Monday, September 22, 2008

Ulasan Buku: Mutiara Hikmah Doa dan Bacaan Shalat


Judul Asli : Fathul-‘Alîm fî Syarh Ad’iyah wa Adzkârish-Shalâh minat-Takbîr ilat-Taslîm
Penulis : Husain bin Audah al-Awaisyah
Judul Terjemahan : Mutiara Hikmah Doa dan Bacaan Shalat
Penerjemah : Imam Ghazali Masykur, Lc.
Penerbit : Pena Pundi Aksara
Cetakan : Pertama, Desember 2007
Jumlah halaman : xii + 288
Harga : Rp62.000,00

Sebuah hadits yang diriwayatkan Tirmidzi menerangkan bahwa shalat merupakan amal seorang hamba yang bakal ditimbang pertama kali pada hari Kiamat. Artinya, jika shalat seseorang bagus, ia menjadi orang yang sukses di akhirat. Namun, jika shalatnya tidak bagus maka ia pasti merugi. Karena itu, setiap muslim harus betul-betul memerhatikan pelaksanaan shalat agar sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad saw.

Jangan sampai shalat hanya menjadi rutinitas tubuh tanpa makna. Hal itu karena sejatinya shalat tidak hanya mengangkat tangan ketika membaca takbir, mendoyongkan tubuh ketika ruku, atau bersimpuh ketika sujud. Lebih dari itu, salah satu hal paling penting dalam shalat adalah memahami setiap kata yang dilantunkan dalam shalat. Apalagi, rukun-rukun shalat termasuk ibadah yang wajib dilaksanakan dengan perantara bahasa Arab.

Oleh karena itu, jika ingin bisa melaksanakan shalat secara maksimal, mau tidak mau kita dituntut mampu memahami setiap untaian doa dan kata yang harus dibaca ketika shalat. Jika kita dapat melafalkan setiap untaian doa dan bacaan shalat, dari awal takbir hingga akhir salam, tentu akan makin memudahkan kita meraih kekhusyuan shalat. Dengan begitu, shalat bagus seperti disyaratkan dalam hadits di atas akan menjadi hak kita.

Buku ini memberi pencerahan kepada kita tidak hanya mengenai redaksi doa dan bacaan yang bersifat rukun, seperti takbiratul ihram dan surah al-Fâtihah, tetapi doa dan bacaan yang bersifat sunnah pun dibahas secara terperinci. Doa iftitah, misalnya, karena tidak hanya satu redaksi yang diajarkan oleh Nabi saw., dijelaskan satu per satu secara mendetail. Hal itu agar kita dapat memilih salah satunya dan bisa mengamalkannya dengan sepenuh hati—tidak sekadar lisan yang komat-kamit.

Begitu pula dengan kalimat isti’adzah sebelum membaca surah al-Fâtihah, buku ini mengajukan dua redaksi yang sama-sama ma`tsûr dari Nabi saw. Tentu saja, dua redaksi pilihan itu dilengkapi dengan tafsiran per kata untuk memudahkan kita menyelami mutiara hikmah di balik kalimat tersebut. Bacaan surah al-Fâtihah yang merupakan “ruh” shalat tentu menjadi pembahasan penting. Karena itu, tidak mengherankan apabila menjadi pembahasan paling panjang dalam buku ini.

Pembahasan lain tentang ucapan amin, doa ketika rukuk, doa ketika i’tidal, doa ketika sujud dan seterusnya hingga salam juga dikupas secara tuntas. Karena itu, buku ini sangat penting menjadi pegangan setiap muslim demi memperoleh shalat yang sempurna.[]

Kos Cempaka Warna, 21 September 2008

Ulasan Buku: Amalan Hati


Judul Asli : A’mâlul-Qulûb au al-Maqâmât wal-Ahwâl
Penulis : Ibnu Taimiyah
Judul Terjemahan : Amalan Hati; Menjernihkan Jiwa Menyegarkan Amal
Penerjemah : Misbakhul Khair, Lc.
Penerbit : Pena Pundi Aksara
Cetakan : Kedua, 2008
Jumlah halaman : xii + 214
Harga : Rp33.000,00

Buku yang ditulis oleh seorang ulama besar berjuluk Syaikhul Islam ini merupakan salah satu pintu yang dapat dilalui menuju kejernihan batiniah. Batiniah yang jernih—sebagai pangkal segala gerakan lahiriah—merupakan salah satu prasyarat penting diterimanya ibadah seseorang. Hal itu karena suatu kebaikan, misalnya, yang dilakukan oleh seorang muslim pada suatu kesempatan dan dilakukan oleh seorang musyrik pada kesempatan yang lain, terlihat tidak ada bedanya. Namun, sejatinya terjadi perbedaan yang teramat jauh.

Amal seorang muslim dengan amal seorang muslim yang lain pun bisa memiliki perbedaan signifikan jika memang berlatar niat berbeda. Semua itu tidak lain dipisahkan oleh amalan hati. Barang siapa sejak awal dapat menyetir hatinya sesuai dengan perintah syariat, insya Allah tidak akan kesulitan untuk benar-benar menuai manfaat atas setiap gerakan yang dilakukannya. Ibadah dan semua amalnya tidak akan sia-sia jika ia memang mampu menjernihkan batiniahnya.

Syekh Ibnu Taimiyah sendiri sebelum melangkah jauh dalam penulisan buku ini mengungkapkan bahwa amalan hati merupakan bagian dari fondasi keimanan dan tiang agama. Di antara amalan hati yang harus diresapi setiap muslim adalah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, bertawakal dalam setiap ikhtiar, ikhlas menunaikan setiap ajaran agama, bersabar saat menghadapi ujian, takut akan siksa neraka, dan selalu mengharap rahmat dan ampunan-Nya.

Selain bahan-bahan fondasi itu, Syekh Ibnu Taimiyah mengurai tiga tingkatan manusia dilihat dari amalan hatinya; yaitu azh-zhâlim li nafsih alias orang yang berbuat zalim terhadap dirinya sendiri karena gemar melakukan maksiat; al-muqtashid atau orang yang memiliki tujuan, dengan senantiasa melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya; dan as-sâbiq bil-khairât sebagai tingkatan tertinggi yang melebihi tingkatan al-muqtashid karena juga melakukan hal-hal sunnah dan menjauhi hal-hal makruh. Tingkatan al-muqtashid dihuni oleh orang-orang awam, sementara tingkatan tertinggi tentu saja hanya dapat dilakukan oleh orang-orang khusus yang mampu mengendalikan hatinya sedemikian rupa.

Jika ingin mencapai tingkatan terbaik tersebut, tentu kita harus menapaki jalannya tangga demi tangga; bersabar dan selalu berusaha keras. Beruntung bagi kita karena Syekh Ibnu Taimiyah, melalui buku ini, telah memberikan petunjuk mana tangga-tangga yang harus kita lewati satu per satu. Di samping itu, buku ini menjelaskan trik-trik untuk menjauhi hal-hal yang patut kita waspadai, seperti bid’ah, mengikuti hawa nafsu, dan beberapa hal terkait akidah—terutama paham panteisme.

Jangan sampai hanya karena salah niat—terlihat remeh, padahal prasyarat paling penting—kemudian setetes keringat yang keluar dari gerakan kebaikan kita menjadi tidak memiliki arti sama sekali. Karena itu, adanya buku karya Syekh Ibnu Taimiyah ini dapat melempangkan jalan kita agar lebih menyadari arti pentingnya dasar segala ibadah, yakni amalan hati.[]

Kos Cempaka Warna, 21 September 2008

Tentang “Ketika Cinta Bertasbih” (1)


Buku ini mengetengahkan dua tokoh utama, yaitu Azzam dan Anna. Azzam adalah sosok mahasiswa Al-Azhar Cairo yang berkarakter dan ulet. Latar belakang keluarganya yang hidup sederhana membuatnya mampu tabah dan tahan banting menghadapi setiap badai yang menerpa perjalanan hidupnya. Adapun Anna adalah sosok ideal seorang muslimah idaman setiap laki-laki. Lahir dari keluarga kiai nan terpandang, rajin belajar, bergelimang prestasi akademik, cantik, dan serba berkecukupan.

Sehari-hari Azzam membuat tahu, tempe, dan bakso, sementara kuliahnya terbengkalai. Hal ini terjadi karena baru satu tahun menginjakkan kakinya di negeri para nabi, ayah Azzam meninggal dunia. Padahal, ia masih memiliki tiga adik perempuan (si bungsu malah belum lahir ketika dia terbang), sedangkan ibunya hanyalah ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan tetap. Jadilah Azzam tulang punggung keluarga, sekaligus mahasiswa yang harus lulus kuliah. Akan tetapi, prinsipnya kuat: tidak akan “meluluskan diri” sebelum adik-adiknya sukses.

Cerita dimulai ketika Azzam mendapatkan proyek dari KBRI, dalam hal ini diwakili Eliana, putri Pak Dubes nan cantik lulusan Perancis. Ia diminta menyiapkan masakan khas Indonesia dalam sebuah pameran di Alexandria. Cukup besar honornya, malah pada malam terakhir ia nyaris mendapat hadiah french kiss dari Eliana jika tidak ia tolak mentah-mentah. Esok paginya, Pak Ali, sopir Pak Dubes, memberi tahu Azzam bahwa ada seorang gadis cantik, salehah, sedang menyelesaikan S2, kiranya cocok untuk Azzam.

Sepulang dari Alexandria, Azzam pun langsung menjalankan saran Pak Ali; melamar gadis dimaksud kepada Ustadz Mujab yang tidak lain adalah sepupu gadis itu. Sayang sekali, ternyata ia sudah disalip Furqan, teman satu pesawat Azzam ketika berangkat ke Cairo delapan setengah tahun lalu. Sementara itu, Furqan adalah aktivis mahasiswa, mantan Ketua PPMI, anak orang kaya, dan kuliahnya lancar, malah tinggal menunggu waktu sidang tesis magister di Cairo University—berbeda 180 derajat dibandingkan Azzam.

Ketika bahan baku membuat tahu, tempe, dan bakso habis, Azzam harus belanja ke pasar Sayyeda Zaenab. Karena sendirian, Azzam “terpaksa” naik taksi karena tidak kuat membawa barang belanjaan; tentu setelah melalui perhitungan untung-rugi yang matang. Baru beberapa saat di dalam taksi, Azzam melihat dua gadis berwajah Melayu menangis di pinggir jalan. Yakin keduanya orang Indonesia karena sempat naik satu bus saat berangkat tadi, Azzam menyapa. Gadis berjilbab biru menceritakan bahwa temannya kecopetan dan mereka langsung mengejar pencopet hingga tidak sadar bahwa mereka tidak membawa uang sama sekali.

Azzam pun menawarkan pulang bersama, sekaligus mengejar bus yang masih membawa belanjaan kitab gadis berjilbab biru. Beruntung, di dekat Masjid Nuri Khithab, samping kampus Al-Azhar putri, bus yang dimaksud terlihat. Azzam bergegas mencegat di halte depan dan masuk melalui pintu depan bus, sementara si gadis melihat kitab-kitabnya di dekat pintu belakang. Alhamdulillah, masih lengkap! Dua halte berikutnya, dua gadis sampai dan turun dari taksi. Sebelum melanjutkan perjalanan, Azzam mendapatkan ucapan terima kasih dan mengaku bernama Abdullah; nama kecilnya. Sesampai di apartemennya, gadis berjilbab biru tidak bisa melupakan sang pahlawan, dan tanpa disadari “menyingkirkan” bayangan seorang pengkhitbahnya.

Setelah sembilan tahun merantau, pahit manis kisah telah dilalui, Azzam sukses meraih gelar sarjana dari Al-Azhar. Ia pun berencana pulang, tentu setelah mengetahui adik-adiknya cukup bisa mandiri dan ia sendiri merasa cukup bekal modal usaha. Berbarengan dengan itu, Husna, adiknya yang psikolog dan sudah menjadi dosen di UNS, mendapatkan undangan ke Jakarta untuk menerima penghargaan karya sastra terbaik tingkat nasional. Di Cengkareng, Husna pun menjadi orang pertama yang dapat memeluk sang kakak setelah sekian lama berpisah.

Dua hari bersama sang adik di Jakarta, Azzam menuju pelukan ibunda di Solo dengan menaiki Fortuner milik Eliana. Kebetulan, Eliana hendak melihat-lihat lokasi syuting yang tak jauh dari kampung Azzam. Sebelumnya, kebetulan juga Azzam satu pesawat dengan Eliana dalam penerbangan Cairo—Jakarta, sebagaimana kebetulan pula Elianalah yang menjadi MC acara anugerah karya sastra yang dihadiri Husna. Di pelukan sang ibunda dan Lia, adiknya yang kedua, Azzam menangis haru menjejakkan kaki di rumahnya lagi. Eliana pun tak kuasa menahan butiran-butian meleleh di pipi melihat itu.

Di rumah, Azzam sempat kebingungan dengan kegiatannya. “Hanya” mengisi pengajian dan ikut mengajar di pesantren milik Kiai Luthfi di kampung sebelah rasanya kurang “sibuk”. Karenanya, Azzam memutar otak untuk menghindari gunjingan warga yang merasa aneh dengan pengangguran sang jebolan luar negeri. Ia pun mendirikan gerai “bakso cinta” di pusat kota. Beruntung, bakso khasnya—tidak bulat, tetapi berbentuk lambang cinta—digandrungi masyarakat. Ia pun mengangkat karyawan dan mampu membeli sebuah mobil Carry, meski second.

Setelah mapan, ia berpikir untuk berkeluarga, apalagi sang ibunda juga sudah sangat ingin menimang cucu. Husna menyodorkan teman kuliahnya bernama Rina, sementara Lia menawarkan Tiara yang sempat mereka temui di Pasar Klewer, tetapi sang ibunda menolak keduanya. Ketika Husna menjembatani ta’aruf dengan Mila, adik dari suami rekan kerjanya di radio, giliran calon ibu mertua yang tidak sreg. Azzam pun mencari sendiri tulang rusuknya dengan mendatangi seorang pengusaha sukses yang sempat memberinya kartu nama saat mereka bertemu di kediaman Kiai Luthfi. Namun, ternyata sudah terlambat; Afifa anak tunggal pengusaha itu telah menikah. Azzam sempat menyesal karena kurang sigap menyikapi tawaran itu sebelumnya.

Sejak kecil dididik tahan banting, Azzam maju terus pantang mundur. Tahu ada seseorang membutuhkan menantu dan akan menghajikan seluruh keluarga calon menantu, Azzam pun menawarkan diri. Naas, ternyata calon pengantin perempuannya mengalami keterbelakangan mental. Azzam pun pamit. Usaha berikutnya, ia mengenal keluarga Seila dan secepatnya melamar kepada ayah Seila. Hanya saja, Seila merasa tidak ada perasaan apa pun, selain karena masih ingin meneruskan menghafal Al-Qur`an.

Usaha ke delapan mulai menemukan titik terang. Sambil menjenguk si bungsu yang nyantri di Kudus, Azzam diperkenalkan dengan Vivi, seorang dokter muda. Mereka pun langsung saling jatuh cinta. Kedua keluarga juga setuju, bahkan ibunda Azzam yang memilihkan cincin untuk disematkan di jari Vivi pada acara lamaran, sepekan berikutnya. Akad nikah disepakati diselenggarakan pada bulan berikutnya di Kudus, sementara resepsi pernikahan di Solo akan dibarengkan dengan Husna yang juga telah mendapat calon suami yang tak lain rekan mengajar Azzam di pesantren Kiai Luthfi.

Suatu pagi menjelang akad nikah, sang ibunda teringat bahwa belum ada orang yang diminta menyampaikan khotbah nikah. Kiai Luthfi pun langsung terlintas di benak Azzam dan ibundanya. Mereka berdua bergegas menuju kediaman Kiai Luthfi meski hujan mengguyur deras dan Carry Azzam masih dipinjam tetangga. Mereka mengendarai sepeda motor tua milik Husna. Sayangnya, Kiai Luthfi menolak karena merasa tidak pantas, apalagi pernikahan putri kebanggaannya—dalam proses menulis tesis di program magister Universitas Al-Azhar—baru saja melewati perceraian. Ibunda Azzam pun meminta saran kiranya siapa yang pantas mengisi khotbah nikah.

Kiai Luthfi menyebut nama sekaligus menawarkan biar putrinya yang mengantar karena hujan makin deras. Ibunda Azzam menolak dengan halus lalu pamitan. Sepeda motor tua pun melaju di tengah guyuran hujan membelah jalan raya Solo—Jogja. Namun, sebuah bus ugal-ugalan menyenggol motor itu dan membuat Azzam dan ibundanya terpelanting beberapa meter. Di rumah sakit, Azzam divonis patah tulang dan gegar otak ringan, sementara sang ibunda menemui panggilan Ilahi.

Duka menyelimuti keluarga Azzam. Atas cacat yang dideritanya, Azzam merasa tidak pantas menikah saat itu, sehingga pernikahannya harus ditunda. Ia pun meminta Vivi tidak harus menunggu dirinya untuk menikah karena butuh lebih dari sepuluh bulan bagi Azzam untuk sembuh total. Beruntung ada Husna—yang turut menunda pernikahannya—dan Lia yang sangat telaten mengurus kakaknya yang tergolek tak berdaya selama sepuluh bulan.

Badai lain lalu menerjang; usaha baksonya nyaris tutup karena dicap memakai formalin dan daging tikus. Azzam menengok gerainya sambil berjalan tertatih menggunakan krek. Ia lalu berinisiatif meminta sertifikasi halal dari MUI dan keterangan kandungan bakso dari Depkes. Setelah itu, bakso cinta kembali dipromosikan ke seantero Solo. Tidak butuh waktu lama untuk bangkit lagi, bahkan terus berkembang hingga membuka cabang di beberapa kota lain. Bersamaan dengan itu, ujian lain hadir; Vivi menikah dengan orang lain karena didesak orang tuanya yang tidak mau terlalu lama menunggu. Meski mengaku cintanya masih untuk Azzam, Vivi terpaksa mengembalikan cincin.

Azzam curhat pada adiknya yang kemudian menguatkan hatinya dengan mengulang kata-kata yang Azzam ucapkan ketika tergolek lemas di depan Vivi dahulu. Husna mengusulkan nama Eliana, apalagi saat menjenguk beberapa waktu yang lalu artis itu mengaku jatuh hati pada Azzam. Azzam berpikir keras, tetapi hatinya lebih cenderung menolak sosok yang wajahnya setiap hari bisa dinikmati oleh jutaan penggemar. Husna akhirnya mendorong sang kakak untuk meminta Kiai Luthfi memilihkan salah satu santri pondok, barangkali ada yang cocok untuk Azzam.

Azzam sore itu juga bergegas ke kediaman Kiai Luthfi. Dengan pasrah Azzam menyerahkan cincin yang dibeli ibundanya kepada Kiai Luthfi. Tak dinyana, ternyata Kiai Luthfi justru ingin memakaikan cincin itu pada anaknya, si janda kembang, Anna Althafunnisa. Azzam pun sempat tersentak, sebelum bisa menguasai diri kemudian menangis haru. Petang itu juga, setelah shalat maghrib, Azzam dinikahkan dengan orang yang pertama dilamarnya dahulu atas saran Pak Ali. Sementara itu, Anna bangun dari mimpinya, untuk membangun kehidupan bersama sang pahlawan yang dahulu pernah menolongnya ketika temannya kecopetan.[]

Kos Cempaka Warna, 21 September 2008

Monday, September 08, 2008

Buku Baru: Candu Shalat


Judul asli : Awwalu Marratin Ushallî; Wa Kâna lish-Shalâti Tha'mun Âkhar (Al-Rayah, Cairo)
Penulis : Dr. Khalid Abu Syadi
Judul terjemahan : Candu Shalat
Penerbit : Pena Pundi Aksara
Cetakan : Pertama, 2007
Jumlah halaman : 135 halaman
Harga : Rp. 25.000,-

Shalat merupakan hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya. Tidak ada yang bisa memberi penilaian atas shalat seseorang kecuali Allah swt. Karena itu, ketika shalat, setiap muslim harus dapat menata jiwa dan raganya semata-mata hanya untuk menghadap Sang Penilai. Hal inilah salah satu pokok yang dicermati oleh Dr. Khalid Abu Syadi. Berangkat dari titik poin ini, Dr. Khalid lalu menyusun buku yang menjelaskan langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam menjalankan ibadah shalat.

Karena penulis lain sudah banyak yang menyusun buku panduan praktis pelaksanaan shalat, Dr. Khalid kemudian melengkapinya dengan buku tentang cara mencapai shalat khusyu. Tentu saja tidak hanya khusyu dalam arti upaya menjadikan shalat mudah diterima oleh Allah. Lebih dari itu, Dr. Khalid ingin menanamkan kepada setiap muslim sebuah pemahaman bahwa shalat sebenarnya juga merupakan kebutuhan manusia. Tidak hanya dalam rangka meraih kehidupan akhirat yang bahagia, tapi juga dalam rangka meraih kenikmatan di dunia.

Untuk meraih tujuan di atas, diperlukan trik-trik khusus. Buku ini di antaranya mencantumkan sebelas langkah yang seharusnya diperhatikan setiap orang yang menjalankan shalat. Di antara hal yang terkadang terlupakan adalah bahwa shalat seharusnya tidak dikerjakan dengan terburu-buru. Dr. Khalid menegaskan bahwa sulit bagi kita bisa memperoleh nilai maksimal shalat jika tidak memberikan proporsi waktu yang cukup. Karena itu, shalat harus dilaksanakan dengan tenang dan membuang jauh-jauh perasaan ingin segera menyelesaikannya.

Akan tetapi, berkaitan dengan hal ini, Dr. Khalid juga memberikan pemerincian lain, yaitu hukum pelaksanaan shalat dengan bacaan-bacaan panjang sehingga membuat shalat lebih lama. Dalam hal ini, jika seseorang shalat dan ditunjuk menjadi imam jamaah maka sebaiknya membaca bacaan yang pendek saja, kecuali jika ia telah mengetahui bahwa seluruh makmumnya ridha dengan shalat-shalat panjang. Hal ini untuk menghindari kekurangikhlasan makmum yang shalat di belakang imam. Sebaliknya, ketika shalat sendirian (munfarid), dibebaskan dan disunnahkan untuk memperlama tiap-tiap rakaatnya.

Masih banyak lagi trik-trik yang dibeberkan oleh Dr. Khalid dalam bukunya yang sangat penting bagi pelaku shalat ini. Apalagi, bahasa yang digunakan Dr. Khalid sangat mudah dicerna sehingga buku ini benar-benar ditujukan untuk seluruh kalangan. Bagi yang sudah mengetahui atau akan mempelajari panduan praktis shalat, buku ini sangat penting dimiliki. Hal ini agar shalat yang memang menjadi kewajiban muslim sehari-hari benar-benar bisa diupayakan untuk dilaksanakan sesempurna mungkin.[]

Friday, September 05, 2008

Buku Baru: Ensiklopedia Doa dan Zikir


Judul Asli: Mausû’atud-Du’â` wal-Adzkâr (Dar Ayah, Beirut dan Darul Mahabbah, Damaskus)
Penulis: Abdurrahim Mardini
Judul Terjemahan: Ensiklopedia Doa dan Zikir
Penerbit: Pena Pundi Aksara
Cetakan: Pertama, Agustus 2008
Halaman: 386 halaman
Harga: Rp. 90.000,-


Doa adalah salah satu jenis ibadah yang telah dilaksanakan sejak zaman dahulu. Orang-orang pada zaman jahiliah pun turut melakukan ritual doa, meski mereka melaksanakannya tidak dalam jalan yang benar, karena mereka berdoa memohon pertolongan kepada berhala dan bebatuan.

Agama-agama samawi sebelum Islam, juga telah mengenal adanya doa. Nabi-nabi yang membawa ajaran agama samawi ini mengajari umatnya untuk berdoa kepada sang penguasa alam semesta, Allah swt. Hal ini karena memang sejak diciptakannya Adam, hakikatnya hanya ada satu ajaran, yaitu seluruh umat manusia di mana pun dan kapan pun berada diperintahkan untuk menyembah Allah serta memohon segala sesuatu kepada-Nya.

Dalam kitab yang terbagi dalam 12 bab ini, Abdurrahim Mardini mengumpulkan lafazh doa dan zikir yang sebelumnya telah diamalkan oleh Rasulullah saw., para sahabat dan tabi’in. Beberapa bagian kitab ini juga memuat berbagai lafazh doa atau zikir yang dilantunkan oleh para nabi dan salafus saleh sebelum Nabi saw.

Demi menunjukkan Islam sebagai agama yang sempurna, Abdullah Mardini menulis hampir semua doa yang sebaiknya dibaca oleh setiap muslim dalam setiap geraknya. Mulai dari bangun tidur, wudhu, shalat, aktivitas sehari-hari hingga akan tidur lagi. Doa dan zikir tertentu berkaitan dengan kondisi khusus juga termuat dalam kitab ini. Misalnya ketika suatu daerah terkena bencana kekeringan, atau ketika terjadi gerhana bulan atau matahari, semua memiliki doa dan zikir khusus yang sebelumnya sudah terbukti dikabulkan oleh Allah swt.[]