Alhamdulillah, pertama kali ke Eropa
langsung diajak ke tiga negara sekaligus. Domisili di Den Haag, pekan keempat
dibawa ke Brussels dan Paris. Segala puji bagi Allah, praise be to Allah. Apalagi,
di Brussels dan Paris itu ketemu banyak sekali orang-orang berwajah Arab atau
Afrika Utara, berbahasa Arab pula. Sungguh kenikmatan tiada tara.
Belajar bahasa Arab pun menjadi sangat terasa
banyak gunanya. Kalau hidup di Timur Tengah, adalah hal biasa mempraktikkab
bahasa Arab. Namun, ini di Eropa, di negara orientalis maju yang dulunya menggulingkan
kejayaan bahasa Arab. Uni Eropa sendiri memiliki 24 bahasa resmi, tentu saja
tidak ada bahasa Arab. Jika punya modal bahasa Inggris atau Prancis maka
amanlah hidup di Eropa.
Ternyata oh ternyata, modal bahasa Arab
pun bukannya tidak bisa eksis. Ketika kunjungan resmi ke markas NATO, Parlemen
Eropa, dan Komisi Eropa memang semua berbahasa Inggris. Namun, saat berjalan-jalan
santai berkeliling kota Brussels, rupanya dengan mudah menjumpai orang-orang
yang bisa berbahasa Arab.
Mereka umumnya pemilik atau penjaga toko-toko
souvenir atau oleh-oleh. Tepat di depan patung “Mennekin Pis” (patung anak
kecil pipis), misalnya, ada sebuah toko souvenir. Ketika kami masuk ke
dalamnya, penjaga toko langsung mengucapkan salam. Mungkin melihat wajah kami
yang ras Melayu sehingga dengan yakin ia menebak kami adalah muslim.
Melihat wajahnya yang kearab-araban,
juga merasa mendapat angin, saya beranikan menanyakan kabar dengan bahasa Arab.
Ia pun terlihat girang sekali ada di antara kami yang mengajaknya berbahasa
Arab, muslim pula. Setelah ngobrol dengan akrab, alhamdulillah beberapa dari
kami mendapatkan potongan harga atau bonus souvenir.
Telisik demi telisik, rupanya ia adalah
seorang keturunan Maroko. Ayahnya asli Maroko, tetapi ia lahir di Belgia. Sempat
mengadu nasib di Italia, ia akhirnya mantap menetap di Brussels. Saat ditanya
kewarganegaraan, dengan bangga ia mengaku sebagai seorang Belgia. Namun,
rupanya ia juga masih WN Maroko. Artinya ia beruntung bisa memiliki dua
kewarganegaraan sekaligus. Wajar pula jika secara rutin ia masih mengunjungi
sanak kerabat dan leluhurnya di Afrika Utara.
Mengetahui kami muslim, dengan semangat
ia pun menunjukkan sebuah restoran milik orang Turki yang makanan-makanannya dijamin
halal. Kami sempat menunjuk adanya beberapa restoran Turki di dekat hotel
tempat kami menginap, tetapi ia tegas mengarahkan kami untuk ke restoran Turki
yang ia tunjuk. Ada apa? Promosikah? Punya saudara? Rupanya bukan. Menurutnya,
resto-resto yang sudah kami lewati sebelumnya menurutnya banyak yang juga
menjual alkohol dan semacamnya, sementara resto yang ia tunjukkan betul-betul
terjaga kehalalannya 100%. Baiklah, kami berterima kasih atas masukannya. Namun,
kami lebih memilih makan jatah di hotel. Yah, mungkin kurang mengenyangkan karena
“hanya” roti. Tapi, asal makan banyak toh tetap kenyang kan.[]
Arendsdorp,
20-2-14