Friday, November 03, 2006

Akademik Problem yang Pelik (?)

Mendengar rubrik yang disodorkan dan ditawarkan pada saya ini, sebenarnya saya kurang berani mengiyakan. Hanya saja, lebih malu rasanya untuk menolak, apalagi saya juga pernah berkecimpung dalam dunia tulis-menulis.

Dengan keberanian-keberanian yang "dipaksakan" ada inilah, saya mencoba mengurutkan beberapa kalimat yang berseliweran dalam pikiran. Jika disebut sebagai analisa, barangkali masih kurang tepat, karena saya bukanlah orang yang cakap dalam menelaah kasus tertentu hingga jauh mendalam.

Berbicara mengenai prestasi akademik Masisir, barangkali sudah tidak sehangat beberapa waktu lalu, saat baru-barunya turun pengumuman hasil ujian. Namun demi menjaga perhatian kita akan pentingnya prestasi belajar, tentu tetap pantas terus kita bicarakan.

Menurut saya, ada banyak hal yang dapat menjadi faktor penunjang kegagalan maupun keberhasilan nilai akademis Masisir. Tentu saja yang utama adalah faktor personal masing-masing. Jika datang ke Mesir dengan hanya modal ijazah sementara kemampuan bahasa Arab nol, tentu harus bersabar untuk dapat lulus strata satu Universitas Al-Azhar —yang barangkali banyak dipilih Masisir karena murahnya.

Sementara memiliki kemampuan bahasa Arab pun, belum tentu dapat berjalan mulus mengikuti dan melewati kelas demi kelas dalam jenjang pendidikan Al-Azhar. Selain kemampuan yang mesti terus diasah, setiap pelajar dan mahasiswa tentunya harus selalu dapat mempertahankan kemauannya untuk terus belajar. Sudah terlalu banyak contoh personal di antara kita, yang sebenarnya memiliki kemampuan bahasa Arab (sebagai kekuatan utama di Al-Azhar) mencukupi, tapi karena meremehkan atau memang tak memiliki kemauan tinggi, akhirnya terseok-seok.

Di sisi lain, tidak sedikit pula yang ketika awal datang ke sini sebenarnya baru mengerti beberapa kosakata bahasa Arab, tapi karena kemauan yang terus membubung ke langit, akhirnya lancar menjalani setiap ujian. Barangkali awalnya mengandalkan hafalan, sementara pemahaman masih sedikit, tapi lama kelamaan dapat dengan sendirinya mengikuti setiap materi; asal dapat menjaga konsistensi kemauan dan mengasah kemampuan. Ya, dan konsistensi sudah jamak menjadi masalah yang pelik.

Selain faktor diri masing-masing —yang erat kaitannya dengan kemampuan dan kemauan itu—, memang sedikit banyak di antara kita ikut terpengaruh lingkungan yang ada. Kesepakatan Mahasiswa Minang (KMM) yang empat kali menjadi jawara PPMI Academic Awards selama lima tahun terakhir, merupakan suri teladan nyata dari pembentukan lingkungan yang "lebih dekat" dengan pengembangan dan peningkatan mutu akademis anggotanya. Sejak datangnya mahasiswa baru, sudah dibentuk kelompok belajar (biasanya dibuat satu rumah) dengan masing-masing memiliki senior dengan kompetensi tertentu. Sehingga lingkungan yang ada, dapat diarahkan untuk selalu memperhatikan tujuan awal Masisir datang ke Mesir; belajar.

Memang tidak semua Masisir harus sependapat atau sejalan pikirannya dengan apa yang sudah dilakukan KMM ini. Tidak setiap mahasiswa harus dan atau mau diarahkan. Barangkali ada yang memiliki tipe lain, bisa belajar atas kemauan sendiri dan malah merasa "tersiksa" jika "diawasi" orang lain; sah-sah saja. Tapi paling tidak, KMM telah menunjukkan diri sebagai organisasi yang peduli pada tujuan awal kedatangan anggotanya, yaitu mencari ilmu.

Lingkungan Masisir yang dari dulu —entah sejak kapan— dibiasakan dengan "ideologi" tidak wajib kuliah, kalau mau disadari sebenarnya sangatlah negatif. Kalau alasannya adalah ruangan kuliah di Al-Azhar yang terlalu sempit menampung jika semua mahasiswa hadir, sepertinya itu adalah pembenaran atas "ideologi" tadi. Jadi, perlu secara ekstrim merubah "ideologi" seperti itu, yang harus saya akui, saya sendiri kurang dapat memberikan alternatif solusinya.

Memang ada contoh yang menunjukkan beberapa orang bisa tetap lancar menunaikan setiap tingkat hingga lulus kuliah meski tak pernah mengikuti muhadharah dosen, tapi jika hal itu terus didengungkan tentu sangat tidak baik bagi mereka "yang hidup normal". Karena normalnya, mereka yang tiap hari datang ke kuliah tanpa lelah, dapat dengan mudah mengakses setiap perkembangan terbaru; baik ketentuan bacaan wajib (tahdid muqarrar), perubahan atau tambahan keterangan dari dosen dan lain-lain.

Semua pihak yang bersinggungan dengan Masisir —langsung maupun tak langsung— mestinya memang harus peduli dengan fenomena ini. Apalagi, dengan semakin membludaknya kuantitas Masisir dari tahun ke tahun; yang sayang peningkatan ini kurang dapat diikuti secara linear dengan peningkatan kualitas akademis Masisir.

Kepedulian Departemen Agama sendiri saya kira patut diacungi jempol. Saya memang salah seorang yang setuju dengan langkah Depag dalam menyeleksi setiap mahasiswa yang hendak ke Mesir. Meski dalam pelaksanaan teknisnya menurut saya perlu adanya perbaikan-perbaikan, esensi adanya seleksi ini sangatlah perlu. Hal ini juga untuk menghindari disorientasi beberapa pihak yang gencar mendorong lulusan-lulusan madrasah aliyah atau pondok pesantren segera datang ke Mesir sebagai gudangnya ilmu.

Awalnya saya berharap tes (demikian saya harapkan) pada tahun ini tidak memutuskan jalan bagi mereka yang hendak ke Mesir tapi tak mampu mengungguli nilai 6,00. Biarkan pada tahun pertama penggunaan seleksi (atau istilah "tes" yang saya harapkan), cukup dilihatkan nilainya dan semuanya diberangkatkan ke Mesir. Jika kelak mereka yang mendapat nilai di bawah 6,00 memang tak ada yang lulus atau mayoritas memang gagal naik tingkat, di sinilah ditemukan alat pemukul balik bagi mereka yang tak setuju dengan diadakannya seleksi. Tapi ternyata Depag bertindak lebih tegas dari yang saya bayangkan, dan saya pun tetap mendukung langkah itu.

Sementara KBRI, beberapa tahun belakangan ini terlihat semakin peduli dengan prestasi akademik Masisir. Bahkan secara teknis mau turun tangan datang ke setiap Bagian Kemahasiswaan tiap-tiap fakultas untuk mengumpulkan hasil ujian semua mahasiswa Indonesia —agar data yang terkumpul benar-benar valid. Langkah nyata pemantauan seperti ini perlu terus dilanjutkan, di samping memberikan penghargaan bagi mereka yang memiliki prestasi akademik di atas rata-rata.

Selain itu, dorongan motivasi juga perlu terus didengungkan. Belakangan, makin banyak pejabat dan staf KBRI menanyai hasil ujian satu per satu mahasiswa yang datang ke Garden City atau jika bertemu di beberapa kesempatan. Hal ini baik juga, supaya mereka yang gagal ujian mau dan lebih tergerak hatinya untuk belajar makin rajin.

PPMI dan organisasi-organisasi di bawahnya —baik kekeluargaan, afiliatif, almamater dll—, pun juga harus peduli dengan prestasi akademik ini. Kepedulian masing-masing organisasi barangkali tak bisa disamakan, tapi jika semua benar-benar memperhatikan masalah ini, niscaya tidak terlalu sulit mengangkat Masisir dari jurang keterpurukan prestasi akademik. Pengadaan bimbingan belajar, penyelenggaraan acara yang tak bertabrakan dengan jadwal kuliah secara umum, pelaksanaan diskusi atau seminar yang tak jauh dari bau akademis, tentu sangat membantu dalam proyek bersama mengangkat nilai akademis Masisir ini.

Sementara kita sebagai mahasiswa yang jelas-jelas saling bersinggungan langsung tiap hari dengan masalah prestasi akademik ini, harus dapat menjaga konsistensi kemauan dan kemampuan untuk terus belajar. Jika setiap pribadi dapat berbuat maksimal untuk mengangkat dan meningkatkan mutu akademiknya, tentu dengan sendirinya nilai akademik Masisir akan terangkat secara umum.[]


*Tulisan untuk TEROBOSAN Edisi 1 November 2006

No comments: