Saat menjawab pertanyaan orang tentang pekerjaan lalu saya jawab, “Diterima CPNS (Kemlu),” maka seringkali ada pertanyaan mengiringi, “Bayar berapa,” atau “Ada kenalan siapa,” atau “Masak gratis sih?” Hal itu terutama terjadi jika orang tersebut tidak mengetahui seluk-beluk Kementerian Luar Negeri. Bahkan, sebagian teman yang sudah mengetahui tata cara formal masuk Kemlu pun rupanya ada yang masih menyangka bahwa beberapa kursi dari formasi yang ada sudah “dikhususkan” untuk para famili diplomat atau pejabat Kemlu.
Kebetulan teman satu ini memang ikut seleksi CPNS Kemlu 2012. Setelah mengikuti ujian tulis kompetensi dasar dan kompetensi bidang di Kemayoran pada 8 September 2012, semua peserta tentu dag-dig-dug menunggu-nunggu pengumuman kelulusan. Dijadwalkan akan diumumkan tanggal 2 Oktober 2012, rupanya mundur menjadi 9 Oktober 2012.
Para peserta ujian pun dibuat makin dag-dig-dug, tak terkecuali kami, saya dan teman itu. Suatu ketika, di hari antara 2-9 Oktober 2012 itu, teman saya menyeletuk, “Wah, ada apa nih Kemlu, masak sudah dijadwalkan sedemikian rupa kok ditunda?” Pada kesempatan berikutnya, dia menyangka—setengah canda dan setengah serius—bahwa bisa saja semua itu sudah di-setting sedemikian rupa, barangkali untuk mengakomodasi “titipan-titipan”. Saya sih meragukan sangkaan itu, meski saya tidak tahu juga saat itu.
Saya hanya tetap berusaha berbaik sangka bahwa di Kemlu kiranya tidak ada main-main. Mudah saja logikanya: akan terlalu mahal jika berani “menjual” kursi diplomat. Bukan Kemlu saja yang rugi kalau mempermainkan rekrutmen itu, salah-salah tercoreng semua wajah Indonesia. Itu karena profesi diplomat akan sering dan nyaris selalu bersinggungan dengan negara lain. Sedikit saja salah diketahui negara lain, tentu akan sangat memalukan bangsa Indonesia.
Maka saat kemudian diumumkan pada tanggal 9 Oktober 2012, yang menunjukkan bahwa saya dipersilakan ikut tahapan selanjutnya, sedang dia tidak, saya jadi berpikir, “Apakah ini berkah dari berbaik sangka atau husnudzon itu?” Tidak tahu juga. Tapi barangkali mau mencari pembenaran, entah pas atau tidak, sebenarnya jawaban saya untuk pertanyaan esai berbahasa Inggris jauh lebih pendek daripada jawaban teman itu. Dari 4 soal, saya hanya menulis jawaban 1 halaman lebih sedikit, sedang dia menjawab sampai 4 halaman.
Artinya, itu menunjukkan betapa bahasa Inggris saya begitu payah—mungkin dia lebih berhak untuk maju jika dinilai dari bahasa Inggris ini. Atau artinya yang lain: jawaban tidak mesti panjang, asalkan jelas dan tepat sasaran. Saya sendiri tidak begitu yakin apakah jawaban-jawaban saya betul-betul mengena, tetapi setidaknya saya berusaha melokalisasi jawaban dengan langsung ke pokok jawaban, tidak perlu bertele-tele. Karena saya memang tidak bisa berbasa-basi, ya, dalam bahasa Inggris. So, itukah efek baik positive thinking buat saya? Wallahu a'lam.
Trik padat-singkat itu yang saya pegang betul, mengingat minimnya kosakata apalagi grammar bahasa Inggris. Untuk mengakali serba-minim-Inggris itu, saya pun mengandalkan kosakata dan grammar yang ada dalam lembar soal. Beruntunglah karena lembar soal juga “menyediakan” cukup banyak kosakata Inggris. Nyaris setiap mau menjawab soal, selalu saya buka-buka dan teliti soal-soal sebelum dan/atau sesudahnya, barangkali ada kata-kata yang akan berguna untuk membantu saya menjawab satu soal esai tersebut.
Tertundanya pengumuman kelulusan ujian tulis juga bisa terjawab setelah mengetahui kesulitan teknis saat mengoreksi hasil ujian. Bayangkan, soal esai dari 3000 orang harus dikoreksi dan diteliti betul kelayakannya. Tentu bukan sekadar sepanjang apa jawaban, tetapi harus dilihat juga apakah substansi jawaban mengena sesuai pertanyaan yang ada. Hal ini justru menunjukkan keseriusan seleksi.
Entah mengapa sebagian orang masih menganggap bahwa setiap kali masuk menjadi CPNS maka seseorang harus membayar sejumlah tertentu uang tunai—atau transfer. Di mana pun instansi kementerian/lembaga itu. Sungguh ini merupakan PR kita semua, terutama para pemangku kebijakan, untuk menjaga agar jangan sampai rekrutmen CPNS, atau pegawai apa pun, bahkan di swasta, terkontaminasi suap-menyuap. Mari kita mulai dari diri kita sendiri, syukur kalau bisa menularkan pada orang lain.[]
Kelas A, 19 Maret 2013
2 comments:
Terima kasih atas informasinya, mas. sangat menginspirasi dan membantu saya.
Terima kasih atas informasinya, mas. sangat menginspirasi dan membantu saya.
Post a Comment