Cerita lainnya tentang istikharah saya adalah soal pernikahan. Beberapa kali gagal dalam usaha menggaet pendamping hidup, puji syukur kepada Allah akhirnya saya ditautkan dengan seorang istri yang sempurna buat saya. Begitu sempurna sehingga untuk mendapatkannya pun saya harus seperti “bermandikan darah”. Harus melalui usaha keras yang saya kira tanpa kekuatan keyakinan kepada petunjuk-Nya maka akan dengan mudah saya menyerah.
Saya mulai mengenal istri saya sekitar Juli atau Agustus 2009. Mungkin karena kasihan melihat saya jomblo sekian lama, mbak saya mengenalkan saya dengan si dia. Saya hanya diberi nomor telpon dan dipersilakan melakukan hubungan lebih lanjut sendiri. Karena berbeda jauh soal latar belakang pendidikan dan pergaulan, kami memang sering tidak nyambung saat mengobrol . Kiranya hanya kejombloan saya yang membuat saya terus mencoba menghubunginya. Sementara dia mungkin hanya punya satu alasan untuk tetap menerima telpon saya: tidak enak sama mbak saya. Dia memang adik kelas mbak saya di pondok.
Pun saat menerima telpon saya, biasanya dia nyambi menyapu, mengobrol dengan adiknya, atau malah tiba-tiba bilang, “Maaf ya saya harus mengerjakan ini dan itu, jadi sekian dulu ya telponnya.” Bagaimana dengan berkirim sms? Jangan harap mendapat balasan! Tapi karena saya jomblo, ditambah saya sudah istikharah untuk memulai hubungan ini, ya saya mencoba terus saja untuk mengenalnya lebih dekat (meski hasilnya malah tambah jauh). Saya bahkan harus agak “memaksa” datang ke rumahnya, sekitar akhir Agustus 2009, untuk mengetahui langsung bagaimana orangnya.
Dengan diberi rute yang—entah sengaja entah tidak—diputer-puter sehingga membuat saya sempat bingung, akhirnya saya menemukan rumahnya. Kami pun jadi saling tahu secara off air, dan rupanya saya semakin tertarik. Hanya saja, sepertinya tidak demikian si dia. Si dia sepertinya malah semakin pantang untuk mau saya dekati. Tidak mau menjawab telpon atau sms. Kalaupun dijawab maka bahasanya sangat ketus dan saya yakin tidak ada seorang pun berharap mendapatkan jawaban seperti itu. Semangat saya pun sempat mengendur untuk mendekatinya.
Sampai akhirnya iseng-iseng itu mendapat “hadiah”. Pada hari kelima (kalau tidak salah ingat) lebaran tahun 2009, saya hendak menghadiri reuni alumni Kairo di Pekalongan, kira-kira 50km dari rumah saya dan hanya 2-3 km dari rumah istri saya. Kebetulan juga mbak saya ke Pekalongan bersama suami dan anak-anaknya untuk bersilaturahmi dan berbelanja batik. Saat saya sudah di Pekalongan, mbak saya menelpon. Rupanya mbak saya tengah berada di toko batiknya bu lik dari istri saya. Mbak saya mengajak saya datang ke toko batik itu dan entah kenapa seperti agak memaksa saya—dan saya enjoy saja—untuk ikut ke rumah bu lik saya yang berimpitan dengan rumah istri saya. Karena rumahnya berdekatan itu dan saya juga sudah mengenal (tahu) dia dan keluarganya, tentu tidaklah elok untuk tidak mampir.
Pertemuan itu pun terjadilah. Bagi saya, sama sekali tidak ada niatan pendekatan saat pertemuan itu. Saya sudah berpikir nyaris mustahil mendekatinya, karena saya pun tahu dia mungkin belum bisa melupakan kondisi baru saja putus dari pacarnya karena tidak direstui orang tua. Hanya saja, saat mau berpamitan pulang, saya iseng berbisik kepada mbak saya, “Tawarkan kapan giliran si dia mau mampir ke rumah?” Mbak saya pun menyalurkan aspirasi saya. Tanpa dinyana sama sekali, neneknya menjawab penuh keyakinan, “Ya segera lah, insya Allah 2-3 hari lagi.”
Saya kaget mendengar jawaban itu. Niat nanya iseng bin basa-basi malah dijawab dengan amat sangat serius. Saya juga melihat mimik kaget bercampur tidak percaya ada di wajah istri saya saat itu. Hal yang sama juga ditunjukkan ibu mertua saya. Saya sangat maklum, karena tanpa musyawarah dulu—minimal dengan ibu mertua karena ayah mertua sedang tidak di rumah, kok bisa-bisanya nenek menjawab seperti itu. Tapi kemudian semua mencair dengan saling senyum.
Dengan keluarga yang sudah saling mengunjungi, mau tidak mau kami menjadi seakan-akan makin dekat. Mungkin dia tidak menginginkan hal seperti ini, tapi saya pun tidak bisa mengelak kejadian ini. Tidak mau berlarut-larut memainkan hati yang tidak jelas ujungnya, saya pun segera istikharah untuk menanyakan secara resmi kesediaan si dia bagaimana jika berlanjut ke pelaminan. Kondisi sebelum istikharah adalah saya berharap dia mau menjadi istri saya. Namun, saya pun tahu sepertinya harapan saya itu sangat kecil kemungkinannya, melihat betapa sengitnya dia saat menjawab telpon atau sms.
Justru karena “perlawanan” sengit seperti itulah yang membuat saya “mempercepat” proses. Saya tidak mau berlama-lama terkungkung dalam keadaan seperti itu. Jangan sampai bertepuk sebelah tangan ini berlarut-larut. Kalau memang jodoh, biarkan kami segera duduk bersama di pelaminan. Kalau memang bukan jodoh, biarlah saya tenang memikirkan bakal calon lainnya. Bismillah, segera saya melakukan shalat istikharah. Kalau tidak salah ingat malah sampai tiga kali.
Setelah shalat istikharah, saya pun memberanikan diri menyatakan dengan tegas maksud saya, yaitu hendak melamarnya. Melalui telpon, saya pun menanyakan, “Bagaimana dengan Anda?” (tentu tidak seperti itu bahasanya) Deg-degan menunggu jawaban? So pasti! Mau tahu jawabannya? Setelah yang satu ini ya…. Eh, malah kayak iklan…. Sama sekali tidak disangka, dia menjawab MAU! Nah loh, lalu apa yang membuatnya mau? Saya bertanya demikian. Dia menjawab, ya karena keinginannya. Aneh banget ya, selama ini kan kalau dihubungi seperti selalu menghindar, diajak nikah kok malah menjawab mau. Sempat saya ragu dengan jawaban itu, namun saya percaya sajalah, daripada berabe.
Sungguh, saya tidak menyangka jawabannya MAU. Bahkan saya sudah benar-benar sangat siap jika jawabannya TIDAK. Malah saat itu saya berjanji pada diri saya, melihat gelagat menjauh seperti yang selama ini dia tampakkan, kalau jawabannya TIDAK maka saya tidak akan mengulangi pertanyaan yang sama. Saya akan langsung mundur dan benar-benar melupakannya. Saya sangat yakin semua sudah diatur oleh-Nya dan saya sangat yakin dengan istikharah. Berbeda sekali dengan usaha-usaha sebelumnya mencari pendamping hidup, yang tidak akan mundur sebelum tiga kali menanyakan dan selalu dijawab TIDAK. Karena mendapat jawaban MAU, saya pun segera menghubungi keluarga di rumah (saat itu saya di Jogja) agar dalam pekan itu secara resmi melamar si dia ke rumahnya.
Itulah kekuatan istikharah. Sesuatu yang tadinya abu-abu, masih ragu-ragu untuk dijalankan, menjadi begitu mudah dan ringan untuk dilalui. Sementara sesuatu yang sudah tidak diragukan untuk dikerjakan, layak juga untuk diistikharahi dulu, supaya lebih mantap lagi untuk dilaksanakan. Yakinlah, kalau itu memang terbaik menurut pandangan-Nya maka jalannya akan semakin dilempangkan. Adapun jika itu tidak baik menurut-Nya maka akan dicarikan jalan lain yang lebih mudah lagi ditempuh.[]
Kampung Sawah, 27 Desember 2011-Wonoyoso, 29 Januari 2012
No comments:
Post a Comment