakangan terpaksa tidak kebagian nasi kotak.

Sekitar pukul 10.30, pemotongan hewan kurban dilakukan di halaman belakang Wisma Duta. Panitia berhasil mengumpulkan cukup banyak hewan kurban. Terdiri dari 3 ekor sapi dan 7 ekor kambing, termasuk kiriman dari mantan kepala perwakilan RI di Cairo, Duta Besar Prof. Dr H. Bachtiar Aly, MA. Daging hewan kurban ini lalu dibagikan pada para mahasiswa yang sebagian diminta menunggui dan membantu prosesi pemotongan.[]

Bawabah Tiga, 31 Desember 2006

NU Mesir Pindah Kantor


Setelah hampir 5 tahun menempati kantor sekretariat di Gedung 16 Flat 2, NU Mesir terpaksa angkat kaki. Hal ini karena rumah atau flat yang selama ini disewa NU Mesir mengalami kenaikan harga secara drastis. Sementara pihak pemilik rumah, terutama anaknya mulai makin sering berbuat ulah.

Maka dengan sigap, pengurus mencari alternatif rumah pengganti. Setelah pencarian yang cukup menguras tenaga dan pikiran, ada info sebuah rumah yang hendak disewakan. Meski harga rumah tak terhitung murah, tapi melihat kondisi dan fasilitas yang cukup baik, rumah tersebut disepakati bakal menjadi kantor sekretariat NU Mesir berikutnya.

Maka Jumat (29/12/2006) pagi, pemindahan barang-barang mulai dilakukan. Meski sempat berselisih paham dengan anak pemilik rumah malam sebelumnya, pemindahan barang yang dimulai sebelum shalat Jumat itu berlangsung lancar. Saat menjelang siang, Mama tuan rumah dan anaknya sempat datang, tapi tak berbuat apa-apa, barangkali takut dan trauma atas kejadian malam sebelumnya itu.

Jumat sore, beberapa anggota Fatayat NU Mesir bahkan tampak ikut membantu menata susunan barang-barang NU Mesir yang tak bisa dibilang sedikit. Meski sebagian dari mereka harus pamit setelah shalat magrib, karena tinggal di asrama putri yang memiliki jam malam tersendiri. Sementara sebagian yang lain tetap membantu merapikan peletakan barang-barang hingga sekitar pukul 21.00.

Flat baru yang disewa ini paling tidak akan bertahan sampai setahun ke depan, sesuai perjanjian dengan pemilik rumah. Bahkan tidak menutup kemungkinan dapat diperpanjang lagi. Tentu saja cukup merepotkan, tapi itulah alternatif paling pas untuk terus memperjuangkan aktifitas NU Mesir, selagi belum punya kantor sekretariat permanen yang entah kapan dapat terealisasi.

Rumah yang terletak di Gedung 27 Flat 1 ini, berada tak jauh dari kantor sekretariat lama, sama-sama di kawasan Swessry Project A Tenth District Nasr City Cairo. Hanya terpaut sekitar 7 gedung dari alamat lama. Sama-sama berada di lantai dasar, hal ini juga memudahkan aktifitas yang membutuhkan mobilitas tinggi. Karena kalau berada di lantai atas apalagi lantai teratas (lantai 4 atau 5), tentu merepotkan dan bisa membuat malas para aktifis untuk menjejakkan langkah demi langkah melalui tangga-tangga gedung.

Kalau flat sebelumnya hanya terdri dari 2 kamar, kali ini terdiri dari 3 kamar. Berbeda dengan rumah sebelumnya, barang milik pemilik rumah --yang tak terlalu bermanfaat buat NU Mesir-- juga tak terlalu banyak sehingga tak membuat space yang ada menjadi sempit. Bahkan rumah baru ini juga dilengkapi mesin cuci dan pemanas air di kamar mandi. Kulkas yang ada juga tampak lebih baik, jauh bila dibanding rumah sebelumnya.

Yang cukup mengganjal hanya kompor yang ukurannya tak terlalu besar, sehingga barangkali harus dipikirkan solusinya jika mau memasak dalam jumlah besar. Apalagi menurut rencana peresmian pemakaian kantor sekretariat ini sekaligus ditandai dengan pemotongan hewan kurban pada Senin besok, 1 Januari 2007. Padahal, hewan kurban berjumlah 2 ekor kambing. Barangkali, bakal disiasati dengan memasak di tempat lain, sementara acara tentu tetap dilaksanakan di alamat baru. Atau bagi yang punya ide, silakan hubungi kantor sekretariat baru di nomor telepon 2715851.[]

Bawabah Tiga, 31 Desember 2006

Saturday, December 30, 2006

Berakhir Sudah, Drama Penyanderaan di NU Mesir


Kalau boleh berandai, memiliki kantor sekretariat permanen jelas lebih nyaman. Selain tak perlu banting tulang tiap awal bulan mencari uang sewa, juga tak usah repot bertengkar dengan pemilik rumah --terutama jika pemilik rumah memang rese. Kejadian tak mengenakkan nyaris saja membuat aktifis NU Mesir bisa terganggu konsentrasi belajarnya, yang dalam beberapa hari mendatang bakal menghadapi ujian.

Kamis (29/12/2006) malam, NU Mesir merencanakan pindah sekretariat. Hal ini karena pemilik rumah yang dijadikan kantor sekretariat sejak 5 tahun terakhir hendak menaikkan harga sewa sampai seribu pound Mesir. Ditengarai, harga sewa dinaikkan sampai setinggi itu setelah tuan rumah kesengsem melihat cat baru dinding kantor NU Mesir yang memang mengkilap. Dinaikkan sampai 300 pound atau lebih dari 50 dolar AS itu tentu sangat memberatkan NU Mesir.

Karenanya, sejak 2 bulan terakhir pengurus NU Mesir mencari alternatif rumah lain. Setelah melalui pencarian yang cukup melelahkan, didapatilah sebuah rumah yang meskipun harganya juga seribu pound Mesir, tapi memliki space yang lebih luas serta fasilitas yang lebih baik. Maka, sebelum memasuki tahun baru yang bakal menandai naiknya harga rumah lama, aktifis NU Mesir sepakat berpindah rumah.


Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Setelah melalui interaksi cukup baik --meski kadang dibumbui beberapa kejadian tak mengenakkan-- dengan pemilik rumah selama hampir 5 tahun, saat akan meninggalkan rumah justru hendak menjadi su'ul khatimah.

Selama ini pihak NU Mesir sebenarnya sudah mencoba sebaik mungkin berhubungan dengan empunya rumah. Baik dengan Mama dan terutama dengan anaknya yang bernama Musthafa. Sementara satu anak lagi yang bernama Syarif sering membuat tidak n
yaman penghuni kantor sekretariat NU Mesir. Bahkan pada sekitar Oktober 2003, Syarif sempat menggasak walkman dan ponsel aktifis NU Mesir.

Dan puncaknya terjadi pada saat akan pindahan itu. Malam itu, sekitar setelah magrib, sudah banyak aktifis NU Mesir berkumpul untuk bersiap menaikkan barang ke atas kendaraan pick-up yang sengaja disewa untuk pindahan itu. Barang-barang itu memang sudah dikemas sejak beberapa hari sebelumnya.


Tak dinyana, tiba-tiba Syarif datang dengan muka garang. Dengan mulut bau minuman keras, pemuda tanggung berbadan tinggi besar itu menuding-nuding para aktifis NU Mesir. Yang jadi sasaran utama tentu saja pengurus yang tinggal di kantor sekretariat, yakni Arif Ramadhan atau yang akrab disapa Adon. Dengan galak Syarif menghardik Adon untuk tidak pindah dulu sebelum akad sewa habis pada tanggal 15 Januari. Hal ini karena Syarif khawatir Adon --sebagai perwakilan NU Mesir-- tak bertanggungjawab atas beberapa kerusakan rumah yang memang dihuni sejak cukup lama itu.


Padahal, selama ini Adon maupun NU Mesir tak pernah ingkar janji ataupun sekadar menunggak membayar biaya sewa. Artinya, tak ada track record buruk dari pihak NU Mesir selama menyewa rumah itu sejak Februari 2002. Alasan Syarif dinilai mengada-ada dan sengaja membuat keributan.

Adon pun menelpon dan melaporkan kejadian ini pada Fakhruddin Aziz, Katib Syuriah yang sempat menjadi penghuni kantor sekretariat pada Juli 2003-Juli 2006 lalu. Dianggap sebagai senior yang sudah lebih kenal dengan tuan rumah juga Syarif, Aziz diharapkan dapat menengahi. Aziz mau membantu. Sayang saat ditanya Aziz soal nomor telpon Mama, Adon mengaku kelupaan.


Pertengkaran sengit terjadi antara Syarif dengan beberapa aktifis NU Mesir yang saat itu ada. Dan Adon tak lupa selalu kontak dengan Aziz per telpon melaporkan perkembangan. Di sisi lain Aziz mengontak Abi Lacon, panggilan Muhlashon Jalaluddin, Lc. Ketua Tanfidziyah NU Mesir yang juga seorang staf di KBRI.


Pertengkaran semakin memuncak, sampai Syarif mengambil sebuah pisau dapur. Tak ayal hal ini membuat suasana semakin tegang dan aktifis NU Mesir pun ciut nyalinya. Kalau mau adu kekuatan, barangkali para aktifis itu bisa saja menang keroyokan, tapi justru bisa menimbulkan masalah lebih besar. Sehingga diambil jalan tengah "mengalah". Adon pun berupaya menenangkan Syarif dengan mengatakan akan memanggil "orang yang lebih berwenang" dalam menentukan keputusan malam itu.

Syarif masih dalam gelagat kecurigaan. Maka, para aktifis NU Mesir yang berjumlah sekitar 8 orang, dilarang keluar rumah juga tak boleh ada orang masuk. Yang paling tegang saat itu adalah Adon, yang merasa paling bertanggungjawab, serta merasa terlalu lama menunggu kabar dari Aziz dan Abi Lacon. Karena setelah melihat Syarif yang membawa pisau itu, Adon berharap Aziz atau Abi Lacon segera dapat mendatangkan polisi ke tempat kejadian.

Sementara Aziz dan Abi Lacon berusaha mengontak kepolisian setempat, Adon makin tegang. Sedangkan teman-temannya yang juga dalam "penyanderaan" terlihat tegang tapi tak sampai seperti Adon yang mulai menitikkan butir-butir air mata.

Hampir 2 jam dalam keadaan seperti itu, akhirnya Haras Baco, Lc., staf Konsuler KBRI yang juga mustasyar NU Mesir setelah dikontak Abi Lacon datang ke tempat kejadian. Berbicara cukup keras dalam menggertak, ternyata malah dianggap sebelah mata oleh Syarif. Merasa disepelekan seperti itu, Pak Haras yang memang sering kontak dengan pihak kepolisian Mesir mengancam akan memanggil polisi, karena sebelumnya memang sudah dikontak meski belum datang juga. Dengan lantang Syarif mengatakan tidak takut. Pertengkaran pun berlangsung keras antara Pak Haras dengan Syarif.

Setelah cukup reda, Syarif pun tampak kelelahan karena selama dua jam lebih mengurung para aktifis itu di dalam rumah. Pamit untuk keluar sebentar yang katanya hanya 5-10 menit, Syarif sempat mengeluarkan instruksi agar tak ada orang di situ yang keluar juga tak ada orang luar masuk ke dalam rumah.

Tepat saat menutup pintu rumah, pihak keamanan Mesir datang. Karena menggunakan kendaraan angkutan umum (angkot), Syarif tak menyangka kalau mereka itu pihak keamanan yang berbaju preman. Dia berlalu saja, meski menurut sejumlah saksi mata Syarif juga sempat sedikit terperanjat dengan keberadaan angkot yang masih dinyalakan mesinnya itu di depan kantor NU Mesir.

Pak Haras lalu mendekati 2 pria berbadan tegap itu, karena yakin kalau mereka adalah pihak keamanan. Setelah salah seorang dari mereka selesai melakukan pembicaraan telpon, mereka lalu menyergap Syarif. Kaget dengan perlakuan itu, Syarif pura-pura tak tahu dan tanya ada apa.

Plakk!! Sebuah pukulan mendarat di wajah Syarif, ditambah gertakan seharusnya mereka yang tanya, bukan Syarif. Diperlakukan keras seperti itu, nyali Syarif jadi ciut. Rupanya dia baru menyadari kalau yang berada di depannya betul-betul pihak berwenang. Syarif pun digeledah dan sempat ditampar dan dijambak beberapa kali. Ketika itu, Syarif masih mengelak dari pertanyaan dan dakwaan, bahkan saat ditanya dimana ibunya (Mama), Syarif mengatakan sudah meninggal.

Syarif pun dibawa ke kantor polisi Nuqthoh Hay Ashir (setingkat Babinsa). Dari pihak pelapor, Aziz dan Adon juga ikut, ditemani Pak Haras. Saat di kantor polisi itulah, Syarif semakin memperlihatkan kecengengannya. Setelah sempat mengelak lagi dari pertanyaaan-pertanyaan yang diajukan, Syarif menjadi tersudut saat pernyataannya di-cross check pada Aziz dan Adon.

Mendapat angin segar, Aziz dan Adon yang selama ini hanya diam saja dengan perlakuan Syarif yang memang sering berbuat onar, meluapkan kekesalannya. Dan tentu saja polisi lebih percaya pada jawaban dari Aziz dan Adon. Karena saat digeledah, Syarif ternyata juga membawa sebilah pisau kecil di bagian belakang badannya. Hal ini membuat polisi makin curiga. Syarif yang mengelak hal itu sekadar sebagai alat pembelaan diri kalau terjadi sesuatu yang membahayakan, untuk ke sekian kalinya mendapatkan pukulan dari polisi.

Saat di kantor polisi itulah, Syarif mulai berubah 180 derajat. Yang selama ini menyepelekan keberadaan Aziz, Adon dan kawan-kawannya, mulai merengek-rengek meminta pengampunan dan pertolongan. Apalagi saat polisi menyerahkan keputusan penahanan Syarif pada Aziz dan Adon. Merasa mendapat durian runtuh, Aziz tanpa ragu menunjuk sel! Syarif pun menangis-nangis seperti anak kecil minta permen.

Dengan mencium-cium Aziz, Syarif meminta pengampunan. Bahkan Syarif mengatakan NU Mesir tak perlu melakukan perbaikan atas kerusakan yang ada. Karena masih kesal dan mendapatkan kesempatan itu, Aziz berpaling saja. Syarif pun tak putus asa, bahkan hendak diciumnya kaki Aziz.

Karena pihak pelapor minta terdakwa ditahan, polisi pun menyeret Syarif ke ruang tahanan, dengan kasar tentunya. Dimasukkan ke dalam ruangan pengap itu, Syarif menangis sejadi-jadinya. Bagaimana tidak, ruangan yang cukup sempit itu bahkan tak ada penerangan sama sekali. Dan dindingnya tak terbuat dari terali, melainkan tembok yang tertutup rapat. Begitu juga dengan pintunya yang terbuat dari besi. Hanya ada ventilasi kecil berukuran sekitar 5X30 cm.

Tak henti-hentinya Syarif menangis dalam sel. Sementara Aziz terus dimintai keterangan oleh pihak kepolisian. Saat ditanya paspor, Aziz sempat gelagapan, karena sudah cukup lama belum memperpanjang ijin tinggal atau visa. Karena paspor tertinggal di rumahnya yang tak jauh dari NU Mesir, Adon dan Abi Lacon yang tiba di kantor polisi sesaat sebelumnya mengambilkan paspor Aziz. Beruntung, kemudian polisi tak mengecek visanya, hanya menanyakan nomor paspor, entah karena tak paham dimana semestinya tertulis visa atau kenapa.

Ketika itu, Syarif sudah mulai melemah suaranya. Tapi dengan merengek-rengek seperti orang cengeng, masih mencoba meminta pengampunan dari Aziz. Aziz lalu diakuinya sebagai teman baiknya. Tak cukup dengan itu, Syarif juga merengek pada Aziz, supaya jangan sampai tega membiarkan dirinya melewati hari raya idul adha di sel tahanan. Syarif mengaku takut tak dapat menikmati hewan kurban yang bakal datang esok lusanya. Syarif lupa, dimana beberapa saat sebelumnya, menggertak aktifis NU Mesir dan juga mengaku sebagai orang Yahudi, ketika diingatkan bahwa sesama Muslim adalah saudara dan tak boleh berbicara lantang apalagi mengancam.

Setelah mendengar rengekan seperti itu, juga mendapat masukan dari Abi Lacon, hati Aziz pun mencair. Rasa kemanusiaanya kembali muncul, dan merasa kasihan pada Syarif.
Syarif pun dikeluarkan dari tahanan dan kembali menciumi Aziz, sembari mengungkapkan pujian-pujian, mengaku-aku bahwa Aziz adalah kawan baiknya dan mengatakan NU Mesir tak perlu repot melakukan perbaikan-perbaikan dalam rumahnya.

Tak mau kecolongan, Aziz pun cerdik, bahwa pernyataan itu harus dibubuhkan dalam hitam di atas putih. Polisi lalu menyediakan kertas dan pulpen, menuliskan poin-poin kesepakatan antara Syarif dan Aziz (mewakili NU Mesir). Setelah selesai, ditandangani keduanya dan juga diketahui oleh kantor polisi.

Ternyata tak cukup sampai di situ, Syarif dan Aziz juga harus ke kantor Syurthoh Qism Awal Nasr City (setingkat polsek). Di kantor polsek, suasana sudah tak setegang di kantor nuqthoh, meski Syarif sempat juga beberapa kali digertak petugas. Karena Aziz sudah mengajak berdamai, Syarif juga tak dapat mencicipi sel tahanan polsek. Namun, keduanya kembali diminta membuat surat kesepatakan, sama seperti saat di kantor nuqthoh.

Tak lama setelah itu, sekitar pukul dua dini hari, semuanya selesai. Syarif pun tak lupa kembali menciumi Aziz dan juga Adon.[]

Bawabah Tiga, 30 Desember 2006

Monday, December 11, 2006

Anggota FKB DPR-RI Sambangi PKB Mesir



Di sela-sela tugas kunjungan kerja Pansus RUU Haji DPR-RI, salah seorang pengurus DPP PKB, Helmy Faisha Zaini menyempatkan menemui pengurus PKB Mesir. Kamis (7/12/2006) malam di lobi Sheraton Cairo Hotel, anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Barat VIII ini menyampaikan banyak hal berkaitan dengan kondisi terakhir di tanah air.

Ada cukup banyak hal yang menarik dicermati dari pertemuan pengurus PKB Mesir dengan anggota Komisi VIII ini. Hal pertama yang diingatkan oleh mantan aktifis IPNU ini adalah mulai memudarnya kalangan nahdliyin dalam meramaikan (baca: melestarikan) masjid. Sudah cukup banyak masjid yang awalnya melestarikan budaya NU, kini berpindah tangan pada orang-orang dengan ideologi berbeda.

"Sehingga yang namanya tahlil, shalawatan, barzanji, itu tidak ada di masjid tersebut, padahal sebelumnya sudah hampir jadi 'kewajiban' di situ," ujarnya. Selain karena faktor eksternal yang memang "menyerang" komunitas nahdliyin di masjid-masjid itu, penyakit internal juga memang tak bisa dipandang sebelah mata.

Sementara orang lain dengan semangat militansinya meramaikan (dan merebut-rebut) masjid, orang-orang NU justru malas sekadar untuk adzan. Hal ini yang menurutnya patut menjadi perhatian. "Bangun subuh saja susah, bagaimana kita bisa melestarikan budaya NU selama ini," katanya. Tapi memang ada di beberapa tempat, lanjutnya, 'perebutan' masjid itu sendiri sampai menghalalkan segala cara.

"Jadi jangan menyesal kalau suatu ketika, tahlil, barzanji dan budaya kita yang lain justru bakal dilarang," tegasnya. Helmy mengingatkan apa yang terjadi pada jamaah Ahmadiyah bisa saja terjadi pada NU di masa yang akan datang, jika tidak ada kesadaran untuk terus "menjaga" masjid dari masuknya ideologi Wahabi dan sejenisnya.

Intinya, di beberapa lokasi, NU kultural semakin terdesak. "Kalau jaman Mbah Hasyim Asy'ari dulu, paham Wahabi dikhawatirkan para ulama tapi masih jauh di Arab Saudi sana, sekarang sudah ada di depan kita," terangnya. Hal ini karena orang lain bergerak dengan militansi, sementara orang NU justru malas.

Sementara soal kiprah politik PKB, pria kelahiran Cirebon ini mengatakan beberapa saat yang lalu, Fraksi PKB di DPR-RI sukses meloloskan usulan pemberian beasiswa kepada 700 ribu santri madrasah. Selama tahun 2006-2007 ini, mereka yang belajar di madrasah/pondok pesantren akan mendapatkan perhatian langsung pemerintah. "Hal ini sama sekali tak terpikirkan dalam masa orde baru," katanya. Namun, imbuhnya, sebenarnya jumlah santri di seluruh Indonesia ada sekitar 2,4 juta, sehingga perjuangan pemerataan perhatian pemerintah ini masih belum selesai.

Ketika disinggung mengenai popularitas PKB yang terlihat statis, dia menjelaskan salah satu kelemahan politikus nahdliyin. Selama ini, sering diajarkan bahwa yang namanya berbuat baik itu tak perlu digembar-gemborkan. Di sinilah yang membedakan, dimana perjuangan politik PKB sering tak terdengar.

Sementara ada partai, meski memperjuangkan agenda bersama-sama dengan partai lainnya, setelah agenda itu lolos kemudian dengan bersemangat teriak-teriak dan memasang spanduk bahwa partainya sukses mengegolkan agenda rakyat. Bahkan sekarang ini sudah masyhur ada partai yang mau menolong korban kalau ada wartawan. Di Jakarta misalnya ada banjir, kader partai itu tidak langsung turun tangan sebelum wartawan datang. Kalau sudah keterlaluan seperti itu, tentu saja menjadi tidak baik. "Tapi barangkali memang politik itu harus riya/pamer kebaikan, asal jangan keterlaluan," jelasnya.

Sementara PKB Mesir, diminta utk mengelola organisasi secara profesional. Pemetaan kegiatan dan kaderisasi harus jelas. Pendataan kader dan kemampuan setiap personal juga merupakan kunci, jika PKB ingin bersaing dalam level tertinggi percaturan politik. Terlalu asyik bercengkerama, tak terasa jam menunjukkan pukul 12 malam, padahal pertemuan dimulai sejak dua jam sebelumnya. Karena esoknya Helmy hendak melakukan perjalanan jauh ke makam Imam Syadzily di dekat aswan (ratusan kilometer dari Kairo dan daerah itu tak terjangkau pesawat terbang), pembicaraan pun disudahi.[]

Bawabah Tiga, 11 Desember 2006

Sunday, December 10, 2006

Sudewi Gantikan Aji


Mulai tahun ini, Majelis Perwakilan Anggota (MPA) KSW terlihat makin menggeliat. Hal ini memang merupakan wujud dari harapan dalam dinamika KSW sendiri, bahwa sebenarnya semua elemen dapat saling mendukung, sesuai fugsinya masing-masing.

Setelah melewati RPA dengan sukses, MPA KSW juga menggelar RPLB yang khusus membahas AD-ART organisasi. Hal ini juga dalam rangka revitalisasi peran MPA dalam dinamika KSW.

Penyelenggaraan RPLB pada akhir November lalu, tentu tak lepas dari kepedulian MPA yang tergerak memfasilitasi acara non-reguler itu. Hal ini tak terlepas dari semangat revitalisasi yang selalu terlihat dari wajah murah senyum Ketua MPA KSW, M. Aji Nugroho.

Hanya sayangnya, berkaitan dengan studi S1 sang ketua yang telah berakhir sementara orang tuanya sudah memanggilnya pulang, pergantian Ketua MPA tak terhindarkan. Awalnya anggota MPA yang lain keberatan dengan mundurnya Aji dari majelis tertinggi di KSW itu. Namun karena kondisi yang memaksa demikian, mau tak mau harus terjadi regenerasi dini dalam tubuh MPA KSW periode 2006-2007 ini.

Karena dijadwalkan pada 10 Desember 2006 Aji hendak berangkat ke tanah suci dan ada kemungkinan langsung pulang ke tanah air dari Saudi Arabia, MPA pun mengadakan rapat mendadak. Rapat yang khusus membicarakan proses pergantian Ketua MPA ini digelar di lobi Griya Jateng pada Jumat (8/12/2006) petang.

Dari 7 anggota MPA KSW, 2 orang tak bisa hadir. Yaitu Munirul Ikhwan yang saat ini sedang menjadi temus haji dan Siti Irkhamah yang sudah dihubungi berkali-kali ternyata hp-nya tak aktif. Dari 5 anggota MPA yang ada, maka terdapat 4 calon untuk menggantikan Aji Nugroho.

Setelah melalui adu argumentasi layaknya rapat di era demokrasi, terakhir muncul hanya dua nama sebagai calon kuat pengganti Aji, yaitu Faiz Rozin dan Sudewi. Kedudukan keduanya sama kuat. Hal ini dibuktikan dari dukungan dari anggota MPA yang ada, serta perwakilan DP-KSW, Alex Mahya Shofa.

Karena sama kuat dan malah keduanya saling menyerahkan, terpaksa dilakukan undian untuk menentukan Ketua MPA. Undian dilakukan dengan pelemparan koin. Dengan koin berupa uang 100 rupiah, Faiz Rozin disimbolkan dengan gambar burung kakatua, sementara Sudewi dilambangkan dengan garuda Indonesia.

Bismillah, dilemparlah koin itu. Saat dibuka, tampak gambar garuda, menandakan Sudewi terpilih sebagai Ketua MPA KSW. Setelah sempat grogi, Sudewi kemudian memberikan sedikit sambutan, sebelum acara yang cukup singkat itu ditutup.

Dengan terpilihnya Sudewi, maka ini adalah sejarah baru bagi persamaan gender dalam tubuh KSW. Kalau tahun ini Ketua MPA dijabat oleh seorang perempuan, bukan tak mungkin pada masa yang akan datang Ketua KSW juga dapat direbut oleh kaum Hawa. Toh, tak ada pelarangan perempuan memimpin KSW.[]

Bawabah Tiga, 10 Desember 2006

Kedatangan DPR; PPMI Tahun Lalu Menolak, Kali ini Berdialog

Tepat hampir setahun lalu, beberapa anggota legislatif di tingkat pusat, yang tergabung dalam Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI menjalani kunjungan kerja ke Kairo, Mesir. Saat itu adalah masa ramai-ramainya penolakan persatuan mahasiswa Indonesia di luar negeri akan kehadiran anggota dewan ke negara dimana mereka menimba ilmu.

Setelah menjadi bahan pergunjingan di Eropa, kedatangan anggota DPR RI di Mesir pun tak luput dari sorotan media. Seakan tak mau kalah dengan organisasi-organisasi mahasiswa Indonesia di Eropa, mahasiswa di Mesir pun ketika itu membuat pernyataan penolakannya. Melalui PPMI Mesir, para aktifis mahasiswa menolak kedatangan anggota DPR itu. Malah Presiden PPMI Mesir mengirimkan surat kepada pimpinan DPR untuk menegur para anggota dewan yang keluyuran ke luar negeri dengan uang negara.

Tahun ini, kembali Mesir didatangi rombongan anggota DPR. Rombongan anggota legislatif lintas fraksi dan lintas komisi ini, berjumlah 17 orang. Kedatangan mereka kali ini adalah dalam rangka studi banding pelayanan ibadah haji.

Bedanya, tahun ini kedatangan anggota dewan yang terhormat itu tak menuai pro-kontra. Baik di media-media tanah air apalagi di kalangan mahasiswa Indonesia di Mesir, tak ada yang yang menyulutkan suara keberatan. Bahkan kontras dengan pendahulunya, jajaran pengurus PPMI menemui ketua rombongan dan sempat berdialog.

Dari dialog itu, diketahui anggota rombongan adalah mereka yang duduk sebagai Pansus RUU Haji. Awalnya, pengurus PPMI berharap rombongan DPR dapat berdialog dengan mahasiswa secara umum dan massal. Namun dijawab oleh ketua rombongan, bahwa jadwal anggota DPR di Mesir padat, sehingga dengan berat hati keinginan untuk bertatap muka langsung itu tak dapat dikabulkan.

Maka yang terjadi, pertemuan hanya bisa dilakukan antara ketua rombongan, yang juga merupakan anggota Fraksi Partai Golkar, dengan jajaran pengurus teras PPMI, ditambah Ketua MPA dan Ketua BPA. Dari pertemuan tersebut, rombongan DPR juga meminta masukan dari mahasiswa. Sayang, di antara pucuk pimpinan PPMI itu, tak ada satu pun yang pernah menjadi temus haji. Padahal, mahasiswa Kairo sangat diharapkan masukannya dalam hal ini.

Namun, dialog bilateral ini tetap berjalan hangat. Banyak masukan-masukan yang sempat dikomunikasikan di antara kedua belah pihak. PPMI juga sempat menanyakan, kenapa Pansus RUU Haji ini tidak studi banding ke Malaysia yang pelayanan hajinya terlihat lebih tertib. Dijawab oleh ketua rombongan RUU Pansus Haji itu, bahwa jamaah haji Malaysia jumlahnya jauh lebih sedikit, jadi kurang cocok dijadikan perbandingan. Sedangkan Mesir, termasuk 3 besar jumlah jamaah haji, setelah Indonesia dan Turki.

Dari studi banding yang dilakukan, ternyata kewenangan pelayanan ibadah haji di Mesir lebih banyak berada di institusi Departemen Dalam Negeri. Meski di sisi lain tetap bekerjasama dengan pihak terkait, seperti Kementerian Pariwisata (untuk penyediaan transportasi), Kementerian Wakaf dan yang lainnya. Bahkan diakui oleh pemerintah Mesir sendiri, mereka masih belum bisa maksimal dalam melayani jamaah haji.

Oleh PPMI, dijelaskan pula bahwa kelihatannya pelayanan haji di Mesir lebih banyak dilakukan oleh swasta. Mahasiswa Indonesia yang setiap tahunnya berjumlah ratusan berangkat haji juga mendaftar melalui travel-travel. Cukup banyak hal yang dapat disampaikan PPMI pada ketua rombongan.

Selain para pejabat teras PPMI, kedatangan anggota DPR ini juga dimanfaatkan oleh mahasiswa lainnya. Kamis (7/12/2006) malam, terlihat cukup banyak mahasiswa Indonesia bercengkerama di lobi Sheraton Cairo Hotel, tempat para anggota DPR menginap. Saat ditanya, ada yang mengaku sebagai kerabat ataupun teman lama anggota legislatif, juga hubungan afiliasi organisasi.

Dari kalangan aktifis organisasi, tampak beberapa pengurus Wisma Nusantara, pengurus Kesepakatan Mahasiswa Minang (KMM) dan aktifis PKB Mesir. Pengurus KMM yang saat itu sedang menuju lift di lantai 1, mengatakan mereka hendak menemui anggota DPR yang berasal dari Sumatra Barat. Selain itu, di lobi hotel tampak juga pengurus PKB Mesir bercakap-cakap cukup serius dengan Helmy Faishal Zaini, yang memang anggota Fraksi PKB di DPR. Ternyata, kedatangan anggota DPR belum tentu tak memberi manfaat; entah besar atau kecil.[]


Bawabah Tiga, 9 Desember 2006

24 Tahun Baru 2 Kali ke KFC


Bagi orang kampung seperti saya, makan di restoran Kentucky Fried Chicken atau yang lebih dikenal singkatannya sebagai KFC barangkali menjadi kesenangan tersendiri. Maklum, alih-alih makan di restoran siap saji terkenal seperti itu, dapat makan ayam sebulan sekali saja barangkali sudah senang.

Memang selama di Mesir, makan dengan lauk ayam sudah bukan hal yang mewah. Selain harganya yang tak terlalu mahal, budaya orang Mesir --juga mahasiswa Indonesia di Mesir-- memang tak menganehkan makan dengan lauk daging sapi, kerbau, ayam atau hati.

Namun, bagi saya makan di KFC tetaplah spesial. Saya bukanlah orang yang dapat dengan mudah membelanjakan uang untuk makan di tempat mahal --karena memang tak cukup punya uang. Maka ketika pertama kalinya berkesempatan makan di KFC, saya senang sekali.

Waktu itu, sekitar Mei 2005. Karena cukup aktif di PKB, saya diajak pengurus PKB Mesir untuk menemui salah seorang tokoh PKB, Abdul Wahid Maktub, yang ketika itu menjadi Dubes RI di Qatar dan sedang mengikuti pertemuan antar Kepala Perwakilan RI di negara-negara Timur Tengah.

Awalnya, ketika pertemuan pertama --ada dua kali pertemuan-- pertemuan selanjutnya dijadwalkan dilaksanakan di restoran. Maka, kami sepakat tidak perlu makan dulu sebelum pertemuan yang kedua. Namun tak dinyana, karena satu dan lain hal pertemuan kedua tetap dilakukan di lobi Hotel Sheraton Gezira.

Saking asyiknya, waktu yang dibutuhkan untuk bercengkerama ternyata lumayan lama. Awalnya tak terasa lapar, tapi justru setelah selesai dialog semua merasa lapar. Beruntung sang dubes kemudian memberikan uang saku. Sebagai ganti kita tak jadi pertemuan di restoran, kata sang dubes waktu itu.

Maka, saat pulang menuju ke rumah, kami sepakat mampir dulu ke restoran. KFC yang menjadi tujuan, tentu saja saya senang. Apalagi itu memang untuk pertama kalinya saya makan di restoran mahal.

Uniknya, makan di KFC yang kedua kalinya juga bersama pengurus PKB lagi. Meski sudah berganti personal, Kamis (7/12/2006) malam saya kembali diajak pengurus PKB untuk menemui salah seorang anggota DPR dari Fraksi PKB yang mampir ke Mesir. Kejadiannya hampir sama, pertemuan dilakukan di lobi hotel, lalu mendapatkan uang saku dan kami mampir ke KFC.

Kalau makan di KFC "sudah" dua kali, maka mampir di McDonalds atau yang sering disebut McD saya baru sekali. Itupun juga tak sengaja, dan lagi-lagi bukan dengan uang sendiri--maklum bukan orang mapan.

Saat masih menjadi Ketua KSW, saya cukup sering bersilaturahmi ke rumah bapak-bapak penasehat KSW. Pada suatu ketika, saat asyik bercengkerama dengan bapak penasehat dan istrinya, ada salah seorang anaknya yang kelas 4 SD mendapat telpon. Melapor pada sang ibu, rupanya ia diajak makan di luar oleh teman akabnya.

Sang ibu awalnya terlihat agak keberatan, karena memang sang anak susah sekali disuruh makan di rumah, sementara kalau diajak makan temannya bersemangat. Bahkan kalau sudah diajak makan di luar atau menginap di rumah teman, jadi lama pulangnya. Maka, sebagai syarat diperbolehkan memenuhi ajakan temannya itu, sang anak harus langsung pulang setelah makan.

Dan, untuk menjaga agar syarat itu betul-betul dilaksanakan, sang ibu meminta saya untuk menemaninya. Tentu saja saya tak bisa menolak, karena memang saya tak punya kesibukan dan tujuan ke rumah bapak penasehat itu sekadar main.

Saat keluar rumah, ternyata tempat yang dituju adalah restoran McD. Setelah menunggu temannya yang datang agak terlambat, kami berempat --temannya bersama bibinya-- masuk ke restoran siap saji itu.

Kedua anak yang sama-sama masih duduk di kelas 4 SD itu, memesan menu dulu. Setelah itu saya ditawari mau makan apa. Wah, saya jadi grogi, karena tak tahu nama menunya apa saja dan bagaimana bentuk persisnya. Maka saya jawab saja biar disesuaikan dengan keduanya.

Keduanya malah menertawakan, katanya yang mereka pesan khusus anak kecil. Saya jadi keki juga. Lalu saya melihat satu menu, setelah saya sebutkan menu itu mereka tertawa lagi. Wah, untuk kedua kalinya berturut-turut saya jadi malu. Ternyata menu itu tak cocok untuk saya.

Beruntung sang bibi yang ikut bersama kami menunjukkan menu yang kiranya pas untuk saya. Saya tentu menurut saja. Alhamdulillah, dapat pengalaman berharga. Karena belum tentu dengan uang sendiri bisa cukup untuk makan di tempat seperti itu.[]

Bawabah Tiga, 9 Desember 2006

Sedih, Tidak Jadi Dapat Keponakan

"Gus,anaku dh lahir,cwok 3 des kmrn.tp g'lm dipanggl allah.doain y,mg kt sbr&dpt gnt yg lbh baik"
Sender:
Enis
+6281654950378

Itu adalah isi sms yang aku terima di suatu tengah malam. Refleks saja aku berucap: Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Kaget, tak percaya rasanya mendengar kabar itu. Sedih sekali, tentu saja. Apalagi sms itu dikirim oleh teman dekat. Kebetulan pasangan suami-istri yang mendapat ujian itu keduanya merupakan teman dekat semua.

Fathul Huda (Fatul) dan Khoirun Niswatin (Enis), kedua temanku yang sedang diuji Allah itu. Keduanya sudah setahun ini menikah, beberapa hari setelah Enis menginjakkan kakinya di tanah air setelah menimba ilmu di negeri kinanah. Sementara Fatul sudah beberapa bulan sebelumnya menyelesaikan kuliah di Al-Azhar, lalu mengajar di sebuah sekolah di Jawa Timur.

Fatul dan Enis merupakan pasangan yang cocok. Aku sendiri tak pernah mendengar ada cekcok di antara mereka. Kalaupun aku yakin pernah, tapi rasanya tak menyulitkan hubungan mereka berdua. Hingga saat Enis tiba di tanah air, aku tak kaget keduanya segera melangsungkan pernikahan.

Keduanya sangat baik pada semua orang. Termasuk aku, tentu saja senang berteman dengan mereka, yang tak pernah sungkan membantu temannya, atau sekadar mentraktir makan bersama.

Maka ketika mendengar Enis melahirkan dan bayinya tak lama menghirup udara dunia, aku ikut sedih. Salah seorang calon keponakanku belum sempat bertemu dengan pamannya. Tapi apa mau dikata, yang terkena musibah pun terlihat sabar dan tegar, aku juga hanya bisa mendoakan, semoga ujian ini menjadi batu loncatan menuju masa depan yang lebih bahagia, baik di dunia maupun akhirat.[]

Bawabah Tiga, 9 Desember 2006

Sunday, November 26, 2006

Kelebihan Mencolok Muhammadiyah



Sebenarnya ada 2 pilihan judul untuk tulisan ini. Yang pertama adalah sesuai yang tertulis di atas. Sementara yang kedua, sempat tersirat dalam benak untuk memberi judul "Kekurangan Mencolok NU". Judul kedua ini karena tujuan utamanya adalah memberikan "peringatan" bagi kalangan dimana penulis termasuk di dalamnya. Namun karena pada tulisan sebelumnya penulis sempat sedikit mengungkit soal kekekian kawan dari Muhammadiyah, maka tulisan ini diharapkan dapat menjadi "obat penawar".

Ya, kelebihan yang dimiliki Muhammadiyah sangatlah banyak, dibandingkan dengan NU. Apalagi soal manajemen, barangkali NU harus loncat pada 100 tahun berikutnya. Salah satu kelebihan Muhammadiyah yang terekam dari kedatangan Mendiknas Bambang Sudibyo di Kairo pada 13-17 November 2006, adalah gambaran betapa NU susah berpikir lebih maju.

Ceritanya, menurut seorang sumber yang sempat bertemu Mendiknas dalam lawatannya di Mesir ini, sebelum berangkat dari tanah air, Mendiknas mendapat pesan dari Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin. "Tolong kawan-kawan Muhammadiyah di Mesir yang cukup banyak itu nanti "disambangi" ya," begitu kira-kira pesan yang disampaikan pada Profesor Bambang.

Kalau mau membandingkan dengan NU, sepertinya hal ini jauh berbeda. Penulis yang selama ini --merasa-- cukup aktif di NU Mesir, rasanya tak pernah mendengar mendapat "titipan" pimpinan NU di tanah air melalui pejabat atau pengusaha NU yang mampir ke Kairo. Bukan soal adanya "titipan" atau tidak yang menjadi masalah utama di sini.

Karena selama ini, sebenarnya NU Mesir juga bukannya sepi dari perhatian PBNU, dalal hal ini Ketua Umum. Bahkan sekitar tahun 2003-2004, NU Mesir mendapat suntikan dana yang cukup besar untuk menjadi pemicu geliat aktifitas NU Mesir. Dalam beberapa kali lawatannya ke Mesir ketika itu, KH. Hasyim Muzadi tak pernah melupakan "oleh-oleh" untuk NU Mesir.

Itu jika yang datang Kiai Hasyim sendiri. Nah, kalau yang datang ke Mesir adalah pejabat atau pengusaha berlatar belakang NU, maka rasanya tak pernah ada kontak terlebih dahulu antar orang NU di tanah air "sono". Kalaupun datang ke sekretariat NU Mesir yang sederhana, maka pejabat atau pengusaha itu memang sejak awal diketahui kedatangannya oleh pengurus NU Mesir, sehingga diundang dan mau datang.

Bahkan lebih miris, adalah kenyataan datangnya seorang pejabat NU yang menjadi menteri agama pada tahun 2003. Ketika itu, beberapa pengurus NU Mesir menyambangi yang bersangkutan di hotel tempat penginapan sang menteri beserta rombongan. Karena saat itu sedang ramai-ramainya geliat organisasi-organisasi di Kairo hendak memiliki sekretariat permanen, pengurus NU Mesir pun membicarakan proposal pengadaan kantor definitif, agar terbebas dari belenggu uang sewa tiap bulannya.

Ketika itu, sang menteri menjawab, "Mudah saja saya bantu niat itu, tapi tolong hal ini disetujui (ditandatangani) dulu oleh Pak Hasyim." Kebetulan, beberapa pekan berikutnya, Kiai Hasyim giliran datang ke Kairo setelah ibadah umroh di kota suci. "Ya begitulah pak menteri itu, saya sih tak keberatan menandatangani proposal ini, tapi apa iya benar dibantu kalau sudah saya tandatangani," begitu jawab Kiai Hasyim.

Terlihat jelas betapa tak ada komunikasi lancar di antara petinggi, pejabat dan pengusaha NU di Jakarta. Komunikasi dan dedikasi, itu barangkali yang amat mencolok dari perbedaan antara NU dan Muhammadiyah. Pejabat yang memang diangkat oleh atasannya sebagai representasi Muhammadiyah, dia akan sangat merasa bahwa kedudukannya memang karena dirinya menjadi bagian dari Muhammadiyah. Oleh karenanya, tanpa sungkan membantu organisasinya itu di manapun berada.

Sementara orang NU, jika diangkat menjadi pejabat, lebih banyak yang merasa bahwa dirinya menjadi pejabat karena kelebihan dan prestasi yang diraih secara pribadi. Mungkin hal ini memang benar adanya. Tapi apakah ikatan emosional sebagai warga nahdliyin kemudian harus dibuang jauh? Selain itu, kiranya komunikasi intens antar orang NU yang jadi "orang" --baik sebagai pengurus di PBNU, pejabat pemerintahan/swasta atau pengusaha-- di level mana pun harus digiatkan. Agar kelak mudah saling berbagi informasi dan lebih efektif dalam pemerataan kemajuan di kalangan NU.[]

Bawabah Tiga, 26 November 2006

Mendiknas Bikin Keki Moderator Dialog di KBRI Mesir



Ada yang unik dari acara silaturahmi dan dialog masyarakat Indonesia di Kairo dengan Menteri Pendidikan Nasional RI Prof. Dr. Bambang Sudibyo. Dalam inti acara yang diselenggarakan pada Kamis (16/11/2006) malam itu, sebenarnya tak ada yang terlalu spesial. Tapi justru di akhir acara, terjadi suatu "insiden" yang cukup menggelikan.

Ketika itu, saat dialog dan tanya jawab antara Mendiknas dan hadirin sudah selesai, moderator "iseng" menyebutkan kalimat membanggakan kemuhammadiyahnnya. Karena sebelum menyudahi pembicaraanya, Mendiknas sempat mengeluarkan beberapa dalil Alquran dan hadis. "Itulah bedanya menteri dari Muhammadiyah dan non-Muhammadiyah," ucap moderator yang kebetulan Ketua Muhammadiyah Cabang Istimewa Mesir.

Tanpa disangka, Mendiknas "tak terima" dengan kalimat itu. "Sebenarnya saya ini bukan orang Muhammadiyah," komentar Mendiknas yang tentu saja membuat keki sang moderator. Lebih lanjut, Mendiknas menceritakan bahwa masa kecilnya hidup di lingkungan NU. Bahkan sang menteri juga mengakui dirinya bisa dan terbiasa dengan amalan semacam tahlil.

Profesor Bambang mengakui sebenarnya dirinya orang NU. Sampai suatu ketika, saat harus hijrah dan memulai karir di daerah perkotaan, tanpa disadari dirinya sudah menjadi pengurus Muhammadiyah. "Padahal saya sendiri bingung, sejak kapan menjadi orang Muhammadiyah," lanjutnya. Tak pelak, hal ini pun menjadi bahan lelucon di antara kalangan hadirin yang memenuhi Balai Budaya KBRI Mesir.[]

Bawabah Tiga, 26 November 2006

Akhirnya, AD-ART KSW Diamandemen



Setelah tertunda pembahasannya dalam RPA 2005 dan 2006, Al-Wilayat Al-Tusa'iyyat Kelompok Studi Walisongo yang terdiri dari masing-masing sembilan Al-Wilayat Al-Ahdiyat (Anggaran Dasar), Al-Wilayat Al-Idariyyat (Anggaran Rumah Tangga), Al-Wilayat Al-Ansyithotiyat (Garis-garis Pelaksanaan Program) dan Al-Wilayat Al-Syakhshiyyat (Motto Organisasi), Sabtu (25/11/2006) petang selesai diamandemen melalui Rapat Permusyawaratan Luar Biasa (RPLB).

RPLB dimulai tepat pada pukul 14.00. Meski yang hadir baru sekitar 20 orang, acara tetap dimulai. Karena kalau ditunda, belum tentu akan banyak yang datang. Oleh karenanya, panitia pelaksana setelah berkonsultasi dengan MPA, menginstruksikan MC untuk segera memulai acara. Tampak hadir sejak seremonial pembukaan, beberapa sesepuh dan senior KSW, termasuk Bpk. Harry Widiyanto, guru Sekolah Indonesia Cairo yang juga salah seorang Dewan Pensehat KSW.

MPA yang memfasilitasi terselenggaranya acara ini, melalui ketuanya, M. Aji Nugroho menyatakan urgensi amandemen AD-ART. Hal ini menilik dari perkembangan yang begitu cepat di tubuh KSW, juga tuntutan atas beberapa perubahan sehubungan dengan adanya Griya Jateng.

RPLB yang digelar di Auditorium Griya Jateng ini hanya terdiri dari 1 kali sidang pleno, yakni pembahasan Al-Wilayat Al-Tusa'iyyat itu. Namun, sebagaimana layaknya sidang-sidang formal, dibahas dulu tentatif acara dan tata tertib sidang. Pada saat pembahasan 2 agenda pembuka itu, semuanya tampak lancar dan mudah bersepakat.

Baru saat memulai pembahasan Anggaran Dasar, suasana tampak lebih "hidup". Bahkan pembahasan pasal 1 tentang istilah dan singkatan yang mestinya hanya terdiri dari beberapa baris, membutuhkan waktu hampir 1 jam untuk membuat keputusan. Adu argumen antar peserta sidang tampaknya seru dan beberapa kali sempat memanas. Meski begitu, suasana tetap terkendali. Untuk pasal 1 ini, bahkan akhirnya disepakati melalui voting, dalam hal memilih 1 alternatif apakah memasukkan kata RDJT (Rumah Daerah Jawa Tengah) ataukah tidak. Saat voting, ternyata banyak yang memilih memasukkan RDJT itu.

Meski pada akhirnya, kesepakatan ini pun kemudian diamandemen lagi saat pembahasan Anggaran Rumah Tangga. Hal ini bermula pada pembahasan ART pasal tentang Badan Otonom (BO). Saat inilah Lathif Hakim, salah seorang peserta sidang, meminta peserta sidang lainnya untuk berpikir kembali apakah tidak sebaiknya Pengelolaan Griya Jateng dimasukkan sebagai BO KSW. Lathif Hakim beralasan karena sebelumnya usaha pengadaan Griya Jateng ini dilakukan oleh tim yang dibentuk DP-KSW. Sehingga wajar kalau kemudian ia tetap berada dalam wewenang DP-KSW, dalam hal ini dimasukkan sebagai salah satu BO.

Setelah beradu argumen cukup alot, muncul alternatif yang bisa menengahi pendapat ini, yaitu dimasukkannya Pengelola Griya Jateng sebagai Badan Istimewa (disingkat BI, istilah yang baru muncul di tengah serunya suasana RPLB ini). Sebelumnya, memang tidak dijelaskan bagaimana posisi Pengelola Griya Jateng. Dengan adanya BI ini, dipertegas bahwasanya dalam hubungannya dengan KSW, eksitensi Griya Jateng tetap tak boleh melenceng dari aspirasi warga yang tersalurkan melalui MPA KSW. Adapun hal-hal detail lainnya tentang Griya Jateng ini, disepakati melalui aturan tersendiri.

Hal baru lainnya berkaitan dengan amandemen Al-Wilayat Al-Tusa'iyyat ini adalah dimasukkannya klausul pergantian anggota MPA dan Ketua KSW. Dalam AD-ART sebelumnya, tak dijelaskan bagaimana mekanisme pergantian anggota MPA bila ada yang mengundurkan diri atau berhalangan tetap. Tanpa melalui perdebatan panjang, peserta sidang sepakat untuk menggantinya dengan calon MPA yang dipilih dalam RPA sesuai dengan urutan perolehan suara terbanyak.

Adapun kalau Ketua KSW berhalangan tetap, peserta sidang setuju untuk menggantinya dengan pejabat sementara (PJS) sesuai pilihan MPA. Namun hal ini tidak permanen, karena MPA harus segera mengadakan RPLB untuk memilih ketua definitif, dalam waktu selambat-lambatnya 3 minggu. Sedangkan kalau Ketua KSW hanya berhalangan sementara, Ketua KSW dipersilakan menunjuk PJS-nya sebagai hak prerogatif.

Banyak hal baru dalam amandemen AD-ART KSW ini, sementara Garis-garis Pelaksanaan Program dan Motto organisasi ditetapkan tidak mengalami perubahan. Dalam waktu dekat, direncanakan adanya sosialiasi hasil amandemen Al-Wilayat Al-Tusa'iyyat ini. Bahkan tim pengelola website KSW juga siap memasukkan AD-ART sebagai salah satu menu dalam situs KSW.[]

Bawwabah Tiga, 26 November 2006

Tuesday, November 21, 2006

MPA Bentuk Tim Rumuskan Amandemen AD-ART KSW



Rapat Permusyawaratan Anggota (RPA) adalah merupakan lembaga permusyawaratan tertinggi di organisasi Kelompok Studi Walisongo (KSW). Segala hal yang berkaitan dengan pondasi organisasi, dibahas dalam permusyawaratan yag diselenggarakan setiap 1 tahun sekali itu. Termasuk di dalamnya dibahas Anggaran Dasar KSW (Al-Wilayat Al-Ahdiyat), Anggaran Rumah Tangga (Al-Wilayat Al-Idariyyat), Garis-garis Pelaksanaan Program (Al-Wilayat Al-Ansyithotiyat) dan Motto Organisasi (Al-Wilayat Al-Syakhshiyyat).

Hanya saja, pada RPA tahun 2003 disepakati bahwa pembahasan AD-ART tidak perlu dilakukan setiap tahun karena akan sangat menguras energi. Ketika itu, kemudian disetujui peninjauan kembali AD-ART setiap 2 tahun sekali. Hal inipun dicantumkan dalam amandemen AD-ART ketika itu.

Sayangnya, dalam 2 kali RPA terakhir, amandemen AD-ART yang agenda dan rumusannya sudah disiapkan sebelumnya, tak jadi dibahas karena kekurangan waktu. Memang sudah latah, saat-saat berlangsungnya RPA, yang menonjol adalah persaingan antar calon pimpinan KSW, bukan pondasi yang akan menjadi titik tolak aktifitas organisasi. Tidak hanya di KSW, di organisasi-organisasi besar semacam partai atau ormas di Indonesia juga demikian adanya.

Melihat fenomena ini, MPA KSW yang tahun ini dipimpin oleh M. Aji Nugroho, Lc. bertindak cerdik dengan hendak menyelenggarakan Rapat Permusyawaratan Luar Biasa (RPLB). Pelaksanaan RPLB ini untuk menghadapi kebuntuan dalam 2 RPA terakhir yang selalu tak kuasa membahas AD-ART --terkalahkan oleh keramaian pembahasan laporan pertanggungjawaban dan pemilihan ketua baru.

Oleh karena itu, demi memperlancar jalannya RPLB, MPA membentuk Tim Perumus yang diketuai oleh Husnul Khitam, aktifis senior yang sudah menginjak tahun ke-6 aktif di KSW. Selain Husnul Khitam, dalam Tim Perumus yang merangkap SC RPLB ini terdapat Fakhruddin Aziz, Lc., Khoirun Niat, Lc., Agus Hidayatulloh, Rois Mahfudz, Saifuddin Zuhri dan Talqis Nurdianto.

Sebelum dimulainya RPLB yang bakal digelar Sabtu (25/11/2006) nanti, Tim Perumus sudah 2 kali mengadakan rapat. Pada pertemuan pertama yang digelar di kediaman Fakhruddin Aziz, Lc. Kamis (16/11/2006) petang, Tim Perumus membahas restrukturisasi organisasi KSW, dengan dimasukkannya Pengelola Griya Jateng sebagai bagian tak terpisahkan dalam keluarga besar KSW. Pembahasan ini bersifat global. Meski sempat adu argumen secara ketat dan cukup panas, akhirnya tercapai kesepakatan dalam Tim Perumus, sementara bentuk konkret kalimatnya dijadwalkan pada pertemuan berikutnya.

Lalu pada Senin (20/11/2006) petang, kembali Tim Perumus berkumpul. Berbeda dengan pertemuan sebelumnya, pada pertemuan yang digelar di lantai dasar Griya Jateng ini, rancangan amandemen AD-ART dibahas secara lebih konkret sesuai perubahan-perubahan per kata atau per kalimat.

Hal yang cukup mendasar dari rancangan yang disepakati Tim Perumus ini adalah mengenai Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota MPA maupun Ketua KSW. Sebelumnya, masalah PAW ini tidak tercantum dalam AD-ART. Begitu juga dengan Badan Otonom (BO), yang sebelumnya disebutkan bahwa BO KSW adalah Buletin Prestasi dan Tim Pengelolaan Website, dirubah dengan usulan bahwa jumlah dan pembentukan BO diserahkan sepenuhnya pada DP-KSW.

Sementara hal yang paling baru tentunya adalah rancangan masuknya Pengelola Griya Jateng dalam lingkaran KSW. Karena selama ini, Griya Jateng yang merupakan aset Pemda, belum masuk dalam struktur KSW. Padahal jelas, bahwa Griya Jateng merupakan amanah yang diberikan pada KSW. Oleh karenanya, pengelolaan Griya Jateng juga merupakan kesatuan dalam struktur KSW, supaya pengawasannya lebih mudah untuk dapat diketahui seluruh warga KSW, dalam hal ini melalui MPA KSW.

Ada cukup banyak hal baru yang muncul dalam rapat Tim Perumus. Bahkan ada beberapa pasal dan bab yang dihilangkan atau diubah dengan yang lain, disesuaikan perkembangan kondisi terakhir. Yang pasti, Tim Perumus hanya berhak mengajukan rancangan-rancangan amandemen itu, sementara keputusan tetap berada pada suara seluruh warga KSW yang diharapkan dapat hadir pada RPLB yang kedudukannya sejajar dengan RPA itu. Jadi, jika Anda ingin KSW melangkah menuju masa depan yang lebih baik, lempangkanlah jalan menuju rumah kita Griya Jateng pada Sabtu (25/11/2006) nanti![]

Bawabah Tiga, 21 Nov 2006

Saturday, November 18, 2006

HUT Terobosan, Meriah Tapi Kurang Persiapan



Di usianya yang sudah menginjak angka 16, kelompok buletin independen Terobosan kembali menggelar perayaan ulang tahunnya. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, acara ini pun dibuat besar-besaran, sekaligus menghibur Masisir. Dalam setiap perayaan ultahnya, ada saja penampilan-penampilan yang sengaja dipersembahkan bagi para langganannya.

Kali ini, bahkan ditambah pula dengan ajang pemberian penghargaan bertajuk "Terobosan Award 2006". Dalam Terobosan Award 2006 yang berlangsung Jumat (17/11/2006) malam ini, ada 3 kategori yang dipilih. Pertama, kategori Liputan Terobosan Terbaik. Karena merupakan ajang pertama, maka yang dipilih adalah tulisan-tulisan liputan di Terobosan --ditulis oleh kru mereka sendiri-- periode 2002-2006.

Pada kategori ini, ada 7 tulisan yang masuk nominasi. Setelah diseleksi oleh tim juri, tulisan berjudul "843 Menit itu Usailah Sudah" (tahun 2003) keluar sebagai pemenang. Tulisan ini merupakan liputan atas rapat PPMI dan kekeluargaan yang membahas permasalahan adanya Temus "siluman" dari Temus yang semestinya merupakan jatah PPMI. Waktu itu, selain 100 Temus yang sudah merupakan jatah setiap tahunnya, ada tambahan 5 jatah lagi yang diperuntukkan bagi orang-orang yang telah ditentukan namanya oleh KJRI Jeddah. Kontan hal ini menimbulkan kecemburuan dan PPMI mengundang kekeluargaan melakukan rapat di KBRI.

Menurut M. Shalahuddin dan Rahman Hadianto, penulis dari liputan ini, saat itu sekitar 15 jam tanpa makan tanpa tidur, mengikuti jalannya rapat. Rapat sempat berjalan alot dan banyak perang argumen. Namun dengan pikiran jernih dan terbuka, setelah beradu pendapat yang melelahkan, dapat tercapai kesepakatan. Semua pun lega. Para peliput juga dapat beristirahat sejenak, sebelum harus menuliskan laporannya.

Pada kategori "Pegiat Sastra Terbaik", Udo Yamin Effendi berhasil menyingkirkan 6 nominator lainnya. Salah seorang aktivis Kairo ini memang sudah lama malang-melintang di dunia sastra. Selain aktif di pergerakan --di antaranya menjadi fungsionaris PPMI, Pwk-Persis, Pwk-PII-- bapak satu anak ini juga giat menulis, utamanya sastra.

Sementara pada kategori ketiga, "Penulis Terbaik", M. Shalahuddin kembali tampil sebagai pemenang. Munculnya nama M. Shalahuddin itu memang bukan hal mengejutkan. Apalagi namanya juga cukup eksis di media tanah air. Belakangan laporannya juga muncul di media sekelas Gatra dan Media Indonesia.

Format penyerahan ketiga penghargaan ini cukup elegan. Hanya sayangnya, saat pembacaan nominasi, menggunakan suara rekaman, sehingga tampak kurang jelas di telinga para pengunjung. Hal yang sama bahkan menyebabkan kejadian lebih fatal.

Saat pementasan operet kru Terobosan, juga menggunakan teknik yang sama. Tapi mungkin karena kurang persiapan, sehingga terjadi beberapa kesalahan adegan. Ada adegan orang di atas panggung, namun tak muncul juga rekaman suaranya. Sementara saat tak ada satu pun aktor berada di panggung, muncul suara dialog yang kemudian dimatikan kembali.

Penonton pun tampak kacau, bahkan ada yang meneriakkan "Huuuu...." saat itu. Beruntung MC Agla dapat mengendalikan acara. Karena penonton semakin lantang mengekspresikan ketidakpuasan, penampilan itu pun terpaksa di-cut, dilanjutkan rangkaian acara lainnya.

Penonton yang cukup memadati Auditorium Fakultas Kedokteran Al-Azhar Kairo tampaknya bisa dapat terpuaskan hanya pada penampilan group band "Vangabon". Tampil di awal dan ujung acara, penonton terlihat bisa menikmati hiburan yang disuguhkan kelompok band yang memang sudah senior itu. OM (Orkes Melayu) Krakatau juga sempat membuat penonton menggerakkan pinggulnya saat membawakan 2 lagu dangdut.

Rangkaian acara HUT ini terpaksa disudahi dengan seidkit kurang halus karena pihak pengelola gedung memang memberikan ijin sampai pukul 22.00. Padahal saat itu, Vangabon masih membawakan lagu terakhir. Karena pihak pengelola gedung mematikan sebagian lampu, terpaksa lagu persembahan terakhir itu disudahi dan penonton membubarkan diri.[]

Bawabah Tiga, 18 November 2006

Thursday, November 16, 2006

Hujan Kapan Datang



Hawa dingin belakangan memang sudah mulai menyelimuti Kairo. Tiap hari, sejak pagi hingga pagi berikutnya banyak yang terus bertahan di balik selimut atau jaket tebal. Aktifitas pun makin banyak dikerjakan di dekat kasur atau ruang tidur.

Hanya saja, meski sudah beberapa pekan musim dingin ini berlangsung, hujan belum tampak akan menyirami gedung-gedung Kairo dan kota lainnya di Mesir yang banyak tertutup debu.

Memang sudah beberapa kali ada air dari langit menyirami permukaan Mesir. Namun hujan --atau yang lebih nampak sebagai gerimis di tanah air-- itu sifatnya sangat lokal. Barangkali dalam radius 3-5 kilometer, sudah tak ditemui lagi.



Seperti Rabu (15/11/2006) kemarin. Saat sekitar jam 09.00 pagi, hujan rintik-rintik tiba-tiba saja mengganggu orang-orang yang menunggu bus di halte dekat Kampus Putri Al-Azhar Nasr City. Mahasiswi-mahasiswi yang baru turun dari angkot pun banyak yang berlarian menuju dalam kampus menghindari hujan.

Kejadiannya cepat sekali. Di kawasan Hay Ashir, sekitar 4 kilometer sebelah timur Kampus Putri itu, matahari masih nampak akan memberikan banyak kehangatan bagi mereka yang beraktifitas keluar rumah. Namun, setelah perjalanan bus sekitar 10 menit dari Hay Ashir dan sampai di halte depan Kampus Putri, tiba-tiba hujan datang.

Orang-orang tampak kaget juga. Bahkan sebagian ada yang tak mengenakan jaket, karena memang pagi itu sebelumnya tampak cerah. Terlihat pria Mesir yang hanya mengenakan kemeja hijau kotak-kotak itu menggigil memeluk dirinya sendiri.

Beruntung hujan tersebut tak begitu deras. Pun turun hanya sejenak, mungkin tak lebih dari 10 menit. Aktifitas pun bisa kembali normal tak perlu dihinggapi rasa takut jalanan akan banjir. Bahkan, sekitar 2 kilometer arah barat dari Kampus Putri menuju Kampus Putra Al-Azhar Nasr City, jalanan masih terlihat kering. Jadi, hujan hanya terjadi di lokasi tertentu yang sangat kecil dan terbatas. Barangkali karena musim dingin belum akan mencapai puncaknya.

Kelak kalau sudah memasuki puncak musim dingin, mungkin akan sedikit repot. Kalau sudah hujan, bus-bus dalam kota banyak yang tak beroperasi. Hal ini dimaklumi karena bus-bus itu --terutama yang berwarna putih/bus lama-- hampir semuanya memilki cerobong asap yang menghadap ke atas. Jadi, kalau saat hujan nekad beroperasi, tentu saja cerobong itu dapat kemasukan air dan bisa berakibat fatal pada mesin.

Ada sedikit senangnya juga barangkali kalau hujan benar-benar mengguyur. Paling tidak, kenangan-kenangan saat di tanah air sedikit banyak akan muncul dalam benak. Bagaimana dulu saat kecil suka main hujan-hujanan, bermain bola di bawah guyuran derasnya air dari langit. Kita tunggu saja, dan pasti akan semakin kangen pada tanah air![]

Bawabah Tiga, 16 November 2006

Wednesday, November 15, 2006

Jangan Menyerah pada Cuaca

Kairo sudah mulai menyongsong musim dingin. Hari-hari terakhir ini, udara sejuk sering melenakan orang-orang untuk kembali tidur di pagi hari. Pun, siang jarang nampak matahari, sore tentu makin dingin. Apalagi malam, yang kalau musim panas baru bisa terlelap di atas jam 12 malam; kali ini jam 8 atau paling lambat jam 10 rasa kantuk sudah bisa menyerang.

Tidak hanya rasa kantuk, hembusan angin di luar juga membuat orang makin malas keluar rumah. Selimut tebal pun selalu jadi sasaran empuk.

Repot juga, musim panas memang susah tidur malam, tapi justru tidak --bukan malas-- bisa bangun karena semalaman sering begadang. Di musim dingin, memang mudah tidur cepat sebelum tengah malam, sayang dinginnya udara di pagi hari membuat kaki dan tangan menggigil dan makin kuat menggenggam ujung selimut.

Walhasil, kalau mau terlena begitu saja, tak mau berusaha melawan hawa (panas atau dingin), di Kairo bisa-bisa selalu tidur saja. Kondisi cuaca memang demikian, tapi sebenarnya bisa juga "dilawan" jika memang memiliki kemauan besar. Di musim panas, asal ada keinginan kuat, bisa saja tidur selepas shalat isya (jam 10.30 malam) dan sudah terbangun saat adzan subuh menjelang.

Demikian juga di musim dingin, kalau dibiasakan dapat mengatur waktu, bisa saja mudah bergegas ke kamar mandi saat jam beker terdengar menjelang subuh --meski rasa dingin kadang sampai menembus tulang. Semua tetap bergantung pada kemauan. Tergantung pada sejauh mana keinginan hendak direalisasikan.

Barangkali memang akan terasa berat buat para "pemula", yang sebelumnya sudah membiasakan diri terlena dengan cuaca. Tentu perlu perjuangan tersendiri untuk merubah penjadwalan. Asal ada kemauan, maka kemampuan itu akan datang dengan sendirinya.[]

Bawabah Tiga, 15 Nov 2006

Wednesday, November 08, 2006

Konflik PKB, Tak Boleh Ada yang Menang

Apa gerangan yang membuat konflik PKB tak juga berakhir setelah berlangsung hampir 2 tahun? Konflik di tingkat pusat, yang tentu saja membuat jajaran di bawahnya ikut kocar-kacir, sebenarnya awalnya karena masalah yang terlalu sepele. Muktamar PKB di Semarang, 16-18 April 2005, adalah pangkal semua permasalahan yang hingga kini makin rumit itu.

Masalah utamanya, kalau mau dirunut, barangkali terletak pada tokoh Gus Dur. Ketika itu, ada pihak yang menginginkan Gus Dur tetap memangku jabatan sebagai Ketua Umum Dewan Syuro PKB. Sementara di lain pihak, ada yang berharap sudah saatnya terjadi penyegaran di puncak kekuasaan. Pihak pendukung pendapat kedua ini beranggapan bahwa jika Gus Dur masih ditempatkan pada jabatan struktular seperti itu sudah bukan tempatnya lagi, karena kedudukannya jelas sudah lebih tinggi. Gus Dur cukup berada di balik layar, melihat dan mengawasi generasi penerusnya tampil membela partai yang didirikan pada 1998 itu.

Sejak beberapa hari sebelum muktamar dilaksanakan, sebenarnya sudah terjadi gesekan-gesekan perbedaan pandangan. Jauh-jauh hari, sudah terlalu banyak statemen yang makin memanaskan situasi. Sayang semua pihak sering tak dapat mengontrol emosinya, sehingga permainan pun makin tak cantik. Bahkan seiring kian dekatnya hari penyelenggaraan muktamar, masalah terus meruncing, panas, kemudian malah melebar tak karuan.

Awalnya barangkali dibiarkan, karena dimana-mana yang namanya kongres, muktamar, musyawarah nasional atau apapun istilahnya seringkali dibumbui intrik-intrik dengan latar belakang kepentingan tertentu. Muktamar NU yang mestinya adem-ayem saja kali terakhir terpaksa "dinodai" konflik horisontal nan membara, apalagi muktamar partai selevel PKB yang jelas lebih dekat dengan kekuasan an sich.

Maka ketika perbedaan pendapat makin mengarah pada perpecahan, semua baru sadar, betapa susahnya menyelesaikan konflik yang makin membingungkan warga nahdliyin itu. Namun, kesadaran itu seperti tak ada gunanya. Pertikaian sudah terlanjur membara. Pihak-pihak yang bertikai terus sibuk mencari pembenaran atas sikapnya. Sedangkan di antara kedua pihak itu sudah merasa tak ada lagi rujukan nasehat yang dipercaya secara bersama. Beberapa kali upaya ishlah (rekonsiliasi) pun mentah karena tidak ada yang menengahi di antara kedua pihak.

Gus Dur Sebagai Bandul

Sejak awal kedatangannya di Indonesia dari melanglang buana bertahun-tahun mencari ilmu di berbagai pelosok dunia, Gus Dur memang kerap menyulut kontroversi. Bahkan seringkali, kontroversi yang ditimbulkan menyulut konflik antar person. Sebut saja tokoh sekelas KH. Idham Khalid, KH. Ali Yafie dan KH As'ad Syamsul Arifin yang semuanya ulama kharismatik dan sempat memangku jabatan strutural di NU, harus "mengalah dan menghindar" dari jabatan dan kedudukannya masing-masing karena berbeda pendapat dengan Gus Dur.

Menghadapi kiai-kiai sepuh di atas saja Gus Dur "menang", apalagi "hanya" dihadapkan pada sosok Abu Hasan saat Muktamar NU 1994 atau Matori Abdul Jalil pada pergantian presiden tahun 2001. Semua orang yang berhadapan dengan Gus Dur saat itu tak pernah ada yang bisa menang. Semua harus "menghilang" dari peredaran. Bahkan beberapa di antaranya hampir tak diingat publik sama sekali, walau pernah punya jasa besar ketika berkhidmat bersama Gus Dur.

Hanya saja, pada Muktamar NU 2004 yang diselenggarakan di Asrama Haji Donohudan Boyolali, Gus Dur terpaksa mengakui "kemenangan" orang yang belakangan sering berseberangan dengannya. Di ajang pemilihan Rois 'Am Syuriah PBNU, Gus Dur maju menjadi calon melawan KH. MA. Sahal Mahfudz. Hal ini bisa jadi karena saking gregetan-nya Gus Dur pada pamannya sendiri itu, yang kerap lebih membenarkan berbagai tindakan KH. Hasyim Muzadi yang dinilai Gus Dur melanggar aturan NU. Sayang, pada pemilihan pucuk pimpinan ormas terbesar di Indonesia ini Gus Dur kalah dukungan.

Berikutnya, karena menolak KH. Hasyim Muzadi kembali memangku jabatan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU, Gus Dur mendorong KH. Masdar F. Mas'udi sebagai calon alternatif. Bahkan orang-orang di balik ketiak Gus Dur beberapa kali melakukan kampanye dengan cara-cara yang sebenarnya tabu di kalangan NU. Meski begitu, nyatanya peserta muktamar masih mendukung KH. Hasyim Muzadi.

Itulah kiranya kali pertama Gus Dur luput dari keinginan besarnya. Bahkan ketika mengancam akan membuat NU tandingan, sedikit sekali publik yang menggubris. Walhasil, NU tandingan urung didirikan. Mirip seperti keinginan Abu Hasan yang hendak melawan Gus Dur melalui NU tandingan pada 1994-1995 tapi malah kemudian gerakannya mati tak berbekas.

Konflik Paling Parah

Beberapa bulan setelah Muktamar NU Boyolali itu, nama Gus Dur kembali jadi perbincangan publik. Di Semarang, 16-18 April 2005, PKB menggelar muktamarnya yang ke-2. Dan, lagi-lagi nama Gus Dur menjadi bahan pro-kontra, antara yang mendukung kelangsungan kekuasaannya sebagai Ketua Umum Dewan Syuro dan yang menganggap Gus Dur sudah saatnya lengser keprabon serta cukup menjadi tokoh di balik layar.

Konflik pun tak terhindarkan. Kedua kubu saling berebut dukungan. Pernyataan demi pernyataan dari kedua belah pihak makin memanaskan keadaan. Bahkan, manuver-manuver dilakukan sampai melewati batas etika. Puncaknya, karena merasa dirugikan saat pembahasan aturan tata tertib Muktamar, sebagian peserta muktamar melakukan gerakan walk out (WO). Nah, justru dengan melakukan WO ini, kubu yang ingin menempatkan Gus Dur di tempat yang lebih terhormat dari sekadar Ketua Umum Dewan Syuro PKB, makin tertinggal. Esok harinya, Gus Dur pun kembali secara resmi terpilih menduduki posisi puncak PKB.

Pada konflik-konflik sebelumnya yang melibatkan Gus Dur, hampir selalu para kiai sepuh berada di belakang Gus Dur. Semua kiai hampir selalu setuju dengan setiap pendapat Gus Dur, meskipun pendapat itu kontroversial. Nah, konflik kali ini lain. Para kiai yang sebelumnya setia mendukung setiap langkah Gus Dur, memiliki pandangan lain. Di saat peserta muktamar yang ada makin melambungkan nama Gus Dur, para kiai sepuh memunculkan calon lain. Di sinilah mulai terlihat betapa konflik itu makin tak jelas ujungnya.

Kalau selama ini konflik antara dua kubu, yang satu lemah sementara yang satu kuat karena didukung kolaborasi Gus Dur dan kiai-kai sepuh, kedudukan tak berimbang dan tak lama kemudian percikan konflik pun padam dengan sendirinya. Sedangkan yang terjadi kali ini, konflik terjadi antara dua kubu yang sama-sama kuat. Nama Gus Dur masih amat disegani di banyak kalangan nahdliyin pengurus PKB, utamanya di tingkat elit wilayah dan cabang. Sementara massa riil, yang berkutat di antara dua kantong —Jawa Tengah dan Jawa Timur— kiranya masih lebih mudah mendengarkan dawuh para kiai sepuh.

Konflik ini pun dapat dikatakan sebagai konflik terparah yang pernah dialami kaum nahdliyin. Dimana menjelang 2 tahun berlangsungnya konflik ini, tak terlihat adanya perkembangan menuju penyelesaian. Yang ada justru perseteruan yang makin meruncing. Bahkan belakangan, terjadi proses reshuffle anggota legislatif yang tak mendukung hasil Muktamar Semarang. Sementara di sisi lain, ada usulan pembentukan partai baru setelah kubu yang terkalahkan di Muktamar Semarang tak juga mendapat pengakuan dari pemerintah. Meski usul ini justru menimbulkan perbedaan persepsi baru lagi di antara pendukung kubu kedua.

Tampaknya, jika kedua kudu tak ada yang mau mengalah, konflik ini akan terus berkelanjutan. Tentu saja ini sangat tidak baik bagi seluruh nahdliyin. Apalagi jika benar ada pembentukan partai baru, sudah pasti akan merugikan kedua belah pihak. Ujung-ujungnya kalangan grass root juga yang menanggung akibatnya. Permainan politik kaum nahdliyin di tingkat elit pun akan makin kerdil, tak akan bisa bersaing dengan partai-partai lain yang justru makin berkembang dengan manuver-manuver jitu.

Sekarang saja, kedudukan pimpinan DPR dari unsur PKB sudah mulai digoyang dan ada kemungkinan bisa tersingkir. Apalagi jika kelak benar-benar mengadopsi sistem proporsional, sementara PKB sendiri terpecah dengan adanya partai baru lagi, maka jangan berharap ada orang NU berada di pimpinan DPR. Walau tak ada partai baru pun, jika keadaannya masih didera konflik seperti ini, diyakini suara PKB akan merosot drastis. Barangkali masih lumayan jika konstituen PKB memilih golput pada 2009 nanti, tapi jika sampai pindah ke partai lain? Silakan hitung kerugiannya.

Sudah terlalu banyak nasehat dari berbagai kalangan, supaya kedua belah pihak melakukan rekonsiliasi. Tapi permasalahannya seperti disebutkan di atas, tak ada yang bisa dijadikan rujukan bersama sebagai penengah. Atau kalau ada, belum tentu bersedia menjadi "juri", karena memang pihak yang bertikai benar-benar orang-orang yang berada di puncak, sehingga orang dimaksud bisa-bisa kurang pede menengahi.

Selama ini pun, ketika terjadi konflik yang melibatkan Gus Dur, sebenarnya tak ada yang menengahi. Yang ada hanyalah pembelaan terhadap Gus Dur dan meminta pihak yang berseberangan mengalah. Hal ini terus terjadi sampai akhirnya di Muktamar NU Boyolali, semua kiai sepuh yang sering membela Gus Dur lebih mendukung pencalonan kembali duet KH. MA. Sahal Mahfudz-KH. Hasyim Muzadi. Bahkan ketika itu bisa dikatakan tak ada satu kiai sepuh pun yang menyetujui pandangan Gus Dur.

Gus Dur Juga Manusia

Kemenangan demi kemenangan memang diraih Gus Dur atas para "rival"-nya sejak akhir 1970-an atau awal 1980-an. Orang pun kemudian banyak yang berpandangan, Gus Dur adalah seorang wali yang hampir atau malah sama sekali tak pernah dihinggapi kealpaan. Tentu saja pandangan ini melewati batas penghormatan. Tapi memang begitulah adanya, karena melihat "kesaktian" Gus Dur yang hampir tak pernah kalah dalam setiap "pertempuran".

Orang-orang di balik Gus Dur sepertinya tidak sadar, bahwa Gus Dur juga sebenarnya manusia biasa yang dapat berbuat salah juga. Atau barangkali mereka pura-pura tidak sadar dan justru memanfaatkan keadaan seperti ini untuk kepentingan pribadi.

Kalau saja Gus Dur masih menganggap para kiai sepuh itu sebagai rujukan setiap langkah —sebagaimana sejak dulu Gus Dur selalu minta petunjuk untuk melangkah, termasuk maju dalam pencalonan presiden—, mestinya Gus Dur mendengar dawuh KH. Abdullah Faqih, KH. MA. Sahal Mahfudz, KH. Marzuki Idris dll. Mereka inilah yang beranggapan bukan saatnya lagi bagi Gus Dur "sekadar" menjadi Ketua Umu Dewan Syuro PKB. Gus Dur sudah seharusnya memiliki tempat yang lebih terhormat.

Sayang sekali, dengan berbagai dalih, Gus Dur tetap bertahan di tempatnya semula sementara orang-orang di baliknya semakin riang merayakan "kemenangan" yang mereka raih atas "bantuan" Gus Dur. Orang sekeras Gus Dur, memang tak mudah dibisiki, apalagi oleh mereka yang dianggap Gus Dur sebagai orang yang berseberangan.

Karenanya, barangkali ada baiknya kubu non-Gus Dur mengambil langkah yang lebih cantik. Misalnya, mengumpulkan para kiai sepuh lalu bersama-sama mendatangi Gus Dur dan berbicara dari hati ke hati. Menjelaskan bagaimana keadaan umat nahdliyin di kalangan bawah yang semakin hari semakin bingung. Para kiai sepuh mungkin memiliki kesibukan masing-masing, tapi demi umat, tentu para kiai bersedia diajak bermusyawarah.

Jika deal yang diinginkan adalah soal personalia kepengurusan di tingkat DPP, maka mungkin sudah saatnya semua pihak legawa untuk mempreteli semua jabatan mereka. Serahkan semua kedudukan di PKB pada para kiai. Biarkan Gus Dur dan para kiai ini yang menyusun kepengurusan sementara, tanpa ada pembisik yang sering juga membawa kepentingan pribadi. Kalau perlu, masukkan semua orang baru, yang selama ini pasif tidak ikut kubu mana pun dalam pertikaian ini.

Mumpung pemilu masih 2,5 tahun lagi, PKB harus segera diselamatkan agar bersatu kembali. Supaya konstituen kembali tenang dan tak perlu pusing melihat tingkah para elitnya yang bertikai.[]


Agus Hidayatulloh, mahasiswa Sastra Arab Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, aktivis PCI-NU Mesir dan PKB Mesir

Kangen Bergelantungan

Dengan semangat empat lima, aku bangun pagi. Tidak terlalu pagi sebenarnya, karena satu jam lebih terlambat dari waktu sahur. Masih untung lah tidak bablas terlewat shalat subuh. Tapi, menyesal juga karena niat puasa Syawal yang malam harinya didengungkan terpaksa dibatalkan; takut tidak kuat atau sakit maag.

Setelah bersih-bersih diri dan sedikit bersolek seperlunya, dandanan necis tebal siap melawan dinginnya udara Kairo. Di halte --sementara hawa sejuk terus berhembus--, sempat bertemu teman-teman seperjuangan dengan berbagai arah; ada yang mau kuliah, mengurus perpanjangan visa, bikin kartu mahasiswa atau sekadar jalan-jalan.

Sempat menunggu beberapa menit di halte, akhirnya bus menuju kampus datang juga. Wouw... tampaknya sudah tak ada tempat walau hanya untuk berdiri. "Khuz, khuz gowwa..," demikian kondektur memerintahkan orang-orang untuk mengisi beberapa jengkal lahan yang masih ada di dalam bus.

Meski sudah begitu, tampaknya tak juga cukup untuk menampung beberapa orang yang hendak naik dari halte yang sama denganku. Beruntung, aku dapat melangkah lebih cepat sebelumnya sehingga tak perlu memaksa diri bergelantungan di luar pintu. Sementara 2 orang di belakangku terpaksa beberapa saat harus mengaitkan tangannya pada pegangan di samping pintu, meski tubuhnya masih tertinggal di luar badan bus.

Halte berikutnya yang berjarak tak lebih dari 300 meter, sudah ada beberapa calon penumpang lagi. "Mafisy makan ya kapten," kata salah seorang penumpang protes pada kondektur. Ya, sebelum kondektur memaksa mereka yang di dalam untuk lebih berhimpitan lagi, salah seorang di antaranya sudah keberatan bahwa di dalam sudah terlalu sesak dan tak ada tempat lagi untuk penumpang berikutnya, kecuali ada yang turun.

Tapi, bus ini adalah spesialis langganan mahasiswa Al-Azhar, sementara kampusnya masih berkilo-kilo meter lagi. Memang ada satu-dua penumpang yang turun di tengah perjalanan, tapi tetap saja jumlah yang membutuhkan bus itu lebih banyak dari jumlah dan kuota armadanya. Apalagi sekarang adalah masa-masa aktif kuliah.

Masih sedikit beruntung sebenarnya, karena saat ini adalah musim dingin. Kalau saja harus berhimpitan seperti itu pada musim panas, tentu saja berharap hidung pilek dan tahan bau. Bagaimana tidak, peluh keringat bercampur debu dan semua berhimpitan saling menempel, sungguh suatu "teror" tersendiri bagi mereka yang hendak rajin kuliah.

Kalau saat berangkat kuliah, barangkali sebenarnya tak terlalu dirisaukan, musim panas juga orang bisa mandi tiap hari. Tapi pulang kuliah? Hmmm, bisa dibayangkan seperti apa bau orang-orang mesir yang suka makan bawang dan sayuran mentah, serta setelah sekian jam berada dalam kecimpung aktifitas.

Hal ini mengingatkanku pada masa-masa awal datang di Kairo dulu. Saat masih baru-barunya menyandang predikat sebagai mahasiswa Al-Azhar, datang ke kampus lumrah dilakukan tiap hari. Tapi seiring dengan usia di Kairo yang makin lama, serta "ideologi" tak wajib kuliah yang kian tertanam dalam hati, hal seperti ini jadi makin terlupakan.

Maka, setelah sekian lama tak "menikmati" indahnya berjubel dalam bus menuju kampus, adalah menjadi kenangan tersendiri berangkat kuliah pada jam sibuk seperti itu. Apalagi, tahun sebelumnya aku sempat tinggal di asrama, yang jaraknya tak terlalu jauh dengan kampus, sehingga tak perlu berdesakan dalam bus dulu sebelum menghadapi "teror" berikutnya; bagaimana mendengarkan penjelasan dosen yang selalu menggunakan bahasa Arab pasaran.


Bawabah Tiga, 7 November 2006

Friday, November 03, 2006

Akademik Problem yang Pelik (?)

Mendengar rubrik yang disodorkan dan ditawarkan pada saya ini, sebenarnya saya kurang berani mengiyakan. Hanya saja, lebih malu rasanya untuk menolak, apalagi saya juga pernah berkecimpung dalam dunia tulis-menulis.

Dengan keberanian-keberanian yang "dipaksakan" ada inilah, saya mencoba mengurutkan beberapa kalimat yang berseliweran dalam pikiran. Jika disebut sebagai analisa, barangkali masih kurang tepat, karena saya bukanlah orang yang cakap dalam menelaah kasus tertentu hingga jauh mendalam.

Berbicara mengenai prestasi akademik Masisir, barangkali sudah tidak sehangat beberapa waktu lalu, saat baru-barunya turun pengumuman hasil ujian. Namun demi menjaga perhatian kita akan pentingnya prestasi belajar, tentu tetap pantas terus kita bicarakan.

Menurut saya, ada banyak hal yang dapat menjadi faktor penunjang kegagalan maupun keberhasilan nilai akademis Masisir. Tentu saja yang utama adalah faktor personal masing-masing. Jika datang ke Mesir dengan hanya modal ijazah sementara kemampuan bahasa Arab nol, tentu harus bersabar untuk dapat lulus strata satu Universitas Al-Azhar —yang barangkali banyak dipilih Masisir karena murahnya.

Sementara memiliki kemampuan bahasa Arab pun, belum tentu dapat berjalan mulus mengikuti dan melewati kelas demi kelas dalam jenjang pendidikan Al-Azhar. Selain kemampuan yang mesti terus diasah, setiap pelajar dan mahasiswa tentunya harus selalu dapat mempertahankan kemauannya untuk terus belajar. Sudah terlalu banyak contoh personal di antara kita, yang sebenarnya memiliki kemampuan bahasa Arab (sebagai kekuatan utama di Al-Azhar) mencukupi, tapi karena meremehkan atau memang tak memiliki kemauan tinggi, akhirnya terseok-seok.

Di sisi lain, tidak sedikit pula yang ketika awal datang ke sini sebenarnya baru mengerti beberapa kosakata bahasa Arab, tapi karena kemauan yang terus membubung ke langit, akhirnya lancar menjalani setiap ujian. Barangkali awalnya mengandalkan hafalan, sementara pemahaman masih sedikit, tapi lama kelamaan dapat dengan sendirinya mengikuti setiap materi; asal dapat menjaga konsistensi kemauan dan mengasah kemampuan. Ya, dan konsistensi sudah jamak menjadi masalah yang pelik.

Selain faktor diri masing-masing —yang erat kaitannya dengan kemampuan dan kemauan itu—, memang sedikit banyak di antara kita ikut terpengaruh lingkungan yang ada. Kesepakatan Mahasiswa Minang (KMM) yang empat kali menjadi jawara PPMI Academic Awards selama lima tahun terakhir, merupakan suri teladan nyata dari pembentukan lingkungan yang "lebih dekat" dengan pengembangan dan peningkatan mutu akademis anggotanya. Sejak datangnya mahasiswa baru, sudah dibentuk kelompok belajar (biasanya dibuat satu rumah) dengan masing-masing memiliki senior dengan kompetensi tertentu. Sehingga lingkungan yang ada, dapat diarahkan untuk selalu memperhatikan tujuan awal Masisir datang ke Mesir; belajar.

Memang tidak semua Masisir harus sependapat atau sejalan pikirannya dengan apa yang sudah dilakukan KMM ini. Tidak setiap mahasiswa harus dan atau mau diarahkan. Barangkali ada yang memiliki tipe lain, bisa belajar atas kemauan sendiri dan malah merasa "tersiksa" jika "diawasi" orang lain; sah-sah saja. Tapi paling tidak, KMM telah menunjukkan diri sebagai organisasi yang peduli pada tujuan awal kedatangan anggotanya, yaitu mencari ilmu.

Lingkungan Masisir yang dari dulu —entah sejak kapan— dibiasakan dengan "ideologi" tidak wajib kuliah, kalau mau disadari sebenarnya sangatlah negatif. Kalau alasannya adalah ruangan kuliah di Al-Azhar yang terlalu sempit menampung jika semua mahasiswa hadir, sepertinya itu adalah pembenaran atas "ideologi" tadi. Jadi, perlu secara ekstrim merubah "ideologi" seperti itu, yang harus saya akui, saya sendiri kurang dapat memberikan alternatif solusinya.

Memang ada contoh yang menunjukkan beberapa orang bisa tetap lancar menunaikan setiap tingkat hingga lulus kuliah meski tak pernah mengikuti muhadharah dosen, tapi jika hal itu terus didengungkan tentu sangat tidak baik bagi mereka "yang hidup normal". Karena normalnya, mereka yang tiap hari datang ke kuliah tanpa lelah, dapat dengan mudah mengakses setiap perkembangan terbaru; baik ketentuan bacaan wajib (tahdid muqarrar), perubahan atau tambahan keterangan dari dosen dan lain-lain.

Semua pihak yang bersinggungan dengan Masisir —langsung maupun tak langsung— mestinya memang harus peduli dengan fenomena ini. Apalagi, dengan semakin membludaknya kuantitas Masisir dari tahun ke tahun; yang sayang peningkatan ini kurang dapat diikuti secara linear dengan peningkatan kualitas akademis Masisir.

Kepedulian Departemen Agama sendiri saya kira patut diacungi jempol. Saya memang salah seorang yang setuju dengan langkah Depag dalam menyeleksi setiap mahasiswa yang hendak ke Mesir. Meski dalam pelaksanaan teknisnya menurut saya perlu adanya perbaikan-perbaikan, esensi adanya seleksi ini sangatlah perlu. Hal ini juga untuk menghindari disorientasi beberapa pihak yang gencar mendorong lulusan-lulusan madrasah aliyah atau pondok pesantren segera datang ke Mesir sebagai gudangnya ilmu.

Awalnya saya berharap tes (demikian saya harapkan) pada tahun ini tidak memutuskan jalan bagi mereka yang hendak ke Mesir tapi tak mampu mengungguli nilai 6,00. Biarkan pada tahun pertama penggunaan seleksi (atau istilah "tes" yang saya harapkan), cukup dilihatkan nilainya dan semuanya diberangkatkan ke Mesir. Jika kelak mereka yang mendapat nilai di bawah 6,00 memang tak ada yang lulus atau mayoritas memang gagal naik tingkat, di sinilah ditemukan alat pemukul balik bagi mereka yang tak setuju dengan diadakannya seleksi. Tapi ternyata Depag bertindak lebih tegas dari yang saya bayangkan, dan saya pun tetap mendukung langkah itu.

Sementara KBRI, beberapa tahun belakangan ini terlihat semakin peduli dengan prestasi akademik Masisir. Bahkan secara teknis mau turun tangan datang ke setiap Bagian Kemahasiswaan tiap-tiap fakultas untuk mengumpulkan hasil ujian semua mahasiswa Indonesia —agar data yang terkumpul benar-benar valid. Langkah nyata pemantauan seperti ini perlu terus dilanjutkan, di samping memberikan penghargaan bagi mereka yang memiliki prestasi akademik di atas rata-rata.

Selain itu, dorongan motivasi juga perlu terus didengungkan. Belakangan, makin banyak pejabat dan staf KBRI menanyai hasil ujian satu per satu mahasiswa yang datang ke Garden City atau jika bertemu di beberapa kesempatan. Hal ini baik juga, supaya mereka yang gagal ujian mau dan lebih tergerak hatinya untuk belajar makin rajin.

PPMI dan organisasi-organisasi di bawahnya —baik kekeluargaan, afiliatif, almamater dll—, pun juga harus peduli dengan prestasi akademik ini. Kepedulian masing-masing organisasi barangkali tak bisa disamakan, tapi jika semua benar-benar memperhatikan masalah ini, niscaya tidak terlalu sulit mengangkat Masisir dari jurang keterpurukan prestasi akademik. Pengadaan bimbingan belajar, penyelenggaraan acara yang tak bertabrakan dengan jadwal kuliah secara umum, pelaksanaan diskusi atau seminar yang tak jauh dari bau akademis, tentu sangat membantu dalam proyek bersama mengangkat nilai akademis Masisir ini.

Sementara kita sebagai mahasiswa yang jelas-jelas saling bersinggungan langsung tiap hari dengan masalah prestasi akademik ini, harus dapat menjaga konsistensi kemauan dan kemampuan untuk terus belajar. Jika setiap pribadi dapat berbuat maksimal untuk mengangkat dan meningkatkan mutu akademiknya, tentu dengan sendirinya nilai akademik Masisir akan terangkat secara umum.[]


*Tulisan untuk TEROBOSAN Edisi 1 November 2006

Sunday, October 15, 2006

Peringatan Nuzulul Quran di KSW Jadi Ajang Silaturahmi



Peringatan Nuzulul Quran biasanya diselenggarakan pada tanggal 17 Ramadhan. Tahun ini, tanggal bersejarah itu bertepatan dengan tanggal 10 Oktober 2006. Sengaja tak ingin bertabrakan dengan peringatan yang diselenggarakan KBRI di Masjid Indonesia Kairo, KSW menggelar peringatan Nuzulul Quran 4 hari setelahnya, Sabtu (14/10) petang.

Bertempat di Aula Griya Jawa Tengah, rangkaian acara diawali dengan khataman Alquran. Sejak pukul 17.00, hadirin yang datang mulai membaca Alquran secara bersama-sama, masing-masing 1 juz. Tepat menjelang magrib, semua sudah selesai membaca 1 juz Alquran. Panitia pun membagi-bagikan kurma dan minuman sirup untuk berbuka.

Saat adzan magrib berkumandang, semua berbuka dengan kurma dan minuman itu. Lalu mereka shalat magrib berjamaah, dilanjutkan dengan shalat gaib yang ditujukan kepada Bpk. Abdul Manaf Siregar, ayahanda dari Bpk. Syaiful Bakhri Siregar, salah seorang penasehat KSW. Kemudian dilanjutkan dengan menikmati makan besar yang menghidangkan menu soto ayam. Sekitar 100-an orang yang hadir pun terlihat berseri-seri menikmati hidangan yang merupakan hasil patungan dari para penasehat KSW itu.

Setelah break shalat dan makan itu, acara dilanjutkan kembali dengan mauizhah hasanah yang merupakan acara inti peringatan Nuzulul Quran, dibawakan oleh Ust. Taufiqurrahman, S.Ag., salah seorang warga KSW senior. Dalam ceramahnya, Pak Taufiq —demikian calon master Universitas Al-Azhar Jurusan Dakwah ini biasa disapa—, mengingatkan kembali betapa pentingnya Alquran bagi kehidupan manusia.

Terlebih lagi, ayat yang pertama kali turun adalah perintah untuk membaca, bukan untuk beribadah. Kenapa demikian? Hal ini tentu bukan tanpa hikmah. Pak Taufiq lalu menjelaskan kronologi dan hikmah di balik turunnya ayat Alquran saat pertama kali diperdengarkan pada Baginda Nabi Muhammad Saw.

Setelah ceramah itu, acara dilanjutkan dengan ramah-tamah bersama beberapa tamu penting yang sudah menyempatkan diri hadir dalam acara yang bertajuk "Peringatan Nuzulul Quran dan Buka Bersama KSW" itu. Kebetulan juga, KSW memiliki seorang anggota Dewan Penasehat baru. Beliau adalah Bpk. Danang Waskito, yang merupakan salah seorang pejabat di KBRI. Pak Danang datang bersama istri dan seorang putrinya. Melalui perkenalannya, Pak Danang berharap silaturahmi antar warga Jawa Tengah di Mesir ini dapat terbina dan terjaga dengan baik. Bahkan Pak Danang berharap kalau ada hadirin yang kelak bertemu di jalan, dapat menyapanya, mengingatkan ikatan silaturahmi yang telah terjalin.

Selain Pak Danang, ada 2 lagi penasehat KSW yang dapat hadir, yaitu Bpk. Edi Wiyono dan Bpk. Harry Widiyanto. Keduanya sudah belasan tahun menjadi penasehat KSW. Hanya saja, saat itu hanya Pak Edi yang berada di Aula Griya Jateng dan sempat memberikan sedikit sambutan, sementara Pak Wid sedang sibuk melihat-lihat pemasangan gebyok Griya Jateng di lantai dasar.

Selain pensehat KSW itu, ada juga tamu istimewa dari Depag RI dan UIN Jogja. Satu orang dari Depag RI adalah Bpk. Muntaha Azhari, yang kebetulan putranya adalah salah seorang anggota KSW. Pak Muntaha sendiri datang ke Mesir dalam rangka memimpin rombongan Indonesia dalam lomba Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat internasional yang setiap tahun digelar di Kairo.

Sementara dari UIN Jogja, terdapat 6 orang. Masing-masing Pak Uki Sukiman, Pak Imam, Pak Ridwan, Pak Zainuddin, Bu Ema Marhumah dan Bu Tuti. Keenam orang tersebut bakal berada di Mesir selama 6 bulan dalam rangka mengumpulkan bahan untuk disertasi doktoral mereka.(aghi)


Bawabah 3, 15 Oktober 2006

Sunday, September 24, 2006

KSW Gagal Lagi Rebut Academic Award





Meski mengantongi 2 nama predikat mumtaz dan 13 nama predikat jayyid jiddan untuk jenjang S1, KSW kembali harus gigit jari dalam perebutan PPMI Academic Award. Seperti tahun sebelumnya, KMM kembali mempertahankan gelar itu setelah mengumpulkan nilai tertinggi. Bahkan, tahun ini KSW tergeser ke peringkat ketiga, setelah HMM berhasil menyodok ke posisi runner-up.

Dalam Malam Anugerah Prestasi dan Wisuda Sarjana yang diselenggarakan DPP-PPMI, Kamis (21/9/2006) di Auditorium Shalih A. Kamil, terlihat beberapa pengurus KSW. Tentu berharap-harap cemas, barangkali dewan juri dapat memberikan nilai tertinggi pada KSW. Sayangnya, ketika tiba saatnya pengumuman, KMM kembali menggondol gelar itu untuk yang keempat kalinya dari lima kali penyelenggaraan. Sementara satu gelar lagi pada tahun 2004 dapat direbut KMNTB.

Kegagalan KSW ini, meski cukup banyak memperoleh poin dalam kategori mahasiswa berprestasi, rupanya terpengaruh oleh banyaknya warga KSW yang gagal naik tingkat. Ditilik dari mahasiswa berprestasi, KSW masih merajai dengan menguasai Wisudawan Terbaik (atas nama M. Abdul Ghofur), Wisudawati Terbaik (Ida Azimahwati), Mahasiswi Tingkat 2 Terbaik (Subi Nur Itsnaeni) dan Pelajar Ma'had Tingkat 1 Terbaik (Abdul Majid).

Sementara, KMM dapat kembali meraih Academic Award karena memang sedikit anggotanya yang tidak bisa naik kelas. Bahkan menurut sebuah sumber, di antara sekitar 30-an anggota keputrian KMM, hanya 1 orang yang rosib. Belum lagi DPD PPMI Zaqaziq yang menjadi DPD Terbaik, ternyata mayoritas warganya adalah anggota KMM.

Sementara itu, untuk kategori senat terbaik, diraih Senat Fakultas Syariah Qonun, sedangkan almamater terbaik berhasil dipertahankan Misykati (MAKN Solo). Menurut data yang terkumpul di DPP PPMI, pada tahun akademik 2005-2006 ini, dari 3976 pelajar/mahasiswa terdapat predikat mumtaz 5 orang (0,15%), jayyid jiddan 85 orang (2,64%), jayyid (13,77%), maqbul (6,46%), manqul (25,00%), tasfiyah (1,99%), rosib (48,81%) serta tidak terdata (1,15%).

Untuk dapat merebut gelar Academic Award, tentunya KSW harus bekerja lebih keras lagi. Terutama pendampingan pada bimbingan belajar untuk mahasiswa tingkat 1. Kalau perlu, jika mau meniru sistem yang digunakan KMM, di setiap rumah selalu ada seorang senior yang dengan intens melihat perkembangan belajar anggota rumahnya. Dengan demikian, dapat menguragi kemungkinan berleha-leha atau sikap meremehkan anggota KSW atas prestasi akademik mereka sendiri.(aghi)


Bawabah III, 24 September 2006

Talkshow Pendidikan Minim Hadirin


Miris, acara yang tadinya digadang-gadang sebagai titik-tolak kesadaran pentingnya prestasi akademik justru minim pengunjung. Bahkan, acara pun jauh molor dari waktu yang ditentukan.

Rabu (20/9/2006) lalu, bertempat di Auditorium Fakultas Kedokteran Universitas Al-Azhar, ICMI Orsat Kairo mengajak PCI-NU, PCIM dan KBRI menggelar acara bertajuk "Talkshow Pendidikan". Acara yang bertemakan "Membangun Kualitas Pendidikan Bangsa" ini sedianya dimulai pukul 18.00, tapi baru pukul 20.30 pembawa acara tampil di panggung.

Sebelum MC memulai acara, terlebih dahulu tim rebana dari PCI-NU Mesir menghibur dan menyedot hadirin untuk masuk ke dalam ruangan acara. Membawakan 3 buah lagu, tim rebana PCI-NU tampil cukup meyakinkan, membawa suasana auditorium yang cukup melompong menjadi lebih meriah.

Dalam sambutannya, pihak penyelenggara menyatakan bahwa sebenarnya bukan hadirinnya yang sedikit, tapi tempatnya yang memang terlalu luas. "Yang datang banyak pun bisa tetap kelihatan sedikit," tambah M. Arifin, MA., Ketua ICMI Kairo sebagai penyelenggara acara. Kontak, pernyataan ini pun mengundang gerr hadirin yang baru berjumlah 78 orang.

Selain sambutan dari penyelenggara, sebelum acara talkshow dimulai juga ada sambutan dari Presiden DPP PPMI, Nur Fuad Shofiyullah. Menurutnya, acara semacam talkshow pendidikan semacam ini sangatlah urgen. Hal ini agar Masiko melek betapa akhir-akhir ini prestasi belajar Masiko cenderung merosot tajam. "Pada 2001, sebuah survei lembaga independen yang bermarkas di Swiss, menyatakan Indonesia berada pada urutan buncit dari 49 negara yang disurvei dalam hal mutu pendidikan," ceritanya.

Ia menambahkan, "Ini berbanding terbalik dengan banyaknya gelar juara yang diraih putra-putri Indonesia dalam setiap olimpiade matematika atau fisika." Hal ini tentu saja tak jauh beda dengan Masiko, dimana yang mendapatkan predikat Mumtaz atau Jayyid Jiddan teramat banyak, tapi jauh lebih banyak lagi yang masih gagal dalam akademis. Maka, adanya talkshow pendidikan bisa dianggap sebagai salah satu alternatif bagus untuk menyadarkan Masiko supaya dapat meningkatkan kualitas akademik.

Atase Pendidikan KBRI Kairo, Drs. Slamet Sholeh, M.Ed., yang memberikan keynote speaker, memaparkan lebih detail prestasi belajar Masisir. Dalam makalahnya yang 4 halaman, disebutkan bahwa dalam 3 tahun terakhir, prestasi kelulusan Masisir tidak pernah melewati angka 50 persen.

Ada banyak hal yang menurutnya mempengaruhi merosotnya prestasi belajar Masisir. Termasuk di dalamnya adalah rendahnya daya juang mahasiswa dalam meyelesaikan studinya. Kalau mau dirunut lebih jauh, tentunya hal ini juga dipengaruhi banyak faktor. Selain itu, sebagian besar Masisir juga belum dapat memanfaatkan atau memanage waktu dengan baik untuk kegiatan yang mengarah pada peningkatan mutu akademik mereka.

Menurut data dari staf Atase Pendidikan KBRI Kairo, selama tahun 2005, hanya ada 40% kegiatan mahasiswa yang mengarah pada bidang akademik. Sisanya kegiatan sosial/politik (20%), kesenian/budaya (25%) dan rekreasi (15%). Sementara tingkat penyelesaian studi Masisir cukup memprihatinkan. Dari 9,37% pada 2003 (lulus 189 orang dari 2016 mahasiswa), kemudian sedikit meningkat tahun berikutnya menjadi 9,62% (235 dari 2442), lalu merosot tajam pada tahun 2005 yang hanya 7,26% (289 dari 3976).

Dalam makalahnya, Atdikbud juga memberikan beberapa alternatif solusi untuk menghadapi permasalahan yang sebenarnya pelik tapi sering dianggap "biasa" oleh Masisir ini. Selain KBRI mendukung pembinaan akademik dan intelektual dengan seminar, bimbingan studi menghadirkan pakar, bedah buku dll, juga pembinaan kesejahteraan seperti apresiasi pada mahasiswa berprestasi, beasiswa dan biaya peneltian serta ujian S2 dan S3.

Setelah keynote speech Atdikbud itu, baru acara inti berupa talkshow dipandu Saiful Bahri, Lc. Dengan mengetengahkan pembicara dari masing-masing ketua ICMI, PCI-NU dan PCIM, talkshow berlangsung gayeng. Masing-masing narasumber mengurai hal-hal yang berkaitan dengan fluktuasi prestasi akademik Masisir. Baik hubungannya dengan banyaknya aktifitas ekstrakurikuler, maupun kebiasaan kurang baik Masisir dalam memanage waktu. Sayang, sesi tanya-jawab hanya diberikan pada 4 hadirin. Walhasil, acara pun buru-buru ditutup karena memang sudah diisyaratkan harus berhenti oleh pengelola gedung.

Sampai acara selesai, yang hadir tercatat hanya ada 124 orang, padahal panitia sebelumnya menyediakan 450 porsi makan malam. Tentu saja, saat pulang ke rumah masing-masing, banyak hadirin yang menenteng makanan yang belum terjamah yang jumlahnya masih ratusan.(aghi)


Bawabah III, 24 September 2006.