Kita sering mendengar adanya kabar cekcok keluarga yang dilatarbelakangi pembagian harta warisan anggota keluarga yang sudah meninggal dunia. Entah dari berita di televisi atau media massa lainnya, entah dari berita gosip ibu-ibu yang biasa berkumpul di pojok kampung tertentu, berita seperti itu sepertinya bukan barang baru.
Na’udzu billah min dzalik. Semoga kita dijauhkan dari percekcokan keluarga, utamanya yang didasari harta warisan seperti itu. Saya sendiri sudah pernah mengalami masa pembagian warisan. Hal itu berkaitan dengan wafatnya ayah tercinta hampir dua tahun yang lalu. Alhamdulillah, saat pembagian harta warisan, saya merasa seluruh anggota keluarga tidak ada yang keberatan sedikit pun.
Saya sendiri kebetulan menjadi satu-satunya anggota keluarga yang tidak ikut proses pembagian karena tengah sakit dan berada di rumah mertua. Namun, hingga sekarang, alhamdulillah saya melihat hubungan kami selalu baik. Semua menerima pembagian waris itu dengan hati lapang, termasuk saya yang tidak ikut prosesi pembagian.
Hanya saja, sebelum pembagian waris itu memang terjadi hal yang tidak diinginkan. Tidak, hal ini tidak berkaitan dengan cekcok keluarga. Justru barangkali malah karena saking jauhnya kami dari cekcok keluarga, insya Allah. Hal yang tidak cukup diinginkan itu adalah berkaitan dengan pembagian harta warisan sebagaimana prinsip yang dipegang ayah kami.
Saat ayah tercinta masih hidup, beliau memang seringkali dimintai tolong orang untuk mengatur pembagian harta warisan. Jika dimintai tolong seperti itu, beliau selalu berpesan dengan tegas bahwa membagi warisan harus dilakukan secepatnya, yaitu tidak melewati 40 hari dari wafatnya anggota keluarga yang meninggalkan harta warisan. Konon, hal itu agar si mayit lebih tenang di alam sana. Semakin cepat harta warisan dibagi maka semakin baik bagi si mayit.
Nah, kecepatan pembagian warisan itulah yang justru tidak bisa kami laksanakan. Kalau dari saya sendiri, hal itu terjadi karena saya merasa tidak elok meminta-minta harta waris. Saya kira demikian juga yang dirasakan anggota keluarga yang lain. Kami merasa bahwa bahkan jika semua harta peninggalan ayah tercinta diperuntukkan bagi ibunda, tentu hal itu masih belum cukup untuk mengobati duka ibunda. Karenanya, biarlah sementara ini harta warisan dikelola dan dimanfaatkan ibunda.
Hanya saja, perasaan kami yang bertentangan dengan prinsip ayah tercinta saat masih hidup itu mendapatkan tantangannya. Sejak ayah wafat pada 29 Maret 2010 sampai hari raya Idul Fitri 1421 (sekitar September 2010), saya sempat beberapa kali mimpi bertemu ayah tercinta. Di antara mimpi-mimpi itu, tiga di antaranya rupanya ada yang “menyindir” soal harta warisan. Dalam mimpi, saya melihat ayah membagi-bagikan sendiri harta yang ditinggalkannya kepada para ahli waris, termasuk saya tentunya.
Karena tidak hanya sekali bermimpi mirip seperti itu, akhirnya saya sampaikan saja perihal mimpi itu kepada anggota keluarga yang lain. Mendengar kisah mimpi itu, ibunda pun segera mengajak bermusyawarah untuk segera menentukan hari pembagian waris. Ibunda juga mengingatkan bahwa memang almarhum ayah tercinta senantiasa menyegerakan pembagian warisan saat diminta menjadi pengatur pembagiannya.
Masih suasana id 1421 H, keluarga pun berkumpul untuk menentukan pembagian harta warisan. Dengan meminta bimbingan dari tokoh desa dan orang yang sudah terkenal ahli dalam membagi warisan, kami pun hanya termanggut-manggut melihat ternyata pembagian warisan tidak serumit yang dibayangkan. Semuanya manggut-manggut, kecuali saya. Ya, karena saya sedang terbaring lemas di rumah mertua.
Keesokan harinya saat dikabari hasil pembagian warisan, saya pun hanya bisa bersyukur karena alhamdulillah harta peninggalan almarhum ayah tercinta sudah selesai dibagi. Mudah-mudahan almarhum ayah semakin tenang dan dilimpahi kenikmatan di alam sana. Saya tidak menghiraukan warisan apa saja yang saya dapat dan yang didapat anggota keluarga yang lain. Saya menerima apa adanya, dan saya yakin yang lain juga demikian.
Tidak lama setelah pembagian warisan itu, ibunda bermimpi bertemu almarhum ayah. Dalam mimpi, ibunda melihat almarhum ayah duduk di kursi layaknya singgasana. Dengan senyum mengembang, almarhum ayah terlihat dikelilingi cahaya putih bersinar terang. Rupanya tidak hanya ibunda yang bermimpi demikian. Ada pula seorang tetangga yang masih kerabat jauh bercerita kepada kami telah mengalami mimpi bertemu almarhum ayah. Isi mimpi yang diceritakannya tidak jauh berbeda dengan isi mimpi yang dialami ibunda.
Saya tadinya bingung menerawang apa gerangan di balik mimpi itu. Namun, kemudian ada yang mencoba menerjemahkan bahwasanya hal itu mungkin karena ketenangan almarhum ayah di alam sana. Mungkin almarhum ayah sudah benar-benar lega harta peninggalannya sudah dibagikan secara adil dan semua pihak menerima dengan hati senang. Alhamdulillah, semoga demikian benar adanya beliau di sana.[]
Pujut, 4 Maret 2012
No comments:
Post a Comment