Monday, December 26, 2011

Kisah Shalat Istikharah (1)

Kapan pertama kali mendengar tentang shalat istikharah? Saya sebenarnya sudah sejak kecil mendengar istilah istikharah. Istikharah, yang secara etimologi bisa diterjemahkan sebagai “ingin memilih”, pertama kali saya praktikkan pada tahun 2001. Saat itu awal berada di Mesir. Kisahnya berkaitan dengan cinta pertama, yang diawali cinta monyet tetapi kemudian berkembang menjadi cinta beneran. Buktinya, bertahan dari kelas 2 MTs sampai tahun ketiga duduk di bangku kuliah. Kalau dihitung-hitung rentang waktunya mencapai hampir 8 tahun—meski sempat terputus sekitar setahun di 2001 itu.

Nah, setelah putus menuju pertautan kembali itulah saya pertama kali melaksanakan shalat istikharah. Awalnya seperti begitu mudah saling mengucapkan “ai lev yu”, tetapi rupanya kali ini harus diucapkan dalam status mahasiswa, tentu harus disikapi lebih dewasa. Si dia pun menanyakan keseriusan saya. Nah loh, saya sempat dag-dig-dug-der-daia lah atas pertanyaan itu. Karena itulah, tanpa tanya sama ortu, saya coba mengambil keputusan sendiri (don’t try this ya!).

Sebenarnya hati sudah bulat untuk menjawab “ya, serius!” namun coba ah istikharah dulu. Saya sendiri bingung bagaimana sih istikharah itu. Bodohnya, saya tidak coba membuka buku-buku yang ada untuk mencari tahu tentang shalat istikharah. Akhirnya berdasarkan ingatan saja, dan ingatan itu pun sama sekali tidak mutawatir alias dari dengar-dengar-mencuri-dengar.

Saat itu setahu saya shalat istikharah ya setelah selesai shalat dua rakaat lalu buka mushaf Al-Qur`an sekenanya dan lihatlah isi kandungan ayat yang secara acak dipilih itu. Konon, dari ayat itulah bisa “diterawang” kira-kira pilihan kita itu ke depannya bagaimana. Kebetulan juga saat itu yang terbuka adalah ayat tentang surga. Wah, pilihan tepat nih untuk mengiyakan, pikir saya waktu itu. Duh, benar-benar pengetahuan konyol saat itu.

Akhirnya dengan yakinnya menjawab anggukan. Sekali lagi saya tegaskan: tanpa meminta pendapat ortu. Sengaja saya tegaskan seperti itu karena rupanya ending-nya tidak seperti surga. Kelak, kami tetap harus berpisah jua. Jadi, bagaimana pun juga saya sarankan orang tua tetap harus diutamakan untuk dimintai pendapat soal masa depan. Dapat saya simpulkan bahwa istikharah saya ketika itu memang tidak bisa ditiru karena tidak melalui dasar rujukan yang tepat. Kalau memang benar ada tata cara istikharah seperti itu, maka dapatkanlah dari guru atau buku yang tepat, tidak sekadar dengar-dengar saja tanpa dasar yang bisa dipertanggungjawabkan.

Sekian lama kemudian saya tidak bersentuhan lagi dengan istikharah. Sampai pulang ke Indonesia dan bekerja di penerbitan di Jakarta. Sebagai penyunting bahasa, kebetulan salah satu buku yang harus saya sunting memuat tentang tata cara shalat istikharah. Karena menyunting buku itu membacanya berkali-kali maka tata cara shalat istikharah itu rupanya benar-benar merasuk ke dalam lubuk hati saya yang paling dalam, cieeeee….

Untuk “uji coba” kebenaran tata cara shalat istikharah yang saya dapatkan dari menyunting buku itu, kebetulan saat itu saya merasa melihat seorang bakal calon pendamping hidup. Bismillah, saya melaksanakan shalat istikharah. Sesuai dengan tuntunan dalam buku itu, saya melaksanakan shalat dua rakaat, lalu membaca doa yang ma’tsur dari Rasulullah saw. Setelah itu, biarlah Allah yang menunjukkan jalan terbaik. Beberapa saat kemudian, entah kenapa tiba-tiba ada orang yang tanpa pendahuluan basa-basi apa pun, kok mengatakan kekurangan alias kelemahan yang melekat pada diri si dia yang kiranya tidak baik buat saya. Hmm, ini mungkin petunjuk dari-Nya.

Istikharah berikutnya berkaitan dengan pekerjaan. Selepas dari penerbit di Jakarta itu, saya pulkam. Di tengah pulkam, rupanya ada telpon dari nomor yang tidak saya ketahui. Yang saya tahu hanyalah 021, artinya dari Jakarta. Sayang, telpon tersebut hanya jadi missed call karena saya tidak mendengar deringnya. Kemudian saya ketahui dari seorang teman bahwa itu rupanya dari sebuah penerbit lain di Jakarta yang levelnya di atas penerbit yang pernah saya bela. Dia mengatakan begitu karena ternyata pemimpin redaksinya sempat meminta nomor hp saya kepadanya.

Saya pun bimbang. Niat hati pulkam memang rencananya untuk mengabdi pada wong ndeso sajalah. Namun, ini ada tawaran dengan prospek begitu cerah untuk masa depan, belum lagi pendapatan yang kiranya jauh di atas penerbit sebelumnya. Karena ragu-ragu, saya pun meminta orang tua untuk mengistikharahkan. Berbeda dengan tata cara yang saya pelajari, menurut ortu, petunjuknya adalah sebuah ayat yang kandungannya kira-kira “rezeki bisa datang dari mana saja”. Tanpa pikir panjang, saya berkesimpulan bahwa berarti di Jakarta pun kalau ada rezeki ya harus saya jemput.

Segeralah saya ke Jakarta. Setelah ngobrol—bukan interview—dengan Pemrednya, saya diberi pekerjaan untuk mengedit sebuah naskah. Konon, pekerjaan freelance itulah yang menjadi tolok ukur layak-tidaknya saya ditarik ke penerbit tersebut. Singkat cerita, karena kemudian laptop mengalami kerusakan cukup serius hingga perlu diperbaiki berkali-kali, saya harus menyerah pada tugas itu. Tidak bisa memenuhi tenggat waktu yang telah ditentukan. Buyarlah harapan saya untuk bisa eksis di penerbit bonafid. Saya pun masih berpusing-pusing memikirkan hasil istikharah ortu dengan ending-nya yang seperti ini…. Kok bisa seperti ini ya?

Sebenarnya, pada saat yang hampir bersamaan, saya juga tengah mengajukan lamaran beasiswa S2 di UGM. Sebelum mendaftar beasiswa ini, saya pun mengamalkan istikharah sesuai ilmu yang saya dapat. Hanya saja, sepertinya tidak ada tanda-tanda positif mengenai kabar beasiswa. Saat itu saya berpikir mungkin yang terbaik buat saya memang tidak kuliah di UGM. Saya benar-benar menikmati tawakal setelah istikharah-usaha-doa seperti itu.

Yang datang kemudian justru kabar bahwa sebuah SMA di dekat kampung saya membutuhkan guru bahasa Arab. Setelah istikharah, saya pun mencoba mengajukan lamaran. Beberapa hari kemudian, saya diminta menghadiri rapat guru di SMA itu untuk bersiap mengajar. Inilah yang terbaik buat saya. Jawabannya begitu cepat.

Alhamdulillah, mungkin ini jawaban dari dua istikharah saya sekaligus. Mendaftar beasiswa tidak diluluskan dan jalan yang harus saya tempuh adalah mulai mengabdi di kampung halaman. Tidak perlu saya sebutkan berapa materi yang saya dapat dari tugas mengajar. Betapa nikmatnya, saat itu saya sepenuhnya percaya bahwa rezeki itu datang dari Allah, sehingga hanya bisa bersyukur saat mendapat honor, itu pun sebagian saya serahkan kepada ibu saya. Menjadi guru di kampung halaman, saya sadar bahwa itu adalah bentuk pengabdian, bukan bentuk mencari nafkah. Toh, insya Allah saya bisa mencari nafkah dengan menjadi penerjemah atau editor lepas, pikir saya saat itu—dan alhamdulillah memang begitu kenyataannya.

Namun, tak disangka tak dinyana, belum genap dua bulan mengajar di SMA, saya mendapat informasi bahwa aplikasi beasiswa saya di UGM diterima. Ya, tahun itu rupanya pengumuman penerimaan mahasiswa dengan beasiswa tertunda sekitar satu bulan. Saya pun segera menghadap kepada kepala sekolah. Dengan begitu pengertian dan tanpa keberatan sedikit pun, kepala sekolah sangat mendukung dan bahkan mendorong langkah saya untuk segera daftar ulang di UGM. Bagaimana dengan pelajaran bahasa Arab yang saya ampu? Nanti mudah dicarikan penggantinya, begitu jawab kepala sekolah. Saya tawarkan untuk tetap mengajar tiap Jumat-Sabtu pun tidak diperkenankan. Katanya kasihan saya kalau harus bolak-balik ke Jogja tiap pekan.

Setelah benar-benar kuliah dengan beasiswa, saya benar-benar merasa betapa besar manfaat yang saya dapat dari shalat istikharah. Hati ini benar-benar dengan mudah menerima apa pun jalan yang harus dilalui, meski itu tidak sesuai dengan harapan semula. Saya pun jadi merasa seperti menemukan jawaban dari istikharah-istikharah yang saya lakukan sebelumnya. Termasuk hasil istikharah ortu soal “rezeki bisa datang dari mana saja”, rupanya saya salah kira di awalnya itu, karena setelah saya perhatikan lagi, rupanya memang rezeki itu bisa dari mana saja, tidak harus dari penerbit bonafid seperti harapan semula.[]

Kampung Sawah, 27 Desember 2011-Wonoyoso, 29 Januari 2012

Thursday, November 24, 2011

melawan korupsi itu fardhu ain

tahun 2009, pada pemilu legislatif, para calon wakil rakyat mengeluarkan begitu banyak uang untuk mendapatkan suara rakyat sebanyak-banyaknya. mulai sekadar pasang pamflet, membayar tim kampanye, hingga mungkin banyak yang memberikan iming-iming uang untuk menarik massa sebanyak-banyaknya supaya memilihnya.

setelah jadi, maka jangan heran kalau ia ingin uang sejumlah besar yang sudah ia keluarkan saat masa kampanye segera kembali ke kantong. bahkan, kalau perlu, uang yang didapatkan harus melebihi uang yang dikeluarkan.

jika kita mau datang ke akar rumput, akan kita temukan banyak masyarakat membutuhkan bantuan. seperti modal kerja, biaya kesehatan, sarana dan prasarana pendidikan. sekian banyak peluang bantuan yang mungkin didapatkan masyarakat, tetapi rata-rata harus melalui beberapa pintu. runyam, karena melewati pintu-pintu tidak gratis.

jika dihubungkan dengan kasus pileg 2009 itu, rupanya banyak masyarakat yang harus melalui pintu legislator untuk mendapatkan bantuan. nah, di sinilah salah satu peluang si caleg terpilih untuk mengembalikan modal yang dahulu dikeluarkannya pada 2009. baik, akan saya usahakan bantuan untuk bapak, tapi nanti jangan lupakan saya ya, sekian persen dari total bantuan untuk saya. begitu kira-kira setiap kali masyarakat hendak "mengemis" bantuan.

konon, bahkan pembagiannya ada yang sampai 70% untuk legislator makelar dan hanya 30% untuk penerima bantuan. jika tidak bersedia merelakan persenan itu, jangan harap ada bantuan mengalir. mending saya usahakan untuk orang/yayasan/lembaga lain yang mau membaginya dengan saya. begitu kiranya si legislator makelar berpikir. dengan begitu, masyarakat jadi tidak punya pilihan lain.

jika mau bersikap otokritik, tentunya masyakarat juga tidak bisa langsung menyalahkan legislator--ataupun pejabat eksekutif--semacam ini. toh, itu semua hulunya sebagian menyangkut di masyarakat. misalnya, masyarakat yang mau menerima uang suap saat pileg itu. saat mau ditawari uang sogokan untuk memilih caleg, biasanya memang tak butuh waktu apalagi pemikiran panjang untuk menerimanya. asyik, dapat angpau! begitu kira-kira teriak dalam hati para pemilih. padahal, hal ini bisa berakibat fatal di kemudian hari.

ok, si penerima sogokan--bahkan meskipun akhirnya ia tidak memilih si pemberi sogokan itu--barangkali tidak merasakan apa pun di masa mendatang. misalnya karena ia memang tidak pernah butuh bantuan pemerintah atau memang tidak pernah mau berurusan dengan para pemegang kekuasaan negara. namun, sungguh hal itu dapat menyulitkan orang-orang yang seharusnya menjadi tanggungan pemerintah.

jika anda tidak percaya, silakan datang ke sepuluh lembaga pendidikan, terutama swasta, lebih terutama lagi yang biasanya mengandalkan uluran bantuan pemerintah--bukan lembaga swasta yang menarik pungutan luar biasa besar pada siswanya. saya hampir pasti bisa menjamin bahwa paling tidak separuh dari sepuluh lembaga pendidikan itu pernah mengeluarkan sekian persen bantuan yang diterimanya untuk "broker", entah dari eksekutif, entah dari legislatif, entah sudah melalui berapa tangan dari kedua lembaga itu.

sekali lagi, rasanya memang tak perlu terlalu menyalahkan para "broker" itu. mari perbaiki diri sendiri dengan tidak mau menerima sogokan dalam bentuk apa pun saat pemilu, baik pemilu nasional maupun pemilu daerah. itulah salah satu kekuatan kita untuk melawan korupsi. mungkin banyak cara lain untuk melawan korupsi, tetapi itulah kiranya salah satu fardhu ain yang menjadi kewajiban setiap masyarakat indonesia.

kampung sawah, 24 november 2011

Monday, October 31, 2011

Resmi M.A.!


Alhamdulillah bisa mengikuti Wisuda Pascasarjana Periode I Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 26 Oktober 2011. Sesuai ijazah yang diterimakan saat itu, "...sehingga kepadanya diberikan gelar Master of Arts (M.A.)...."


Semoga berkah.

Tersono, 31 Oktober 2011

Saturday, September 24, 2011

Kisah Pemburu Tanda Tangan

Kamis pagi-pagi mau bangun rasanya malas sekali. Mungkin masih merasakan capai setelah “roadshow” Jogja-Solo-Pekalongan-Jakarta-Jogja kurang dari lima hari. Sampai Jogja lagi Rabu pukul 03.00, paginya langsung ke perpustakaan kampus. Pantas saja malam Kamisnya tidur nyaris semalaman penuh. Bahkan, Kamis pagi terasa masih malas untuk bangun.

Namun, apa mau dikata, deadline pengumpulan syarat-syarat wisuda sudah semakin dekat, kurang dari sepekan. Padahal, masih sangat banyak yang belum dipersiapkan dengan fix: revisi tesis, pengesahan oleh para penguji dan pejabat berwenang, summary berbahasa Inggris, naskah publikasi, bahkan juga pas foto! Belum lagi urusan penjilidan tesis yang konon mengantri karena banyaknya mahasiswa yang juga mengejar wisuda 26 Oktober 2011 ini. Juga pembuatan file pdf dilengkapi bookmarks sekaligus burning CD tesis untuk diserahkan ke perpustakaan.

Di antara langkah-langkah yang harus diselesaikan itu, yang paling dianggap momok rupanya bukan revisi tesis—seperti yang ditakuti selama ini. Rupanya masih ada yang lebih layak “ditakuti”: meminta tanda tangan para penguji. Di antara empat penguji, memang ada seorang penguji yang selama ini dikenal ketat untuk sekadar memberikan tanda tangan. Konon, beliau tidak mau memberi tanda tangan jika tesis belum benar-benar berkualitas. Seorang dosen berkarakter demikian memang sudah seharusnya dimiliki universitas sekelas UGM. Mari memberikan applaus untuk beliau. Orang seperti beliau inilah yang dapat dengan ketat menjaga kualitas lulusan UGM. Namun, bagi mahasiswa seperti saya, kiranya janganlah semua dosen seperti beliau. Bisa-bisa, saya tidak akan bisa lulus.

Selain satu penguji superketat ini, tentu saja memburu tiga penguji lain dalam waktu mepet juga bukanlah sesuatu yang baik. Ya, apalagi Kamis pagi masih malas bangun, sementara tesis belum juga dicetak! Akhirnya bisa bangun meski agak siang, lalu ke Dongkelan, markas teman-teman sejurusan. Di sana melihat seorang teman yang masih tahap mencetak tesisnya. Kertas berserakan di mana-mana untuk ditata, melihat hal itu, mata rasanya berputar-putar tidak keruan. Makin pusing saja! Beberapa teman yang lain menyemangati agar saya juga langsung mencetak tesis di tempat yang sama. Namun, rasanya makin pusing.

Ah, pulang sajalah; cetak tesis di rumah! Teman-teman sepertinya meragukan, khawatir kalau saya pulang malah keasyikan online dan melupakan urusan tesis. Tidak! Saya akan langsung mencetak tesis di rumah. Benar, sampai di rumah, saya langsung nyatakan tesis siap cetak! Padahal, revisi tesis dilakukan tidak terlalu ketat. Risikonya jelas, jika diteliti lagi, para penguji bisa-bisa tidak mau tanda tangan. Tapi apa mau dikata, deadline sudah semakin dekat.

Sekitar pukul 14.30, tesis sudah selesai dicetak oleh Epson T11. Dirapikan sedikit, alhamdulillah sudah tampak cukup meyakinkan. Ya, tampak cukup meyakinkan, tentu jika dilihat dari luar. Kalau mau obrak-abrik tiap halaman, tentu tesis ini masih sangat ecek-ecek. Tak apalah, yang penting sudah menyiapkan juga ruang untuk ditandatangani dosen. Setelah itu, iseng-iseng menelpon teman yang paginya selesai mencetak itu. Rupanya belum mendapat satu tanda tangan pun, dan baru akan bertemu seorang dosen pukul 15.30!

Yap, saya ikut! Setelah beres-beres, shalat ashar di rumah, kira-kira pukul 15.10 berangkat ke kampus. Kebetulan juga si teman baru sampai di dekat gedung dosen 1. Pukul 15.24, langsung menuju ruangan dosen. Alhamdulillah, hanya basa-nasi sebentar, dosen 1 langsung membubuhkan tanda tangannya. Berikutnya, tiga dosen penguji lainnya. Sms atau telpon? Sms sajalah. Dapat! Dosen 2 siap ditemui di kampus UIN besok jam 7 pagi. Dini harinya, dosen 3 membalas sms mempersilakan kami menemui beliau di Gedung Lengkung. Bagaimana dengan dosen 4 yang dikenal superkatat itu? Nanti dululah.

Jumat pagi-pagi, meski malamnya kurang tidur karena menyempatkan diri main fustal, sudah meluncur ke UIN. Pukul 06.50 sudah sampai di UIN. Tidak sampai sepuluh menit, dosen 2 datang. Alhamdulillah juga, tanpa banyak bicara langsung mengeluarkan pulpen dan menandatangani halaman pengesahan. Masih ada waktu sekitar satu jam menuju temu janji dengan dosen 3. Bagaimana kalau coba langsung ke kantor dosen 4, siapa tahu sudah rawuh.

Pukul 07.15 sampai di ruangan dosen 4. Masih terkunci. Sms sajalah, siapa tahu sudah mau sampai di kantor. Tidak dibalas. Menunggu beberapa menit masih juga tidak ada balasan. Ya sudah, ayo ke Gedung Lengkung saja untuk “mencegat” dosen 3, takutnya telat sedikit beliau langsung mengikuti acara Reuni Akbar. Lima menit kemudian sudah sampai Gedung Lengkung. Sekitar pukul 7.45, dosen 3 belum juga tampak, malah ada sms dari dosen 4: bisa (ditemui hari ini). Kami balas: kapan? Beliau balas: sekarang!

Hah? Ini lima belas menit lagi waktu janji temu dengan dosen 3, bagaimana dong? Ya sudah, dosen 4 biasanya lebih sulit ditemui, sementara dosen 3 tampak lebih akrab dengan kami, mudah-mudahan nanti mau menerima penjelasan kami kalau kami harus ketemu dulu dengan dosen 4. Langsung balik lagi meluncur ke kantor dosen 4.

Si teman yang baru Selasa kemarin ujian mendapat giliran pertama untuk meminta tanda tangan. Setelah tesis diserahkan, benar saja, rupanya masih diteliti lagi! Bolak-balik beberapa halaman, soal-jawab, memberi beberapa masukan. Kira-kira lebih dari 10 menit pengecekan itu. Saya yang menunggu giliran berikutnya, tentu deg-degan. Memutar otak mencari-cari jawaban jika ditanya mengenai metodologi penelitian (tentang ini soalnya masih mentah banget!), kesesuaian antara rumusan masalah dan kesimpulan, serta kemungkinan pertanyaan-pertanyaan lain. Ah, pikiran benar-benar kacau! Banyak istighfar sajalah! Shalawat juga!

Tiba giliran tesis saya diserahkan. Beliau melihat halaman judul, saya jelaskan perubahan judul. Halaman berikut dibuka, pas langsung halaman pengesahan. Ajaib! Mengambil pulpen dan langsung membubuhkan tanda tangan tanpa menanyakan apa pun lagi! Alhamdulillah…!!! Si teman pun berikutnya meminta tanda tangan karena tadi setelah memberi masukan sedikit revisi belum ditandatangani.

Lega sekali rasanya sudah mendapatkan tanda tangan dosen 4 ini. Luar biasa rasanya, sepertinya saat inilah baru selesai ujian tesis. Berikutnya, kembali dosen 3, sudah pukul 8 lebih. Wah, sudah telat! Di jalan menuju Gedung Lengkung, seorang teman yang juga menunggu dosen 3 sms: Beliau belum datang. Syukurlah, tidak perlu mengebut lagi di jalanan.

Pukul 8.18, sampai lagi Gedung Lengkung. Rupanya dosen 3 belum tampak. Bertanya ke pegawai yang juga mengenal beliau, dijawab tampaknya memang belum hadir. Ya sudahlah, syukur saja kami tidak terlihat terlambat di mata dosen 3. Pukul 8.25 beliau masih belum tampak juga. Bagaimana ini? Teman: telpon sana! Saya: tidak enak ah. Tapi kelamaan, akhirnya saya beranikan sms: nuwun sewu Pak, kami sudah di Gedung Lengkung. Di tengah mengetik sms, ada tanda sms masuk; nanti dulu lah bukunya setelah mengirim sms ini. Selesai kirim sms, buka sms masuk, rupanya dari dosen 3: saya sudah di dalam ruangan acara. Wah…. Kami pun langsung bergegas naik lift menuju lantai 5.

Sebelum kami meminta maaf, beliau sudah menanyakan: sudah dari tadi ya sampai Gedung Lengkung. Ya, kami menjawab sambil menjelaskan bahwa kami menunggu di gerbang dekat BNI. Rupanya beliau tidak melalui gerbang itu. Mungkin lewat gerbang utama, mungkin juga lewat parkiran mobil di lantai dasar gedung yang dikhususkan bagi para pejabat itu. Oh iya, beliau kan termasuk pejabat ya.

Senang sekali rasanya mendapatkan tanda tangan keempat itu. Selesai juga akhirnya tesis ini disahkan oleh para penguji. Siap dimintakan tanda tangan Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana. Karena beliau juga ikut acara Reuni Akbar, kami pun meminta dengan memelas kepada staf beliau agar sebisa mungkin hari ini beliau sudah tanda tangan. Akan diusahakan, katanya, apalagi ia juga tahu bahwa deadline penyerahan syarat-syarat wisuda adalah Selasa pekan depan, sementara tesis belum dijilid (kira-kira butuh waktu dua hari) lalu diserahkan ke perpustakaan beserta softcopy dalam bentuk CD. Sang staf mempersilakan kami datang ke tempatnya lagi siangnya, barangkali sudah ditandatangani.

Sambil menunggu siang, masih ada cukup waktulah, akhirnya meluncur ke studio foto. Setelah itu pulang dulu, juga masih sempat untuk menyempatkan ke rumah teman yang mau membantu membuatkan summary, cukup menyerahkan kepadanya ringkasan tesis berbahasa Indonesia.

Usai shalat jumat, kali ini tidak tergesa-gesa seperti paginya, kami pun kembali ke Gedung Lengkung. Alhamdulilah, rupanya sudah ditandatangani Wakil Direktur SPS. Sekarang tinggal minta stempel di lantai 1, lalu siap dijilid. Alhamdulillah…. []


Jomblangan, 24 September 2011

Monday, August 29, 2011

Mau Lebaran Dua kali?

Tahun ini ada kemungkinan terjadi perbedaan penetapan 1 Syawal. Bagaimana bisa? Tidakkah pemerintah mampu menjembatani perbedaan ini?

Masalahnya adalah ormas-ormas di Indonesia sudah lebih dahulu ada ketimbang republik ini. Jadi, mari saling menghormati saja. Shalat id Selasa atau Rabu sama benarnya.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H.
Mohon Maaf Lahir Batin
Semoga ibadah kita selama ini dapat mengantar kita meraih kemenangan hakiki.


Pujut, 29 Agustus 2011

Tuesday, July 26, 2011

Jujur Hancur Lebur

Dunia hukum-politik tanah air sedang marak pembahasan mengenai perlindungan terhadap whistleblower, yaitu orang yang berani mengungkap kesalahan sistemis, meski ia sendiri termasuk dalam lingkaran kesalahan itu. Namun, perlindungan terhadap whistleblower rupanya maih perlu ditingkatkan. Buktinya, Agus Condro (orang Batang euy!) yang berani jujur mengungkap skandal suap pemilihan Deputi Gubernur BI, dihukum nyaris sama dengan tersangka lain yang berbelit-belit saat ditanya kasus sama. Mungkin hukuman Agus Condro sudah pas, hukuman untuk tersangka yang lain itulah yang perlu dilipatgandakan sekian kali agar lebih adil.

Namun, begitulah “hukum” di Indonesia, siapa yang berani jujur, dia akan hancur lebur; siapa yang mau berbuat baik, tak jarang justru menjadi panik. Begitu banyak cerita penipuan atau bahkan penggarongan yang dimulai dengan kedok minta tolong terlebih dahulu. Buat para sopir lintas Jawa-Sumatra, konon tidak pernah mau menolong orang di tengah jalan. Semisal ada orang yang melambai-lambai di tengah jalan, katanya lebih baik ditabrak sekalian karena bisa jadi itu tipu muslihat para perampok atau bajing loncat untuk menghentikan kendaraan lalu ganti menguasainya.

Tadi pagi pun saya mengalami kisah yang mirip: jujur mungkin hancur. Kalau saya jujur mau membantu, mungkin saya bisa dikerjai di tengah jalan. Ceritanya berawal dari menjemput teman di jalan besar, sekitar pukul empat pagi. Kami berempat, dua penjemput dan dua tamu, mengendarai dua motor. Di belokan terakhir sebelum sampai rumah—sekitar 20 meter dari rumah—ada perempuan teriak-teriak minta tolong.

“Tolong saya Mas, laki-laki ini mengganggu saya. Dia menggerayangi saya. Memegang-megang kemaluan saya,” katanya sambil (mencoba) terengah-engah. Sementara lelaki di sampingnya, bermotor plat AB, menimpali, “Bohong Mas, saya gak ngapa-ngapain kok.”

Saya tidak mau langsung percaya. Sempat sedikit deg-degan juga, akhirnya saya ajak keduanya ke depan rumah tetangga saya yang kebetulan seorang polisi. Si perempuan mau jalan, tetapi si lelaki malah ngilang ga tau ke mana. Di depan rumah pak polisi, saya tanya, “Mba asli mana?” Dia jawab, “Pekalongan.” “Wah, nekad bener ini jawabnya, ga tau yang dia hadapi ini orang pekalongan,” pikir saya. “Pekalongan mana?” tanya saya. Setelah agak lama mikir, dia jawab dengan agak ragu, “Bendan... mmm, Podosugih.” Saya tanya lagi, “Mana tu?” Dia jawab lagi-lagi dengan ragu, “Pekalongan Barat.” Saya bentak aja, “Mana ada itu Pekalongan Barat.” Padahal saya sendiri ragu benar atau tidak itu masuknya Pekalongan Barat, hehe. Tapi itu saya lakukan untuk menggoyahkan dia saja.

Merasa saya belum percaya, dia bilang sakit perut. Saya masih diam saja. Dia lalu minta air. Air putih saja. Saya masih tidak menggubris. Lalu saya tanyakan kartu identitasnya. “Tidak ada Mas, saya buru-buru. Tadi saya dikejar-kejar pacar saya.” Saya makin tidak percaya karena mana mungkin orang lari sampai ke kampung saya yang agak di dalam, lumayan jauh dari jalan besar.

Setelah melihat saya tidak begitu memedulikannya dan justru menanyakan macam-macam, dia memilih lari. Ketika saya kejar, dia lari makin menjauh. “Sini Mbak kalau mau berlindung, ini rumah pak polisi,” saya teriakkan begitu. Dia menjawab, “Tidak usah Mas.” Begitu sambil lari makin menjauh lagi.

Tidak lama kemudian, pak polisi keluar dari rumahnya. Menanyakan ada apa, saya ceritakan apa yang sebelumnya terjadi. Pak polisi pun berkesimpulan bahwa itu salah satu modus kejahatan. Kebetulan di depan rumah pak polisi ada mobil Xenia punya tetangga diparkir di luar rumah. “Mungkin dia ngincer mobil ini,” kata pak polisi.

Seandainya saya luluh, jujur, mau menolong perempuan itu, apa yang kira-kira terjadi? Wallahu a’lam. Bukannya berburuk sangka, tetapi inilah kewaspadaan.[]

Jomblangan, 26 Juli 2011

Monday, June 13, 2011

Tertipu Pesona SBY

Pilpres 2009, bagi saya tidaklah sulit menentukan pilihan. Nomor urut pertama, Mega-Prabowo bagi saya tidak menarik. Di antara alasannya adalah karena figur Prabowo yang belum terlalu lama mengorbit di jagat politik tanah air. Artinya, belum diketahui bagaimana track record-nya. Satu yang paling mudah diingat adalah dia mantan tentara yang disebut-sebut melanggar HAM di Timtim, selain dekat dengan dan benderanya “dikibarkan” oleh era orde baru yang jelas bukan nilai plus.

Di sisi lain, Megawati memang sudah lama malang melintang di perpolitikan papan atas. Namun, hasilnya juga tidak terlalu bagus. Saat menjabat presiden—itu pun hasil menelikung “kang mas”nya sendiri, Gus Dur—pada 2001-2004, bisa dilihat bahwa Megawati tidak punya kekuatan me-manage negara. Malah para menterinya terlihat tidak terkontrol. Atau kalau terkontrol berarti Mega bisa diduga turut melakukan pelanggaran, misalnya saat Menteri BUMN saat itu menjual Indosat. Ya, walaupun sampai sekarang penjualan Indosat tidak pernah disalahkan secara hukum. Tentu saja sebagian masyarakat sangat menyayangkan penjualan itu. Jadi, Mega-Prabowo langsung saya coret.

Nomor urut dua, SBY-Boediono. Nanti dulu, mari simak nomor urut tiga, JK-Wiranto. Saya tidak terlalu menghiraukan faktor Wiranto karena dia orang nomor dua, cawapres. Jadi, saya merasa tidak terlalu perlu mengotak-atik kelebihan atau kelemahannya. Saya hanya melihat faktor JK.

Sebenarnya JK punya nilai plus dengan ketegasan dan keberanian dalam melangkah. Sayang saat itu nilai lebih itu tidak terlalu terekam atau tidak terlalu saya anggap perlu. Saya justru masih terngiang-ngiang dengan kemenangan JK dalam Munas Partai Golkar di Bali, akhir 2004, mengalahkan Akbar Tanjung. Sementara saat itu, saya begitu mengidolakan Akbar, terutama semenjak saya pernah bertatap muka langsung medio 2004. Ya, Akbar yang membawa kembali Golkar meraih posisi pertama dalam Pileg 2004, rupanya dikalahkan JK. Padahal, seluruh peserta Munas terlihat berdiri memberi tepuk tangan meriah kepada Akbar usai LPJ-nya mulus diterima. Karena itu, saya berkesimpulan, JK pasti melakukan money politic untuk kemenangannya itu.

Kembali ke nomor urut dua, SBY-Boediono. Ketika itu sudah cukup banyak yang mengupas bagaimana politik pencitraan SBY. Apalagi lawan politik SBY, tentu berupaya menyerang SBY bahwa jangan sampai rakyat tertipu pencitraan SBY itu. Nah, pernyataan itu banyak didengungkan lawan politik SBY, menurut saya waktu, barangkali itu hanya ingin menjatuhkan SBY.

Saya lalu teringat bagaimana besan SBY, Aulia Pohan, duduk di kursi pesakitan dan kemudian divonis bersalah atas korupsi di BI. Wouw, SBY mempersilakan sang besan dipenjara! Luar biasa! Ini dia langkah maju pemimpin Indonesia. Kalau besan saja “diserahkan” dengan mudah kepada aparat hukum, tentu siapa pun bisa dihukum oleh pihak berwenang tanpa dihalang-halangi SBY atau orang-orang di sekeliling kekuasaan; suatu kondisi yang sangat dibutuhkan Indonesia saat ini.

Namun apa lacur, rupanya itulah politik pencitraan. Melihat kasus-kasus hukum tingkat nasional belakangan ini dan tidak terlihat greget SBY dalam memberangusnya, saya baru tersadar bahwa saya telah tertipu oleh politik pencitraan, terkelabui oleh pesona SBY. Malah sebelumnya saya berpikir Aulia adalah “korban” politik pencitraan SBY, baru terpikir kemudian bahwa bisa saja sang besan presiden turut berperan melanggengkan SBY di RI-1. Apalagi, kemudian terkuak oleh Gayus bahwa saat di tahanan, selain dirinya, Aulia Pohan bisa keluar-masuk penjara tanpa diketahui publik. Artinya, bisa saja sudah ada deal Pohan siap jadi korban, tetapi mendapat keistimewaan bisa tamasya ke mana-mana ketika "namanya" dipenjara.

Saya makin sadar telah merasa tertipu usai mencuatnya kasus Nazaruddin. Secara logika, pasti mudah bagi SBY—jika memang mau membantu pemberantasan korupsi—untuk menekan Nazaruddin menyerahkan diri ke KPK. Apalagi daya magis SBY yang begitu kuat di PD, tempat naungan Nazar belakangan ini. Jadi, saya berpikir, satu-satunya hal yang menghalangi SBY untuk turut serta membantu KPK dalam mencari dan memeriksa Nazar adalah keterlibatan SBY atau orang-orang PD dalam kasus-kasus korupsi. Jika tidak ada potensi keterlibatan itu, tentu SBY dapat dengan mudah “mencangking” Nazar untuk dibawa ke KPK.[]

Jomblangan, 13 Juni 2011

Sunday, May 22, 2011

Korupsi di Sekitar Kita (7)

Kisruh PSSI rupanya belum juga mereda. Setelah koor sebagian besar suporter bola tanah air meminta Nurdin turun beriring dengan Piala AFF di ujung tahun lalu, kini pemilihan pengganti Nurdin rupanya tak kalah ruwet. Dua kali kongres, dua kali pula terjadi deadlock, bahkan "kerusuhan" meski tanpa kekerasan fisik.

KN dan K-78 yang sama-sama ngotot dengan pendapat masing-masing kiranya tidak mudah didamaikan. KN merasa mendapat mandat dari FIFA dan itu adalah surat sakti "dari atas" yang harus dipatuhi seluruh insan bola, bahkan barangkali insan bola seluruh dunia. Di sisi lain, K-78 merasa punya hak memperjuangkan arus bawah, di mana mereka merasa sebagai mayoritas suara pelaku bola Indonesia.

Siapa yang harus mengalah? Serba salah memang. Jika KN kalah atau mengalah, bisa jadi implikasinya di masa depan akan ada segelintir orang yang menguasai (dengan uang atau cara lain) mayoritas pemilik suara (baik di sepak bola maupun cabang lain) lalu dapat dengan mudah menjalankan "pemerintahannya" seenak wudele dewe. Bisa-bisa kelak ada Nurdin-Nurdin baru.

Kalaupun K-78 yang kalah atau mengalah, itu juga bukan pilihan bagus. Itu hanya makin menunjukkan betapa inferiornya bangsa Indonesia, hingga mengurus diri sendiri tidak becus dan harus ditetah orang lain.

Namun, salah satu dari keduanya memang harus ada yang berani melangkah mundur, atau kalau perlu kedua-duanya mau menurunkan tensi untuk kemudian duduk bersama mencari jalan tengah terbaik.

Yang jelas, kelak siapa pun yang bakal memimpin PSSI, harus mampu membersihkan borok-borok yang sebelumnya ditanamkan oleh Nurdin Halid. Kalau perlu, secara aktif mendorong pihak berwenang dalam bidang hukum untuk mengusut karut-marut rezim Nurdin, utamanya berkaitan dengan keuangan, termasuk kemungkinan suap-menyuap.

Hal ini sangat perlu dilakukan supaya PSSI tidak menjadi "kasus Indonesia kedua". PSSI harus bisa meniru, misalnya, Mesir. Indonesia, yang setelah "merdeka" dari penjajahan Soeharto, dengan dalih rekonsiliasi kok dengan entengnya memaafkan sang diktator yang berkuasa 32 tahun itu. Memang memaafkan kesalahan perlu, tetapi tentu tidak bisa dilakukan secara mutlak.

Kelak pengurus PSSI terpilih harus meniru langkah penguasa darurat di Mesir pascarevolusi Januari 2011 yang meruntuhkan kekuasaan Husni Mubarak. Tidak sampai setengah tahun umur revolusi, penguasa sementara langsung berani mengangkat kasus-kasus dugaan korupsi dan pelanggaran HAM "Firaun terbaru" itu.

Bandingkan dengan Indonesia yang reformasinya sudah berlangsung selama 13 tahun, tetapi nyaris tidak ada satu pun penguasa dan kroni era orde baru yang diseret ke pengadilan. Akibatnya, korupsi justru semakin merajalela, tidak hanya dimonopoli penguasa. Bahkan sampai ke rakyat terbawah pun menjadi—mau tidak mau—harus pernah melakukan korupsi, sekecil apa pun itu.

Pemerataan kesalahan, itukah yang bakal ditanamkan PSSI nanti. Tentu kita tidak berharap demikian![]

Jomblangan, 21 Mei 2011

Saturday, April 23, 2011

Korupsi di Sekitar Kita (6)

I

"Kemarin ikut coblosan?"
"Nggak, nama saya tidak tercatat di Tangsel."
"Kalau saya ikut."
"Nyoblos siapa?"
"Airin dong."
"Ooohhh...."
"Putaran pertama sih nyoblos Andre."
"...."
"Sebenarnya saya juga masih ngontrak di tempat Pak RT yang ndukung Andre."
"...."
"Tapi sebelum coblosan, saya didatangi A, dia pendekar kampung. Dia bilang, 'Mas, besok nyoblos Airin ya.' Saya iyakan aja. Abis itu dia ngasih saya uang 20.000."
"...."
"Tidak lama kemudian Pak RT datengin saya. Dia mau ngasih uang 10.000. Saya tolak. Pak RT bingung. Tapi ya saya jelaskan saja pilihan saya."[]


II
"Wah sebentar lagi coblosan bupati ya."
"Iya saatnya panen duit, hehehe."
"Bukannya Bu Qom dari desa W?"
"Ya sama aja. Jaman sekarang gak pandang bulu."
"Tapi kira-kira Bu Qom menang ya di asal tinggalnya?"
"Kemungkinan sih. Kita anak muda desa sih yang penting bisa morotin dari calon-calon."
"Kalo anaknya Arafiq itu katanya kaya ya?"
"Wah itu joss.... Antononya jg gede duitnya."
"...."
"Lha mereka nyalon juga buat nyari duit. Mau suara kita juga harus keluar duit lah."

Wonoyoso, 19 April 2011

Sunday, March 27, 2011

Korupsi di Sekitar Kita (5)

Indahnya menikmati hari-hari bersama si kecil. Hidup jadi terasa "lebih hidup". Impian untuk menggantungkan cita-cita setinggi pun mungkin rasanya semakin dekat. Tentu saja euforia semacam itu tidak lantas boleh membuat kita terlupa untuk mengurus administrasi kelahiran.

Ya, akta kelahiran tentu semakin terasa perlu di era sekarang ini. Bagi orang seumuran saya, barangkali masih ada beberapa yang tidak memiliki akta lahir. Atau paling tidak terlambat mengurus akta kelahiran. Apalagi jika dibandingkan dengan "para pendahulu" orang-orang seangkatan saya, bisa-bisa masih ada yang sampai sekarang tidak memiliki akta kelahiran.

Kebetulan tanggal 5 bulan depan KTP istri saya sudah harus ganti. Pertengahan bulan ini, KTP bu lik-nya juga sudah kadaluwarsa. Istri saya lalu mengajak bu lik untuk bersama-sama mengurus pembaruan KTP. Namun, rupanya bu lik enggan. "Buat apa bikin KTP?" begitu kira-kira bu lik menyergah. Nah loh... Saya sendiri tidak tahu apakah anak bu lik yang berusia lebih dari satu tahun itu sudah dibuatkan akta kelahiran. Mudah-mudahan sih sudah.

Namun, bukan itu sebenarnya yang penting. Ada satu masalah yang barangkali perlu disimak bersama-sama, syukur-syukur kelak bakal ditemukan solusinya. Kisah ini berawal saat saya mencukur rambut di barber langganan. Kebetulan si pencukurnya dahulu adalah tetangga rumah di desa. Obrolan di antara kami pun asyik kian kemari. Hingga menyinggung masalah anak, rupanya ia baru saja mengurus akta kelahiran tiga anaknya sekaligus.

Ya, karena awalnya merasa tidak perlu, atau merasa ah bisa belakangan, akhirnya ia terpojok untuk harus merapel pembuatan akta kelahiran langsung tiga anaknya. Peraturan yang saat ini berlaku berkaitan dengan pembuatan akta kelahiran rupanya belum terlalu disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Si tukang cukur pun harus bertanya berkali-kali ke beberapa instansi yang memang harus dilaluinya. Dimulai dari balai desa, kantor kecamatan, dindukcapil, hingga pengadilan.

Ckckckckck... barangkali niat pembuat undang-undang adalah untuk meminimalisasi ruang gerak teroris atau semacamnya, tetapi hal semacam itu ternyata hanya menyasar orang-orang kecil untuk semakin kecil dan sulit. Betapa tidak, untuk pembuatan akta kelahiran ketiga anaknya--yang pertama sudah masuk SD, yang kedua berusia sekitar empat tahun, dan yang ketiga berusia lebih dari dua bulan--ia harus merogoh kocek dalam-dalam, nyaris dua juta rupiah. Mari berkata, "Wouuuuwwww...." Tanpa bermaksud mengecilkan pendapatan tukang cukur, tentu itu angka yang sangat fantastis untuk siapa saja yang berpendapatan minim. Bahkan untuk diri saya sendiri sekalipun.

Mari kita hitung untuk apa saja dia harus mengeluarkan fulus. Saat datang ke kantor balai desa, meskipun tidak ada ketentuan yang menyebutkan harus membayar berapa, katakan saja harus mengisi "kotak amal". Kemudian di kantor kecamatan, siapa yang berani menjamin tidak ada pungli? (Kabupaten lain mungkin berbeda, tetapi lihat saja di kabupaten si tukang cukur)

Yang mengejutkan adalah di pengadilan. Sssshhhhh, birokrasi yang ada sekarang ini memang meliuk-liuk. Anak-anak yang terlambat dibuatkan akta kelahiran lebih dari jangka waktu tertentu (kalau tidak salah dua bulan) harus disidangkan di pengadilan negeri. Nah, saat disidang, selain membayar lewat loket resmi, rupanya ada pungli yang konon untuk "uang capek" perangkat sidang. Belum lagi dia harus membawa dua saksi untuk masing-masing anak. Karena jarak pengadilan tidak dekat, tentu ia harus membayarkan--paling tidak--ongkos transport, yang tentu saja lebih dari cukup untuk membayar angkutan umum dan konsumsi. Alkisah, si tukang cukur mengeluarkan uang lebih dari satu juta rupiah untuk "berputar-putar" di area pengadilan ini.

Setelah itu, di kantor dindukcapil juga rupanya tidak bisa melenggang begitu saja tanpa uang. Lagi-lagi duit berbicara. Itu pun tidak bisa dilayani secara maksimal jika tidak memberi uang tambahan bagi para pegawainya. Luar biasa memang mentalitas para birokrat kita. Sudah telanjur tidak bisa bekerja hanya dengan gaji yang halal.

Kegetiran si tukang cukur rupanya tidak sampai di situ. Beberapa saat setelah semua urusan birokrasi selesai dan tinggal menunggu pengambilan akta kelahiran, ada seorang temannya yang "terlambat" memberikan trik. Ya, si teman rupanya tidak harus jauh-jauh mengurus sidang ke pengadilan. Konon, ia hanya cukup mendatangi kepala dinas dukcapil, lalu berbisik-bisik "meminta tolong" pengurusan akta kelahiran. Bim salabim, cukup dengan 300 ribuan, akta kelahiran sudah jadi dengan waktu yang super kilat.

Jadi, saat masih tinggal di negeri Indonesia, silakan pilih saja: birokrasi berbelit dengan biaya mahal atau jalur potong kompas dengan biaya murah.[]

Wonoyoso, 19 April 2011

Thursday, February 17, 2011

Korupsi di Sekitar Kita (4)

Akhir-akhir ini saya harus sering "menikmati" jalur pantura. Apa pasal? Lahirnya si kecil dikompilasi dengan sudah jarangnya ada perkuliahan membuat saya jadi harus terbiasa bolak-balik Pekalongan-Yogyakarta. Dari rumah mertua menuju kontrakan dan sebaliknya. Membawa si kecil ke kota pelajar belum memungkinkan, sementara berlama-lama di kota kampus tentu akan merepotkan istri di rumah.

Sebenarnya tidak masalah menempuh perjalanan sekitar lima jam itu, apalagi bisa mampir di rumah orang tua barang sesaat untuk melepas lelah, atau malah menyempatkan pijat badan di tempat Bu Dhe. Hanya ada satu permasalahan mengganjal: jalanan bergelombang di jalur pantura.

Barangkali soal ini juga dialami siapa saja yang bahkan mungkin ada yang harus tiap hari melewatinya. Tentu saya patut bersyukur karena tidak harus setiap pagi dan sore melewati jalur yang dahulu terkenal cukup angker ini. Cukupkah bersyukur? Bukan sekadar masalah cukup atau tidak cukup tentunya, jika ada yang mengganjal di balik bergelombangnya jalan skala nasional itu.

Ya, beberapa waktu lalu, seorang sopir travel bercerita salah satu sisi di balik bergelombangnya jalan pantura itu. Dia yang pernah juga menjadi sopir truk ukuran super jumbo menceritakan pengalaman pribadinya. Konon, saat menyopiri truk itu dia mengaku terbiasa membawa muatan melebihi tonase yang ditentukan. Melanggar hukum? Tentu saja, dan dia dengan tegas mengakuinya.

Bukankah sudah ada jembatan-jembatan timbang? Dia tidak memungkiri bahwa dalam perjalanan Jakarta-Surabaya—rutenya saat menyetir truk-truk besar itu—memang beberapa kali harus memasuki jembatan timbang. Namun, saat mengetahui muatannya melebihi tonase, ia memang harus menyiapkan amplop berisi uang. Suap dong? Mau bagaimana lagi, kilahnya. Jumlah nominal uang yang disiapkan untuk suap itu berbeda-beda, tergantung daeraha mana. Daerah tertentu terkenal "murah", tetapi di kawasan lain harus merogoh kocek cukup dalam untuk mempertebal amplop.

Pengusaha yang mempekerjakan sopir-sopir seperti dirinya rupanya lebih suka menyiapkan amplop-amplop itu, ketimbang menjatah muatan truk-truknya sesuai tonase yang ditetapkan. Ya, tentu saja hal itu dapat menghemat biaya distribusi. Sebut saja satu truk dapat memuat dua kali lipat muatan dari tonase yang ditentukan, tentu hal itu lebih "efektif", cukup dengan menyiapkan amplop yang tentu saja besarannya tidak lebih besar daripada biaya memberangkatkan satu truk lagi.

Di sisi lain, para petugas jembatan timbang rupanya juga tidak bisa menolak amplop-amplop itu. Mungkin ada banyak alasan di balik ketidakmampuan mereka menolaknya. Misalnya saja, bagi seorang bawahan, bahwa hal itu adalah kebijakan atasan. Bagi atasan, dia bisa berkilah bahwa itu sudah "budaya" pejabat sebelumnya. Bagi pejabat sebelumnya, dia beralasan, "merebut" jabatan sebagai penanggung jawab jembatan timbang itu saja sudah harus mengeluarkan uang untuk keperluan lobi, dari mana lagi dia harus mencari "balik modal". Atau mungkin justru lebih banyak alasan lagi yang kita tidak tahu dan barangkali sebelumnya tidak terpikirkan oleh kita.

Apa akibat dari kolusi antara pejabat, petugas, pengusaha, dan sopir—yang kita tidak bisa serta-merta menyalahkanya—seperti itu? Tentu saja jalan-jalan yang dilalui truk-truk itu menjadi cepat rusak. Tidak mengherankan kalau jalan di pantura yang setiap hari diinjak oleh ribuan truk—dan entah berapa persen yang melebihi muatan—menjadi bergelombang, lalu robek sedikit, kemudian dibumbui air hujan; membuatnya berlubang.

Bahkan saat jalan-jalan tersebut digarap sesuai nominal dan ketentuan APBN, tentu tidak akan kuat setiap hari diinjak-injak oleh muatan berlebih. Apalagi kalau misalnya dalam pembuatan jalan juga ada oknum yang bermain-main dengan anggaran sehingga kualitasnya tidak sesuai ketentuan; apa jadinya jalan-jalan itu.

Kondisi seperti ini mungkin sudah bukan rahasia lagi. Namun, apa yang bisa kita lakukan? Saya sendiri hanya bisa menuliskannya di sini. Tidak (atau belum) bisa mengubah realitas itu. Bagaimana dengan Anda?[]

Wonoyoso, 12 Februari 2011

Sunday, January 02, 2011

Makna Ketundukan Santri

Pesantren salaf selama ini mungkin dicap sebagai lembaga pendidikan yang terbelakang, kumuh, dan tidak sesuai perkembangan zaman. Namun, sebenarnya ada banyak nilai yang diajarkan di pesantren salaf yang sulit dapat ditemukan di lembaga pendidikan lainnya. Nilai niat mencari ilmu biasanya tidak ditekankan dalam pendidikan formal di tanah air. Karena itu, sudah jamak adanya jika peserta didik ditanya untuk apa belajar di sekolah ekonomi, misalnya, maka dia akan menjawab supaya menjadi pengusaha kelas atas sehingga menjadi orang yang makmur dan memiliki uang atau harta melimpah.

Di pesantren, tentu saja tidak dibenarkan mempelajari suatu ilmu niatnya justru hanya untuk mengumpulkan kekayaan dunia. Pesantrenlah yang dengan kuat memegang hadits Rasulullah saw., "Barang siapa yang mempelajari suatu ilmu yang seharusnya ditujukan untuk memperoleh ridha Allah, tetapi ia justru mempelajarinya hanya untuk mendapatkan keuntungan di dunia maka pada hari Kiamat ia tidak akan dapat mencium bau surga." (HR. Abu Dawud)

Nilai lain yang biasanya ditekankan di pesantren-pesantren—dan tidak ditekankan atau malah terabaikan di lembaga formal mana pun—adalah pernghormatan terhadap guru, dosen, ustad, atau kiai. Pada umumnya, pengajar—baik itu guru, dosen, ustad, maupun kiai—tentu lebih tua atau memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik—baik siswa, santri, maupun mahasiswa. Karena itu, tentu saja peserta didik wajib menghormati pengajarnya. Setidaknya hal itu merupakan cerminan dari penghayatan hadits Rasulullah saw., "Tidak termasuk umatku orang yang tidak mau mengasihi orang yang lebih kecil (muda) atau tidak mau menghormati orang yang lebih besar (tua)." (HR. Tirmidzi)

Di sisi lain, pengajar selaku orang yang memiliki kelebihan ilmu dibandingkan dengan peserta didik begitu dijunjung oleh Islam. Allah swt. dan Rasulullah saw. tidak hanya sekali atau dua kali menyebutkan kelebihan orang yang memiliki ilmu. Allah swt. berfirman, "...niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat." (QS. Al-Mujadilah [58]: 11)

Adapun Rasulullah saw. bersabda, "...Sesungguhnya seluruh penduduk langit dan bumi, bahkan ikan-ikan di dalam lautan akan memohonkan ampunan kepada Allah untuk orang yang berilmu...." (QS. Abu Dawud)

Rasulullah saw. juga pernah bersabda, "Keutamaan seorang ulama (orang yang berilmu) atas seorang yang rajin beribadah sama seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah derajatnya di antara kalian (umat Islam)." Beliau lalu melanjutkan, "Sesungguhnya Allah swt., para malaikat, seluruh penduduk langit dan bumi, bahkan semut di lubang persembunyian mereka dan ikan-ikan senantiasa berdoa (menghormati) orang yang mau mengajarkan kebaikan kepada orang lain (manusia)." (HR. Tirmidzi)

Dari hadits yang terakhir disebutkan tadi, kita dapat melihat betapa Allah sangat menghormati orang yang berilmu, apalagi orang tersebut mau menularkan ilmunya kepada orang lain. Karena itu, tidak mengherankan jika di pesantren-pesantren, santri diajarkan untuk sangat menghormati ustad dan kiai. Saya sendiri pernah melihat betapa unik cara para santri menghormati pengajar mereka. Saya pernah mengunjungi sebuah pesantren besar di Jawa Timur bertepatan dengan hari Jumat. Ibadah shalat jumat pun dilaksanakan di masjid kompleks pesantren tersebut. Tidak ada yang beda dengan masjid pada umumnya, sejak sebelum pukul 11 masjid sudah disesaki jamaah, yang kemudian bersama-sama membaca zikir.

Hanya saja, beberapa saat sebelum bedug ditabuh tanda masuk waktu shalat, terlihat pemandangan unik. Shaf jamaah yang tadinya rapat dari depan hingga belakang di dekat pintu luar masjid, tiba-tiba terbuka. Hal itu didahului dengan suara tepukan salah seorang santri, lalu tiba-tiba barisan shaf paling belakang membuka selebar satu meter, lalu diikuti shaf yang di depannya, lalu depannya, lalu depannya lagi, begitu seterusnya sampai shaf paling depan. Tidak itu saja, santri yang berada di dekat shaf yang terbuka itu pun lalu berebutan meletakkan sajadahnya di shaf-shaf yang terbuka.

Rupanya hal itu membentuk semacam jalan dari pintu masjid di shaf paling belakang hingga bagian masjid di shaf terdepan. Jika diukur, barangkali jalan itu bisa dilalui sekitar dua orang secara berjejeran. Jalan tersebut pun dilengkapi sajadah yang tertata cukup rapi layaknya jalan seorang raja yang terhampar dengan karpet merah.

Tidak lama kemudian, seseorang tampak berjalan dengan agak cepat melalui "jalan" tersebut. Para jamaah—yang hampir semuanya santri—pun tampak menundukkan kepala mereka saat orang itu melewati shaf-shaf demi shaf dari belakang hingga ke depan. Rupanya yang baru lewat itu adalah seorang kiai. Kiai yang tentu sangat dihormati oleh para santrinya.

Fenomena seperti ini barangkali sebenarnya sudah umum terjadi di kalangan pesantren. Ketundukan dan penghormatan yang begitu besar dari seorang santri terhadap guru dan kiainya tentu bukan barang aneh di pesantren. Walaupun, di luar sana, bisa saja akan muncul pro-kontra mengenai hal itu.

Pada zaman modern sekarang ini, ketundukan semacam itu mungkin dianggap sebagai kultus individu yang tidak perlu. Bisa saja hal itu malah dianggap sebagai semacam "perbudakan". Namun, sebenarnya penghormatan seperti itu merupakan salah satu implementasi dari hadits tadi. Tentu hal ini merupakan nilai positif yang tidak terbantahkan. Terhadap semua orang kita memang harus hormat, apalagi kepada orang yang memberikan dan menularkan ilmu kepada kita.

Hanya saja, penerjemahan atas penghormatan ini bisa bermacam-macam. Di kalangan pesantren, penghormatan diterjemahkan dengan tatacara seperti fenomena di atas itu; tentu sah-sah saja. Di tempat lain, mungkin ada penerjamahan yang berbeda sama sekali; tentu juga sah-sah saja. Bahkan, sesama pesantren pun memiliki tatacara yang berbeda dalam menerjemahkan "kewajiban menghormati guru" itu. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan dalam hal perbedaan penerjemahan itu. Satu hal yang perlu dipermasalahkan adalah jika ada seorang peserta didik tidak menghormati guru atau pengajarnya.[]

*Tulisan untuk buletin jumat sebuah masjid dan merupakan hasil revisi dari tulisan sebelumnya berjudul "Ketundukan Santri"