Monday, December 07, 2009

Angan Besar Bernama MBI

Senin (30/11), dijadwalkan menjadi hari terakhir Departemen Agama RI menerima berkas lamaran tenaga pendidik dan kependidikan Madrasah Bertaraf Internasional (MBI). Sebagaimana santer diberitakan, termasuk beberapa kali dimuat di koran ini, khususnya Suara Pantura, MBI juga bakal didirikan di Kabupaten Pekalongan.

Madrasah ataupun sekolah dengan standard internasional biasanya memang hanya ada di kota besar atau ibukota provinsi. Namun, kali ini pemerintah Pekalongan juga berkeinginan melangkah lebih maju dengan mendobrak kebiasaan tersebut. Sebuah usaha yang tentu saja patut diacungi jempol.

Sebagaimana dirilis situs resmi pemerintah daerahnya, Kabupaten Pekalongan terpilih karena kultur dan sarana prasarananya dinilai memenuhi syarat. Hal ini juga diamini oleh Kakanwil Depag Jateng H. Masyhudi. Menurutnya, Bupati Pekalongan juga memiliki keinginan kuat dan perhatian besar atas terealisasinya cita-cita ini. (Suara Merdeka, 29/5).

Keinginan kuat dari Bupati ini tentu saja patut diapresiasi. Selain Bupati Pekalongan, pihak lain yang juga patut mendapatkan pujian tentu saja Departemen Agama, baik pusat selaku perencana maupun Kantor Departemen Agama Kabupaten Pekalongan selaku pelaksana lapangan.

Sebagai masyarakat Pekalongan dan sekitarnya, kita tentu merasa senang dan bangga dengan rencana ini. Karena itu, sudah sewajarnya kita turut memberikan andil dalam kelancaran pelaksanaan pembangunan dan perjalanan MBI itu nantinya. Contoh baik sudah diberikan oleh warga Kecamatan Kesesi, yang legowo meski lokasi MBI dipindahkan dari daerah mereka ke Kecamatan Kedungwuni.

Kita pun tidak boleh berpangku tangan hanya melihat (dan berharap) madrasah tersebut akan benar-benar dapat mencetak kader muslim yang andal yang mampu bersaing di dunia internasional. Apa pun profesi ataupun latar belakang kita, sudah pasti kita dapat memberikan andil agar cita-cita pendirian MBI dapat terwujud. Paling tidak, doa kita agar pembangunan MBI benar-benar bermanfaat sesuai tujuan kiranya dapat menolong para stakeholder yang terlibat langsung dalam proyek MBI ini.

MBI, sebagaimana disebutkan dalam official website-nya (www.madrasah-internasional.net), diproyeksikan menjadi madrasah yang mempunyai keunggulan lokal dan daya saing global dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta akhlak mulia. Dengan pengajaran berbasis bahasa Arab dan Inggris, MBI diharapkan dapat mencetak lulusan yang kompetitif dan tentu saja memiliki kualitas di atas rata-rata.

Oleh karena itu, sedari awal, pembangunan fisik, sarana, dan prasarana MBI harus benar-benar dilakukan dengan standard dan pengawasan tingkat tinggi. Hal itu karena sudah terlalu lumrah bagi bangsa kita selama ini, adanya proyek-proyek besar terkadang justru hanya menjadi "sapi perah" bagi kalangan tertentu untuk memperkaya diri.

Dalam pembangunan MBI ini, hal-hal semacam itu tentu harus dihindari. Tidak hanya karena jumlah nominal pembangunan fisiknya yang bernilai miliaran, tetapi karena pendirian MBI merupakan salah satu langkah penting menuju kemajuan bangsa. Jika dibiarkan terjadi penyimpangan dalam tahap awal, baik pembangunan fisik maupun perekrutan tenaga pendidik dan kependidikannya, dikhawatirkan cita-cita yang diharapkan itu akan kabur, atau akan makin mengabur seiring berjalannya waktu.

Jadi, perlu kepedulian semua pihak untuk terus memerhatikan setiap langkah demi langkah perjalanan MBI ini dari awal. Pemkab Pekalongan selaku penyedia lahan tidak boleh "dikalahkan" oleh makelar tanah yang terkadang berspekulasi. Demikian juga pihak yang ditunjuk Depag RI untuk membangun gedung-gedung MBI, harus benar-benar menjalankan proyeknya sesuai bestek.

Depag RI selaku pemilik proyek juga tidak boleh begitu saja menyerahkan proyeknya kepada rekanan. Bahkan, jika perlu secara berkala melakukan inspeksi jalannya pembangunan. Hal ini agar jangan sampai terjadi kesalahan sekecil apa pun. Dengan begitu, rekanan juga akan selalu mawas dan serius menjalankan tugasnya.

Di sisi lain, perekrutan tenaga pendidik dan kependidikan yang konon berjalan bersamaan dengan pembangunan fisik juga tidak boleh dilakukan serampangan. Cita-cita tinggi mencetak lulusan yang pandai berbicara bahasa Arab-Inggris tentu meniscayakan civitas akademika yang paling tidak menguasai salah satu bahasa PBB itu. Tentu akan lebih kompetitif jika tenaga pendidik yang kelak direkrut telah menguasai dua bahasa asing itu.

Oleh karena itu, perekrutan seluruh tenaga MBI—kepala madrasah, pengasuh asrama, tenaga pengajar, tenaga administrasi, perpustakaan, laboratorium, dan pranata komputer—kiranya tidak dilakukan dengan asal tunjuk. Harus dilakukan seleksi ketat dan fair untuk menggapai angan-angan yang seperti di awan itu.

Jangan ada lagi proyek-proyek besar hanya dilakukan untuk mencapai target penyerapan anggaran, apalagi hanya menjadi ajang "bagi-bagi kue". Mari majukan bangsa dengan pendirian MBI yang sesuai peranan sesungguhnya.[]

Pujut, Ujung Nov 09

Thursday, November 19, 2009

Ayo Susul Kami!

Setelah lulus S1, ngapain ya? Ngajar di pesantren, emang sudah kewajiban. Lamar sana-sini, wajar juga. Mbantu orang tua di rumah sambil ke sawah, no problem. Lanjutin S2, kenapa tidak? Yang penting asal jangan nganggur. Tapi kalau mau nyusul kami yang saat ini di KTT, monggo-monggo, ditenggo...

Ya, tahun 2009 ini ada enam alumni Al-Azhar yang nembus S2 Minat Kajian Timur Tengah, Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alhamdulillah, semuanya dengan beasiswa juga dapet living cost dari Depdiknas berlabel BPPS (Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana).

Ada Cak Mahfud (Jombang/lulus awal 2000-an), Intan (Palembang/2005), Yuli (Pekalongan 2006), Agus Hid (Batang/2007), Wahid (Banjarnegara/2007), n Rofiq (Palembang/2008). Aslinya malah ada 8 orang yang diterima beasiswa, tapi 2 orang lainnya malah lebih milih kuliah di tempat lain, yaitu Aji Nugroho (Salatiga/2006) lebih milih beasiswa di UIN Suka; dan Ning Isma (Brebes/2008) yang milih jurusan ekonomi Islam di UII, meski ga beasiswa tapi itu emang jurusan yang diincarnya.

Angkatan 2009 ini emang kayak ngabis-ngabisin jatah beasiswa aja. Di S2 KTT ini, dari 32 mahasiswa yang diterima, 18 di antaranya dapet beasiswa, 6 di antaranya dari Azhar. Tahun sebelumnya padahal ga sebanyak ini. Angkatan 2008, "hanya" 3 kayaknya alumni Azhar yang dapet BPPS ini (Mas Anang, Oyong, n Muhajir). Atau jangan-jangan karena emang 3 orang itu yang daftar n semuanya diterima?!

Sepertinya tidak sulit-sulit amat sih nembus KTT via BPPS ini. Bahkan tidak ada tes tulis atau wawancaranya! (selama ini begitu loh, ga tahu kalau tahun depan ada perubahan) Tes untuk nembus BPPS ini ya hanya tes berkas. Masukin berkas antara bulan Desember sampai akhir April tahun berikutnya, terus tunggu dech pengumumannya bulan Agustus (tahun ini molor sampai awal September).

Hanya saja, beasiswa BPPS ini memang diperuntukkan hanya bagi dosen tetap PTS atau minimal asisten dosen PTN. Jadi, masukin berkas itu memang harus menyertakan SK atau semacam surat keterangan sebagai dosen (bedakan loh ya antara dosen dan guru). Tapi itu tidak usah terlalu dipikirin lah, cukup ditandangi langsung wae, hehehe.

Ya, sebagian dari kami memang sesungguhnya bukan dosen tetap PTS atau minimal asisten dosen PTN itu. Toh, alhamdulillah diterima juga, meski sempat dag-dig-dug juga nunggu pengumuman. Konon sudah jadi rahasia umum bahwa sebagian penerima BPPS (tahun 2009 ini ada 469 orang yang diterima di UGM dari berbagai jurusan, denger-denger aslinya ada jatah 2000-an per tahun di berbagai perguruan tinggi/jurusan di Indonesia) sebenarnya adalah mereka yang cukup mendekati pimpinan perguruan tinggi, lalu minta SK atau surat keterangan itu. Kalau yang begini biasanya memang punya perjanjian kelak jika sudah selesai S2 kudu balik ke perguruan tinggi yang memberikan SK itu.

Oia, Di minat KTT ini, nanti terserah mau milih konsentrasi (1) linguistik, (2) sastra, atau (3) budaya. Jadi emang konon yang jurusannya paling linear (sebagai salah satu syarat wajib nglamar PNS dosen) adalah lulusan Lughoh Azhar. Dalam hal ini, Cak Mahfud, Intan, n Agus kiranya dianggap paling linear. Tapi ada yang bilang juga asal dari Azhar terus masuk KTT ya berarti linear. Wallahu a'lam. (Itu kalau memang proyeksinya jelas-jelas hanya dosen PTN).

Untuk persyaratan detail peluang BPPS ini, bisa buka website http://daa.ugm.ac.id atau http://pasca.ugm.ac.id Intinya, jangan sampai lah pulang dari Cairo bingung cari aktivitas. Ayo, susul kami di KTT UGM![]


Kos Papringan, 19 November 2009

Monday, October 19, 2009

Malu!

Ceramah umum Grand Mufti Suriah yang disampaikan di UGM betul-betul membawa pencerahan. Dengan bahasa Arab fusha, Grand Mufti menjelaskan terma Islam rahmatan lil alamin dengan gamblang dan mudah dipahami. Para hadirin pun dengan mudah manggut-manggut mendengarkan penjelasan tokoh lulusan Al-Azhar ini. Tak mengherankan pula jika dewan gereja Indonesia mengundangnya untuk menyampaikan ceramahnya di depan jemaat mereka--itu setelah dewan gereja melihat ceramahnya di hadapan tokoh lintas agama dua hari sebelum acara di UGM.

Saat fase tanya jawab acara yang digelar di gedung pusat UGM itu dibuka, banyak peserta studium general berlomba-lomba mengacungkan jari. Didukung dua orang penerjemah kawakan, termasuk Pak Wadud yang berulang kali menjadi penerjemah resmi acara-acara kenegaraan, acara dialog pun tampak hidup, seakan tak mau kalah dengan acara ceramah monologis sebelumnya.

Melihat hal demikian, membuat saya juga gatal ingin mengangkat tangan tinggi-tinggi. Alhamdulillah, tangan saya terlihat oleh moderator sehingga mendapat kesempatan menyampaikan pertanyaan atau pendapat saat sesi kedua dalam fase tanya jawab.

Hanya saja, saat selesai sesi pertama, rupanya moderator melihat jarum jam sudah menunjuk ke waktu-waktu jelang berakhirnya acara. Akhirnya sesi kedua pun diralat untuk diperuntukkan hanya bagi audiens perempuan. Hal itu mengingat pada sesi pertama tiga orang penanya semuanya dari kaum Adam. Saya pun pasrah kesempatan saya dianulir, dan saya sama sekali tidak menyesal karena sudah mendengarkan ceramah yang begitu mencerahkan.

Namun, rupanya Grand Mufti benar-benar orang yang konsisten, sehingga tetap menunjuk ke arah saya meskipun acara nyaris ditutup moderator. Saya yang sudah pasrah dan mengendapkan pertanyaan dalam hati, shock juga saat dipersilakan berdiri dan mengambil mikrofon. Ditambah, karena barangkali sudah melihat acara seharusnya telah diakhiri, moderator dengan sangat tegas--dan bagi saya terasa intimidatif--mengingatkan saya agar to the point.

Shock dan “intimidasi moderator” tersebut rupanya membuat saya sedikit linglung. Jelas itu bukan pertama kali saya berdiri dan bicara di depan umum, di hadapan tokoh sekelas Grand Mufti sekalipun, tetapi saat itu saya benar-benar gugup. Imbasnya, kalimat-kalimat yang saya susun untuk pertanyaan sepertinya menjadi sulit dipahami oleh orang lain, termasuk penerjemah--bahkan bisa jadi oleh saya sendiri.

Tidak cukup sampai di situ, rupanya masih ada faktor lain yang ingin “menjajah” saya di hari itu. Saya memang mengajukan pertanyaan dengan bahasa Indonesia, mengingat mayoritas penanya sebelumnya menggunakan bahasa itu. Saya pun pede penerjemah akan dengan senang hati menerjemahkan pertanyaan saya. Namun, ternyata penerjemah meminta saya mengulang, bahkan muncul kalimat, “Pakai bahasa Arab saja!”

Luar biasa, benar-benar cobaan yang berat, karena setelah itu Grand Mufti malah bertanya, tentu mengarah kepada saya, “Enta Azhari? Kallim Arabi!” Tuing tuing tuing... serasa kepala ini baru dipukul palu godam. Tubuh ini pun makin bergetar tak keruan. Seakan hilang semua kosakata bahasa Arab dalam kepala. Salah sendiri juga sih, kenapa sebelumnya sama sekali tidak menyiapkan pertanyaan dalam bahasa Arab. Bahkan, saat saya ditunjuk diberi kesempatan, seorang kawan sempat bilang, “Pakai bahasa Arab, Akhi.” Lalu, dengan entengnya saya jawab, “Bahasa Indonesia saja...”

Entah siapa yang membisiki Grand Mufti sehingga mengetahui saya adalah seorang alumni Al-Azhar. Bisa jadi moderator, kebetulan dia sekonsul, meski saya tidak terlalu yakin karena kelihatannya dia tidak terlalu mengenali saya dari kejauhan karena tidak mengenakan kacamata. Bisa jadi juga Dubes Muzzammil, duduk sejajar dengan Grand Mufti di podium, yang pernah mengenal saya saat sama-sama berada di Cairo. Atau entah siapa, yang pasti saya malu bukan kepalang.

Pastinya banyak hikmah dari kejadian itu, mudah-mudahan dapat diserap oleh saya, juga siapa pun yang membaca tulisan ini.[]

RSUD Batang, 17 Oktober 2009

Studium General Grand Mufti Suriah di UGM


Berikut ini rangkuman ceramah umum Grand Mufti Republik Arab Suriah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Studium General
“Islam Rahmatan Lil Alamin”
Grand Mufti Republik Arab Suriah
Dr. Ahmad Badruddin Hassoun
Bulaksumur, 12 Oktober 2009


* Sambutan Ketua Senat Akademik mewakili Rektor UGM
1. Banyak kesamaan antara Indonesia dan Suriah: lambang negara [burung garuda], warna bendera [merah dan putih], tanggal proklamasi kemerdekaan [17].
2. Harapan penguatan kerjasama di antara dua negara, terutama antara UGM dan lembaga pendidikan di Suriah, dengan campur tangan Grand Mufti selaku salah satu pengambil kebijakan yang memiliki peranan cukup kuat.
3. Grand Mufti diharapkan mau menjadi dosen terbang untuk UGM.

* Keynote Speaker Dubes RI untuk Suriah, Drs. Muzzammil Basyuni
1. Mendatangkan Grand Mufti ke Indonesia bukanlah pekerjaan mudah, tetapi karena permintaan Menteri Agama [secara kebetulan kakak kandung Dubes, bukan bermaksud nepotisme] maka diusahakan semaksimal mungkin.
2. Tidak benar Islam merupakan sumber kekacauan ataupun terorisme.
3. Kalaupun ada penilaian Islam sebagai biang terorisme, mari diluruskan dengan da’wah bil haal, yaitu dengan berjihad menegakkan Islam dengan sebenar-benarnya.
4. Jihad tidaklah identik dengan peperangan, al-jihaadu laa yuraadiful-qatl. Jihad adalah mengeluarkan segenap kemampuan untuk memperjuangkan Islam yang benar, al-jihaadu huwal-juhdu li’izzatil-islam.
5. Indonesia dan Suriah sudah merdeka, sekarang saatnya mendukung negara lain, terutama Palestina, agar mendapatkan kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain.

* Kuliah Umum Grand Mufti Dr. Ahmad Badruddin Hassoun
1. Siap menjadi dosen terbang di UGM, bahkan berharap sekaligus diterima sebagai mahasiswa agar juga bisa menimba ilmu di perguruan tinggi ini.
2. Semua agama pasti mengandung dua ajaran utama: kesucian tuhan dan kemuliaan manusia.
3. Semua agama samawi dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, mengajarkan “menghormati sesama manusia”. Jika semua pemeluk agama, termasuk Islam, Yahudi, dan Kristen, konsisten dengan nilai itu, niscaya tidak ada perang di dunia ini.
4. Sebenarnya hanya ada 2 agama di muka bumi: agama dari tuhan dan agama [buatan] dari manusia. Agama dari tuhan adalah agama samawi, yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi. Adapun agama buatan manusia sesungguhnya diawali dengan langkah baik, yaitu memuji kebenaran, lalu mereka membuat simbol-simbol berbentuk dewa atau tuhan yang melambangkan kebaikan, keburukan, dll.
4. Tidak ada istilah “perang suci”. Bagaimana mungkin peperangan yang membunuh manusia-manusia tak berdosa dikatakan suci? Agama mana pun tidak ada yang mengajarkan pembunuhan, karena itu jangan pernah membunuh lalu mengatasnamakan agama.
5. Di Palestina sesungguhnya tidak ada perang antaragama, tidak ada perang antara Islam melawan Yahudi, yang ada hanyalah perang antara pemilik hak melawan kekuatan penjajah.
6. Hati-hati dengan istilah daulah diniyyah atau daulah islamiyyah, negara agama atau negara Islam. Negara yang ada seharusnya adalah daulah insaniyyah, nation state, negara bangsa alias negara yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Negara agama meniscayakan tidak boleh ada agama lain di dalamnya, sementara negara bangsa meniscayakan penghormatan hak-hak seluruh manusia, termasuk hak beragama.
7. Fatamorgana daulah islamiyyah sesungguhnya dimunculkan orang-orang penjajah, bukan berasal dari sumber-sumber ajaran agama Islam.
8. Hadits afsyus-salaam (tebarkanlah salam), menunjukkan perintah untuk menebar kedamaian, tidak sekadar menebarkan atau mengucapkan salam, selamat pagi, selamat siang, dst. Karena itu menggunakan kata afsyu, bukan alqus-salaam (sampaikanlah salam).
9. Ketika peristiwa kartun Nabi Muhammad di Denmark, muncul reaksi, kecaman, dan demo di mana-mana. Namun sepertinya itu justru melegitimasi penilaian beberapa kalangan bahwa Islam adalah agama yang beringas. Seharusnya yang dilakukan adalah dialog. Pihak Mufti Suriah sendiri setelah munculnya kartun itu di media Denmark, langsung mengirimkan surat keberatan dan mengajak dialog pemimpin media itu. Dari dialog itu, terkuak bahwa Barat baru mengetahui sedikit tentang Islam, lalu dipublikasikan dengan cara mereka sendiri melalui media-media mereka. Setelah mendapatkan penjelasan tentang Islam dari pihak Mufti Suriah, media Denmark terbuka untuk membuat semacam “ralat”. Hal itu dilakukan dengan memberi kesempatan kepada Mufti Suriah untuk mengampanyekan Islam sesuai pemahaman sebenarnya langsung dari sumber-sumber ajaran Islam. Akhirnya, empat edisi berturut-turut media Denmark itu memublikasikan ajaran Islam yang ditulis oleh kalangan Islam sendiri, dalam hal ini Mufti Suriah.
10. Demikian ahlanya berkaitan dengan peristiwa “salah ucap” Paus Benediktus atas Nabi Muhammad yang dianggap menyinggung perasaan umat Islam. Ucapan Paus ini pun memunculkan demonstrasi di mana-mana, terutama negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Tetap saja aksi-aksi semacam itu kurang mengena terhadap pelaku salah ucap itu. Oleh pihak Mufti Suriah, Paus diajak berdialog. Mufti Suriah lalu menunjukkan agar Paus membuka-buka terjemahan dari buku Syama’il Muhammadiyah. Mufti Suriah sendiri mengetahui bahwa buku-buku itu sudah ada terjemahannya di perpustakaan Vatikan. Setelah membuka buku itu, Paus mengakui kesalahannya dan mengajukan permohonan maaf.[]

RSUD Batang, 17 Oktober 2009

Monday, October 12, 2009

Urgensi Pengajaran Fiqih

Beberapa waktu yang lalu, saat mengajar di sebuah SMA, saya bertanya kepada siswa-siswi bagaimana lafal niat mandi besar. Luar biasa, dari tiga kelas, atau sekitar 100 orang, ternyata cukup banyak yang masih belum bisa melafalkan! Ironis tentunya, karena niat mandi besar merupakan salah satu prasyarat penting menjaga kesucian diri. Ya, suci dari hadats besar, paling tidak demi kesahihan ibadah paling utama: shalat.

Saya sendiri tidak habis pikir bagaimana siswa-siswi kelas dua SMA itu bisa melepaskan diri dari hadats besar. Lebih ironis lagi, banyak pula pelajar perempuan sekolah itu yang tertunduk malu tidak hafal niat mandi besar. Apakah di antara pelajar laki-laki itu, kebanyakan belum ihtilam (mimpi basah)? Atau barangkali pelajar-pelajar perempuan itu belum juga haid?

Memang, jalan seseorang menuju akil balig tidak hanya dengan ihtilam atau haid. Namun, seperti nyaris mustahil juga jika begitu banyak pelajar--yang saya yakin sudah balig karena kiranya mereka sudah melewati umur 15 tahun--melewati masa kanak-kanaknya menuju balig tidak melalui ihtilam atau haid.

Karena keterbatasan waktu di kelas, lagi pula saat itu saya sedang mengajar materi bahasa Arab, saya tidak sempat lebih jauh menjelaskan mandi besar, hadats besar, dan syarat sahnya shalat. Saya hanya menyindir bahwa barangkali masih banyak di antara mereka belum balig. Lalu sambil bercanda, saya mintakan beberapa orang yang sudah tahu lafal niat mandi besar untuk mengajari teman-temannya.

Itu adalah fenomena di sebuah sekolah menengah atas, bukan madrasah aliyah, meski sebenarnya sekolah itu tidak terlalu umum juga, karena terdapat tambahan beberapa mata pelajaran agama, termasuk bahasa Arab yang saya ampu. Saya sendiri tidak bisa menjamin apakah siswa-siswi madrasah aliyah pasti lebih mengerti fiqih daripada pelajar sekolah menengah atas itu.

Lalu, bagaimana dengan siswa-siswi sekolah menengah atas lain yang hanya mengandalkan satu mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)? Mudah-mudahan justru lebih baik, barangkali dengan inisiatif siswa-siswi itu mengaji di sore atau malam hari, atau mencari guru agama secara privat.

Itu baru soal lafal niat yang memang harus diucapkan ketika hendak mandi besar, belum soal kapan niat itu harus diucapkan jika ingin mandi besarnya sah menghilangkan hadats besar. Sementara masih banyak lagi hal-hal detail tentang mandi besar yang juga harus diperhatikan demi kesahihannya.

Sedikit menukil kitab I'anatuth Thalibin, juz 1 hlm. 91, disebutkan bahwa jika seseorang yang hendak mandi besar hanya mengucapkan niat nawaitul ghusla (aku niat mandi), maka hal itu tidak mencukupi dikatakan sebagai niat. Niat mandi besar setidaknya mengucapkan nawaitul ghusla liraf'il hadatsil akbari (aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar).

Kalimat nawaitul ghusla (aku niat mandi) tidak dianggap mencukupi karena kalimat itu seperti niat mandi-mandi biasa yang dilakukan tidak dalam rangka menghilangkan hadats besar. Jika mandi yang dilakukan adalah mandi sunnah, memang sudah cukup dengan mengucapkan kalimat itu.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam mandi besar adalah bahwa niat tadi harus diucapkan berbarengan dengan gerakan pertama ketika menyiramkan air ke badan. Jadi, jika niat baru diucapkan di tengah-tengah mandi, maka anggota badan yang sudah disiram sebelum ucapan niat harus disiram lagi. Misalnya seseorang memulai mandi dengan menyiram kepala, lalu menyiram bahu. Setelah itu, saat menyiram perut dia baru mengucapkan niat mandi besar. Jika ingin mandi besarnya sah, maka ia harus mengulang untuk menyiram kepala dan bahunya.

Sementara itu, dalam kitab Fathul Wahhab, juz 1 hlm. 36, disebutkan bahwa ketika mandi besar, seseorang harus menyiram seluruh tubuhnya, termasuk sela-sela kuku dan rambutnya, juga seluruh bagian telinga yang tampak dari luar. Bahkan, disebutkan dalam kitab karangan Syekh Zakariya al-Anshari ini, perempuan yang mandi besar sudah selayaknya mandi tidak hanya dengan berdiri. Perempuan mandi juga harus dengan duduk karena ada bagian tertentu dari tubuhnya yang hanya akan teraliri air jika ia menyiram air ke tubuhnya sambil duduk atau jongkok.

Begitulah sekelumit nilai yang barangkali belum dimengerti oleh siswa-siswi SMA yang saya ajar tadi. Padahal, hal itu merupakan nilai-nilai dasar dan masih dalam kategori wajib, tidak sekadar sunnah apalagi mubah. Karena itu, kita harus peduli untuk lebih sering mengingatkan orang-orang di sekeliling kita, baik anak-anak kita, saudara, teman, atau bahkan orang tua, bahwa pengajaran fiqih--terutama yang berkaitan dengan hal-hal wajib--sangat penting untuk dikembangkan. Jangan sampai ada orang di sekeliling kita gagal menjalankan kewajiban karena kekurangan pengetahuan.

Satu hal yang saya tawarkan di sini adalah bahwa pembelajaran fiqih kiranya tidak cukup melalui pendidikan formal. Saya merasa pengajaran ilmu pengetahuan agama justru akan lebih menancap di hati peserta didik jika diajarkan melalui kegiatan belajar mengajar nonformal seperti pengajian, kursus, atau semacamnya. Hal itu karena jika pengetahuan agama diajarkan hanya melalui pendidikan formal, maka seringkali dianggap remeh, kalah oleh pelajaran yang akan diujikan secara nasional, misalnya.

Pun kalau ada ide bahwa pelajaran Pendidikan Agama Islam di SD, SMP, dan SMA akan diujikan secara nasional, saya masih lebih memilih pengetahuan agama juga harus diajarkan secara nonformal. Kecuali jika ujian nasional PAI itu lebih menekankan aspek praktik, tentu dengan penguji yang benar-benar menguasai materi, baik teori maupun praktiknya. []

Kos Papringan, 12 Oktober 2009

Sunday, September 13, 2009

Menjaga Diri dan Keluarga

Allah swt. berfirman,

"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. At-Tahrîm [66]: 6)

Menurut Imam Thabari dalam kitab tafsirnya, Tafsir Thabari, juz XXIII, hlm. 491-492, maksud dari orang-orang yang beriman seperti disebutkan dalam ayat ini adalah orang-orang yang membenarkan keberadaan Allah swt. dan risalah yang dibawa rasul-Nya. Sementara itu, maksud dari "peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka" adalah perintah agar anggota keluarga saling mengingatkan dan mengajarkan kebaikan. Hal itu agar semua anggota keluarga dapat dijauhkan dari api neraka.

Jadi, apabila ada seorang anggota keluarga berbuat kebajikan, hendaknya ia mengajak yang lainnya agar turut melaksanakannya juga. Dengan begitu, setiap orang akan menjaga yang lain agar tidak terjerumus ke dalam neraka.

Tafsiran ini senada dengan tafsiran sahabat Ali bin Abu Thalib r.a. atas ayat yang sama. Menurut menantu Rasulullah saw. ini, setiap orang diharuskan mengajarkan kebajikan kepada anggota keluarganya. "Ajarkanlah akhlak kepada mereka," demikian dikatakan Ali sebagaimana dikutip Imam Thabari.

Imam Thabari juga mengutip tafsiran Mujahid dan Qatadah atas ayat yang sama. Dalam menafsirkan ayat ini, Mujahid mengatakan, "Bertakwalah kepada Allah dan berwasiatlah kepada seluruh anggota keluarga untuk bertakwa kepada-Nya." Sementara itu, Qatadah menafsirkannya sebagai perintah untuk mengajak setiap anggota keluarga agar mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Selain itu, harus tolong-menolong dalam mengerjakan setiap perintah Allah dan saling mengingatkan jika melihat orang lain, terutama anggota keluarga sendiri, ada yang berbuat maksiat.

Masih menurut Imam Thabari, maksud dari "penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras" adalah bahwa neraka dijaga oleh para malaikat yang seram nan kejam. Mereka tidak akan segan untuk berbuat kasar kepada para penghuni neraka. Berbeda dengan para preman dari kalangan manusia, yang juga seram nan kejam, para malaikat tentu saja taat kepada Allah. Mereka tidak pernah mengabaikan semua perintah yang dititahkan Allah kepada mereka.

Dalam kitab tafsir yang lain, Imam Ibnu Katsir juga mengutip tafsiran Ali, Mujahid, dan Qatadah itu atas ayat yang sama. Imam Ibnu Katsir juga menyebutkan perkataan Ibnu Abbas bahwa maksud dari "peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka" adalah perintah untuk taat kepada Allah dan menjauhkan diri dari bermaksiat kepada-Nya, lalu memerintahkan semua anggota keluarga untuk selalu ingat kepada sang Pencipta. Dengan begitu, mereka semua dapat diselamatkan dari api neraka.

Dalam kitab Tafsir Ibni Katsir, juz VIII, hlm 167, disebutkan bahwa ayat ini dapat dikaitkan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan Abdul Malik bin Rabi' berikut ini.

"Perintahkanlah anakmu untuk melaksanakan shalat jika ia sudah menginjak usia tujuh tahun. Jika ia telah berumur sepuluh tahun, tetapi berani meninggalkan shalat, maka pukullah ia." (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi)

Disebutkan oleh Tirmidzi bahwa hadits ini termasuk hadits hasan. Dengan status sebagai hadits hasan, hadits ini pun diakui validitasnya oleh para ulama, juga banyak dijadikan pegangan oleh para fuqaha. Hal itu karena hadits hasan adalah hadits yang memang tidak mencapai derajar sahih, tetapi juga tidak terjerumus sampai ke derajat dhaif (lemah). Kalaupun salah seorang perawinya memiliki kekurangan, namun tidak sampai berdusta. (Muqaddimah Ibni Shalah, juz I, hlm. 77)

Hadits ini menegaskan bahwa tanggung jawab orang tua terhadap anaknya tidak hanya berkaitan dengan materi. Orang tua juga dituntut untuk mengarahkan anaknya agar taat beribadah sesuai ajaran Islam. Bahkan, orang tua juga diperintahkan untuk berlaku tegas jika sang anak berani meninggalkan kewajiban beribadah.

Untuk konteks masa kini, memukul anak bisa jadi memang dapat mengantarkan orang tua berurusan dengan hukum negara. Namun, jika sang anak sudah dari kecil dididik untuk membiasakan diri tidak meninggalkan ibadah, tentu alternatif perintah untuk memukul anak ini dapat dihindari jauh-jauh.

Oleh karena itu, ketegasan Islam dalam memerintahkan orang tua untuk memerhatikan pendidikan dan budi pekerti anak tidak dapat dibaca sebagai anjuran berlaku kekerasan. Ketegasan ini justru menunjukkan bahwa Islam sangat peduli terhadap hubungan orang tua dan anak. Toh, jika sedari awal orang tua dapat membina anaknya untuk menaati setiap ajaran agama, maka tahap pemukulan yang identik dengan kekerasan juga tidak perlu dilalui.[]

*Disarikan dari materi kuliah subuh di Masjid Al-Muttaqin, Pujut, Tersono, Batang pada 4 September 2009

Pujut, 10 September 2009

Thursday, August 06, 2009

Jalan-Jalan ke Pagilaran

Ikut nimbrung anak-anak kelas XII yang hiking ke kebun teh Pagilaran, Kec. Blado, Kab. Batang. Pastinya punya potensi yang tidak kalah dibanding Puncak atau Cibodas.














Ruang TU, 6 Agustus 2009

Wednesday, July 22, 2009

Korupsi di Sekitar Kita (1)

Alhamdulillah temanku diterima menjadi PNS di Pemda. Meski "hanya" di level pemerintah daerah tingkat dua, tentunya patut disyukuri. Sebelumnya memang bercita-cita tinggi bisa masuk level atas, nasional, alias tingkat pusat. Tapi mau apa lagi, ndilalah rezeki ada di daerah sendiri.

Tak mengapa, yang penting sudah punya penghasilan sendiri. Lagi pun, kata dia, bisa segera bayar utang yang menumpuk. Ya, dia pernah cerita, entah keceplosan atau justru dibesar-besarkan, muter-muter Jakarta-Semarang-Surabaya berkali-kali buat ngelamar dan tes ini itu di berbagai instansi, tidak terasa ternyata menghabiskan uang sampai delapan digit.

"Ngene-ngene utangku nem likur yuto," katanya di tengah percakapan sama temen-temen. Kalau diindonesiakan, kira-kira artinya dia tidak mengira kalau ternyata sampai punya utang dua puluh enam juta. Wallahu a'lam kebenarannya. Mari kita berdoa semoga utangnya itu bermanfaat sekaligus "mbarokahi" dan dia segera bisa melunasinya.

Karena utang itulah, hal pertama yang dipikirkan setelah menerima SK CPNS adalah "menyekolahkan" SK yang diterimanya. Sebagai CPNS, memang dia berhak mengambil pinjaman di bank milik pemerintah dengan jumlah cukup "wah"--paling tidak menurut ukuran kami, teman-teman sepermainannya. Namun, ternyata bunga pinjamannya lebih "wah" lagi. Nilai yang harus dia kembalikan dalam waktu enam tahun nyaris dua kali lipat dari pinjaman yang diambilnya. Dalam waktu enam tahun itu, setiap bulan dia harus merelakan gajinya dipotong sampai tujuh digit.

Birokrasi pengambilan pinjaman inilah yang ternyata harus dilaluinya dengan secara terpaksa menanggalkan idealisme dia selaku mahasiswa--saat ini dia juga melanjutkan S2 di almamater yang sama dengan beasiswa. Ketika mengajukan pinjaman, dia memang harus menyertakan slip gaji dari bendaharawan tempatnya bekerja. Namun, hal itu ternyata tidak gratis. Untuk mengeluarkan slip gaji yang digunakan untuk peminjaman itu, sang bendaharawan meminta jatah sampai enam digit.

"Sekadar ongkos lelah, Mas," ujar sang bendaharawan itu. Di situlah dia dibuat tidak berkutik. Dia hanya bisa cerita kepada kami teman-teman dekatnya, "Padahal itu kan udah tugas dia ya." Mendapat cerita itu, kami menyemangatinya agar melaporkannya saja ke media atau pihak berwenang. Namun, barangkali karena terdesak untuk segera membayar utang, dia hanya bisa berucap, "Dia orang kepercayaan dan orang dekat bos. Kalau dilaporkan atau dimediakan bisa-bisa nanti semua urusanku dipersulit."

Kita mungkin akan berdebat, salahkah atau benarkah tindakannya itu. Bisa-bisa menghabiskan rokok sekian bungkus untuk membahas hal itu. Karena itu, tidak usahlah kita membahasnya. Mari kita renungkan, bagaimana susahnya memberantas korupsi di negeri ini. Barangkali kita juga akan mengalami hal yang sama dengan temanku ini, atau paling tidak mirip-mirip begitu. Apa yang harus kita lakukan?[]


Pujut, 21 Juli 2009

Monday, July 06, 2009

Yang Terpojok Memenangi Pemilihan

Bangsa Indonesia memang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang lain. Konon, selain santun dan ramah, orang Indonesia juga dikenal sebagai bangsa yang mudah dizalimi. Artinya, saat dizalimi, lebih sering orang Indonesia tidak segera membalas. Namun, di sisi lain, sekali membalas barangkali bias lebih sadis dari binatang sekalipun.

Entah apakah ada hubungannya atau tidak, karena mudah dizalimi itulah barangkali orang Indonesia bakal merasa lebih dekat dengan setiap orang yang dizalimi atau teraniaya atau dipojokkan. Pemilihan-pemilihan, baik pileg maupun pilpres, pada era dan setelah reformasi kiranya dapat dijadikan ukuran untuk itu.

Pada tahun 1999, pemilu pertama kali diselenggarakan tanpa tekanan berlebih dari kaum berkuasa. Pemilu yang panitia penyelenggaranya merupakan perwakilan dari partai-partai peserta pemilu itu dimenangkan oleh PDI Perjuangan. Ketika itu, PDI-P merupakan ikon perlawanan rakyat melawan kesewenang-wenangan Orde Baru.

Memang benar pihak yang dizalimi Orde Baru tidak hanya PDI-P. Namun, dalam kancah politik yang direpresentasikan melalui pemilu, PDI-P kiranya paling berhak menjadi “bintang kaum teraniaya”. Apalagi, saat itu masih santer bagaimana berita PDI (cikal bakal PDI-P) diobok-obok Pak Harto melalui tangan aparat pemerintah dan militer. Sampai kemudian pemilu 1999 digelar, rakyat barangkali sangat iba kepada PDI-P. Karena itu, tidak mengherankan kalau kemudian PDI-P memenangkan pemilu pertama setelah reformasi itu bergulir.

Contoh lain bahwa pihak yang dipojokkan justru mendulang suara terbesar adalah terpilihnya SBY dalam pilpres 2004. Saat kampanye pilpres, isu yang memojokkan SBY bahwa ia adalah “pengkhianat” Megawati cukup santer terdengar. Isu lain yang menohoknya juga bermunculan, termasuk isu bahwa istri SBY adalah nonmuslim—kebetulan namanya Kristiani Yudhoyono. Entah seberapa besar pengaruhnya, isu yang memojokkan SBY itu ternyata malah mengantarkannya menuju Istana Presiden.

Kisah lainnya barangkali bisa ditarik pula dari kemenangan Partai Demokrat pada pileg 2009 yang baru saja berlalu. Setelah berseteru dengan Golkar di masa-masa kampanye dan sempat mendapatkan beberapa serangan bertubi-tubi, Partai Demokrat dapat mendulang suara terbanyak di antara partai peserta pemilu. Bahkan, jauh melebihi capaian PKS yang pada pemilu 2004 sempat melonjak sangat tajam dan pada pemilu 2009 digadan-gadang akan naik drastis lagi.

Nah, pada pilpres kali ini, akankah pihak yang dipojokkan—tentu menurut asumsi masyarakat umum—akan memenangkan kompetisi? Memang cukup susah “menentukan” siapa di antara tiga pasangan yang paling sering dipojokkan. Hal itu karena ketiganya sama-sama pernah menyerang dan diserang. Menurut sebuah tulisan di Suara Merdeka (Sabtu, 4/7/2009), SBY-Boediono mendapat serangan negatif 163 kali dan melakukan serangan 128 kali. Adapun JK-Win menyerang dan diserang sama-sama sebanyak 89 kali, sementara Mega-Pro menyerang 78 kali dan diserang 67 kali.

Jika menyerang dianggap nilai minus dan diserang dianggap nilai plus, SBY-Boediono memiliki nilai plus sebanyak 35, JK-Win nihil, dan Mega-Pro justru minus 11. Apakah hitung-hitungan matematis itu dapat dijadikan tolok ukur hasil pilpres nanti? Hanya pemilih yang bisa menentukan.

Di luar data itu, tentu peranan media dalam mem-blow up setiap serangan memiliki peran penting. Tidak mustahil satu serangan pasangan kepada pasangan lainnya bisa didengar atau diketahui hampir semua calon pemilih, sementara serangan yang lain hanya diketahui segelintir orang. Artinya, sangat mungkin hitung-hitungan serangan tadi memiliki nilai berbeda antara satu serangan dan serangan lainnya.

Di sisi lain, mudah-mudahan saja fenomena semacam ini tidak dimanfaatkan oleh oknum tim sukses (baik resmi maupun bayangan) dengan menyebarkan kampanye negatif atas pasangan yang didukungnya demi mendongkrak popularitas capres-cawapres mereka. Lagi pula, sesungguhnya kampanye negatif jelas-jelas melanggar aturan pemilu. Karena itu pihak yang berwenang harus mengungkap setiap kampanye hitam, entah dilakukan oleh siapa, entah ditujukan kepada siapa. Kalau perlu, harus diungkap secara transparan siapa dalang di balik setiap kampanye hitam itu agar kasus semacam itu tidak disalahgunakan oleh tim sukses capres-cawapres.

Sementara itu, manuver pasangan nomer urut 1 dan 3 pada hari tenang dengan "menyerang" KPU justru bisa menambah antipati masyarakat. Dalam hal ini, publik yang melihat pergerakan kedua pasangan itu terlalu frontal--bahkan dengan mengancam untuk menunda pemilu--bisa jadi mengalihkan atau memberikan dukungan kepada pasangan yang dalam hal ini tampak lebih tenang, yaitu nomer urut 2.

Apalagi, "serangan" terhadap KPU berkaitan dengan DPT ini baru dimunculkan setelah masa kampanye. Padahal, DPT telah diproses jauh-jauh hari. Artinya, seharusnya kalau mau serius membenahi DPT, kedua pasangan itu bisa melangkah jauh sejak awal. Jika dilakukan saat ini, masyarakat bisa mencurigai mereka; jangan-jangan mereka ngotot soal DPT pada hari tenang ini karena mereka merasa masih kalah suara.

Oleh karena itu, jika ingin meraih simpati masyarakat, sesungguhnya yang harus dilakukan adalah membuat manuver-manuver yang "adem-ayem" dengan bahasa halus nan sopan. Misalnya, cukup dengan mengatakan "Mari sukseskan pemilu, mari mengawasi jalannya pemilu, mari mengawasl proses pemilihan" dan kalimat-kalimat "adem" semacam itu. Tentu saja, dua hari masa tenang ini sungguh singkat. Namun, apabila bisa dimanfaatkan dengan baik, bisa jadi dapat meraih simpati masyarakat, terutama pemilih mengambang (swing voter) yang jumlahnya cukup banyak.[]


Pujut-Tersono, 4-6 Juli 2009

Monday, June 22, 2009

Andai Saya Ketua NU

Andai saya sedang menjabat sebagai Ketua NU, saya akan bayar stasiun televisi untuk menyampaikan pidato sebagai berikut.

“Kaum nahdliyyin di mana pun berada, sekarang ini sedang ramai-ramainya kampanye pilpres. Sudah ada tiga pasangan capres-cawapres berknjung ke Kramat Raya meminta restu. Semuanya saya restui. Semuanya saya yakin bertujuan baik.

Namun, karena saya tahu bahwa orang-orang NU pasti memiliki pilihan berbeda-beda, saya tidak akan memaksakan diri untuk menyebut salah satu pasangan capres-cawapres itu lebih baik daripada yang lain. Atau salah satu dari mereka memiliki kelebihan yang tidak dimiliki yang lain.

Meski saya pribadi sudah punya pilihan di antara ketiga pasangan itu, saya tetap akan berusaha menjunjung tinggi asas pemilu yang LUBER, terutama RAHASIA itu. Karena saya tahu, betapa mudahnya ucapan saya ditafsirkan. Sekali saja saya memuji salah satu capres-cawapres di depan umum, hampir pasti itu menjadi makanan empuk bagi tim sukses pilpres. Saya tidak ingin terjadi kesalahpahaman di kalangan nahdliyyin. Mari kita fokus membangun bangsa dengan peran kita masing-masing.

Namun, saya mengimbau warga nahdliyyin di mana pun berada, agar memanfaatkan sebaik mungkin kesempatan memilih pemimpin yang dianggap terbaik menurut diri masing-masing. Bukan karena tim sukses si X membayar lebih tinggi, bukan karena tim sukses si Y melakukan intimidasi, juga bukan karena tim sukses si Z mau membangunkan jalan, jembatan, atau mushola.

Jika ada tim sukses yang datang menawarkan bantuan, terima saja. Tentu dengan embel-embel tanpa syarat. Mari kita dakwahkan bekerja dengan ikhlas, tidak hanya pada masa tertentu, mau kampanye atau tidak, mari bekerja dengan ikhlas. Setelah menerima bantuan, jangan sampai kita memilih pihak yang membantu itu karena bantuan terakhir itu. Jangan sampai! Kalau memang ingin memilih dia, yakinlah bahwa karena capres-cawapresnya punya kelebihan untuk memajukan bangsa Indonesia.

Perlu juga saya tegaskan di sini, bahwa ketiga pasangan capres-cawapres sudah sama-sama menjamin di hadapan saya, akan tetap mendukung NU. Akan tetap bersama NU yang memang dari zaman awal kemerdekaan Republik Indonesia menjadi salah satu pilar negeri ini.

Jadi siapa pun presiden-wapres terpilih, saya jamin kepentingan NU juga tidak akan terusik. NU akan tetap jalan, siapa pun presidennya. NU akan tetap kritis, jika memang pemimpin kita khilaf.

Mari pergunakan hak pilih kita sebaik-baiknya!”


Pujut, 21 Juni 2009

Tuesday, May 26, 2009

Hijau Desaku

Ini dia benar-benar hijau! Paling kiri adalah rumah kakakku yang nomer dua. Paling kanan adalah, rumah belakang rumahku. Hehe, sayang rumahku tidak terlihat.



Hampir sama dengan gambar sebelumnya, tetapi dilengkapi dengan jalanan.

Barat desa juga. Tampak tiga tower operator seluler, kalau tidak salah Telkomsel, Indosat, dan Excelmindo. Ada juga tower kecil (paling kanan) milik Pak Camat.


Barat desa, beberapa puluh meter di depan pengambil gambar, terdapat sawah milik orang tua yang tidak terlalu luas. Itupun belakangan selalu kalah cepat dari tikus dalam memanen. Hiks hiks...


Karena efek mentari pagi, nyaris ada pelangi di atas lapangan dan Bon Gedhe (dari kebun gede atau kebun besar; semacam hutan kecil gitu lah).



Lapangan tampak dari arah barat daya. Hmmm, mentari mulai mengintip. Sinarnya begitu sehat!



Lapangan sepak bola tampak dari barat. Rumputnya bersaing dengan rumput Gelora Bung Karno.


Berjalan sedikit ke utara desa, inilah aspal desa yang hampir setiap pagi jadi alas kakiku.



Pujut, Mei 2009



Monday, April 27, 2009

Cara Legalisasi Ijazah di Depdiknas

Mau nulis ini, jadi inget beberapa bulan lalu saat masih di Pena. “Sarjana internasional,” begitu kira-kira aku bangga menyebut diri. Narsis memang, tapi toh itu diiyakan oleh “sarjana-sarjana lokal” semacam Nung dan Fahri yang “hanya” jebolan IPB dan UI. Padahal, kalau mau jujur, orang-orang kampung kiranya masih nganggep lulusan Universitas Indonesia yang di Jakarta itu tetep lebih “wah” yah. Apalagi diriku yang kuliahnya di Al-Azhar, ah... palingan juga sama kayak lulusan pesantren. Tapi demi meramaikan kantor n bikin kerjaan lebih seru, tentu saja aku makin bangga menyebut-nyebut diri (sering sih!) sebagai sarjana internasional itu. Tentu dengan nada guyon, atau nada serius tapi pasti dianggep guyon.

Kembali ke judul tulisan. Buat sarjana lulusan universitas luar negeri, gelar akademik dan profesional yang disandangnya memang harus terlebih dahulu disahkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Ini memang kalau pada mau ndaftar PNS tingkat pusat; biasanya yang diincer Deplu.

Selain di Depdiknas, sebenarnya ijazah Al-Azhar juga bisa dilegalisasi di Depag. Hanya saja, untuk ndaftar jadi diplomat ke Deplu, atau mungkin departemen bidang “umum” lainnya, memang disarankan atau malah diharuskan dilegalisasi oleh Depdiknas. Apalagi, konon pengurusan di Depdiknas lebih “diuwongke”, tidak ditinggal kondangan (jadi inget kisah Wira ama Najib yang mau legalisasi di deket Istiqlal itu), juga tidak di-bukroh (besok, besok, lusa, atau bulan depan sekalian), dan yang pasti graris tis tis tissss ga butuh suap apa pun.

Di Depdiknas, menurut pengalaman pribadi, memang tampak profesional. Dari pintu masuk dan bertemu resepsionis, sudah disuguhi menu utama: senyum. Tentu saja melangkah jadi lebih mudah, apalagi harum wangi ruangan setiap lantai gedung Depdiknas begitu menggoda.

Jika datang ke kantor Depdiknas, disarankan untuk masuk melalui gerbang sisi utara, bukan sisi timur (Jl. Jenderal Soedirman). Kemarin pas ke situ lewat timur sih, motor diparkir dekat pintu masuk timur, jadinya jalan kakinya jauh banget. Maklum, kan emang belum tahu gedung tempat legalisasi itu sebelah mana. Kalau lewat sisi utara, pas banget tuh langsung ke gedung D yang tinggi menjulang, keliatan paling baru, dengan dominasi warna biru.

Masuk ke gedung itu, bisa langsung ke lantai 7. Baiknya tanya resepsionis yang geulis-geulis itu lah mana lift, sayang kalau ga punya kesempatan lagi bertegur sapa sama mereka, siapa tau juga nanti pas pulang bisa nebeng atau ngasih tebengan. Nah loh, cut! (Just intermezzo)

Di lantai 7 itu, lapor ama satpam, biasanya atau udah seharusnya emang ngisi formulir semacam buku tamu. Ada nomer urut juga, jadi bener-bener tertib tuh. Cuman pas ke sana ada kesalahan satpam sih, kok bisa-bisanya nomer 24 ada 2 orang, untung mereka ga tengkar. Atau bisa jadi hal itu terjadi karena satpam lagi di-switch ama penggantinya karena dekat-dekat waktu istirahat sih, kurang koordinasi gitu.

Kalau ditanya, bilang aja mau legalisasi ijazah luar negeri, ketemu Pak Nyoman atau Bu Wiwik (kalau dua orang itu belum diganti). Menurut saran seorang teman, lebih baik temui Ibu Wiwik, entah karena si teman itu laki-laki atau karena hal lain. Yang pasti, kemarin ketemu Ibu Wiwik emang orangnya enak banget, enak diajak ngobrol, enak diajak dialog, komunikatif gitu lah plus mau ngasih saran kalau ada masalah.

Sebelum itu, buat lulusan S1 Azhar ni ya, siapkan dulu:
1. Fotokopi ijazah terakhir di Indonesia (tidak harus yang sudah dilegalisasi)
2. Fotokopi ijazah luar negeri yang akan dilegalisasi (plus terjemahan bahasa Inggris)
3. Fotokopi transkrip nilai ijazah luar negeri yang akan dilegalisasi (plus terjemahan bahasa Inggris)
4. Fotokopi paspor lengkap seluruh halaman yang tercantum visa.
5. Katalog tentang universitas Al-Azhar plus fakultas-fakultas n kurikulumnya; bisa memfotokopi buku Ke-Azhar-an keluaran KMA atau Mardhati itu. Atau bisa juga hubungi nomer telpon 08154246***5 kalau mau katalog Azhar berbahasa Inggris yang udah terbukti diterima di situ.
6. Pasfoto (diminta hitam putih, tapi berwarna juga boleh kok) ukuran 4X6 sebanyak tiga lembar.
7. Map. Hehe, kemarin ke sana lupa bawa map coba!

Semua berkas itu, JANGAN LUPA, bawa ASLInya! Karena bakal diliatin n dicocokin sama Bu Wiwik itu, juga Pak Nyoman kali ya, terus distempel khusus. Makanya tadi dibilang tidak harus yang sudah dilegalisasi.

Kan disuruh ngisi formulir tuh (atau bisa juga didownload sebelumnya melalui www.evaluasi.or.id), disarankan untuk menulis sebagai BIAYA SENDIRI aja yah, jadi lebih mudah urusannya, cukup dengan bawa fotokopi paspor. Kecuali kalau memang masih nyimpen surat penunjukan beasiswa, baik dari Depag maupun instansi lainnya.

Terus, menurut pengalaman seorang teman, dia nulis terjemahan ijazah dengan nama sendiri dan nama bapak ditulis sebaris. Ternyata itu dipermasalahin Pak Nyoman (barangkali itu alasannya menyarankan untuk ketemu Bu Wiwik aja).

Setelah berkas masuk, tingal nunggu aja tuh, kira-kira sebulan. Katanya sih ga bakalan lebih dari 21 hari. Wallahu a’lam mana yang bener. Kalau liat selebaran dari sana, evaluasi ijazah dilakukan 6 kali dalam setahun, yaitu tiap bulan genap. Kalau liat papan pengumuman di sana, dilakukan 10 kali dalam tahun 2009 ini, kalau ga salah yang ga ada tu bulan Januari ama Maret gitu. Jadi ke depan setiap bulan sampai akhir 2009 selalu ada evaluasi ijazah, rata-rata dilaksanakan pekan ketiga gitu deh.

Oia, ruangan itu namanya DIREKTORAT AKADEMIK, termasuk bagian dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas. So, jangan salah masuk ya. Selamat menikmati layanan Depdiknas!

Pujut, 13 Juni 2009

Wednesday, March 25, 2009

Pemilu Siapa Peduli



Mungkin upah untuk para penyelenggara pemilu kurang. Oh, pemilu termahal sepanjang sejarah.

Friday, February 27, 2009

Buku Baru: Ensiklopedia Akhlak Muhammad


Judul Asli: Mausû’ah Min Akhlâqir-Rasûl saw.
Judul Terjemah: Ensiklopedi Akhlak Nabi Muhammad saw.
Penulis: Mahmud al-Mishri Abu Ammar
Penerbit: Darut-Taqwa Kairo, Mesir
Halaman Asli: 1102
Halaman Terjemahan: 1064
Harga: Rp450.000,- (sebelum diskon)

Seorang muslim pasti berharap selalu dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat. Sayangnya di zaman yang sudah amat jauh dari zaman hidup Rasulullah saw. sekarang ini terdapat begitu banyak tantangan. Krisis moral adalah sesuatu yang sudah biasa terjadi dan bahkan terkadang dianggap sebagai hal yang lumrah.

Bukan suatu hal yang mudah untuk menghadapi krisis moral yang sudah sangat rumit. Oleh karena itu, Mahmud al-Mishri yang sadar akan pentingnya menjaga generasi mendatang dari kebobrokan moral, mencoba mengumpulkan berbagai referensi tentang teladan moral yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Melalui buku ini, Mahmud al-Mishri menyusun tata moral yang kiranya dapat dijadikan tuntunan untuk mengarungi kehidupan pribadi maupun bermasyarakat. Selain itu, buku ini juga memuat banyak teladan yang diajarkan tidak hanya oleh Nabi Muhammad saw., tapi juga oleh para nabi dan rasul sebelumnya. Ada juga beberapa kisah kontemprorer yang berkaitan dengan tata moral dicantumkan dalam beberapa bab tertentu. Hal ini membuat buku ini terasa lebih dekat dengan masa kini.

Secara umum, semua teladan baik yang telah dilaksanakan oleh para nabi, rasul maupun para sahabat dan tabi’in, sebenarnya berkiblat kepada ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw. Karenanya, hampir semua nilai moral yang ada dalam buku ini bersumber dari Al-Qur`an dan Al-Hadits.

Nilai moral yang tercantum dalam buku ini diperinci dalam 29 bab. Dalam bab tertentu, terkadang ada dua poin moral yang disampaikan. Barangkali karena ada kemiripan di antara keduanya sehingga digabung dalam satu bab. Tidak terlalu sulit mencerna isi buku ini karena poin moral yang disampaikan diurutkan dimulai dari tata cara mengatur diri sendiri dan hubungannya dengan Allah, baru kemudian mengulas akhlak-akhlak yang mengatur interaksi dengan orang lain.

Dalam pengantarnya, Mahmud al-Mishri mengakui bahwasanya nilai moral yang sebenarnya ada dan telah diajarkan Nabi saw. jauh lebih banyak dan lebih luas dari yang tertulis dalam buku itu. Namun untuk membentengi diri dari dekadensi moral, buku ini sangatlah layak untuk dijadikan pegangan.[]


Ruang Produksi, 27 Feb 2009

Monday, January 19, 2009

2 Karyawan Pena Dihadiahi Umrah


Melewati usianya yang keempat, Penerbit Pena Pundi Aksara menyelenggarakan acara milad secara sederhana. Bertempat di kantor, Kamis (15/1/2009) petang seluruh karyawan dikumpulkan guna memperingati suka duka yang telah dijalani selama empat tahun. Usai shalat magrib, acara dibuka oleh MC yang langsung mempersilakan Direktur Utama, Eka Rasa Defaira, untuk memberikan sambutan.

Dalam sambutannya, Eka menekankan pentingnya kekuatan dan kebersamaan untuk menghadapi tantangan yang dari tahun ke tahun dirasa makin besar. Karena itu, Eka memberikan apresiasi tinggi kepada beberapa karyawan yang sudah turut membangun dan tetap bertahan di Pena sejak awal berdiri, 5 Januari 2005.

Seperti tahun sebelumnya, Eka juga menghadiahi karyawan berprestasi dengan paket umrah. Bahkan, jika dua tahun sebelumnya masing-masing hanya satu orang yang diberangkatkan, kali ini terdapat dua orang karyawan yang berhak berziarah ke tanah suci sebagai bentuk penghargaan dari perusahaan. Selain itu, enam orang memperoleh bingkisan khusus atas dedikasi yang mereka berikan selama lebih dari tiga tahun bergabung dengan Pena.

Dua orang yang beruntung mendapatkan paket umrah adalah Hasan Basri, Kabag Pena Qur`an, dan Agi Sandyta yang sehari-hari menjalankan tugas sebagai Associate Designer. Keduanya dijadwalkan berangkat ke tanah suci pada bulan April nanti.

Usai penganugerahan karyawan berprestasi, acara dilanjutkan dengan pemotongan kue tart dan nasi tumpeng. Karena sudah melewati azan isya, acara pun diskors untuk shalat berjamaah dan ramah tamah. Setelah itu, Ust. Qurtubi Nafis, seorang dai muda yang sengaja didatangkan untuk menyejukkan hati karyawan, dipersilakan memberikan nasihat dan petuahnya.

Dalam pesannya yang dibalut dengan gaya bicara yang cair ala Betawi, Ust. Qurtubi menekankan pentingnya beberapa aspek dalam mengembangkan sebuah perusahaan. Ustad yang merupakan alumni Al-Azhar Cairo ini lalu menganalogikan pengembangan perusahaan dengan pengembangan pesantren yang juga dirintisnya sejak sekitar empat tahun lalu. Menurutnya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan itu, di antaranya landasan keimanan, keilmuan, dan kedisiplinan.

Tanpa semua itu, perusahaan--atau juga pesantren--bakal mudah goyah, bahkan ambruk atau bangkrut. Kalaupun bisa sukses, kiranya kesuksesan yang dirasakan merupakan sesuatu yang tidak nyata dan kelak akan mudah terjun bebas menuju titik nol. Karenanya, Ust. Qurtubi juga memuji Eka yang memberikan alasan pemilihan lokasi kantor di Cempaka Putih Tengah XVIII itu karena terletak dekat masjid. Dengan demikian, Penerbit Pena yang dikenal concern menerbitkan buku-buku islami ini benar-benar menjaga nilai-nilai religius dalam segala aspeknya.[]


Kos Cempaka Warna, 18 Januari 2009

Saturday, January 03, 2009

Pena Gelar Great Sale Lagi


Menyambut pergantian tahun hitungan hijriyah dan masehi sekaligus, Penerbit Pena memanjakan penikmat buku dengan menggelar Great Sale. Berbeda dengan Great Sale yang digelar tiga bulan sebelumnya, kali ini Great Sale dilaksanakan di dua tempat. Pertama, sama dengan gelaran sebelumnya, yakni di kantor. Kedua, ditambah dengan menyewa tempat di Ambassador Mall (ground floor), Jakarta Selatan.

Sama dengan Great Sale sebelumnya, dalam Great Sale kali ini Penerbit Pena juga menawarkan dikson besar-besaran antara 20 hingga 60 persen. Fiqih Sunnah edisi lux pun kali ini hanya dihargai Rp350.000,00. Sayangnya, buku paling laris dari Penerbit Pena yang sempat berkali-kali masuk layar televisi, Khadijah (hardcover), sedang kehabisan stok. Namun, pelanggan Pena tidak perlu kecewa karena Khadijah edisi softcover tersedia cukup banyak. Bahkan, untuk buku best seller tersebut Pena berani memberi diskon enam puluh persen!

Berikut ini daftar harga lengkap Great Sale Penerbit Pena di Mall Ambassador (3-12 Januari 2009) dan di kantor Penerbit Pena (5-15 Januari 2009).

No.

Judul buku

Bruto

Disc.

Netto

1

Aisyah

85,000

30%

59,500

2

Aku Mohon Petunjuk-Mu

72,000

30%

50,400

3

Amalan Hati

50,000

50%

25,000

4

Amarah dan Cinta Rasulullah

80,000

60%

32,000

5

Aminah

80,000

35%

52,000

6

Arabic Kamasutra

70,000

30%

49,000

7

Bukan Sholat Biasa

50,000

50%

25,000

8

Candu Sholat

30,000

50%

15,000

9

Doa Harian Rasulullah

40,000

30%

28,000

10

Ensiklopedia Doa dan Dzikir

110,000

30%

77,000

11

Fiqih Sunnah Lux

700,000

50%

350,000

12

Fiqih Sunnah Wanita

140,000

30%

98,000

13

Hadits Qudsi

90,000

50%

45,000

14

Hikmah dari Langit

55,000

50%

27,500

15

Ihya Ulumiddin

170,000

30%

119,000

16

Jumpai Aku Ya Rasul

70,000

60%

28,000

17

Keajaiban Shalat Berjamaah

10,000

60%

4,000

18

Khadijah (Softcover)

30,000

60%

12,000

19

Life Is Beautiful

25,000

60%

10,000

20

Mukjizat Al-Fatihah dan An-Naas

80,000

50%

40,000

21

Mutiara Hikmah

65,000

50%

32,500

22

Panduan Sholat

60,000

50%

30,000

23

Pena Juz Amma Tajwid

30,000

30%

21,000

24

Pena Quran Tajwid Balai Citra

275,000

20%

220,000

25

Pena Quran Tajwid Cet. 6 IK

275,000

20%

220,000

26

Pena Quran Tajwid Satin

350,000

30%

245,000

27

Pena Quran Wanita (Kecil)

50,000

20%

40,000

28

Syamail Muhammad

105,000

40%

63,000

29

Tafsir Quran Wanita 1

80,000

50%

40,000

30

Tafsir Quran Wanita 2

85,000

50%

42,500

31

Tazkiyatun Nafs

120,000

60%

48,000

32

The Great Women

65,000

60%

26,000



Ruang Pena Book, 3 Januari 2008