Wednesday, July 22, 2009

Korupsi di Sekitar Kita (1)

Alhamdulillah temanku diterima menjadi PNS di Pemda. Meski "hanya" di level pemerintah daerah tingkat dua, tentunya patut disyukuri. Sebelumnya memang bercita-cita tinggi bisa masuk level atas, nasional, alias tingkat pusat. Tapi mau apa lagi, ndilalah rezeki ada di daerah sendiri.

Tak mengapa, yang penting sudah punya penghasilan sendiri. Lagi pun, kata dia, bisa segera bayar utang yang menumpuk. Ya, dia pernah cerita, entah keceplosan atau justru dibesar-besarkan, muter-muter Jakarta-Semarang-Surabaya berkali-kali buat ngelamar dan tes ini itu di berbagai instansi, tidak terasa ternyata menghabiskan uang sampai delapan digit.

"Ngene-ngene utangku nem likur yuto," katanya di tengah percakapan sama temen-temen. Kalau diindonesiakan, kira-kira artinya dia tidak mengira kalau ternyata sampai punya utang dua puluh enam juta. Wallahu a'lam kebenarannya. Mari kita berdoa semoga utangnya itu bermanfaat sekaligus "mbarokahi" dan dia segera bisa melunasinya.

Karena utang itulah, hal pertama yang dipikirkan setelah menerima SK CPNS adalah "menyekolahkan" SK yang diterimanya. Sebagai CPNS, memang dia berhak mengambil pinjaman di bank milik pemerintah dengan jumlah cukup "wah"--paling tidak menurut ukuran kami, teman-teman sepermainannya. Namun, ternyata bunga pinjamannya lebih "wah" lagi. Nilai yang harus dia kembalikan dalam waktu enam tahun nyaris dua kali lipat dari pinjaman yang diambilnya. Dalam waktu enam tahun itu, setiap bulan dia harus merelakan gajinya dipotong sampai tujuh digit.

Birokrasi pengambilan pinjaman inilah yang ternyata harus dilaluinya dengan secara terpaksa menanggalkan idealisme dia selaku mahasiswa--saat ini dia juga melanjutkan S2 di almamater yang sama dengan beasiswa. Ketika mengajukan pinjaman, dia memang harus menyertakan slip gaji dari bendaharawan tempatnya bekerja. Namun, hal itu ternyata tidak gratis. Untuk mengeluarkan slip gaji yang digunakan untuk peminjaman itu, sang bendaharawan meminta jatah sampai enam digit.

"Sekadar ongkos lelah, Mas," ujar sang bendaharawan itu. Di situlah dia dibuat tidak berkutik. Dia hanya bisa cerita kepada kami teman-teman dekatnya, "Padahal itu kan udah tugas dia ya." Mendapat cerita itu, kami menyemangatinya agar melaporkannya saja ke media atau pihak berwenang. Namun, barangkali karena terdesak untuk segera membayar utang, dia hanya bisa berucap, "Dia orang kepercayaan dan orang dekat bos. Kalau dilaporkan atau dimediakan bisa-bisa nanti semua urusanku dipersulit."

Kita mungkin akan berdebat, salahkah atau benarkah tindakannya itu. Bisa-bisa menghabiskan rokok sekian bungkus untuk membahas hal itu. Karena itu, tidak usahlah kita membahasnya. Mari kita renungkan, bagaimana susahnya memberantas korupsi di negeri ini. Barangkali kita juga akan mengalami hal yang sama dengan temanku ini, atau paling tidak mirip-mirip begitu. Apa yang harus kita lakukan?[]


Pujut, 21 Juli 2009

1 comment:

meniq said...

that's what happen around me, us...
just do what we can do...
leave all the counts to Allah...