Bangsa Indonesia memang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang lain. Konon, selain santun dan ramah, orang Indonesia juga dikenal sebagai bangsa yang mudah dizalimi. Artinya, saat dizalimi, lebih sering orang Indonesia tidak segera membalas. Namun, di sisi lain, sekali membalas barangkali bias lebih sadis dari binatang sekalipun.
Entah apakah ada hubungannya atau tidak, karena mudah dizalimi itulah barangkali orang Indonesia bakal merasa lebih dekat dengan setiap orang yang dizalimi atau teraniaya atau dipojokkan. Pemilihan-pemilihan, baik pileg maupun pilpres, pada era dan setelah reformasi kiranya dapat dijadikan ukuran untuk itu.
Pada tahun 1999, pemilu pertama kali diselenggarakan tanpa tekanan berlebih dari kaum berkuasa. Pemilu yang panitia penyelenggaranya merupakan perwakilan dari partai-partai peserta pemilu itu dimenangkan oleh PDI Perjuangan. Ketika itu, PDI-P merupakan ikon perlawanan rakyat melawan kesewenang-wenangan Orde Baru.
Memang benar pihak yang dizalimi Orde Baru tidak hanya PDI-P. Namun, dalam kancah politik yang direpresentasikan melalui pemilu, PDI-P kiranya paling berhak menjadi “bintang kaum teraniaya”. Apalagi, saat itu masih santer bagaimana berita PDI (cikal bakal PDI-P) diobok-obok Pak Harto melalui tangan aparat pemerintah dan militer. Sampai kemudian pemilu 1999 digelar, rakyat barangkali sangat iba kepada PDI-P. Karena itu, tidak mengherankan kalau kemudian PDI-P memenangkan pemilu pertama setelah reformasi itu bergulir.
Contoh lain bahwa pihak yang dipojokkan justru mendulang suara terbesar adalah terpilihnya SBY dalam pilpres 2004. Saat kampanye pilpres, isu yang memojokkan SBY bahwa ia adalah “pengkhianat” Megawati cukup santer terdengar. Isu lain yang menohoknya juga bermunculan, termasuk isu bahwa istri SBY adalah nonmuslim—kebetulan namanya Kristiani Yudhoyono. Entah seberapa besar pengaruhnya, isu yang memojokkan SBY itu ternyata malah mengantarkannya menuju Istana Presiden.
Kisah lainnya barangkali bisa ditarik pula dari kemenangan Partai Demokrat pada pileg 2009 yang baru saja berlalu. Setelah berseteru dengan Golkar di masa-masa kampanye dan sempat mendapatkan beberapa serangan bertubi-tubi, Partai Demokrat dapat mendulang suara terbanyak di antara partai peserta pemilu. Bahkan, jauh melebihi capaian PKS yang pada pemilu 2004 sempat melonjak sangat tajam dan pada pemilu 2009 digadan-gadang akan naik drastis lagi.
Nah, pada pilpres kali ini, akankah pihak yang dipojokkan—tentu menurut asumsi masyarakat umum—akan memenangkan kompetisi? Memang cukup susah “menentukan” siapa di antara tiga pasangan yang paling sering dipojokkan. Hal itu karena ketiganya sama-sama pernah menyerang dan diserang. Menurut sebuah tulisan di Suara Merdeka (Sabtu, 4/7/2009), SBY-Boediono mendapat serangan negatif 163 kali dan melakukan serangan 128 kali. Adapun JK-Win menyerang dan diserang sama-sama sebanyak 89 kali, sementara Mega-Pro menyerang 78 kali dan diserang 67 kali.
Jika menyerang dianggap nilai minus dan diserang dianggap nilai plus, SBY-Boediono memiliki nilai plus sebanyak 35, JK-Win nihil, dan Mega-Pro justru minus 11. Apakah hitung-hitungan matematis itu dapat dijadikan tolok ukur hasil pilpres nanti? Hanya pemilih yang bisa menentukan.
Di luar data itu, tentu peranan media dalam mem-blow up setiap serangan memiliki peran penting. Tidak mustahil satu serangan pasangan kepada pasangan lainnya bisa didengar atau diketahui hampir semua calon pemilih, sementara serangan yang lain hanya diketahui segelintir orang. Artinya, sangat mungkin hitung-hitungan serangan tadi memiliki nilai berbeda antara satu serangan dan serangan lainnya.
Di sisi lain, mudah-mudahan saja fenomena semacam ini tidak dimanfaatkan oleh oknum tim sukses (baik resmi maupun bayangan) dengan menyebarkan kampanye negatif atas pasangan yang didukungnya demi mendongkrak popularitas capres-cawapres mereka. Lagi pula, sesungguhnya kampanye negatif jelas-jelas melanggar aturan pemilu. Karena itu pihak yang berwenang harus mengungkap setiap kampanye hitam, entah dilakukan oleh siapa, entah ditujukan kepada siapa. Kalau perlu, harus diungkap secara transparan siapa dalang di balik setiap kampanye hitam itu agar kasus semacam itu tidak disalahgunakan oleh tim sukses capres-cawapres.
Sementara itu, manuver pasangan nomer urut 1 dan 3 pada hari tenang dengan "menyerang" KPU justru bisa menambah antipati masyarakat. Dalam hal ini, publik yang melihat pergerakan kedua pasangan itu terlalu frontal--bahkan dengan mengancam untuk menunda pemilu--bisa jadi mengalihkan atau memberikan dukungan kepada pasangan yang dalam hal ini tampak lebih tenang, yaitu nomer urut 2.
Apalagi, "serangan" terhadap KPU berkaitan dengan DPT ini baru dimunculkan setelah masa kampanye. Padahal, DPT telah diproses jauh-jauh hari. Artinya, seharusnya kalau mau serius membenahi DPT, kedua pasangan itu bisa melangkah jauh sejak awal. Jika dilakukan saat ini, masyarakat bisa mencurigai mereka; jangan-jangan mereka ngotot soal DPT pada hari tenang ini karena mereka merasa masih kalah suara.
Oleh karena itu, jika ingin meraih simpati masyarakat, sesungguhnya yang harus dilakukan adalah membuat manuver-manuver yang "adem-ayem" dengan bahasa halus nan sopan. Misalnya, cukup dengan mengatakan "Mari sukseskan pemilu, mari mengawasi jalannya pemilu, mari mengawasl proses pemilihan" dan kalimat-kalimat "adem" semacam itu. Tentu saja, dua hari masa tenang ini sungguh singkat. Namun, apabila bisa dimanfaatkan dengan baik, bisa jadi dapat meraih simpati masyarakat, terutama pemilih mengambang (swing voter) yang jumlahnya cukup banyak.[]
Pujut-Tersono, 4-6 Juli 2009
No comments:
Post a Comment