Bagaimana tradisi menyambut lebaran
di tempatmu?
Desa Pujut, Kecamatan
Tersono, Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah.
Lebaran tidak hanya identik
dengan perayaan 1 Syawal, tetapi jauh-jauh hari orang sudah merindukan atau
mempersiapkan penyambutannya. Tanpa bulan suci Ramadhan, apalah arti Syawal,
kira-kira begitu. Demikian pula yang terjadi di Pujut, hari-hari puasa Ramadhan
sudah dihiasi dengan tradisi-tradisi yang terkait dengan lebaran.
Di atas tanggal 20 Ramadhan,
biasanya tanggal 25, dilaksanakan peringatan Nuzulul Qur`an, dimeriahkan
pembagian santunan kepada kaum dhuafa.
Tanggal 21 dan 27 (kadang
juga ditambahkan tanggal 23), tiap-tiap masjid dan musola mengadakan “ambengan”
disebut sebagai selikuran (kalau tanggal 21), atau pitulikuran (kalau tanggal
27), atau telulikuran (kalau tanggal 23). Tiap-tiap kepala keluarga dijatah
setidaknya satu kali membawa sebuah nampam berisi nasi dan beraneka lauknya
untuk 5-6 orang. Dihidangkan dengan daun pisang, biasanya tanpa kuah.
Namun, dua tahun terakhir
ini event yang bisa terjadi 2-3 kali dalam satu kali Ramadhan dikurangi menjadi
hanya satu kali terkait dengan renovasi masjid. Oleh pengurus takmir masjid,
kegiatan ambengan itu hanya diperuntukkan bagi beberapa KK, sedangkan sisanya
tetap diminta mengeluarkan “anggaran” untuk ambengan itu, tetapi bentuknya
mentah alias uang tunai yang dialokasikan untuk tambahan biaya renovasi masjid.
Tentu tak ada keberatan karena sama-sama manfaat.
Pada malam id, beberapa
tahun lalu selalu dimeriahkan dengan takbir keliling menggunakan truk. Dengan
speaker besar, anak-anak diangkut truk berkeliling ke desa-desa tetangga,
bahkan pernah sampai ke luar kecamatan dan nyaris saja menyeberangi batas
kabupaten. Anak-anak muda merasa bangga jika truk mereka bisa menyusuri jalur
pantura yang terkenal padat itu.
Bagaimana dengan orang tua?
Tentu saja malah merasa resah. Apalagi, kampung sendiri justru menjadi sepi.
Atau sesekali ramai dilalui truk-truk dari desa lain yang juga melakukan hal
yang sama. Tapi itukah yang diharapkan? Polisi pasti akan semakin sibuk
mengatur lalu lintas takbir keliling itu, memastikan keamanan mereka juga, padahal
pengaturan jalur mudik yang melewati pantura sudah sangat-sangat menguras
tenaga.
Untuk itulah kemudian muncul
ide meramaikan kampung sendiri menyambut malam takbiran. Sejak 3 tahun
terakhir, perayaan takbiran dipusatkan di tengah kampung. Tahun pertama hanya berkumpul
saja dan bersama-sama memekikkan lantunan takbir. Namun, tahun berikutnya
muncul ide diadakannya lomba tabuh bedug dan alunan takbir. Anak-anak muda
semakin tertarik dengan hal itu; melupakan gengsi naik truk berkeliling desa-desa
dan jalur pantura.
Apalagi, tahun lalu ada
seorang relawan yang mau merogoh koceknya dalam-dalam untuk membeli kembang api
berharga ratusan ribu. Semakin meriahlah malam takbiran di tengah kampung itu. Orang
semakin tertarik saja meramaikan kampung sendiri untuk menyambut malam idul
fitri. Bahkan, mereka yang menikah dengan tetangga-tetangga kampung dan
membangun rumahnya di kampung sebelah itu mau menyempatkan diri datang ke
kampung kelahiran untuk turut serta meramaikan malam idul fitri itu.
Tahun ini, panitia malam
takbiran pun dengan sadar menyediakan dana khusus untuk pesta kembang api. Yang
penting kampung semarak dan tidak membahayakan siapa pun. Relawan yang tahun
lalu membawa sekian banyak kembang api tampaknya semakin semangat saja menyemarakkan
kampungnya.
Tak kalah menarik, sebelum
dilakukan pemusatan konsentrasi massa di tengah kampung, diadakan dulu takbir
keliling berjalan kaki membawa oncor (obor). Bermodalkan bambu yang diisi bahan
bakar minyak tanah lalu disumpal kain, menyalalah obor-obor itu berarakan
mengelilingi kampung; mengajak mereka yang masih di rumah untuk turut bergabung
dan berkumpul di tengah kampung. Tradisi ini sebenarnya pernah ada pada zaman
bahauela, ketika belum ada listrik dan jalanan belum diaspal.
Dengan 2 ribu rupiah, setiap
anak-anak, juga orang tua, bisa mendapatkan sebuah obor yang disediakan
panitia. Bahkan, setelah panitia berhasil menggandeng sponsor, peserta tidak
hanya mendapatkan obor, tetapi juga mendapatkan nomor undian untuk
memperebutkan doorprize-doorprize meriah. Ada pop mie, gelas, dan kebanyakan
kembang api kecil.
Pada hari H Idul Fitri,
setelah shalat id di masjid (tahun lalu dilaksanakan di halaman madrasah
diniyyah karena masjid baru dibongkar untuk mulai direnovasi), jamaah laki-laki
berbondong-bondong berziarah ke makam kampung. Mereka bersama-sama mendoakan
arwah ayah, ibu, kakek, nenek, saudara, dan handai taulan yang telah meninggal
dunia. Hal ini sebenarnya juga sudah dilakukan secara perorangan sebelum
datangnya bulan Ramadhan. Namun, secara serentak kemudian dilakukan lagi usai
shalat Idul Fitri.
Sepulang dari maqbarah, hampir
semuanya mengganti baju dengan yang tidak baru, atau malah sudah agak kotor.
Hal itu dilakukan karena kegiatan tradisi selanjutnya yang dilakukan adalah—lagi-lagi—ambengan
di masjid atau musola terdekat. Tiap-tiap KK juga dijatah sekali, antara 1
Syawal atau 8 Syawal (menyambut syawalan).
Hanya saja, kali ini menunya
sangat khas dengan nuansa Idul Fitri di tempat-tempat lain, yaitu ketupat dan
opor ayam. Karenanya, nampan biasanya tidak hanya dihiasi daun pisang, tetapi
juga dilengkapi dengan piring mengingat menunya agak basah berkuah. Namun, barangkali
demi kesemarakan, beberapa nampan terkadang juga tampak tidak menyediakan menu
basah. Bahkan, ada juga yang berisi ketan dengan srundeng parutan kelapanya.
Malahan, menu ketan ini biasa menjadi rebutan karena yang menyediakan hanya
segelintir orang—FYI, tahun ini tak ada satu pun yang membawa menu ini! L
Setelah ambengan di masjid
ini, semua orang kembali ke rumahnya masing-masing. Pakaian-pakaian baru
dipakai lagi—atau malah pakaian baru yang lain lagi. Selanjutnya tentu saja
sungkem kepada keluarga terdekat: orang tua, kakek-nenek, dan saudara-saudara
kandung yang masih serumah.
Setelah saling memaafkan
sesama penghuni satu rumah, orang-orang yang belum merasa tua atau dituakan
akan keluar rumah, berkeliling seluruh kampung. Ya, seluruh isi kampung!
Sementara yang tua berdiam di rumah menunggu orang-orang muda dan anak-anak,
maka selebihnya berjalan menyusuri setiap rumah untuk saling meminta maaf
dengan penghuninya. Yang terjadi adalah keramaian di tengah kampung.
Orang-orang muda dan anak-anak bertemu dan saling memaafkan dengan
bersalam-salaman di jalan—atau kapan dan di mana pun mereka bisa bertemu. Bisa
di jalan, bisa di rumah orang yang kebetulan sedang sama-sama di situ.
Dulu, mendatangi seluruh
rumah di kampung bisa diselesaikan sebelum azan zuhur. Kini, dengan jumlah KK
yang hampir mencapai 300-an, saat azan zuhur berkumandang masih menyisakan
beberapa rumah belum dikunjungi. Pertama, karena semakin banyak saja rasanya
rumah di kampung ini berjejalan. Kedua, karena memang kami sudah punya banyak
buntut—anak-anak kecil dan bayi—sehingga jalannya tentu saja tidak seperti
masih single semua.
Karena belum selesai sebelum
zuhur itulah, bakda asharnya atau malamnya harus dilanjutkan lagi ke
rumah-rumah yang belum dikunjungi. Baru di hari kedua bisa melanjutkan
bersilaturahmi ke tetangga-tetangga desa atau sanak saudara yang ada di desa
lain. Jika di desa sendiri jarang sekali duduk—paling hanya salaman dan meminta
maaf lalu pamitan, mengingat banyaknya rumah yang harus dikunjungi—maka saat
berkunjung ke desa lain lebih sering duduk, minum, mencicipi makanan, dan
mengobrol. Selain karena biasanya lebih jarang ketemu, juga untuk menambah
stamina, tentu saja.[]
Pujut, 8-8-13
No comments:
Post a Comment