Tidak ada yang tahu kapan kita kehilangan siapa, atau kapan siapa kehilangan kita. Semua terjadi seakan begitu cepat. Belum genap sebulan menikmati bulan madu, ternyata harus menguji hati atas kenyataan pahit.
Ahad pagi, 28 Maret 2010, saya dapat telpon bahwa sakit liver Bapak kambuh. Segera setelah mendapat kabar itu, saya bersama istri pun bergegas menuju terminal untuk mudik. Perjalanan sekitar lima jam mengantarkan kami ke pelukan orang tua. Saat itu rumah sangat ramai karena bertepatan ada peringatan haul wafat kakek kami.
Konon, liver Bapak kambuh karena memaksakan diri turut serta dalam mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan peringatan haul yang biasanya memang dibumbui pengajian dengan undangan cukup banyak. Bapak bahkan memaksa panitia agar undangan para tokoh masyarakat diantarkan langsung oleh Bapak; padahal dokter melarang Bapak bergerak terlalu banyak.
Seminggu sebelum pelaksanaan peringatan haul, Bapak memang tampak sangat sehat. Tak mengherankan jika beliau dengan begitu semagat mengantarkan satu demi satu undangan ke rumah tokoh-tokoh masyarakat di berbagai desa, beberapa juga di luar kecamatan dalam artian dengan jarak yang tidak dekat.
Mungkin akibat kecapaian mengantar surat itu, kaki dan perut Bapak membengkak. Keluarga pun khawatir terhadap kesehatan Bapak. Satu per satu anggota keluarga melarang Bapak meneruskan persiapan kepanitiaan. Namun, karena Bapak tidak merasa sakit, beliau pun tetap meneruskan mengantar undangan. Bahkan, belanja beberapa keperluan juga tetap dilakukan oleh Bapak.
Pada Sabtu, alias satu hari menjelang acara peringatan haul, Bapak ke pasar membeli beberapa keperluan acara. Itu pun ternyata dengan embel-embel membelikan sepeda untuk cucu. Surprise, begitu mungkin rancangan beliau. Hujan yang mengguyur sejak bakda zuhur membuat Bapak basah kuyup saat pulang.
Keluarga pun ketar-ketir dengan kesehatan Bapak. Benar saja, malam harinya, Bapak menggigil dan mengeluh kesakitan. Semalaman sampai tidak bisa tidur. Badan pun semakin membengkak. Keluarga semakin ketar-ketir, tetapi saat disarankan dibawa ke rumah sakit, Bapak menggeleng, bahkan menolak.
Entah kenapa, saat tiba acara peringatan haul, Bapak tampak kembali bugar menerima tamu. Memang saat selesai menerima tamu, Bapak memang minta dituntun untuk kembali ke ruang tidur.
Beberapa saat kemudian, saya bersama istri tiba di rumah. Alhamdulillah, Bapak tampak ceria seakan tidak merasakan sakit parah. Saat kami tanya, Bapak pun mengaku tidak apa-apa (sehat). Kembali saya menyarankan agar Bapak dibawa ke rumah sakit, beliau tetap menolak.
Malamnya, saya bersama keluarga bermusyawarah. Diputuskan bahwa Senin pagi mau tidak mau Bapak harus dibawa ke rumah sakit. Saat pagi tiba di Senin hari, Bapak pun hendak kami tuntun menuju kendaraan. Namun, Bapak kembali tegas menolak, "Tidak ada biaya," kata Bapak. Jawaban yang tentu membuat kami menangis, walau kami sangat menyadari bahwa Bapak memang tidak pernah mau merepotkan orang. Kami lalu segera mengatakan kepada beliau bahwa anak-anak masih memiliki cukup uang untuk merawat Bapak di rumah sakit.
Bapak pun pasrah saat digotong ke dalam mobil, lalu tampak duduk tenang di jok tengah. Kami pun merasa lega saat itu.
Sampai di rumah sakit sekitar pukul setengah sepuluh, kondisi Bapak masih tampak biasa. Begitu sampai tengah hari. Namun, menjelang pukul empat, tiba-tiba kondisi Bapak drop. Keluarga pun segera dikabari. Saya dan istri, juga Mas Hakim dan istri, yang tadinya menunggu rumah pun segera menuju ke rumah sakit.
Sesampai kami di rumah sakit, sekitar pukul setengah enam, Bapak memang sudah tidak sadarkan diri, bahkan bernapas pun harus ditopang alat bantu. Satu per satu anggota keluarga pun bergantian melantunkan kalimat thayyibah di telinga Bapak, sambil memegangi tangan atau bagian lain tubuh beliau. Saat tiba waktu maghrib, giliran saya berada di dekat wajah Bapak, memegangi tangan beliau, sambil membisikkan zikir di telinga beliau; sementara yang lain melaksanakan shalat maghrib.
Tidak sampai sepuluh menit kemudian, saya melihat denyut nadi Bapak semakin mengendur. Sangat jelas dalam bayangan, bahkan hingga saat ini, betapa sedikit demi sedikit, pelan-pelan, "napas" Bapak berjalan dari dada, leher, hingga terakhir wajah beliau tidak bergerak sama sekali. Jantung saya pun berdebar-debar, lalu berlari menuju ruang perawat.
Saat dua perawat datang, mereka segera mengecek denyut nadi di tangan Bapak. Sama seperti yang terus mereka lakukan sejak pukul empat sore hingga beberapa saat sebelum giliran saya berada di dekat Bapak.
"Sudah berapa menit?" tanya perawat. "Baru beberapa saat," jawab Ibu. "Inna lillah wa inna ilaihi raji'un. Enam lebih sepuluh menit. Diikhlaskan ya Pak, Bu...." Entah kenapa, seperti tidak percaya, saya bertanya kepada Ibu, "Kenapa Bu?" Ibu menjawab, "Bapak sudah tidak ada." Saya pun memeluk Ibu erat-erat....
....
.....
......
........
Inna lillah wa inna ilaihi raji'un. Saya pun tidak menyangka saya diberi kesempatan mudik ternyata untuk mengucapkan salam perpisahan dengan Bapak. Allahummaghfir lahu warhamhu wa 'afihi wa'fu 'anhu.[]
Ruang Kuliah KTT, 20 Mei 2010