Kisruh PSSI rupanya belum juga mereda. Setelah koor sebagian besar suporter bola tanah air meminta Nurdin turun beriring dengan Piala AFF di ujung tahun lalu, kini pemilihan pengganti Nurdin rupanya tak kalah ruwet. Dua kali kongres, dua kali pula terjadi deadlock, bahkan "kerusuhan" meski tanpa kekerasan fisik.
KN dan K-78 yang sama-sama ngotot dengan pendapat masing-masing kiranya tidak mudah didamaikan. KN merasa mendapat mandat dari FIFA dan itu adalah surat sakti "dari atas" yang harus dipatuhi seluruh insan bola, bahkan barangkali insan bola seluruh dunia. Di sisi lain, K-78 merasa punya hak memperjuangkan arus bawah, di mana mereka merasa sebagai mayoritas suara pelaku bola Indonesia.
Siapa yang harus mengalah? Serba salah memang. Jika KN kalah atau mengalah, bisa jadi implikasinya di masa depan akan ada segelintir orang yang menguasai (dengan uang atau cara lain) mayoritas pemilik suara (baik di sepak bola maupun cabang lain) lalu dapat dengan mudah menjalankan "pemerintahannya" seenak wudele dewe. Bisa-bisa kelak ada Nurdin-Nurdin baru.
Kalaupun K-78 yang kalah atau mengalah, itu juga bukan pilihan bagus. Itu hanya makin menunjukkan betapa inferiornya bangsa Indonesia, hingga mengurus diri sendiri tidak becus dan harus ditetah orang lain.
Namun, salah satu dari keduanya memang harus ada yang berani melangkah mundur, atau kalau perlu kedua-duanya mau menurunkan tensi untuk kemudian duduk bersama mencari jalan tengah terbaik.
Yang jelas, kelak siapa pun yang bakal memimpin PSSI, harus mampu membersihkan borok-borok yang sebelumnya ditanamkan oleh Nurdin Halid. Kalau perlu, secara aktif mendorong pihak berwenang dalam bidang hukum untuk mengusut karut-marut rezim Nurdin, utamanya berkaitan dengan keuangan, termasuk kemungkinan suap-menyuap.
Hal ini sangat perlu dilakukan supaya PSSI tidak menjadi "kasus Indonesia kedua". PSSI harus bisa meniru, misalnya, Mesir. Indonesia, yang setelah "merdeka" dari penjajahan Soeharto, dengan dalih rekonsiliasi kok dengan entengnya memaafkan sang diktator yang berkuasa 32 tahun itu. Memang memaafkan kesalahan perlu, tetapi tentu tidak bisa dilakukan secara mutlak.
Kelak pengurus PSSI terpilih harus meniru langkah penguasa darurat di Mesir pascarevolusi Januari 2011 yang meruntuhkan kekuasaan Husni Mubarak. Tidak sampai setengah tahun umur revolusi, penguasa sementara langsung berani mengangkat kasus-kasus dugaan korupsi dan pelanggaran HAM "Firaun terbaru" itu.
Bandingkan dengan Indonesia yang reformasinya sudah berlangsung selama 13 tahun, tetapi nyaris tidak ada satu pun penguasa dan kroni era orde baru yang diseret ke pengadilan. Akibatnya, korupsi justru semakin merajalela, tidak hanya dimonopoli penguasa. Bahkan sampai ke rakyat terbawah pun menjadi—mau tidak mau—harus pernah melakukan korupsi, sekecil apa pun itu.
Pemerataan kesalahan, itukah yang bakal ditanamkan PSSI nanti. Tentu kita tidak berharap demikian![]
Jomblangan, 21 Mei 2011