tahun 2009, pada pemilu legislatif, para calon wakil rakyat mengeluarkan begitu banyak uang untuk mendapatkan suara rakyat sebanyak-banyaknya. mulai sekadar pasang pamflet, membayar tim kampanye, hingga mungkin banyak yang memberikan iming-iming uang untuk menarik massa sebanyak-banyaknya supaya memilihnya.
setelah jadi, maka jangan heran kalau ia ingin uang sejumlah besar yang sudah ia keluarkan saat masa kampanye segera kembali ke kantong. bahkan, kalau perlu, uang yang didapatkan harus melebihi uang yang dikeluarkan.
jika kita mau datang ke akar rumput, akan kita temukan banyak masyarakat membutuhkan bantuan. seperti modal kerja, biaya kesehatan, sarana dan prasarana pendidikan. sekian banyak peluang bantuan yang mungkin didapatkan masyarakat, tetapi rata-rata harus melalui beberapa pintu. runyam, karena melewati pintu-pintu tidak gratis.
jika dihubungkan dengan kasus pileg 2009 itu, rupanya banyak masyarakat yang harus melalui pintu legislator untuk mendapatkan bantuan. nah, di sinilah salah satu peluang si caleg terpilih untuk mengembalikan modal yang dahulu dikeluarkannya pada 2009. baik, akan saya usahakan bantuan untuk bapak, tapi nanti jangan lupakan saya ya, sekian persen dari total bantuan untuk saya. begitu kira-kira setiap kali masyarakat hendak "mengemis" bantuan.
konon, bahkan pembagiannya ada yang sampai 70% untuk legislator makelar dan hanya 30% untuk penerima bantuan. jika tidak bersedia merelakan persenan itu, jangan harap ada bantuan mengalir. mending saya usahakan untuk orang/yayasan/lembaga lain yang mau membaginya dengan saya. begitu kiranya si legislator makelar berpikir. dengan begitu, masyarakat jadi tidak punya pilihan lain.
jika mau bersikap otokritik, tentunya masyakarat juga tidak bisa langsung menyalahkan legislator--ataupun pejabat eksekutif--semacam ini. toh, itu semua hulunya sebagian menyangkut di masyarakat. misalnya, masyarakat yang mau menerima uang suap saat pileg itu. saat mau ditawari uang sogokan untuk memilih caleg, biasanya memang tak butuh waktu apalagi pemikiran panjang untuk menerimanya. asyik, dapat angpau! begitu kira-kira teriak dalam hati para pemilih. padahal, hal ini bisa berakibat fatal di kemudian hari.
ok, si penerima sogokan--bahkan meskipun akhirnya ia tidak memilih si pemberi sogokan itu--barangkali tidak merasakan apa pun di masa mendatang. misalnya karena ia memang tidak pernah butuh bantuan pemerintah atau memang tidak pernah mau berurusan dengan para pemegang kekuasaan negara. namun, sungguh hal itu dapat menyulitkan orang-orang yang seharusnya menjadi tanggungan pemerintah.
jika anda tidak percaya, silakan datang ke sepuluh lembaga pendidikan, terutama swasta, lebih terutama lagi yang biasanya mengandalkan uluran bantuan pemerintah--bukan lembaga swasta yang menarik pungutan luar biasa besar pada siswanya. saya hampir pasti bisa menjamin bahwa paling tidak separuh dari sepuluh lembaga pendidikan itu pernah mengeluarkan sekian persen bantuan yang diterimanya untuk "broker", entah dari eksekutif, entah dari legislatif, entah sudah melalui berapa tangan dari kedua lembaga itu.
sekali lagi, rasanya memang tak perlu terlalu menyalahkan para "broker" itu. mari perbaiki diri sendiri dengan tidak mau menerima sogokan dalam bentuk apa pun saat pemilu, baik pemilu nasional maupun pemilu daerah. itulah salah satu kekuatan kita untuk melawan korupsi. mungkin banyak cara lain untuk melawan korupsi, tetapi itulah kiranya salah satu fardhu ain yang menjadi kewajiban setiap masyarakat indonesia.
kampung sawah, 24 november 2011
No comments:
Post a Comment