Bagaimana rasanya salah memakai kostum di acara penting? Memalukan… ya, amat sangat malu sekali. Saya pernah mengalaminya; atau bahkan sering. Maklum, saya bukan orang yang begitu perhatian terhadap penampilan. Sayangnya, ketidakpedulian itu keterlaluan, jadinya harus memetik malu berkali-kali.
Salah satu yang paling memalukan adalah saat menjadi ketua panitia lokakarya dan silaturahmi NU luar negeri, Cairo, Juli 2003. Padahal, delegasi peserta datang dari NU Inggris, NU Sudan, NU Arab Saudi, ilmuwan Belanda, juga ada Ketua Umum PBNU. Pak Kiai Hasyim rawuh ditemani beberapa kiai, semisal Kiai Fawaid As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), Kiai Manarul Hidayat (Jakarta), dan Kiai Said Aqil Sirodj (yang kini giliran menjabat Ketua Umum PBNU). Tidak ketinggalan intelektual muda yang saat itu menjabat Ketua PP Lakpesdam, Ulil-Abshar Abdalla.
Ceritanya pada acara pembukaan, saya mewakili panitia dijadwalkan memberikan sambutan. Untuk acara selevel itu, seharusnya saya sudah mempersiapkan segala hal untuk tampil maksimal, selain rancangan isi pidato juga termasuk kostum yang layak dipakai untuk menyambut sekian banyak tamu yang datang dari berbagai negara itu.
Nahas, saya sama sekali tidak memiliki sense of clothing (apa itu???) yang cukup untuk itu. Walhasil, beginilah dandanan saya: tanpa peci, tanpa minyak rambut, baju panjang berwarna merah agak oranye, celana warna hijau (!), dan lebih aneh lagi adalah sepatu kets yang sangat cocok untuk lari pagi. Ckckck….
Saat itu saya sih sama sekali tidak menghiraukan. Tetapi setelah beberapa waktu berlalu dan ingin melihat-lihat foto acara tersebut, barulah saya merasakan betapa memalukannya penampilan saat itu. Sungguh terlalu, begitu kira-kira komentar Bang Haji kalau melihatnya.
Hanya saja, pengalaman waktu itu rupanya tak cukup memberikan pelajaran bagi saya. Buktinya, momen penting lain harus berurusan kembali dengan salah kostum atau yang dalam bahasa gaul disingkat saltum itu. Kali ini malah acara spesial: lamaran manten. Ya, acara yang berlangsung sekitar dua tahun lalu itu meninggalkan cerita lugu (lucu plus wagu).
Saat itu berangkat dari rumah berombongan semobil bersama orang tua dan sanak keluarga. Saya dengan santainya memakai baju batik panjang dan celana panjang yang menurut saya warnanya sudah cukup matching. Tidak ketinggalan mengenakan peci juga dong.
Namun, di tengah jalan rupanya ada yang memerhatikan “keanehan”: saya tampak terlalu tua. Yap, rupanya kemeja batik berwarna coklat tua itu menambahkan usia saya. Beruntung, salah seorang kakak lelaki saya memakai kemeja dengan nada warna serupa, hanya saja warnanya lebih kalem dan ngenomi. Solusinya tukar baju lah. Jadilah di tengah jalan kami bertukar baju, saya meminjam kemeja mas saya.
Saltum kembali terjadi di almamater yang patut dibanggakan: UGM. Tapi bagaimana saya berharap bisa balik dibanggakan, kalau saat malam kelulusan wisuda pascasarjana saja saya pakai sandal jepit! Saya sendiri awalnya mengira itu hanyalah acara makan malam dan ramah tamah. Makan-makan lalu ngobrol-ngobrol. Tidak tahunya, ada acara resmi selayaknya wisuda beneran.
Ketika keluar dari lift di lantai lima, kebetulan ada Bapak Kaprodi yang tengah berdiri di tengah kerumunan. Saya pun langsung menyalami, lalu meninggalkan beliau karena sepertinya beliau tengah serius mengobrol dengan orang-orang di sekelilingnya. Sedetik kemudian saya menuju meja makan karena menganggap itu acara intinya, hehe.
Saat menikmati makan malam itu, salah seorang staf Prodi mendatangi saya. Dengan halus dia mengatakan: Gus, kok pakai sandal sih, ditegur Pak Kaprodi tuh, nanti kan kamu diminta maju untuk mendapat penghargaan cumlaude dari Direktur Sekolah Pasca. Ou ouw… ada acara maju segala to buat teman-teman yang dapat cumlaude. Apes, rupanya Pak Kaprodi memerhatikan saya memakai sandal tadi, hiks hiks.
Saya pun langsung celingukan sekiranya ada yang bisa meminjamkan sandal. Alhamdulillah, ada suami dari teman calon wisudawati yang bersedia bertukar sandal-sepatu. Jadilah kami duduk berdekatan di tempat acara, lalu saat saya dipanggil saya meminjam sepatunya.
Tidak berhenti di situ, saat keesokan harinya acara wisuda, saya kembali kena saltum. Tapi menurut saya kali ini tidak terlalu parah. Sebagaimana umumnya acara wisuda, para peserta diwajibkan mengenakan celana hitam dan hem putih. Nah, karena saya tidak punya celana hitam kecuali kusut karena umurnya senja, saya pun nekat memakai celana hijau tua—tua sekali lah menyerupai hitam.
Namun, rupanya ada juga teman yang terlalu baik sehingga begitu perhatian dengan kostum saya. Dia pun menegur kenapa saya tidak memakai hitam. Saya pun menjawab bahwa warna ini toh tidak terlalu mencolok. Dibukanya pula baju wisuda saya; duhhhh kenapa Agus bajunya tidak putih, melainkan biru malah bergaris-garis. Ah, biarlah, toh tidak kelihatan, wong tertutup baju toga kan.
Benar-benar seluruh kisah yang memilukan ya. Mudah-mudahan tidak akan terjadi lagi. Eh, sebelum tulisan ini ditutup, mungkin ada baiknya saya ceritakan juga “kisah pelipur lara” untuk cerita-cerita tadi. Tepatnya saat ujian wawancara menuju Mesir. Waktu itu seluruh calon penerima beasiswa Al-Azhar yang sudah lulus tes di Depag harus kembali diuji oleh Kedutaan Mesir di Jakarta.
Di sini kartu truf saya soal kostum benar-benar menunjang karier, hehe. Dengan pakaian batik, saya mencoba pede memasuki ruang para penguji. Benar saja, saat tes wawancara itu, saya ditanya berasal dari mana. Saya pun menjawab: Pekalongan. Nah, rupanya sudah takdir, penguji meneruskan dengan pertanyaan: apa yang terkenal dari daerahmu? Dengan amat sangat pede sekali, saya menjawab: pakaian batik! Tentu saja dengan pede tingkat tinggi, saya tunjuk-tunjuk pula pakaian yang saya kenakan sambil berucap: ini loh batik yang terkenal berasal dari Pekalongan. Benar-benar ces pleng![]
Pujut, 20 Februari 2012