Friday, July 06, 2007

Mahasiswa Cairo Dapatkan Kuliah Umum tentang Psikologi Terorisme


Mahasiswa Indonesia di Cairo kembali kedatangan tamu spesial. Setelah cukup lama berhenti beraktifitas karena menghadapi musim ujian yang berakhir 2 pekan lalu, kali ini gong kegiatan dibuka dengan dialog interaktif bersama Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, guru besar psikologi Universitas Indonesia.

Bertempat di Auditorium Shalih A. Kamil Universitas Al-Azhar, dialog diadakan pada Rabu (4/7/2007) malam. Dimulai setelah shalat magrib, sebelum acara dibuka, panitia menampilkan hiburan dengan mengundang tim nasyid "Elwatoni" milik Kelompok Studi Walisongo. Pada pukul 20.30, baru MC membuka acara dan mempersilakan Prof Sarlito menempati podium, didampingi moderator Romli Syarqowi.

Auditorium Shalih A. Kamil yang biasanya dipenuhi mahasiswa saat ada tamu datang dari tanah air, kali ini cukup banyak kursi terlihat kosong. Hal ini dimaklumi karena publikasi hanya berlangsung 1 hari, sebab acara yang terselenggara berkat kerjasama PPMI Mesir dan KBRI Cairo ini diadakan secara mendadak.

Kedatangan Profesor Sarlito di Cairo sendiri sebenarnya memang untuk keperluan program keluarga berencana dan sebelumnya tak ada agenda memberikan "kuliah umum" di depan mahasiswa Indonesia di Cairo. Namun setelah terjadi obrolan santai antara Presiden PPMI Nur Fuad dengan Danang Waskito, pejabat di Pensosbud KBRI Cairo, ide mengadakan acara dialog interaktif ini muncul, lalu dengan sigap panitia menyiapkan segala keperluan.

Meski datang ke Cairo untuk kepentingan program KB, namun karena Profesor Sarlito adalah ahli psikologi, tema yang diminta pun tak jauh dari bidang yang digelutinya sehari-hari. Apalagi beberapa waktu terakhir ini Profesor Sarlito memang banyak diminta Polri untuk menangani para pelaku terorisme melalui terapi konseling pada para peledak bom itu. Karenanya, tema yang diangkat pada dialog interaktif itu adalah "Psikologi Terorisme".

Membawa makalah setebal 63 halaman, Profesor Sarlito yang juga masih menjabat sebagai Presiden Asian Psychology Association (APsyA), membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk menerangkan seluk beluk psikologi terorisme, meski awalnya moderator hanya memberikan alokasi waktu 15 menit untuk presentasi. Dari "kuliah" yang diberikan Profesor Sarlito, mahasiswa jadi tahu lebih banyak mengenai latar belakang psikologi para pelaku teror itu. Tidak sekadar tahu bahwa mereka adalah "teroris", atau mereka adalah "mujahid".


Kajian yang selama ini dilakukan oleh Profesor Sarlito dkk sendiri sebenarnya memang memiliki tujuan untuk memberikan tindakan preventif terhadap tindakan terorisme. Hal ini dilakukan dengan cara pendekatan kepada para tersangka terorisme, lalu di saat yang tepat mencoba membelokkan pikiran mereka yang sempat dipenuhi dengan kebencian berlebihan pada Amerika, termasuk warga sipilnya.

Bahkan menurut Profesor Sarlito, tidak semua pelaku teror benar-benar sadar serta tidak menyesal atas tindakan terorisme yang telah mereka lakukan. Untuk tersangka sekelas Imam Samudra memang diakuinya sulit dihadapi, apalagi Imam Samudra memang sangat meyakini bahwa tindakannya selama ini selalu benar dan tak ada orang lain yang bisa merubahnya.

Namun tersangka lain, Ali Imron misalnya, menurut Profesor Sarlito, pernah merasa gundah dan menyesal telah membunuh sekian banyak nyawa yang sebenarnya tak berhak dibunuh. Keraguan semacam inilah yang bisa dijadikan pintu masuk untuk menyadarkan para tersangka teroris bahwa tindakan meledakkan bom di lingkungan sipil adalah salah. Meski hal itu tentu butuh keuletan tersendiri.

Usai presentasi panjang lebar dari Profesor Sarlito, sesi dialog dibuka oleh moderator. Dalam sesi ini, 6 orang audiens diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat serta pertanyaanya. Acara ditutup pada pukul 23.30 dengan penyerahan kenang-kenangan dari PPMI dan KBRI kepada Profesor Sarlito.[]

Bawabah Tiga, 6 Juli 2007

No comments: