Wednesday, November 08, 2006

Konflik PKB, Tak Boleh Ada yang Menang

Apa gerangan yang membuat konflik PKB tak juga berakhir setelah berlangsung hampir 2 tahun? Konflik di tingkat pusat, yang tentu saja membuat jajaran di bawahnya ikut kocar-kacir, sebenarnya awalnya karena masalah yang terlalu sepele. Muktamar PKB di Semarang, 16-18 April 2005, adalah pangkal semua permasalahan yang hingga kini makin rumit itu.

Masalah utamanya, kalau mau dirunut, barangkali terletak pada tokoh Gus Dur. Ketika itu, ada pihak yang menginginkan Gus Dur tetap memangku jabatan sebagai Ketua Umum Dewan Syuro PKB. Sementara di lain pihak, ada yang berharap sudah saatnya terjadi penyegaran di puncak kekuasaan. Pihak pendukung pendapat kedua ini beranggapan bahwa jika Gus Dur masih ditempatkan pada jabatan struktular seperti itu sudah bukan tempatnya lagi, karena kedudukannya jelas sudah lebih tinggi. Gus Dur cukup berada di balik layar, melihat dan mengawasi generasi penerusnya tampil membela partai yang didirikan pada 1998 itu.

Sejak beberapa hari sebelum muktamar dilaksanakan, sebenarnya sudah terjadi gesekan-gesekan perbedaan pandangan. Jauh-jauh hari, sudah terlalu banyak statemen yang makin memanaskan situasi. Sayang semua pihak sering tak dapat mengontrol emosinya, sehingga permainan pun makin tak cantik. Bahkan seiring kian dekatnya hari penyelenggaraan muktamar, masalah terus meruncing, panas, kemudian malah melebar tak karuan.

Awalnya barangkali dibiarkan, karena dimana-mana yang namanya kongres, muktamar, musyawarah nasional atau apapun istilahnya seringkali dibumbui intrik-intrik dengan latar belakang kepentingan tertentu. Muktamar NU yang mestinya adem-ayem saja kali terakhir terpaksa "dinodai" konflik horisontal nan membara, apalagi muktamar partai selevel PKB yang jelas lebih dekat dengan kekuasan an sich.

Maka ketika perbedaan pendapat makin mengarah pada perpecahan, semua baru sadar, betapa susahnya menyelesaikan konflik yang makin membingungkan warga nahdliyin itu. Namun, kesadaran itu seperti tak ada gunanya. Pertikaian sudah terlanjur membara. Pihak-pihak yang bertikai terus sibuk mencari pembenaran atas sikapnya. Sedangkan di antara kedua pihak itu sudah merasa tak ada lagi rujukan nasehat yang dipercaya secara bersama. Beberapa kali upaya ishlah (rekonsiliasi) pun mentah karena tidak ada yang menengahi di antara kedua pihak.

Gus Dur Sebagai Bandul

Sejak awal kedatangannya di Indonesia dari melanglang buana bertahun-tahun mencari ilmu di berbagai pelosok dunia, Gus Dur memang kerap menyulut kontroversi. Bahkan seringkali, kontroversi yang ditimbulkan menyulut konflik antar person. Sebut saja tokoh sekelas KH. Idham Khalid, KH. Ali Yafie dan KH As'ad Syamsul Arifin yang semuanya ulama kharismatik dan sempat memangku jabatan strutural di NU, harus "mengalah dan menghindar" dari jabatan dan kedudukannya masing-masing karena berbeda pendapat dengan Gus Dur.

Menghadapi kiai-kiai sepuh di atas saja Gus Dur "menang", apalagi "hanya" dihadapkan pada sosok Abu Hasan saat Muktamar NU 1994 atau Matori Abdul Jalil pada pergantian presiden tahun 2001. Semua orang yang berhadapan dengan Gus Dur saat itu tak pernah ada yang bisa menang. Semua harus "menghilang" dari peredaran. Bahkan beberapa di antaranya hampir tak diingat publik sama sekali, walau pernah punya jasa besar ketika berkhidmat bersama Gus Dur.

Hanya saja, pada Muktamar NU 2004 yang diselenggarakan di Asrama Haji Donohudan Boyolali, Gus Dur terpaksa mengakui "kemenangan" orang yang belakangan sering berseberangan dengannya. Di ajang pemilihan Rois 'Am Syuriah PBNU, Gus Dur maju menjadi calon melawan KH. MA. Sahal Mahfudz. Hal ini bisa jadi karena saking gregetan-nya Gus Dur pada pamannya sendiri itu, yang kerap lebih membenarkan berbagai tindakan KH. Hasyim Muzadi yang dinilai Gus Dur melanggar aturan NU. Sayang, pada pemilihan pucuk pimpinan ormas terbesar di Indonesia ini Gus Dur kalah dukungan.

Berikutnya, karena menolak KH. Hasyim Muzadi kembali memangku jabatan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU, Gus Dur mendorong KH. Masdar F. Mas'udi sebagai calon alternatif. Bahkan orang-orang di balik ketiak Gus Dur beberapa kali melakukan kampanye dengan cara-cara yang sebenarnya tabu di kalangan NU. Meski begitu, nyatanya peserta muktamar masih mendukung KH. Hasyim Muzadi.

Itulah kiranya kali pertama Gus Dur luput dari keinginan besarnya. Bahkan ketika mengancam akan membuat NU tandingan, sedikit sekali publik yang menggubris. Walhasil, NU tandingan urung didirikan. Mirip seperti keinginan Abu Hasan yang hendak melawan Gus Dur melalui NU tandingan pada 1994-1995 tapi malah kemudian gerakannya mati tak berbekas.

Konflik Paling Parah

Beberapa bulan setelah Muktamar NU Boyolali itu, nama Gus Dur kembali jadi perbincangan publik. Di Semarang, 16-18 April 2005, PKB menggelar muktamarnya yang ke-2. Dan, lagi-lagi nama Gus Dur menjadi bahan pro-kontra, antara yang mendukung kelangsungan kekuasaannya sebagai Ketua Umum Dewan Syuro dan yang menganggap Gus Dur sudah saatnya lengser keprabon serta cukup menjadi tokoh di balik layar.

Konflik pun tak terhindarkan. Kedua kubu saling berebut dukungan. Pernyataan demi pernyataan dari kedua belah pihak makin memanaskan keadaan. Bahkan, manuver-manuver dilakukan sampai melewati batas etika. Puncaknya, karena merasa dirugikan saat pembahasan aturan tata tertib Muktamar, sebagian peserta muktamar melakukan gerakan walk out (WO). Nah, justru dengan melakukan WO ini, kubu yang ingin menempatkan Gus Dur di tempat yang lebih terhormat dari sekadar Ketua Umum Dewan Syuro PKB, makin tertinggal. Esok harinya, Gus Dur pun kembali secara resmi terpilih menduduki posisi puncak PKB.

Pada konflik-konflik sebelumnya yang melibatkan Gus Dur, hampir selalu para kiai sepuh berada di belakang Gus Dur. Semua kiai hampir selalu setuju dengan setiap pendapat Gus Dur, meskipun pendapat itu kontroversial. Nah, konflik kali ini lain. Para kiai yang sebelumnya setia mendukung setiap langkah Gus Dur, memiliki pandangan lain. Di saat peserta muktamar yang ada makin melambungkan nama Gus Dur, para kiai sepuh memunculkan calon lain. Di sinilah mulai terlihat betapa konflik itu makin tak jelas ujungnya.

Kalau selama ini konflik antara dua kubu, yang satu lemah sementara yang satu kuat karena didukung kolaborasi Gus Dur dan kiai-kai sepuh, kedudukan tak berimbang dan tak lama kemudian percikan konflik pun padam dengan sendirinya. Sedangkan yang terjadi kali ini, konflik terjadi antara dua kubu yang sama-sama kuat. Nama Gus Dur masih amat disegani di banyak kalangan nahdliyin pengurus PKB, utamanya di tingkat elit wilayah dan cabang. Sementara massa riil, yang berkutat di antara dua kantong —Jawa Tengah dan Jawa Timur— kiranya masih lebih mudah mendengarkan dawuh para kiai sepuh.

Konflik ini pun dapat dikatakan sebagai konflik terparah yang pernah dialami kaum nahdliyin. Dimana menjelang 2 tahun berlangsungnya konflik ini, tak terlihat adanya perkembangan menuju penyelesaian. Yang ada justru perseteruan yang makin meruncing. Bahkan belakangan, terjadi proses reshuffle anggota legislatif yang tak mendukung hasil Muktamar Semarang. Sementara di sisi lain, ada usulan pembentukan partai baru setelah kubu yang terkalahkan di Muktamar Semarang tak juga mendapat pengakuan dari pemerintah. Meski usul ini justru menimbulkan perbedaan persepsi baru lagi di antara pendukung kubu kedua.

Tampaknya, jika kedua kudu tak ada yang mau mengalah, konflik ini akan terus berkelanjutan. Tentu saja ini sangat tidak baik bagi seluruh nahdliyin. Apalagi jika benar ada pembentukan partai baru, sudah pasti akan merugikan kedua belah pihak. Ujung-ujungnya kalangan grass root juga yang menanggung akibatnya. Permainan politik kaum nahdliyin di tingkat elit pun akan makin kerdil, tak akan bisa bersaing dengan partai-partai lain yang justru makin berkembang dengan manuver-manuver jitu.

Sekarang saja, kedudukan pimpinan DPR dari unsur PKB sudah mulai digoyang dan ada kemungkinan bisa tersingkir. Apalagi jika kelak benar-benar mengadopsi sistem proporsional, sementara PKB sendiri terpecah dengan adanya partai baru lagi, maka jangan berharap ada orang NU berada di pimpinan DPR. Walau tak ada partai baru pun, jika keadaannya masih didera konflik seperti ini, diyakini suara PKB akan merosot drastis. Barangkali masih lumayan jika konstituen PKB memilih golput pada 2009 nanti, tapi jika sampai pindah ke partai lain? Silakan hitung kerugiannya.

Sudah terlalu banyak nasehat dari berbagai kalangan, supaya kedua belah pihak melakukan rekonsiliasi. Tapi permasalahannya seperti disebutkan di atas, tak ada yang bisa dijadikan rujukan bersama sebagai penengah. Atau kalau ada, belum tentu bersedia menjadi "juri", karena memang pihak yang bertikai benar-benar orang-orang yang berada di puncak, sehingga orang dimaksud bisa-bisa kurang pede menengahi.

Selama ini pun, ketika terjadi konflik yang melibatkan Gus Dur, sebenarnya tak ada yang menengahi. Yang ada hanyalah pembelaan terhadap Gus Dur dan meminta pihak yang berseberangan mengalah. Hal ini terus terjadi sampai akhirnya di Muktamar NU Boyolali, semua kiai sepuh yang sering membela Gus Dur lebih mendukung pencalonan kembali duet KH. MA. Sahal Mahfudz-KH. Hasyim Muzadi. Bahkan ketika itu bisa dikatakan tak ada satu kiai sepuh pun yang menyetujui pandangan Gus Dur.

Gus Dur Juga Manusia

Kemenangan demi kemenangan memang diraih Gus Dur atas para "rival"-nya sejak akhir 1970-an atau awal 1980-an. Orang pun kemudian banyak yang berpandangan, Gus Dur adalah seorang wali yang hampir atau malah sama sekali tak pernah dihinggapi kealpaan. Tentu saja pandangan ini melewati batas penghormatan. Tapi memang begitulah adanya, karena melihat "kesaktian" Gus Dur yang hampir tak pernah kalah dalam setiap "pertempuran".

Orang-orang di balik Gus Dur sepertinya tidak sadar, bahwa Gus Dur juga sebenarnya manusia biasa yang dapat berbuat salah juga. Atau barangkali mereka pura-pura tidak sadar dan justru memanfaatkan keadaan seperti ini untuk kepentingan pribadi.

Kalau saja Gus Dur masih menganggap para kiai sepuh itu sebagai rujukan setiap langkah —sebagaimana sejak dulu Gus Dur selalu minta petunjuk untuk melangkah, termasuk maju dalam pencalonan presiden—, mestinya Gus Dur mendengar dawuh KH. Abdullah Faqih, KH. MA. Sahal Mahfudz, KH. Marzuki Idris dll. Mereka inilah yang beranggapan bukan saatnya lagi bagi Gus Dur "sekadar" menjadi Ketua Umu Dewan Syuro PKB. Gus Dur sudah seharusnya memiliki tempat yang lebih terhormat.

Sayang sekali, dengan berbagai dalih, Gus Dur tetap bertahan di tempatnya semula sementara orang-orang di baliknya semakin riang merayakan "kemenangan" yang mereka raih atas "bantuan" Gus Dur. Orang sekeras Gus Dur, memang tak mudah dibisiki, apalagi oleh mereka yang dianggap Gus Dur sebagai orang yang berseberangan.

Karenanya, barangkali ada baiknya kubu non-Gus Dur mengambil langkah yang lebih cantik. Misalnya, mengumpulkan para kiai sepuh lalu bersama-sama mendatangi Gus Dur dan berbicara dari hati ke hati. Menjelaskan bagaimana keadaan umat nahdliyin di kalangan bawah yang semakin hari semakin bingung. Para kiai sepuh mungkin memiliki kesibukan masing-masing, tapi demi umat, tentu para kiai bersedia diajak bermusyawarah.

Jika deal yang diinginkan adalah soal personalia kepengurusan di tingkat DPP, maka mungkin sudah saatnya semua pihak legawa untuk mempreteli semua jabatan mereka. Serahkan semua kedudukan di PKB pada para kiai. Biarkan Gus Dur dan para kiai ini yang menyusun kepengurusan sementara, tanpa ada pembisik yang sering juga membawa kepentingan pribadi. Kalau perlu, masukkan semua orang baru, yang selama ini pasif tidak ikut kubu mana pun dalam pertikaian ini.

Mumpung pemilu masih 2,5 tahun lagi, PKB harus segera diselamatkan agar bersatu kembali. Supaya konstituen kembali tenang dan tak perlu pusing melihat tingkah para elitnya yang bertikai.[]


Agus Hidayatulloh, mahasiswa Sastra Arab Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, aktivis PCI-NU Mesir dan PKB Mesir

No comments: