Akhir-akhir ini saya harus sering "menikmati" jalur pantura. Apa pasal? Lahirnya si kecil dikompilasi dengan sudah jarangnya ada perkuliahan membuat saya jadi harus terbiasa bolak-balik Pekalongan-Yogyakarta. Dari rumah mertua menuju kontrakan dan sebaliknya. Membawa si kecil ke kota pelajar belum memungkinkan, sementara berlama-lama di kota kampus tentu akan merepotkan istri di rumah.
Sebenarnya tidak masalah menempuh perjalanan sekitar lima jam itu, apalagi bisa mampir di rumah orang tua barang sesaat untuk melepas lelah, atau malah menyempatkan pijat badan di tempat Bu Dhe. Hanya ada satu permasalahan mengganjal: jalanan bergelombang di jalur pantura.
Barangkali soal ini juga dialami siapa saja yang bahkan mungkin ada yang harus tiap hari melewatinya. Tentu saya patut bersyukur karena tidak harus setiap pagi dan sore melewati jalur yang dahulu terkenal cukup angker ini. Cukupkah bersyukur? Bukan sekadar masalah cukup atau tidak cukup tentunya, jika ada yang mengganjal di balik bergelombangnya jalan skala nasional itu.
Ya, beberapa waktu lalu, seorang sopir travel bercerita salah satu sisi di balik bergelombangnya jalan pantura itu. Dia yang pernah juga menjadi sopir truk ukuran super jumbo menceritakan pengalaman pribadinya. Konon, saat menyopiri truk itu dia mengaku terbiasa membawa muatan melebihi tonase yang ditentukan. Melanggar hukum? Tentu saja, dan dia dengan tegas mengakuinya.
Bukankah sudah ada jembatan-jembatan timbang? Dia tidak memungkiri bahwa dalam perjalanan Jakarta-Surabaya—rutenya saat menyetir truk-truk besar itu—memang beberapa kali harus memasuki jembatan timbang. Namun, saat mengetahui muatannya melebihi tonase, ia memang harus menyiapkan amplop berisi uang. Suap dong? Mau bagaimana lagi, kilahnya. Jumlah nominal uang yang disiapkan untuk suap itu berbeda-beda, tergantung daeraha mana. Daerah tertentu terkenal "murah", tetapi di kawasan lain harus merogoh kocek cukup dalam untuk mempertebal amplop.
Pengusaha yang mempekerjakan sopir-sopir seperti dirinya rupanya lebih suka menyiapkan amplop-amplop itu, ketimbang menjatah muatan truk-truknya sesuai tonase yang ditetapkan. Ya, tentu saja hal itu dapat menghemat biaya distribusi. Sebut saja satu truk dapat memuat dua kali lipat muatan dari tonase yang ditentukan, tentu hal itu lebih "efektif", cukup dengan menyiapkan amplop yang tentu saja besarannya tidak lebih besar daripada biaya memberangkatkan satu truk lagi.
Di sisi lain, para petugas jembatan timbang rupanya juga tidak bisa menolak amplop-amplop itu. Mungkin ada banyak alasan di balik ketidakmampuan mereka menolaknya. Misalnya saja, bagi seorang bawahan, bahwa hal itu adalah kebijakan atasan. Bagi atasan, dia bisa berkilah bahwa itu sudah "budaya" pejabat sebelumnya. Bagi pejabat sebelumnya, dia beralasan, "merebut" jabatan sebagai penanggung jawab jembatan timbang itu saja sudah harus mengeluarkan uang untuk keperluan lobi, dari mana lagi dia harus mencari "balik modal". Atau mungkin justru lebih banyak alasan lagi yang kita tidak tahu dan barangkali sebelumnya tidak terpikirkan oleh kita.
Apa akibat dari kolusi antara pejabat, petugas, pengusaha, dan sopir—yang kita tidak bisa serta-merta menyalahkanya—seperti itu? Tentu saja jalan-jalan yang dilalui truk-truk itu menjadi cepat rusak. Tidak mengherankan kalau jalan di pantura yang setiap hari diinjak oleh ribuan truk—dan entah berapa persen yang melebihi muatan—menjadi bergelombang, lalu robek sedikit, kemudian dibumbui air hujan; membuatnya berlubang.
Bahkan saat jalan-jalan tersebut digarap sesuai nominal dan ketentuan APBN, tentu tidak akan kuat setiap hari diinjak-injak oleh muatan berlebih. Apalagi kalau misalnya dalam pembuatan jalan juga ada oknum yang bermain-main dengan anggaran sehingga kualitasnya tidak sesuai ketentuan; apa jadinya jalan-jalan itu.
Kondisi seperti ini mungkin sudah bukan rahasia lagi. Namun, apa yang bisa kita lakukan? Saya sendiri hanya bisa menuliskannya di sini. Tidak (atau belum) bisa mengubah realitas itu. Bagaimana dengan Anda?[]
Wonoyoso, 12 Februari 2011