Banyak yang mengatakan bahwa menjadi PNS berarti menjadi abdi negara. Artinya, ia akan terus melayani negara dalam pekerjaannya yang digaji menggunakan anggaran negara. Bahkan, dengan label “abdi negara”, kira-kira idealnya seseorang tanpa digaji negara pun ia akan tetap bekerja sebaik-baiknya melayani negara. Begitulah mengabdi. Dalam KBBI, mengabdi diartikan menghamba atau menghambakan diri. Sebagai hamba, tentu tidak elok mengharapkan timbal balik atas apa yang dilakukan.
Betulkah demikian yang ada di lapangan? Sepertinya jauh panggang dari api. Barangkali ada, mungkin tidak akan mencapai 1 persen atau bahkan 0,1 persen dari seluruh jumlah PNS yang ada saat ini. Bolehlah berharap atau lebih jauh melakukan doktrinasi bahwa setiap PNS adalah abdi negara yang harus tulus ikhlas menjalankan tugas negara. Namun, kenyataan tetaplah kenyataan.
Doktrin mengenai abdi negara sepertinya justru dibelokkan oleh oknum tertentu. Dengan dalih “hanya” mengabdi, maka pelayanan kepada masyarakat dilakukan seadanya, atau malah lebih parah lagi ogah-ogahan. Mereka mengambinghitamkan penghasilan mereka yang dianggap kurang. Mungkin ada benarnya bahwa penghasilan mereka tidak lebih besar dibanding pegawai swasta tertentu.
Sama-sama lulus dari perguruan tinggi yang sama, nilai 11-12, kemampuan juga barangkali tidak jauh berbeda. Satu memilih menjadi PNS, lalu yang lain meniti karier di perusahaan swasta elite. Lalu peniti karier swasta yang beruntung bisa berada di perusahaan elite bisa lebih makmur. Sementara di sisi lain pemilih PNS justru tidak berkembang. Kenyataan seperti ini rasanya banyak terjadi di antara kita.
Namun, tentu tidak dibenarkan memaki-maki diri karena menjadi PNS yang berimbas pada kualitas pengerjaan tugas yang tidak maksimal. Menjadi PNS adalah pilihan. Tentu sangat sedikit orang yang “dipaksa” negara untuk menjadi abdi negara dengan gaji yang “segitu-segitu aja”. Atau barangkali malah tidak ada sama sekali.
Dalam kasus ada teman yang bekerja di sektor swasta lalu lebih makmur, tentu tidak bisa melihat satu sisi saja. Harus dilihat pula bagaimana keadaan masyarakat di kelas-kelas yang lain. Tidak bisa hanya melihat teman sendiri. Sebagai PNS yang digaji negara, sementara negara mendapatkan dana dari hasil pajak rakyat, maka rakyat kebanyakanlah yang harus dilihat. Benarkah PNS berada di barisan paling bawah penerima besaran penghasilan? Pasti tidak! Bahkan mungkin banyak masyarakat yang belum bisa berpenghasilan tetap.
Atas hal itu, PNS tidak elok lagi beralasan penghasilan yang kurang. Apalagi, saat ini gaji PNS terus dinaikkan, sementara ini terakhir dinaikkan April 2013 dengan besaran kenaikan sekitar 7 persen. Jika merasa kurang maka tentu akan terus merasa kurang. Dalam Islam, ada ajaran “mau membandingkan rezeki maka lihatlah yang di bawah, mau membandingkan ilmu atau amal maka lihatlah yang di atas”. Ajaran ini sepertinya sangat relevan untuk ditanamkan kepada siapa pun PNS, atau juga pegawai swasta, atau siapa pun juga, tanpa melihat latar belakang agama.
Begitulah kira-kira tuntutan kepada para PNS. Namun, tentu saja perubahan yang baik selayaknya tidak dilakukan hanya oleh salah satu pihak. Pihak lainnya, misalnya pembuat kebijakan, baik PNS (karier) maupun non-PNS (pejabat politik) juga harus ikut memikirkan perubahan menuju kebaikan. Di antaranya dengan dilakukannya terobosan profesionalisme PNS.
Doktrin PNS sebagai abdi negara bila perlu diubah dengan “PNS adalah pekerja profesional”. Doktrin ini diharapkan membuat para PNS terpacu untuk bertindak secara profesional. Kesan yang dilihat pun kelak PNS bisa menjadi jajaran elite, asal tidak elitis. Namun, tentu profesionalisme pekerjaan sudah selayaknya dibarengi profesionalisme penghasilan.
Arah menuju perbaikan penghasilan sebenarnya sudah mulai terlihat dengan kenaikan gaji PNS juga adanya remunerasi atau tunjangan kinerja. Tinggal sekarang harus memasukkan doktrin profesionalisme agar para PNS bisa bekerja lebih maksimal. Kelak tidak perlu ada lagi jargon PNS abdi negara, tetapi kenyataan harus bisa membuktikan bahwa PNS betul-betul bekerja maksimal untuk melayani bangsa dan negara.[]
Ruang Belanda, 5 Juli 2013