Kira-kira empat tahun lalu, nyaris saja saya menjadi panitia pengarah sebuah seminar organisasi di Kairo yang menggandeng Kementerian Koperasi dan UKM RI tentang entrepreneurship. SK bahkan sudah turun, sayang kerjasama dengan kementerian tersebut—walaupun sudah bertatap muka dengan pak menteri secara langsung—tidak jadi terlaksana. Wallahu a'lam.
Barangkali ada untungnya, karena bisa-bisa penyelenggara akan malu, lha panitia pengarahnya sendiri ternyata belum memahami betul apa itu entrepreneurship. Atau barangkali karena tidak jadi itulah panitia pengarahnya tidak mau belajar lebih banyak tentang "makhluk" aneh yang sering terdengar tetapi jarang diketahui secara detail itu.
So, ada yang tahu apa itu entrepreneur? Hmm.. main tebak-tebakan saja lah. Kira-kira artinya berkaitan erat dengan kemandirian ya. Kemandirian dalam berusaha, maksudnya punya usaha sendiri. Memiliki mata pencaharian sendiri, tidak menjadi anak buah orang lain. Barangkali tidak jauh beda lah artinya sama wiraswasta.
Jika kira-kira begitu pengertiannya, berarti sesungguhnya saya sendiri pernah menjalankannya. Bahkan jauh-jauh hari (atau hitungan belasan tahun malah) mantan calon panitia pengarah ini sudah pernah berpengalaman sebagai entrepreneur itu. Pengalaman! Tentu tidak memandang berhasil atau gagal; yang penting p-e-r-n-a-h.
Kira-kira umur belum genap sepuluh tahun, pernah tuh coba-coba jualan. Uang hasil tabungan—dikumpulkan dari angpaw lebaran dan dikasih saudara ketika berkunjung di luar kota—diminta dari ortu, lalu dibelikan sepaket undian berhadiah. Inget betul, waktu itu lagi rame-ramenya anak-anak seumuran SD senang membeli permen cicak (bentuknya bulat kecil-kecil berwarna-warni seukuran telur cicak) dengan embel-embel selembar kertas yang dibubuhi angka tertentu yang dihubungkan dengan hadiah murah meriah. Hadiahnya bisa berupa permen, kerupuk, mi instan, juga mainan semacam pistol-pistolan dan mobil-mobilan. Tentu saja, lebih banyak kertas tersebut bertuliskan kira-kira: anda belum beruntung.
Lucu juga, hanya demi kesenangan batin anak kecil. Hasilnya tentu tidak ada secara materi. Malah kebanyakan permen-permen itu dimakan sendiri. Jadi hadiahnya juga diambil sendiri, yang kira-kira kalau dihitung mungkin akan lebih murah dibandingkan dengan harga kulakan ya. Kalau nilai total hadiah lebih mahal daripada harga kulakan, tentu pembuat paket itu rugi dari awal.
Itu cerita SD. Di tingkat SLTP, sepertinya tidak ada pengalaman entrepreneurship itu. Baru ketika menginjak bangku SLTA, keinginan untuk "keluar dari belenggu rutinitas" itu muncul lagi. Kali ini dengan membawa beberapa kilo emping melinjo (yang merupakan produk khas daerah asal) ke kota tempat menimba ilmu, Kudus. Sayang, jiwa entrepreneurship itu tidak betul-betul tumbuh, tidak lebih sekadar coba-coba. Hasilnya pun tidak maksimal. Memang bisa mengembalikan modal, maksudnya bisa kulakan lagi, tetapi belum menghitung biaya transportasi, capek, akomodasi dll. Intinya, sekadar dapat uang yang sama persis dengan nilai kulakan, tapi alhamdulillah plus sedikit sisa emping melinjo yang tidak terjual.
Tetapi sepertinya itu tidak benar-benar memuaskan. Sebagai latihan OK lah, hanya saja waktu itu kok cuma nitip ke orang ya. Maksudnya tidak bisa jualan sendiri ke end user. Tentu saja terasa ada yang kurang. Entah karena apa, coba-coba entrepreneurship emping itu pun cuma sekali waktu itu, tidak kemudian diulangi dan diperbaiki.
Di tingkat SLTA juga, pernah mau jualan koran bekas.Waktu itu datang ke alun-alun kota Kudus yang lagi ada wayangan dalam rangka HUT PT Djarum. Entah wayangan entah pengajian, atau malah pengajian yang dilanjutkan dengan wayangan, pokoknya rame banget orang-orang duduk lesehan. Sama teman-teman asrama, berniat membawa tas ransel diisi koran bekas dengan maksud dijual sebagai tempat duduk, yah barang seratus dua ratus perak. Namun, rupanya di antara kami tidak ada yang punya nyali untuk menjajak. Walhasil, koran bekas dengan jumlah yang sama persis dibawa pulang lagi ke asrama, hehe.[]
Pujut, 30 Januari 2010
No comments:
Post a Comment