Selain tidak diketahuinya latar belakang pendidikan atau keluarga, efek lain dari ditutupnya data pendaftar sampai tersaring 60 orang terpilih adalah tidak diketahui pula gender mereka. Kalau kemudian terkumpul 32 orang perempuan dan 27 orang laki-laki (satu orang mengundurkan diri), maka tidak ada yang mendesainnya pula. Artinya, sangat mungkin juga kelak yang diterima adalah kesemuanya perempuan, atau kesemuanya laki-laki.
Bahkan, bisa jadi tidak akan diterima semuanya kalau memang tidak ada yang memenuhi standar minimal. Kemlu meletakkan standar kompetensi di puncak penilaian, lalu latar belakang pendidikan dan gender mengikutinya. Lihat saja komposisi formasi PKKRT (Penata Keuangan dan Ketatarumahtanggaan Perwakilan) dan PK (Petugas Komunikasi). Dari 40 kursi yang disediakan untuk PKKRT, hanya 10 yang terisi, padahal di tahapan ujian akhir diikuti hanya 13 peserta. Logika awalnya tentu 13 orang itu akan diterima semua sebagai PNS Kemlu kan?
Jika mau menggunakan aji mumpung bahwa 40 kursi PKKRT sudah disetujui Kemenkeu, Kementerian PAN dan RB, serta Badan Kepegawaian Negara, tentu saja terasa “sayang” hanya menerima 10 orang. Semua juga tahu bahwa kementerian/lembaga/instansi mana pun tidak mudah “meminta jatah” formasi PNS, karena harus melewati begitu banyak proses dan pertimbangan. Namun, itu tadi, kompetensi tetap menjadi alasan utama seseorang dapat diterima di Kemlu.
Jangan kaget pula saat melihat komposisi 10 orang PKKRT itu: 9 orang perempuan dan hanya 1 orang laki-laki! Jelas ini lebih “menyedihkan” dibanding formasi PDK (Pejabat Diplomatik dan Konsuler) ya. Hanya komposisi PK yang terlihat agak berimbang: 6 laki-laki dan 7 perempuan sehingga total 13 orang. Namun, itu pun sebenarnya tidak sesuai kebutuhan awal yang 20 kursi. Padahal, hampir sama dengan “kisah” PKKRT, pada ujian akhir jumlah peserta seleksi PK juga mepet, hanya 20 orang. Dengan 20 kursi disediakan, mestinya bisa lulus semua kan? Tapi, kalau perlu diulang: semua tergantung kompetensi peserta.
Jadi, kalau kelak Anda mengikuti ujian di Kemlu untuk formasi yang jumlahnya 60 kursi, misalnya, lalu yang ikut ujian tahap akhir hanya 60 peserta atau malah kurang dari itu, maka jangan kepedean pasti akan diterima. Tetaplah mengikuti ujian dengan mengeluarkan segenap kemampuan. Jangan sampai ada kekuatan atau kelebihan kita tidak terlihat, terutama diferensiasi kemampuan tertentu yang dapat menjadikan kita menonjol.
Hal-hal kecil harus disiapkan betul. Jangan sampai datang terlambat, jauh lebih baik menyediakan waktu setidaknya setengah jam sebelum waktu yang ditentukan untuk kita datang. Pakaian, apalagi saat wawancara substansi, harus dicamkan betul. Ada cerita bahwa salah satu peserta ujian mengenakan kemeja warna cerah dan celana bahan warna gelap. Itu pun rupanya masih dikritik seorang panelis penguji bahwa pakaian seperti itu sudah semestinya dilengkapi dasi, syukur-syukur disempurnakan dengan jas sekalian. Entah karena alasan itu atau karena alasan lain, peserta ujian itu pun tidak terlihat di antara nama-nama peserta Sekdilu 37.
Kejujuran penyelenggaraan seleksi juga terbukti dari kedisiplinan panitia. Misalnya saja suatu ketika saya mau tanya rute perjalanan ke tempat ujian. Karena sebelumnya sudah mendapatkan email dari satu panitia itu mengenai perubahan tempat ujian, sementara dalam email itu tercantum nomor ponsel bersangkutan, maka saya coba sms supaya lebih efektif dan efisien—karena saya pikir kalau menelpon ke nomor kantor pasti melewati beberapa “pesan cantik” alias operator telepon.
Saya sempat agak kesal juga waktu tidak mendapatkan balasan sms. Mau tanya rute saja kenapa tidak dijawab? Namun, saya kemudian tersadar bahwa saat mendaftar, memang ada ketentuan bahwa panitia tidak mengadakan surat-menyurat dengan peserta seleksi. Satu-satunya jalur komunikasi hanyalah melalui website https://e-cpns.kemlu.go.id. Di luar itu tidak akan dilayani.
Mungkinkah sms saya tidak sampai? Sepertinya tidak. Sepertinya memang karena panitia itu menyadari betul ketentuan tersebut. Karena saat kemudian selesai ujian tahap akhir, lalu saya kembali mengirim sms mengenai ketentuan daftar ulang di Pejambon, sms saya langsung dijawab. Dengan “tertutup”nya panitia seperti itu, tentu semakin terjamin independensi panitia tanpa terganggu intervensi siapa pun.
Proses rekrutmen CPNS Kemlu ini sendiri konon sering secara “gratis dipromosikan” oleh Kementerian PAN dan RB. Sebagai kementerian/lembaga pertama yang proses seleksinya sudah tersertifikasi Sertifikat Sistem Manajemen ISO 9001:2008, tidak mengherankan Kementerian PAN dan RB selalu merujuk pada Kemlu saat berbicara mengenai rekrutmen yang bersih, jujur, transparan, dan akuntabel.
Malahan, ada cerita bahwa pernah kementerian/lembaga lain ingin “memotong kompas” rekrutmen: karena percaya bahwa proses rekrutmen pegawai Kemlu demikian baik, instansi itu pun “meminta” peringkat tertinggi setelah formasi Kemlu terisi penuh. Misalnya Kemlu mengambil 60 orang, maka peringkat 61 dan seterusnya hendak diambilnya. Pihak Kemlu tentu tidak masalah, justru menyatakan bahwa sebenarnya memang perbedaan nilai antara tangga-tangga peringkat itu sangat tipis, mungkin hanya berbeda nol koma sekian. Namun, tentu tergantung pada peserta seleksi bersangkutan. Saat betul ditanyakan apakah peserta peringkat 61 itu mau direkrut instansi lain, rupanya dia menolak karena masih ingin berjuang mendapat tempat di Kemlu. Tentu tidak ada yang bisa memaksa.[]
Kelas C, 19 Maret 2013