Sebuah tontonan berkualitas kembali hadir di layar lebar. Kali ini mengangkat seluk-beluk dunia pesantren tradisional, suatu komunitas yang menjadi salah satu kekuatan Islam—terutama di pulau Jawa. Tidak tanggung-tanggung, duet Nicholas Saputra-Dian Sastrowardoyo yang menjadi pendongkrak kebangkitan perfilman Indonesia melalui ”Ada Apa dengan Cinta” (2001) dihadirkan guna mendukung film ini.
Konon, film ini telah cukup lama diproduksi, tetapi malah terlalu sibuk mengikuti festival-festival film di mancanegara sehingga baru sekarang ini dapat dinikmati para pencinta bioskop tanah air. Melihat wajah Dian dan—terutama—Nicholas yang terlihat masih lugu, rasanya memang dapat dimaklumi jika film itu sebenarnya tidak diproduksi sebelum kurun setahun terakhir ini. Kecuali, jika hal itu memang efek dari kelihaian para penata rias.
Dunia pesantren tradisional yang belakangan ini agak kerepotan menahan laju pertumbuhan pesantren modern dipotret dengan apa adanya oleh Nurman Hakim, sutradara film ini. Mengambil setting di sebuah kampung di pedalaman Yogyakarta, film ini mengetengahkan kehidupan kaum sarungan secara gamblang.
Jelas terekam dalam film ini bagaimana rupa pesantren yang konon bisa mencetak ulama-ulama panutan umat. Di dalam bangunan amat sederhana berdinding kayu atau anyaman bambu, santri-santri tidur beralaskan tikar. Barangkali hal seperti itu semakin jarang ditemukan, tetapi sesungguhnya masih banyak yang lebih ngenes daripada itu, di mana terkadang santri tidur tanpa alas ataupun bantal. Masih lumayan juga dalam film itu terdapat sekat berupa kain di antara kamar-kamar yang berisi masing-masing 3-4 orang. Karena bahkan di beberapa pesantren salaf yang telah memiliki bangunan beton kukuh pun ada kamar-kamar berukuran kira-kira 8 x 8 meter diisi puluhan orang tanpa satu sekat pun.
Untuk melengkapi fenomena yang terjadi di dunia pesantren, sang sutradara dengan beraninya menampilkan gambaran kenakalan para santri, seperti ”budaya” merokok—dengan mencuri-curi waktu tentunya, juga keluar malam sekadar untuk minum kopi di warung warga perkampungan, menonton televisi, menelpon orang tua di wartel, atau menonton pasar malam dan dangdutan. Bahkan, kenakalan tingkat tinggi sekelas sodomi alias homoseks pun ditampilkan secara blak-blakan. Hanya saja, dengan cerdas sang sutradara mengakhirinya dengan apik: pelaku sodomi—yang ditampilkan sebagai sosok santri senior yang karenanya ditakuti yunior-yuniornya—akhirnya diusir setelah sang korban berani menceritakan kejadian tak senonoh itu kepada teman-temannya.
Demi menambah kesemarakan film ini, potret-potret konyol pun tak jarang ditampilkan. Di antaranya seorang santri yang dengan nikmatnya tertidur saat sujud terakhir dalam suatu jamaah shalat subuh. Ada pula keluguan Huda (Nicholas) yang diam saja saat bibirnya dicium Dona (Dian Sastro) sang penyanyi dangdut, tetapi kemudian cepat-cepat beristighfar dan segera menundukkan kepalanya. Selain itu, ada pula gambaran santri yang rutin mengendap-endap mengintip lawan jenis; bukan, bukan sedang mandi, si lawan jenis hanya berdiri biasa di kamar atau pekarangan rumahnya.
Ada juga tampilan yang mengetengahkan budaya yang erat dipegang sebagian kiai alias pemimpin pesantren: poligami. Namun, lagi-lagi dengan sangat baik sutradara film ini menghadirkan counter demi menjaga image pesantren; sesungguhnya tidak semua pemimpin pesantren doyan mengoleksi istri, betapa pun itu halal dan sah-sah saja. Tokoh kiai utama dalam film berdurasi 114 menit ini pun tidak mau berpoligami hingga akhir hayatnya, meski keinginan memiliki anak laki-laki tak jua kesampaian.
Karena berlatar dunia pesantren, tak lupa sang pembuat film menanamkan nilai-nilai religius. Di antaranya tuntunan melakukan hubungan suami-istri yang baik: berdoa dan bersalaman terlebih dahulu sebelum sang istri ”menyerahkan diri”. Nilai terdalam dari kitab-kitab salaf nan klasik juga turut ditampilkan: jika ingin anak laki-laki, cobalah meletakkan bantal di bawah pantat istri saat sang suami melakukan penetrasi. Tentu saja tuntunan itu tidak dipertontonkan secara vulgar, malah dengan konyolnya diselingi dengan potret-potret lain yang membuat penonton mencukupkan diri mengambil nilai religius tanpa melihat adegan mesum.
Doa Tiga Santri
Kekurangan film ini barangkali terbatas pada terlalu banyaknya potongan-potongan yang dipotret sehingga terkesan tidak fokus ingin memotret bagian mana. Meski begitu, hal itu bisa saja terbantahkan oleh judulnya: menceritakan tiga santri dengan tiga doa mereka.
Secara umum film ini memang menceritakan tiga santri yang berteman akrab. Huda, Rian (Yoga Pratama), dan Syahid (Yoga Bagus) setiap awal tahun hijriah selalu berkumpul di salah satu pojok lingkungan pesantren, menuliskan doa atau target yang akan mereka bidik setahun ke muka. Mereka menulis dengan huruf-huruf Arab sehingga terkesan sangat natural. Hingga tahun terakhir mereka mondok, Huda selalu menuliskan nama ibunya, sementara Rian terakhir berkeinginan mendirikan studio fotografi, sedangkan Syahid, sesuai namanya, ingin mati syahid di jalan Allah—di sini dengan cantiknya ditampilkan model lain dunia pesantren: Islam radikal—sebagai ujung keikutsertaannya dalam pengajian di sebuah surau tak jauh dari pondok mereka.
Saat lulus dari pesantren, Huda pun nekat berangkat ke Jakarta mencari ibunya, setelah sebelumnya meminta bantuan Dona untuk mencarikan alamat ibunda tercinta. Huda melakukannya diam-diam agar tidak ketahuan sang kiai yang mengharapkannya menetap saja di pesantren untuk dijadikan menantu dan meneruskan tongkat kepemimpinan pesantren itu. Hanya beberapa hari di Jakarta, Huda tidak kuasa menahan tangis setelah mengetahui bahwa ibundanya ternyata seorang wanita penghibur. Lebih menyesakkan lagi karena ternyata orang yang selalu dirindukannya itu telah meninggal dunia setahun sebelumnya. Itu artinya sama dengan kurun waktu dari surat terakhir yang diterimanya.
Sementara itu, Rian, yang mau dibujuk sang ayah untuk masuk pesantren dengan syarat dibelikan handycam mendapat kejutan dari ibunya. Kejutan pertama berupa kiriman handycam yang bahkan dia sendiri telah lupa syarat itu. Ia senang bukan kepalang. Namun, kejutan kedua membuatnya shock: ibunya datang membawa ayah baru untuk Rian. Rian pun berontak karena merasa ibunya terlalu cepat menikah lagi; belum setahun dari kematian ayah Rian. Rian pun memutuskan tidak mau pulang ke rumah ibunya di Surabaya dan merajuk untuk ikut pada pemilik usaha layar tancap yang biasa ditontonnya.
Adapun Syahid terus bersedih karena ayahnya tidak juga sembuh dari penyakit kronis yang membuatnya terbaring lama di rumah sakit. Untuk membayar biaya rumah sakit, mereka pun terpaksa menjual sawah. Calon pembeli hanya seorang asing warga negara AS, itupun dengan harga murah—paling tidak menurut Syahid. Tak pelak hal itu makin membuat Syahid membenci orang asing yang diyakininya sebagai kafir Yahudi yang akan selalu memusuhi Islam. Ditambah dengan intensitas bergaul dengan orang-orang Islam radikal, Syahid malah kemudian membaiat diri untuk ikut menjadi calon syahid yang siap mengorbankan diri ”demi tegaknya Islam” atau ”demi hancurnya musuh (?) Islam”.
Hanya saja, suatu ketika Syahid mengetahui bahwa justru warga asing itulah yang membayar lunas semua biaya rumah sakit yang tak cukup dibayarnya dengan hasil menjual sawah. Ia pun segera insyaf dan menyatakan keluar dari barisan calon syahid, meski hal itu harus dibayarnya dengan dikucilkan dari ustadnya di surau luar pondok itu.
Namun, rupanya langkah Syahid sedikit terlambat karena pergerakannya telah lama diintai intel. Ia pun digelandang ke kantor polisi, bersama sang kiai, Huda, dan Rian karena wajah mereka semua muncul dalam kaset rekaman yang penah digunakan Syahid untuk ”menyatakan perpisahan” dengan kaum muslimin. Mereka semua ditahan, meski akhirnya hanya Syahid yang divonis penjara.
Di akhir film, Huda memang akhirnya menjadi penerus sang kiai setelah mempersunting putri kiai. Rian pun dapat mewujudkan impiannya memiliki usaha shooting film acara pernikahan. Adapun Syahid keluar dari penjara tepat saat pernikahan Huda. Mereka pun berkumpul lagi, mengenang masa-masa menuliskan cita-cita mereka saat masih sama-sama mondok.[]
Kos Cempaka Warna, 30 Desember 2008 - 2 Januari 2009