Pilpres 2009, bagi saya tidaklah sulit menentukan pilihan. Nomor urut pertama, Mega-Prabowo bagi saya tidak menarik. Di antara alasannya adalah karena figur Prabowo yang belum terlalu lama mengorbit di jagat politik tanah air. Artinya, belum diketahui bagaimana track record-nya. Satu yang paling mudah diingat adalah dia mantan tentara yang disebut-sebut melanggar HAM di Timtim, selain dekat dengan dan benderanya “dikibarkan” oleh era orde baru yang jelas bukan nilai plus.
Di sisi lain, Megawati memang sudah lama malang melintang di perpolitikan papan atas. Namun, hasilnya juga tidak terlalu bagus. Saat menjabat presiden—itu pun hasil menelikung “kang mas”nya sendiri, Gus Dur—pada 2001-2004, bisa dilihat bahwa Megawati tidak punya kekuatan me-manage negara. Malah para menterinya terlihat tidak terkontrol. Atau kalau terkontrol berarti Mega bisa diduga turut melakukan pelanggaran, misalnya saat Menteri BUMN saat itu menjual Indosat. Ya, walaupun sampai sekarang penjualan Indosat tidak pernah disalahkan secara hukum. Tentu saja sebagian masyarakat sangat menyayangkan penjualan itu. Jadi, Mega-Prabowo langsung saya coret.
Nomor urut dua, SBY-Boediono. Nanti dulu, mari simak nomor urut tiga, JK-Wiranto. Saya tidak terlalu menghiraukan faktor Wiranto karena dia orang nomor dua, cawapres. Jadi, saya merasa tidak terlalu perlu mengotak-atik kelebihan atau kelemahannya. Saya hanya melihat faktor JK.
Sebenarnya JK punya nilai plus dengan ketegasan dan keberanian dalam melangkah. Sayang saat itu nilai lebih itu tidak terlalu terekam atau tidak terlalu saya anggap perlu. Saya justru masih terngiang-ngiang dengan kemenangan JK dalam Munas Partai Golkar di Bali, akhir 2004, mengalahkan Akbar Tanjung. Sementara saat itu, saya begitu mengidolakan Akbar, terutama semenjak saya pernah bertatap muka langsung medio 2004. Ya, Akbar yang membawa kembali Golkar meraih posisi pertama dalam Pileg 2004, rupanya dikalahkan JK. Padahal, seluruh peserta Munas terlihat berdiri memberi tepuk tangan meriah kepada Akbar usai LPJ-nya mulus diterima. Karena itu, saya berkesimpulan, JK pasti melakukan money politic untuk kemenangannya itu.
Kembali ke nomor urut dua, SBY-Boediono. Ketika itu sudah cukup banyak yang mengupas bagaimana politik pencitraan SBY. Apalagi lawan politik SBY, tentu berupaya menyerang SBY bahwa jangan sampai rakyat tertipu pencitraan SBY itu. Nah, pernyataan itu banyak didengungkan lawan politik SBY, menurut saya waktu, barangkali itu hanya ingin menjatuhkan SBY.
Saya lalu teringat bagaimana besan SBY, Aulia Pohan, duduk di kursi pesakitan dan kemudian divonis bersalah atas korupsi di BI. Wouw, SBY mempersilakan sang besan dipenjara! Luar biasa! Ini dia langkah maju pemimpin Indonesia. Kalau besan saja “diserahkan” dengan mudah kepada aparat hukum, tentu siapa pun bisa dihukum oleh pihak berwenang tanpa dihalang-halangi SBY atau orang-orang di sekeliling kekuasaan; suatu kondisi yang sangat dibutuhkan Indonesia saat ini.
Namun apa lacur, rupanya itulah politik pencitraan. Melihat kasus-kasus hukum tingkat nasional belakangan ini dan tidak terlihat greget SBY dalam memberangusnya, saya baru tersadar bahwa saya telah tertipu oleh politik pencitraan, terkelabui oleh pesona SBY. Malah sebelumnya saya berpikir Aulia adalah “korban” politik pencitraan SBY, baru terpikir kemudian bahwa bisa saja sang besan presiden turut berperan melanggengkan SBY di RI-1. Apalagi, kemudian terkuak oleh Gayus bahwa saat di tahanan, selain dirinya, Aulia Pohan bisa keluar-masuk penjara tanpa diketahui publik. Artinya, bisa saja sudah ada deal Pohan siap jadi korban, tetapi mendapat keistimewaan bisa tamasya ke mana-mana ketika "namanya" dipenjara.
Saya makin sadar telah merasa tertipu usai mencuatnya kasus Nazaruddin. Secara logika, pasti mudah bagi SBY—jika memang mau membantu pemberantasan korupsi—untuk menekan Nazaruddin menyerahkan diri ke KPK. Apalagi daya magis SBY yang begitu kuat di PD, tempat naungan Nazar belakangan ini. Jadi, saya berpikir, satu-satunya hal yang menghalangi SBY untuk turut serta membantu KPK dalam mencari dan memeriksa Nazar adalah keterlibatan SBY atau orang-orang PD dalam kasus-kasus korupsi. Jika tidak ada potensi keterlibatan itu, tentu SBY dapat dengan mudah “mencangking” Nazar untuk dibawa ke KPK.[]
Jomblangan, 13 Juni 2011
No comments:
Post a Comment