Thursday, August 08, 2013

Lebaran, Tradisi

Bagaimana tradisi menyambut lebaran di tempatmu?

Desa Pujut, Kecamatan Tersono, Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah.

Lebaran tidak hanya identik dengan perayaan 1 Syawal, tetapi jauh-jauh hari orang sudah merindukan atau mempersiapkan penyambutannya. Tanpa bulan suci Ramadhan, apalah arti Syawal, kira-kira begitu. Demikian pula yang terjadi di Pujut, hari-hari puasa Ramadhan sudah dihiasi dengan tradisi-tradisi yang terkait dengan  lebaran.

Di atas tanggal 20 Ramadhan, biasanya tanggal 25, dilaksanakan peringatan Nuzulul Qur`an, dimeriahkan pembagian santunan kepada kaum dhuafa.

Tanggal 21 dan 27 (kadang juga ditambahkan tanggal 23), tiap-tiap masjid dan musola mengadakan “ambengan” disebut sebagai selikuran (kalau tanggal 21), atau pitulikuran (kalau tanggal 27), atau telulikuran (kalau tanggal 23). Tiap-tiap kepala keluarga dijatah setidaknya satu kali membawa sebuah nampam berisi nasi dan beraneka lauknya untuk 5-6 orang. Dihidangkan dengan daun pisang, biasanya tanpa kuah.

Namun, dua tahun terakhir ini event yang bisa terjadi 2-3 kali dalam satu kali Ramadhan dikurangi menjadi hanya satu kali terkait dengan renovasi masjid. Oleh pengurus takmir masjid, kegiatan ambengan itu hanya diperuntukkan bagi beberapa KK, sedangkan sisanya tetap diminta mengeluarkan “anggaran” untuk ambengan itu, tetapi bentuknya mentah alias uang tunai yang dialokasikan untuk tambahan biaya renovasi masjid. Tentu tak ada keberatan karena sama-sama manfaat.

Pada malam id, beberapa tahun lalu selalu dimeriahkan dengan takbir keliling menggunakan truk. Dengan speaker besar, anak-anak diangkut truk berkeliling ke desa-desa tetangga, bahkan pernah sampai ke luar kecamatan dan nyaris saja menyeberangi batas kabupaten. Anak-anak muda merasa bangga jika truk mereka bisa menyusuri jalur pantura yang terkenal padat itu.

Bagaimana dengan orang tua? Tentu saja malah merasa resah. Apalagi, kampung sendiri justru menjadi sepi. Atau sesekali ramai dilalui truk-truk dari desa lain yang juga melakukan hal yang sama. Tapi itukah yang diharapkan? Polisi pasti akan semakin sibuk mengatur lalu lintas takbir keliling itu, memastikan keamanan mereka juga, padahal pengaturan jalur mudik yang melewati pantura sudah sangat-sangat menguras tenaga.

Untuk itulah kemudian muncul ide meramaikan kampung sendiri menyambut malam takbiran. Sejak 3 tahun terakhir, perayaan takbiran dipusatkan di tengah kampung. Tahun pertama hanya berkumpul saja dan bersama-sama memekikkan lantunan takbir. Namun, tahun berikutnya muncul ide diadakannya lomba tabuh bedug dan alunan takbir. Anak-anak muda semakin tertarik dengan hal itu; melupakan gengsi naik truk berkeliling desa-desa dan jalur pantura.

Apalagi, tahun lalu ada seorang relawan yang mau merogoh koceknya dalam-dalam untuk membeli kembang api berharga ratusan ribu. Semakin meriahlah malam takbiran di tengah kampung itu. Orang semakin tertarik saja meramaikan kampung sendiri untuk menyambut malam idul fitri. Bahkan, mereka yang menikah dengan tetangga-tetangga kampung dan membangun rumahnya di kampung sebelah itu mau menyempatkan diri datang ke kampung kelahiran untuk turut serta meramaikan malam idul fitri itu.

Tahun ini, panitia malam takbiran pun dengan sadar menyediakan dana khusus untuk pesta kembang api. Yang penting kampung semarak dan tidak membahayakan siapa pun. Relawan yang tahun lalu membawa sekian banyak kembang api tampaknya semakin semangat saja menyemarakkan kampungnya.

Tak kalah menarik, sebelum dilakukan pemusatan konsentrasi massa di tengah kampung, diadakan dulu takbir keliling berjalan kaki membawa oncor (obor). Bermodalkan bambu yang diisi bahan bakar minyak tanah lalu disumpal kain, menyalalah obor-obor itu berarakan mengelilingi kampung; mengajak mereka yang masih di rumah untuk turut bergabung dan berkumpul di tengah kampung. Tradisi ini sebenarnya pernah ada pada zaman bahauela, ketika belum ada listrik dan jalanan belum diaspal.

Dengan 2 ribu rupiah, setiap anak-anak, juga orang tua, bisa mendapatkan sebuah obor yang disediakan panitia. Bahkan, setelah panitia berhasil menggandeng sponsor, peserta tidak hanya mendapatkan obor, tetapi juga mendapatkan nomor undian untuk memperebutkan doorprize-doorprize meriah. Ada pop mie, gelas, dan kebanyakan kembang api kecil.

Pada hari H Idul Fitri, setelah shalat id di masjid (tahun lalu dilaksanakan di halaman madrasah diniyyah karena masjid baru dibongkar untuk mulai direnovasi), jamaah laki-laki berbondong-bondong berziarah ke makam kampung. Mereka bersama-sama mendoakan arwah ayah, ibu, kakek, nenek, saudara, dan handai taulan yang telah meninggal dunia. Hal ini sebenarnya juga sudah dilakukan secara perorangan sebelum datangnya bulan Ramadhan. Namun, secara serentak kemudian dilakukan lagi usai shalat Idul Fitri.

Sepulang dari maqbarah, hampir semuanya mengganti baju dengan yang tidak baru, atau malah sudah agak kotor. Hal itu dilakukan karena kegiatan tradisi selanjutnya yang dilakukan adalah—lagi-lagi—ambengan di masjid atau musola terdekat. Tiap-tiap KK juga dijatah sekali, antara 1 Syawal atau 8 Syawal (menyambut syawalan).

Hanya saja, kali ini menunya sangat khas dengan nuansa Idul Fitri di tempat-tempat lain, yaitu ketupat dan opor ayam. Karenanya, nampan biasanya tidak hanya dihiasi daun pisang, tetapi juga dilengkapi dengan piring mengingat menunya agak basah berkuah. Namun, barangkali demi kesemarakan, beberapa nampan terkadang juga tampak tidak menyediakan menu basah. Bahkan, ada juga yang berisi ketan dengan srundeng parutan kelapanya. Malahan, menu ketan ini biasa menjadi rebutan karena yang menyediakan hanya segelintir orang—FYI, tahun ini tak ada satu pun yang membawa menu ini! L

Setelah ambengan di masjid ini, semua orang kembali ke rumahnya masing-masing. Pakaian-pakaian baru dipakai lagi—atau malah pakaian baru yang lain lagi. Selanjutnya tentu saja sungkem kepada keluarga terdekat: orang tua, kakek-nenek, dan saudara-saudara kandung yang masih serumah.

Setelah saling memaafkan sesama penghuni satu rumah, orang-orang yang belum merasa tua atau dituakan akan keluar rumah, berkeliling seluruh kampung. Ya, seluruh isi kampung! Sementara yang tua berdiam di rumah menunggu orang-orang muda dan anak-anak, maka selebihnya berjalan menyusuri setiap rumah untuk saling meminta maaf dengan penghuninya. Yang terjadi adalah keramaian di tengah kampung. Orang-orang muda dan anak-anak bertemu dan saling memaafkan dengan bersalam-salaman di jalan—atau kapan dan di mana pun mereka bisa bertemu. Bisa di jalan, bisa di rumah orang yang kebetulan sedang sama-sama di situ.

Dulu, mendatangi seluruh rumah di kampung bisa diselesaikan sebelum azan zuhur. Kini, dengan jumlah KK yang hampir mencapai 300-an, saat azan zuhur berkumandang masih menyisakan beberapa rumah belum dikunjungi. Pertama, karena semakin banyak saja rasanya rumah di kampung ini berjejalan. Kedua, karena memang kami sudah punya banyak buntut—anak-anak kecil dan bayi—sehingga jalannya tentu saja tidak seperti masih single semua.

Karena belum selesai sebelum zuhur itulah, bakda asharnya atau malamnya harus dilanjutkan lagi ke rumah-rumah yang belum dikunjungi. Baru di hari kedua bisa melanjutkan bersilaturahmi ke tetangga-tetangga desa atau sanak saudara yang ada di desa lain. Jika di desa sendiri jarang sekali duduk—paling hanya salaman dan meminta maaf lalu pamitan, mengingat banyaknya rumah yang harus dikunjungi—maka saat berkunjung ke desa lain lebih sering duduk, minum, mencicipi makanan, dan mengobrol. Selain karena biasanya lebih jarang ketemu, juga untuk menambah stamina, tentu saja.[]

Pujut, 8-8-13