Hampir setahun yang lalu, saat dalam perjalanan menuju Jogja, seorang teman kuliah UGM mempertanyakan, “Itu si A kan belum lulus dari Al-Azhar ya, kok di mana-mana namanya diikuti gelar Lc sih?” Saya sendiri bingung menjawabnya. Saya sendiri bingung menjawabnya. Mau membantah, kenyataannya memang demikian adanya. Mau mengiyakan, tentu bakal malu sebagai alumni Al-Azhar.
Saya yakin pertanyaan demikian tidak hanya pernah ditujukan kepada saya. Saya yakin masih banyak teman-teman alumni Al-Azhar yang lain pernah mendapatkan pertanyaan yang sama. Baik dalam konteks (objek orang) yang sama maupun konteks dan objek orang yang berbeda.
Atau mungkin, kisah semacam ini tidak hanya mengitari kalangan alumni Al-Azhar. Kalangan perguruan tinggi lain, baik dalam maupun luar negeri, mungkin juga pernah mendapati kenyataan yang sama: seseorang belum atau tidak lulus tetapi mengaku (atau tidak membantah saat disebut) sebagai alumni perguruan tinggi dimaksud. Karena kenyataannya, kelak teman saya yang mempertanyakan si A itu, juga giliran menjadi objek; oleh teman yang lain lagi ia dipertanyakan saat menggunakan dua gelar magister (satu magister di Solo memang sudah ia rengkuh secara resmi, tetapi gelar magister di Jogja belumlah sah ia raih).
Hal-hal semacam ini mungkin sudah biasa terjadi. Namun, kalau mau jujur, tentu kita tidak ingin kisah demikian akan berlanjut tanpa ada batasnya. Memang ada beberapa sudut pandang yang memungkinkan hal ini bisa terjadi. Misalnya saya kita sebut “pelaku pemalsuan gelar” ini si A. Kondisi pertama, si A memang sejak mula menginginkan dirinya disebut dengan gelar tertentu, seperti Lc jika sudah lulus dari Al-Azhar, meskipun ia belum atau tidak pernah lulus dari perguruan tinggi itu. Dalam kondisi ini, apalagi jika sekelilingnya tidak ada seorang pun yang pernah semasa saat belajar di Al-Azhar, bisa jadi ia dengan terang benderang tanpa malu menyebutkan gelarnya dalam setiap penyebutan namanya.
Kondisi kedua, sebenarnya si A tidak pernah mempersoalkan gelar. Ia juga tidak menyebutkan gelar apa pun saat diminta menuliskan namanya sendiri. Namun, saat kemudian orang-orang menyebutnya dengan gelar tertentu, misalnya diimbuhi dengan gelar Lc karena ia pernah kuliah di Universitas Al-Azhar, maka kemudian ia diam saja. Memang sungguh mulia ia tidak mempersoalkan gelar, tetapi tentu menjadi persoalan saat ia membiarkan kebanyakan orang menyebutkan gelar untuknya dengan gelar yang belum pernah ia raih.
Untuk si A semacam ini, saya sarankan sebaiknya sejak dini langsung mengklarifikasi gelar tersebut. Jika ia malu menyebut secara terang-terangan, alangkah baiknya ia sindir para penyebut gelarnya itu sehingga kelak mereka tidak lagi mengikutkan gelar tersebut untuk namanya. Salah satu caranya sudah pernah saya dengar sendiri dari seorang Guru Besar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat saya meminta tanda tangannya dan saya menyebutkan gelar di belakang nama beliau adalah S.U., M.A., beliau dengan bercanda mengatakan, “Wah saya dapat bonus gelar M.A. nih,” karena rupanya beliau hanya pernah mendapatkan S.U., tanpa M.A. Dengan senang hati dan lemah lembut beliau menolak gelar M.A. tersebut karena memang beliau merasa tidak atau belum pernah mendapatkannya.
Kondisi ketiga, jika si A memang sudah hampir pasti mendapatkan gelar tersebut, tetapi belum benar-benar secara resmi mendapatkannya. Kondisi ini memang debatable untuk dibahas. Misalnya jika situasinya adalah S1 Al-Azhar, di mana tidak ada upacara wisuda kelulusan, dan jarak antara pengumuman kelulusan dan penyelesaian berkas ijazah dll biasanya cukup lama, maka dalam hal ini mungkin tidaklah mengapa seseorang mengaku sudah Lc jika namanya dinyatakan najih dalam pengumuman kelulusan itu. Adapun untuk perguruan tinggi di Indonesia, peresmian kelulusan biasanya ditandai dengan wisuda sehingga orang yang belum wisuda sebaiknya tidak mencantumkan gelarnya untuk mengiringi namanya.
Semua tentu berpulang kepada pribadi masing-masing. Hanya saja, mari berhati-hati menyebut gelar ini agar tidak menimbulkan fitnah.[]
Wonoyoso, 21 Mei 2012
No comments:
Post a Comment