Monday, September 22, 2008

Tentang “Ketika Cinta Bertasbih” (1)


Buku ini mengetengahkan dua tokoh utama, yaitu Azzam dan Anna. Azzam adalah sosok mahasiswa Al-Azhar Cairo yang berkarakter dan ulet. Latar belakang keluarganya yang hidup sederhana membuatnya mampu tabah dan tahan banting menghadapi setiap badai yang menerpa perjalanan hidupnya. Adapun Anna adalah sosok ideal seorang muslimah idaman setiap laki-laki. Lahir dari keluarga kiai nan terpandang, rajin belajar, bergelimang prestasi akademik, cantik, dan serba berkecukupan.

Sehari-hari Azzam membuat tahu, tempe, dan bakso, sementara kuliahnya terbengkalai. Hal ini terjadi karena baru satu tahun menginjakkan kakinya di negeri para nabi, ayah Azzam meninggal dunia. Padahal, ia masih memiliki tiga adik perempuan (si bungsu malah belum lahir ketika dia terbang), sedangkan ibunya hanyalah ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan tetap. Jadilah Azzam tulang punggung keluarga, sekaligus mahasiswa yang harus lulus kuliah. Akan tetapi, prinsipnya kuat: tidak akan “meluluskan diri” sebelum adik-adiknya sukses.

Cerita dimulai ketika Azzam mendapatkan proyek dari KBRI, dalam hal ini diwakili Eliana, putri Pak Dubes nan cantik lulusan Perancis. Ia diminta menyiapkan masakan khas Indonesia dalam sebuah pameran di Alexandria. Cukup besar honornya, malah pada malam terakhir ia nyaris mendapat hadiah french kiss dari Eliana jika tidak ia tolak mentah-mentah. Esok paginya, Pak Ali, sopir Pak Dubes, memberi tahu Azzam bahwa ada seorang gadis cantik, salehah, sedang menyelesaikan S2, kiranya cocok untuk Azzam.

Sepulang dari Alexandria, Azzam pun langsung menjalankan saran Pak Ali; melamar gadis dimaksud kepada Ustadz Mujab yang tidak lain adalah sepupu gadis itu. Sayang sekali, ternyata ia sudah disalip Furqan, teman satu pesawat Azzam ketika berangkat ke Cairo delapan setengah tahun lalu. Sementara itu, Furqan adalah aktivis mahasiswa, mantan Ketua PPMI, anak orang kaya, dan kuliahnya lancar, malah tinggal menunggu waktu sidang tesis magister di Cairo University—berbeda 180 derajat dibandingkan Azzam.

Ketika bahan baku membuat tahu, tempe, dan bakso habis, Azzam harus belanja ke pasar Sayyeda Zaenab. Karena sendirian, Azzam “terpaksa” naik taksi karena tidak kuat membawa barang belanjaan; tentu setelah melalui perhitungan untung-rugi yang matang. Baru beberapa saat di dalam taksi, Azzam melihat dua gadis berwajah Melayu menangis di pinggir jalan. Yakin keduanya orang Indonesia karena sempat naik satu bus saat berangkat tadi, Azzam menyapa. Gadis berjilbab biru menceritakan bahwa temannya kecopetan dan mereka langsung mengejar pencopet hingga tidak sadar bahwa mereka tidak membawa uang sama sekali.

Azzam pun menawarkan pulang bersama, sekaligus mengejar bus yang masih membawa belanjaan kitab gadis berjilbab biru. Beruntung, di dekat Masjid Nuri Khithab, samping kampus Al-Azhar putri, bus yang dimaksud terlihat. Azzam bergegas mencegat di halte depan dan masuk melalui pintu depan bus, sementara si gadis melihat kitab-kitabnya di dekat pintu belakang. Alhamdulillah, masih lengkap! Dua halte berikutnya, dua gadis sampai dan turun dari taksi. Sebelum melanjutkan perjalanan, Azzam mendapatkan ucapan terima kasih dan mengaku bernama Abdullah; nama kecilnya. Sesampai di apartemennya, gadis berjilbab biru tidak bisa melupakan sang pahlawan, dan tanpa disadari “menyingkirkan” bayangan seorang pengkhitbahnya.

Setelah sembilan tahun merantau, pahit manis kisah telah dilalui, Azzam sukses meraih gelar sarjana dari Al-Azhar. Ia pun berencana pulang, tentu setelah mengetahui adik-adiknya cukup bisa mandiri dan ia sendiri merasa cukup bekal modal usaha. Berbarengan dengan itu, Husna, adiknya yang psikolog dan sudah menjadi dosen di UNS, mendapatkan undangan ke Jakarta untuk menerima penghargaan karya sastra terbaik tingkat nasional. Di Cengkareng, Husna pun menjadi orang pertama yang dapat memeluk sang kakak setelah sekian lama berpisah.

Dua hari bersama sang adik di Jakarta, Azzam menuju pelukan ibunda di Solo dengan menaiki Fortuner milik Eliana. Kebetulan, Eliana hendak melihat-lihat lokasi syuting yang tak jauh dari kampung Azzam. Sebelumnya, kebetulan juga Azzam satu pesawat dengan Eliana dalam penerbangan Cairo—Jakarta, sebagaimana kebetulan pula Elianalah yang menjadi MC acara anugerah karya sastra yang dihadiri Husna. Di pelukan sang ibunda dan Lia, adiknya yang kedua, Azzam menangis haru menjejakkan kaki di rumahnya lagi. Eliana pun tak kuasa menahan butiran-butian meleleh di pipi melihat itu.

Di rumah, Azzam sempat kebingungan dengan kegiatannya. “Hanya” mengisi pengajian dan ikut mengajar di pesantren milik Kiai Luthfi di kampung sebelah rasanya kurang “sibuk”. Karenanya, Azzam memutar otak untuk menghindari gunjingan warga yang merasa aneh dengan pengangguran sang jebolan luar negeri. Ia pun mendirikan gerai “bakso cinta” di pusat kota. Beruntung, bakso khasnya—tidak bulat, tetapi berbentuk lambang cinta—digandrungi masyarakat. Ia pun mengangkat karyawan dan mampu membeli sebuah mobil Carry, meski second.

Setelah mapan, ia berpikir untuk berkeluarga, apalagi sang ibunda juga sudah sangat ingin menimang cucu. Husna menyodorkan teman kuliahnya bernama Rina, sementara Lia menawarkan Tiara yang sempat mereka temui di Pasar Klewer, tetapi sang ibunda menolak keduanya. Ketika Husna menjembatani ta’aruf dengan Mila, adik dari suami rekan kerjanya di radio, giliran calon ibu mertua yang tidak sreg. Azzam pun mencari sendiri tulang rusuknya dengan mendatangi seorang pengusaha sukses yang sempat memberinya kartu nama saat mereka bertemu di kediaman Kiai Luthfi. Namun, ternyata sudah terlambat; Afifa anak tunggal pengusaha itu telah menikah. Azzam sempat menyesal karena kurang sigap menyikapi tawaran itu sebelumnya.

Sejak kecil dididik tahan banting, Azzam maju terus pantang mundur. Tahu ada seseorang membutuhkan menantu dan akan menghajikan seluruh keluarga calon menantu, Azzam pun menawarkan diri. Naas, ternyata calon pengantin perempuannya mengalami keterbelakangan mental. Azzam pun pamit. Usaha berikutnya, ia mengenal keluarga Seila dan secepatnya melamar kepada ayah Seila. Hanya saja, Seila merasa tidak ada perasaan apa pun, selain karena masih ingin meneruskan menghafal Al-Qur`an.

Usaha ke delapan mulai menemukan titik terang. Sambil menjenguk si bungsu yang nyantri di Kudus, Azzam diperkenalkan dengan Vivi, seorang dokter muda. Mereka pun langsung saling jatuh cinta. Kedua keluarga juga setuju, bahkan ibunda Azzam yang memilihkan cincin untuk disematkan di jari Vivi pada acara lamaran, sepekan berikutnya. Akad nikah disepakati diselenggarakan pada bulan berikutnya di Kudus, sementara resepsi pernikahan di Solo akan dibarengkan dengan Husna yang juga telah mendapat calon suami yang tak lain rekan mengajar Azzam di pesantren Kiai Luthfi.

Suatu pagi menjelang akad nikah, sang ibunda teringat bahwa belum ada orang yang diminta menyampaikan khotbah nikah. Kiai Luthfi pun langsung terlintas di benak Azzam dan ibundanya. Mereka berdua bergegas menuju kediaman Kiai Luthfi meski hujan mengguyur deras dan Carry Azzam masih dipinjam tetangga. Mereka mengendarai sepeda motor tua milik Husna. Sayangnya, Kiai Luthfi menolak karena merasa tidak pantas, apalagi pernikahan putri kebanggaannya—dalam proses menulis tesis di program magister Universitas Al-Azhar—baru saja melewati perceraian. Ibunda Azzam pun meminta saran kiranya siapa yang pantas mengisi khotbah nikah.

Kiai Luthfi menyebut nama sekaligus menawarkan biar putrinya yang mengantar karena hujan makin deras. Ibunda Azzam menolak dengan halus lalu pamitan. Sepeda motor tua pun melaju di tengah guyuran hujan membelah jalan raya Solo—Jogja. Namun, sebuah bus ugal-ugalan menyenggol motor itu dan membuat Azzam dan ibundanya terpelanting beberapa meter. Di rumah sakit, Azzam divonis patah tulang dan gegar otak ringan, sementara sang ibunda menemui panggilan Ilahi.

Duka menyelimuti keluarga Azzam. Atas cacat yang dideritanya, Azzam merasa tidak pantas menikah saat itu, sehingga pernikahannya harus ditunda. Ia pun meminta Vivi tidak harus menunggu dirinya untuk menikah karena butuh lebih dari sepuluh bulan bagi Azzam untuk sembuh total. Beruntung ada Husna—yang turut menunda pernikahannya—dan Lia yang sangat telaten mengurus kakaknya yang tergolek tak berdaya selama sepuluh bulan.

Badai lain lalu menerjang; usaha baksonya nyaris tutup karena dicap memakai formalin dan daging tikus. Azzam menengok gerainya sambil berjalan tertatih menggunakan krek. Ia lalu berinisiatif meminta sertifikasi halal dari MUI dan keterangan kandungan bakso dari Depkes. Setelah itu, bakso cinta kembali dipromosikan ke seantero Solo. Tidak butuh waktu lama untuk bangkit lagi, bahkan terus berkembang hingga membuka cabang di beberapa kota lain. Bersamaan dengan itu, ujian lain hadir; Vivi menikah dengan orang lain karena didesak orang tuanya yang tidak mau terlalu lama menunggu. Meski mengaku cintanya masih untuk Azzam, Vivi terpaksa mengembalikan cincin.

Azzam curhat pada adiknya yang kemudian menguatkan hatinya dengan mengulang kata-kata yang Azzam ucapkan ketika tergolek lemas di depan Vivi dahulu. Husna mengusulkan nama Eliana, apalagi saat menjenguk beberapa waktu yang lalu artis itu mengaku jatuh hati pada Azzam. Azzam berpikir keras, tetapi hatinya lebih cenderung menolak sosok yang wajahnya setiap hari bisa dinikmati oleh jutaan penggemar. Husna akhirnya mendorong sang kakak untuk meminta Kiai Luthfi memilihkan salah satu santri pondok, barangkali ada yang cocok untuk Azzam.

Azzam sore itu juga bergegas ke kediaman Kiai Luthfi. Dengan pasrah Azzam menyerahkan cincin yang dibeli ibundanya kepada Kiai Luthfi. Tak dinyana, ternyata Kiai Luthfi justru ingin memakaikan cincin itu pada anaknya, si janda kembang, Anna Althafunnisa. Azzam pun sempat tersentak, sebelum bisa menguasai diri kemudian menangis haru. Petang itu juga, setelah shalat maghrib, Azzam dinikahkan dengan orang yang pertama dilamarnya dahulu atas saran Pak Ali. Sementara itu, Anna bangun dari mimpinya, untuk membangun kehidupan bersama sang pahlawan yang dahulu pernah menolongnya ketika temannya kecopetan.[]

Kos Cempaka Warna, 21 September 2008

No comments: