Beberapa waktu yang lalu, saat mengajar di sebuah SMA, saya bertanya kepada siswa-siswi bagaimana lafal niat mandi besar. Luar biasa, dari tiga kelas, atau sekitar 100 orang, ternyata cukup banyak yang masih belum bisa melafalkan! Ironis tentunya, karena niat mandi besar merupakan salah satu prasyarat penting menjaga kesucian diri. Ya, suci dari hadats besar, paling tidak demi kesahihan ibadah paling utama: shalat.
Saya sendiri tidak habis pikir bagaimana siswa-siswi kelas dua SMA itu bisa melepaskan diri dari hadats besar. Lebih ironis lagi, banyak pula pelajar perempuan sekolah itu yang tertunduk malu tidak hafal niat mandi besar. Apakah di antara pelajar laki-laki itu, kebanyakan belum ihtilam (mimpi basah)? Atau barangkali pelajar-pelajar perempuan itu belum juga haid?
Memang, jalan seseorang menuju akil balig tidak hanya dengan ihtilam atau haid. Namun, seperti nyaris mustahil juga jika begitu banyak pelajar--yang saya yakin sudah balig karena kiranya mereka sudah melewati umur 15 tahun--melewati masa kanak-kanaknya menuju balig tidak melalui ihtilam atau haid.
Karena keterbatasan waktu di kelas, lagi pula saat itu saya sedang mengajar materi bahasa Arab, saya tidak sempat lebih jauh menjelaskan mandi besar, hadats besar, dan syarat sahnya shalat. Saya hanya menyindir bahwa barangkali masih banyak di antara mereka belum balig. Lalu sambil bercanda, saya mintakan beberapa orang yang sudah tahu lafal niat mandi besar untuk mengajari teman-temannya.
Itu adalah fenomena di sebuah sekolah menengah atas, bukan madrasah aliyah, meski sebenarnya sekolah itu tidak terlalu umum juga, karena terdapat tambahan beberapa mata pelajaran agama, termasuk bahasa Arab yang saya ampu. Saya sendiri tidak bisa menjamin apakah siswa-siswi madrasah aliyah pasti lebih mengerti fiqih daripada pelajar sekolah menengah atas itu.
Lalu, bagaimana dengan siswa-siswi sekolah menengah atas lain yang hanya mengandalkan satu mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)? Mudah-mudahan justru lebih baik, barangkali dengan inisiatif siswa-siswi itu mengaji di sore atau malam hari, atau mencari guru agama secara privat.
Itu baru soal lafal niat yang memang harus diucapkan ketika hendak mandi besar, belum soal kapan niat itu harus diucapkan jika ingin mandi besarnya sah menghilangkan hadats besar. Sementara masih banyak lagi hal-hal detail tentang mandi besar yang juga harus diperhatikan demi kesahihannya.
Sedikit menukil kitab I'anatuth Thalibin, juz 1 hlm. 91, disebutkan bahwa jika seseorang yang hendak mandi besar hanya mengucapkan niat nawaitul ghusla (aku niat mandi), maka hal itu tidak mencukupi dikatakan sebagai niat. Niat mandi besar setidaknya mengucapkan nawaitul ghusla liraf'il hadatsil akbari (aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar).
Kalimat nawaitul ghusla (aku niat mandi) tidak dianggap mencukupi karena kalimat itu seperti niat mandi-mandi biasa yang dilakukan tidak dalam rangka menghilangkan hadats besar. Jika mandi yang dilakukan adalah mandi sunnah, memang sudah cukup dengan mengucapkan kalimat itu.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam mandi besar adalah bahwa niat tadi harus diucapkan berbarengan dengan gerakan pertama ketika menyiramkan air ke badan. Jadi, jika niat baru diucapkan di tengah-tengah mandi, maka anggota badan yang sudah disiram sebelum ucapan niat harus disiram lagi. Misalnya seseorang memulai mandi dengan menyiram kepala, lalu menyiram bahu. Setelah itu, saat menyiram perut dia baru mengucapkan niat mandi besar. Jika ingin mandi besarnya sah, maka ia harus mengulang untuk menyiram kepala dan bahunya.
Sementara itu, dalam kitab Fathul Wahhab, juz 1 hlm. 36, disebutkan bahwa ketika mandi besar, seseorang harus menyiram seluruh tubuhnya, termasuk sela-sela kuku dan rambutnya, juga seluruh bagian telinga yang tampak dari luar. Bahkan, disebutkan dalam kitab karangan Syekh Zakariya al-Anshari ini, perempuan yang mandi besar sudah selayaknya mandi tidak hanya dengan berdiri. Perempuan mandi juga harus dengan duduk karena ada bagian tertentu dari tubuhnya yang hanya akan teraliri air jika ia menyiram air ke tubuhnya sambil duduk atau jongkok.
Begitulah sekelumit nilai yang barangkali belum dimengerti oleh siswa-siswi SMA yang saya ajar tadi. Padahal, hal itu merupakan nilai-nilai dasar dan masih dalam kategori wajib, tidak sekadar sunnah apalagi mubah. Karena itu, kita harus peduli untuk lebih sering mengingatkan orang-orang di sekeliling kita, baik anak-anak kita, saudara, teman, atau bahkan orang tua, bahwa pengajaran fiqih--terutama yang berkaitan dengan hal-hal wajib--sangat penting untuk dikembangkan. Jangan sampai ada orang di sekeliling kita gagal menjalankan kewajiban karena kekurangan pengetahuan.
Satu hal yang saya tawarkan di sini adalah bahwa pembelajaran fiqih kiranya tidak cukup melalui pendidikan formal. Saya merasa pengajaran ilmu pengetahuan agama justru akan lebih menancap di hati peserta didik jika diajarkan melalui kegiatan belajar mengajar nonformal seperti pengajian, kursus, atau semacamnya. Hal itu karena jika pengetahuan agama diajarkan hanya melalui pendidikan formal, maka seringkali dianggap remeh, kalah oleh pelajaran yang akan diujikan secara nasional, misalnya.
Pun kalau ada ide bahwa pelajaran Pendidikan Agama Islam di SD, SMP, dan SMA akan diujikan secara nasional, saya masih lebih memilih pengetahuan agama juga harus diajarkan secara nonformal. Kecuali jika ujian nasional PAI itu lebih menekankan aspek praktik, tentu dengan penguji yang benar-benar menguasai materi, baik teori maupun praktiknya. []
Kos Papringan, 12 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment