Thursday, February 20, 2014

Oleh-Oleh dari Brussels

Alhamdulillah, pertama kali ke Eropa langsung diajak ke tiga negara sekaligus. Domisili di Den Haag, pekan keempat dibawa ke Brussels dan Paris. Segala puji bagi Allah, praise be to Allah. Apalagi, di Brussels dan Paris itu ketemu banyak sekali orang-orang berwajah Arab atau Afrika Utara, berbahasa Arab pula. Sungguh kenikmatan tiada tara.

Belajar bahasa Arab pun menjadi sangat terasa banyak gunanya. Kalau hidup di Timur Tengah, adalah hal biasa mempraktikkab bahasa Arab. Namun, ini di Eropa, di negara orientalis maju yang dulunya menggulingkan kejayaan bahasa Arab. Uni Eropa sendiri memiliki 24 bahasa resmi, tentu saja tidak ada bahasa Arab. Jika punya modal bahasa Inggris atau Prancis maka amanlah hidup di Eropa.

Ternyata oh ternyata, modal bahasa Arab pun bukannya tidak bisa eksis. Ketika kunjungan resmi ke markas NATO, Parlemen Eropa, dan Komisi Eropa memang semua berbahasa Inggris. Namun, saat berjalan-jalan santai berkeliling kota Brussels, rupanya dengan mudah menjumpai orang-orang yang bisa berbahasa Arab.

Mereka umumnya pemilik atau penjaga toko-toko souvenir atau oleh-oleh. Tepat di depan patung “Mennekin Pis” (patung anak kecil pipis), misalnya, ada sebuah toko souvenir. Ketika kami masuk ke dalamnya, penjaga toko langsung mengucapkan salam. Mungkin melihat wajah kami yang ras Melayu sehingga dengan yakin ia menebak kami adalah muslim.

Melihat wajahnya yang kearab-araban, juga merasa mendapat angin, saya beranikan menanyakan kabar dengan bahasa Arab. Ia pun terlihat girang sekali ada di antara kami yang mengajaknya berbahasa Arab, muslim pula. Setelah ngobrol dengan akrab, alhamdulillah beberapa dari kami mendapatkan potongan harga atau bonus souvenir.

Telisik demi telisik, rupanya ia adalah seorang keturunan Maroko. Ayahnya asli Maroko, tetapi ia lahir di Belgia. Sempat mengadu nasib di Italia, ia akhirnya mantap menetap di Brussels. Saat ditanya kewarganegaraan, dengan bangga ia mengaku sebagai seorang Belgia. Namun, rupanya ia juga masih WN Maroko. Artinya ia beruntung bisa memiliki dua kewarganegaraan sekaligus. Wajar pula jika secara rutin ia masih mengunjungi sanak kerabat dan leluhurnya di Afrika Utara.

Mengetahui kami muslim, dengan semangat ia pun menunjukkan sebuah restoran milik orang Turki yang makanan-makanannya dijamin halal. Kami sempat menunjuk adanya beberapa restoran Turki di dekat hotel tempat kami menginap, tetapi ia tegas mengarahkan kami untuk ke restoran Turki yang ia tunjuk. Ada apa? Promosikah? Punya saudara? Rupanya bukan. Menurutnya, resto-resto yang sudah kami lewati sebelumnya menurutnya banyak yang juga menjual alkohol dan semacamnya, sementara resto yang ia tunjukkan betul-betul terjaga kehalalannya 100%. Baiklah, kami berterima kasih atas masukannya. Namun, kami lebih memilih makan jatah di hotel. Yah, mungkin kurang mengenyangkan karena “hanya” roti. Tapi, asal makan banyak toh tetap kenyang kan.[]

Arendsdorp, 20-2-14

Friday, January 03, 2014

Dalmas, Keahlian Baru Diplomat 37

Selama ini jamak diketahui bahwa tugas-tugas diplomat terangkum dalam lima hal: representing, negotiating, promoting, protecting, danreporting. Namun, satu lagi tugas yang harus diemban dan membutuhkan “keahlian khusus” kiranya bakal (barangkali) diwajibkan—seiring prioritas perlindungan WNI di visi-misi Kemlu, yaitu tugas pengendalian massa (dalmas).
 
Kalau dulu polisi selalu diandalkan untuk mengendalikan massa, sehingga muncul satuan polisi dalmas, maka di KJRI Jeddah periode Oktober-November 2013 para diplomat mudalah yang tampil terdepan untuk menenangkan massa. Sebenarnya ada 13 personel dari Mabes Polri yang diperbantukan di KJRI Jeddah pada masa-masa itu, tetapi ke-13 korps bhayangkara itu lebih ditekankan untuk mengamankan area kantor KJRI Jeddah dan menjadi “penyusup” (intelijen) di tengah-tengah setiap kerumunan WNI overstayers (WNIO) di Jeddah.
 
Sementara itu, sepuluh diplomat muda yang tengah magang senantiasa berada di garis terdepan menghadapi kerumunan massa. WNIO dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar: (i) yang ingin terus bekerja sehingga mencari majikan lalu membawa majikannya ke KJRI untuk mengurus perjanjian kerja, paspor, dan izin tinggal; serta (ii) yang ingin pulang ke tanah air sebelum masa amnesti berakhir 3 November.
 
Menghadapi para WNIO kelompok kedua lebih “seram” karena kelompok pertama pada umumnya sudah memiliki kepastian masa depan dengan adanya pegangan (majikan) baru, sedangkan kelompok kedua di tengah-tengah kegalauan, antara rindu tanah air dan undocumented. Di sisi lain, birokrasi di Arab Saudi tidak mudah ditembus untuk mempermudah kepulangan para WNIO ini. Jadilah para WNIO ini mudah kalap saat dihadapi dan mereka tidak mendapat apa yang dituntut. Dengan segala cara, WNIO ini merengek-rengek minta dilayani paling awal dan langsung jadi, padahal dia datang belakangan, tak berdokumen lengkap, bahkan dokumen yang ada kadang tidak sesuai jatidirinya.
 
Menyebalkan
Belum lagi adanya calo yang berkeliaran. Biasanya mereka ini paling rajin bertanya. Rasanya bukan untuk mencari kejelasan, melainkan hanya ingin mengganggu fokus kerja kita. Satu orang calo kadang “harus” dilayani 2-3 orang di antara kita, hingga tak terasa siang atau petang sudah menjelang. Kata ajian mereka adalah “seandainya….” Itu karena mereka hendak menanyakan untuk klien-kliennya, yang parahnya kadang dia tidak tahu pasti keadaan kliennya. Yang penting untung berat! Kita pun harus menghadapi dengan ajian pemungkas: saya tidak mau berandai-andai, lakukan sesuai prosedur, kalau ada masalah baru hubungi kami. Tanya-jawab dengan WNIO pun kemudian dibatasi 5 menit tiap orang; karena yang hendak bertanya sungguhan juga seabreg.
 
Selain kelakuan calo berkewarganegaraan nusantara itu, masalah pelik lainnya adalah menghadapi petugas imigrasi Saudi. Karakter mereka yang bossy dan keras kepala sungguh menyebalkan. Kalaupun pimpinan mereka sudah bertekad mempermudah, rupanya petugas-petugas di lapangan ini mau seenaknya sendiri. Pernah suatu malam kita tongkrongi mereka dari magrib (sesuai arahan bos mereka untuk lembur). Dalam 2 jam, mereka berhasil menyelesaikan 10 nomor mauquf. Lambat nian. Namun, jam-jam berikutnya kita akali dengan “mengambil alih” posisi mereka.
 
Berbekal gadget terbaru, pulsa ratusan riyal, laptop, dan (oh no!) “hadiah-hadiah” lainnya, mereka mempersilakan kita mengoperasikan komputer. Hasilnya? Empat jam kita bisa selesaikan 1017 nomor mauquf! Beruntung malam itu tidak ada calo yang datang. Biasanya kalau ada calo, para petugas itu dengan sigap bekerja di depan komputer mengurus klien khusus itu. Konon, calo berani membayar 2000 riyal untuk 1 klien. Terjawablah kenapa petugas itu ogah-ogahan melayani kita yang “hanya” berbekal ID Card consulate general. Itu pula salah satu sebab yang membuat pengurusan nomor mauquf harus mengurus 2-3 minggu, padahal semestinya bisa dikerjakan 1-2 hari (dengan asumsi WNIO menjadi klien terbanyak, di atas negara-negara lain seperti Ethiopia, Bangladesh, Pakistan dll).
 
Mengharukan
Tidak semua WNIO tak punya hati atau hanya mementingkan diri sendiri. Ada juga di antara mereka yang penurut, sadar telah menyalahi aturan, dan penyabar. Bahkan, lebih dari itu, saat-saat mereka tahu kita membutuhkan sesuatu hal, mereka pun membantu. Pernah saat salah seorang peserta magang sendirian mengatur antrean ratusan WNIO di loket biometrik, keadaan berubah kacau karena WN asing overstayers mengacak-acak antrean rapi WNIO. Ada pula beberapa WNIO bandel yang hendak memotong antrean. Berbekal megaphone berbatrei penuh, ia pun berusaha menenangkan keadaan. Beberapa waktu kemudian, 2 orang teman peserta magang datang, ia pun meminta air. Tak dinyana, beberapa WNIO yang tengah mengantre malah langsung mengeluarkan air mineral mereka dan menyodorkannya. Mereka seperti berebut agar air mineral merekalah yang dipilih untuk diambil dan diminum.
 
Hari yang sama, menginjak tengah malam (hari itu bekerja dari Kamis pukul 7 pagi sampai Jumat pukul 3 dinihari, nonstop!), tiba-tiba datang seorang WNIO membawa plastik berisi beberapa kotak jus. “Terima kasih telah membantu kami,” ujarnya. Rupanya ia sudah selesai proses biometrik, pergi keluar dan kembali lagi membawakan jus-jus itu untuk kami. Padahal kami yakin ia sudah ada di wilayah tarheel itu sejak pagi hari dan malam hari baru selesai. Namun, walhamdulillah, dia masih bisa bersyukur dan berbagi dengan kami. Mungkin ia bisa melihat masih ada ratusan lagi yang (juga dari pagi) dengan sabar menunggu antrean biometrik. Semoga dia tidak merepotkan diri; semoga ia termasuk TKI yang tabungannya banyak.
 
Melelahkan
Dua hari terakhir masa amnesti, kami diberi tugas untuk menelpon 1.671 WNIO yang sudah mendaftar exit tapi tak bisa dilanjutkan karena aparat Saudi sudah menutup pelayanannya. Sebagian dengan legowo menerima berita itu dan mau menunggu arahan KJRI berikutnya. Namun, ada pula yang histeris menangis melalui telpon itu, menyatakan sudah rindu berat dengan keluarga di tanah air. Lebih sedih lagi, sebagian di antara mereka mengaku mendengar ajakan untuk berkumpul ke KJRI tanggal 4 November (hari pertama setelah amnesti). Beruntung mereka akhirnya mau mendengarkan penjelasan kami sehingga urung datang. Berbusa-busa mulut kami dibuat menelpon itu. Belum lagi rupanya nomor ponsel kami cepat menyebar di antara WNIO sehingga selain menelpon juga menjawab telpon untuk menjelaskan hal yang sama kepada mereka. Kami memang tidak menggunakan telpon kantor karena keterbatasan waktu sekaligus pesawat telpon.
 
Hanya saja, 1.671 itu rupanya baru sedikit dibanding WNIO yang sudah terdata oleh KJRI. Masih ada ribuan lagi WNIO yang dengan mudah digiring oleh entah siapa untuk berkumpul di bawah jembatan layang jalan Palestina (kubri syari’ filistin). Dengan iming-iming “pulang gratis”, mereka pun dalam sekejap menguasai kubri. Betapa pendek logika mereka: datang ke kubri akan mengantar mereka sampai kampung halaman!
 
Kubri itu berada di tengah kota nan ramai. Nyaris tiap sopir taksi di Jeddah pun tahu, “Orang Indonesia ada apa kumpul di kubri?” Pimpinan KJRI pun mencari solusi mengatasi ini. Bukan apa-apa, melainkan keberadaan mereka menyebabkan jalanan Jeddah semakin macet. Setelah berkoordinasi dengan pihak kepolisian dan imigrasi, aparat Saudi memperbolehkan mereka dibawa ke tarheel (Rudenim) baru di Syumaesi. Ya iyalah, justru awalnya aparat Saudi berjanji akan menangkapi setiap overstayers¸warga negara mana saja, lalu dibawa ke Syumaesi dan dideportasi. Ini artinya WNIO menyerahkan diri dengan berada di kubri itu. Untuk tidak membiarkan WNIO telantar kelamaan dan juga membantu mempermudah aparat Saudi, KJRI menyewa 55 bus untuk mengangkut 3.561 WNIO dari kubri ke Syumaesi. “Dimanjakan” demikian, WNIO di tempat masing-masing pun tak mau kalah. Keesokan harinya, kubri sudah sesak lagi dengan 2.477 WNIO. Butuh 36 bus untuk mengangkut mereka.
 
Mengatur ribuan WNIO itu ke dalam bus juga tak seperti membalik telapak tangan. Nyaris setiap mereka merasa paling berhak masuk bus duluan. Repotnya lagi, bawaan mereka juga koper-koper besar seperti orang pulang haji. Dengan telaten kita pun turut membantu mengangkat tas-tas itu, terutama milik ibu-ibu. Dalam hal ini, insiden kecil sempat terjadi, yaitu saat salah seorang ibu protes, “Tas saya jangan dilempar-lempar begitu dong.” Peserta magang pun menimpali, “Ibu kira kita pelayan hotel?” Bukan apa-apa, waktu kita sempit, tenaga terbatas, dikejar-kejar WNIO yang berdesak-desakan hendak maju duluan. Kalau harus menata tas seperti bellboy hotel, bisa semakin kacau antrean yang ada.
 
Tidak mau membuat WNIO manja lagi, sore hari kedua pun KJRI menugaskan 5 orang peserta magang untuk “menduduki” kubri dari siang hingga sore. Tugasnya adalah memberi tahu setiap WNIO yang datang agar  kembali ke rumah saja. Toh, Syumaesi, seperti penjelasan aparat Saudi, sudah penuh. Memang disiapkan untuk menampung 35.000 orang, tetapi rupanya baru siap untuk 3.000 penghuni. Bukan WNIO kalau tidakngeyel. Mereka pun tak terima dengan penjelasan kami. Ironisnya, sebagian WNIO itu mengira mereka masuk ke dalam bus-bus itu lalu menuju bandara, pulang ke tanah air. Bahkan, salah seorang di antara mereka sempat melempar sebuah batu kecil dan mengenai salah satu peserta magang. Stay cool
 
Hari ketiga, KJRI menyediakan bus di tarheel lama saja, dengan pertimbangan area lebih luas sehingga memudahkan pengaturan dan jauh dari keramaian sehingga tidak mengganggu jalanan dan keseharian penduduk setempat. Berkat “kebiasaan” dalmas mengatur ribuan WNIO itu, hari ketiga pun berjalan lebih lancar. Mengatur 1.283 orang ke dalam 19 bus terasa lebih ringan.
 
Hari berikutnya, peserta magang diperbantukan di tarheel Syumaesi. Tugas utama adalah memonitor perkembangan para WNIO yang ada di rudenim tersebut. Rupanya distribusi konsumsi di rudenim belum terlalu baik. Wajar, mengingat rupanya rudenim tersebut baru siap menampung 3.000 orang, sementara orang Indonesia saja sudah ada 7.321, belum lagi warga negara lain yang juga “berhak” menghuni. Jadilah peserta magang mengangkat makanan, air mineral, dan obat-obatan ke ruang-ruang tahanan.
 
Nah, rupanya sebagian mereka bisa menyelundupkan ponsel ke dalam ruang tahanan itu. Sebagian mereka pun tahu nomor kita. Jadilah (lagi-lagi) kita sebagai pelampiasan. Telpon, sms. “Pak, saya pingin pulang cepet.” “Pak, saya belum makan.” “Pak, saya pingin keluar dan kerja lagi saja.” “Pak, tolong keluarkan kami dari sini.” “Pak, teman saya ponselnya disita.” Kita jelaskan lagi bahwa Syumaesi adalah rudenim, kawasan khusus yang bahkan sebenarnya kita tidak boleh masuk sama sekali. Jadi kalau KJRI bisa memasukkan sebagian makanan, meskipun kurang, ya sebaiknya tetap disyukuri. Beruntung, sepekan berikutnya tidak ada lagi keluhan-keluhan itu. Barangkali pihak rudenim sudah lebih siap menghadapi lebih banyak oversyaters.
 
Memilukan
Bayangan kita atas TKI yang minta dipulangkan adalah terintimidasi, tak bisa berbuat apa-apa, dandanan seadanya, dan wajah memelas. Sifat terakhir memang selalu tampak, entah dibuat-dibuat atau memang asli. Namun, rupanya di antara mereka ada yang berdandan menor. Malah, pernah suatu ketika saat hendak masuk ke dalam pesawat, sesuai aturan adalah tahanan imigrasi tidak boleh membawa tas tentengan. Artinya barang berharga pun harus masuk bagasi, atau dikenakan di badan. Rupanya di antara WNIO itu ada yang membuka kopernya, lalu mengeluarkan beberapa gelang emas. Bergemerincinglah lengannya dengan kilauan-kilaun perhiasan itu. Mungkin ia takut di bagasi tidak terlalu aman.
 
Ada pula yang tiba-tiba pingsan karena tak lolos screening di bandara. Rupanya ia menjadi DPO kriminal. Setelah ditelusuri, dengan lemas ia mengaku pernah dilaporkan majikan karena mencuri. Ia membela diri; bukan mencuri, melainkan melarikan diri karena dilecehkan secara seksual oleh majikan. Lagi-lagi ia pingsan. Kerudungnya pun disingkapkan agar ia mendapat udara lebih banyak. Rupanya telinganya penuh tindik. Saat sadar kembali, ia mengaku beberapa kali diajak mesum majikan. Awalnya, ia dipersilakan menelpon keluarga di tanah air, tetapi harus melalui telpon di kamar pribadi majikan. Di situlah ia digerayangi. Berapa kali itu terjadi? Dengan santai ia mengaku, “Berulang kali….” Loh? Parahnya lagi, seorang laki-laki, lebih muda, awalnya selalu bersamanya, diakui sebagai suaminya, setelah tahu TKW ini tidak mungkin terbang, tiba-tiba ia berjalan begitu saja meninggalkannya. Ia pun pingsan lagi, mengakui bahwa laki-laki itu bukan suaminya.
 
Kisah lebih memilukan didapat dari seorang WN Arab Saudi yang beristrikan seorang Sunda. WN Saudi ini dengan baik hati menjemput kami di penginapan untuk singgah ke rumahnya. Penganan, makanan, dan minuman beragam pun disuguhkan untuk kami. Inilah gambaran WN Saudi yang baik hati. Di tengah menikmati hidangan, ia bercerita mengenai plus-minus keberadaan TKI. Ia mengakui bahwa TKI banyak yang baik, tapi tak sedikit pula yang jahat, atau sekadar kurang beruntung. Ia lalu memperlihatkan beberapa video di youtube tentang kebejatan para TKI. “Kulla yaum disko fil-bait.” Setiap hari menari-nari saja di rumah. Rupanya, ia menengarai bahwa saat majikan tidak di rumah, sebagian TKI mengundang teman-temannya untuk menari-nari dengan gaya dan dandanan sensual. Video lainnya menampilkan TKI yang dengan terkekeh dan secara murah meriah digerayangi WN Bangladesh.
 
Menyarankan
Dengan kondisi demikian komplikatif, keyakinan untuk melindungi para WNIO itu sempat goyah. Namun, sebagaimana pesan-pesan Pak Konjen, kita harus mengedepankan rasa empati dan kemanusiaan. Betapa pun mereka salah, mereka adalah warga negara Indonesia yang berhak mendapat perlindungan. Bukan melindungi kesalahan mereka, melainkan melindungi hak-hak mereka sebagai warga negara. Toh sebagian mereka juga adalah korban trafficking yang bahkan tak tahu batas-batas kewenangan negara. Namun, ke depan harus disiapkan reward and punishment agar tak ada lagi WNIO yang mempermainkan aparat dengan cerita bertele-tele. Mereka yang dengan tulus menceritakan kisah peliknya harus segara ditolong, sementara mereka yang terbukti berbohong bisa mendapatkan penundaan layanan.[]

Radio Dalam, 5 Des 2013