Ceramah umum Grand Mufti Suriah yang disampaikan di UGM betul-betul membawa pencerahan. Dengan bahasa Arab fusha, Grand Mufti menjelaskan terma Islam rahmatan lil alamin dengan gamblang dan mudah dipahami. Para hadirin pun dengan mudah manggut-manggut mendengarkan penjelasan tokoh lulusan Al-Azhar ini. Tak mengherankan pula jika dewan gereja Indonesia mengundangnya untuk menyampaikan ceramahnya di depan jemaat mereka--itu setelah dewan gereja melihat ceramahnya di hadapan tokoh lintas agama dua hari sebelum acara di UGM.
Saat fase tanya jawab acara yang digelar di gedung pusat UGM itu dibuka, banyak peserta studium general berlomba-lomba mengacungkan jari. Didukung dua orang penerjemah kawakan, termasuk Pak Wadud yang berulang kali menjadi penerjemah resmi acara-acara kenegaraan, acara dialog pun tampak hidup, seakan tak mau kalah dengan acara ceramah monologis sebelumnya.
Melihat hal demikian, membuat saya juga gatal ingin mengangkat tangan tinggi-tinggi. Alhamdulillah, tangan saya terlihat oleh moderator sehingga mendapat kesempatan menyampaikan pertanyaan atau pendapat saat sesi kedua dalam fase tanya jawab.
Hanya saja, saat selesai sesi pertama, rupanya moderator melihat jarum jam sudah menunjuk ke waktu-waktu jelang berakhirnya acara. Akhirnya sesi kedua pun diralat untuk diperuntukkan hanya bagi audiens perempuan. Hal itu mengingat pada sesi pertama tiga orang penanya semuanya dari kaum Adam. Saya pun pasrah kesempatan saya dianulir, dan saya sama sekali tidak menyesal karena sudah mendengarkan ceramah yang begitu mencerahkan.
Namun, rupanya Grand Mufti benar-benar orang yang konsisten, sehingga tetap menunjuk ke arah saya meskipun acara nyaris ditutup moderator. Saya yang sudah pasrah dan mengendapkan pertanyaan dalam hati, shock juga saat dipersilakan berdiri dan mengambil mikrofon. Ditambah, karena barangkali sudah melihat acara seharusnya telah diakhiri, moderator dengan sangat tegas--dan bagi saya terasa intimidatif--mengingatkan saya agar to the point.
Shock dan “intimidasi moderator” tersebut rupanya membuat saya sedikit linglung. Jelas itu bukan pertama kali saya berdiri dan bicara di depan umum, di hadapan tokoh sekelas Grand Mufti sekalipun, tetapi saat itu saya benar-benar gugup. Imbasnya, kalimat-kalimat yang saya susun untuk pertanyaan sepertinya menjadi sulit dipahami oleh orang lain, termasuk penerjemah--bahkan bisa jadi oleh saya sendiri.
Tidak cukup sampai di situ, rupanya masih ada faktor lain yang ingin “menjajah” saya di hari itu. Saya memang mengajukan pertanyaan dengan bahasa Indonesia, mengingat mayoritas penanya sebelumnya menggunakan bahasa itu. Saya pun pede penerjemah akan dengan senang hati menerjemahkan pertanyaan saya. Namun, ternyata penerjemah meminta saya mengulang, bahkan muncul kalimat, “Pakai bahasa Arab saja!”
Luar biasa, benar-benar cobaan yang berat, karena setelah itu Grand Mufti malah bertanya, tentu mengarah kepada saya, “Enta Azhari? Kallim Arabi!” Tuing tuing tuing... serasa kepala ini baru dipukul palu godam. Tubuh ini pun makin bergetar tak keruan. Seakan hilang semua kosakata bahasa Arab dalam kepala. Salah sendiri juga sih, kenapa sebelumnya sama sekali tidak menyiapkan pertanyaan dalam bahasa Arab. Bahkan, saat saya ditunjuk diberi kesempatan, seorang kawan sempat bilang, “Pakai bahasa Arab, Akhi.” Lalu, dengan entengnya saya jawab, “Bahasa Indonesia saja...”
Entah siapa yang membisiki Grand Mufti sehingga mengetahui saya adalah seorang alumni Al-Azhar. Bisa jadi moderator, kebetulan dia sekonsul, meski saya tidak terlalu yakin karena kelihatannya dia tidak terlalu mengenali saya dari kejauhan karena tidak mengenakan kacamata. Bisa jadi juga Dubes Muzzammil, duduk sejajar dengan Grand Mufti di podium, yang pernah mengenal saya saat sama-sama berada di Cairo. Atau entah siapa, yang pasti saya malu bukan kepalang.
Pastinya banyak hikmah dari kejadian itu, mudah-mudahan dapat diserap oleh saya, juga siapa pun yang membaca tulisan ini.[]
RSUD Batang, 17 Oktober 2009
Monday, October 19, 2009
Studium General Grand Mufti Suriah di UGM
Berikut ini rangkuman ceramah umum Grand Mufti Republik Arab Suriah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Studium General
“Islam Rahmatan Lil Alamin”
Grand Mufti Republik Arab Suriah
Dr. Ahmad Badruddin Hassoun
Bulaksumur, 12 Oktober 2009
* Sambutan Ketua Senat Akademik mewakili Rektor UGM
1. Banyak kesamaan antara Indonesia dan Suriah: lambang negara [burung garuda], warna bendera [merah dan putih], tanggal proklamasi kemerdekaan [17].
2. Harapan penguatan kerjasama di antara dua negara, terutama antara UGM dan lembaga pendidikan di Suriah, dengan campur tangan Grand Mufti selaku salah satu pengambil kebijakan yang memiliki peranan cukup kuat.
3. Grand Mufti diharapkan mau menjadi dosen terbang untuk UGM.
* Keynote Speaker Dubes RI untuk Suriah, Drs. Muzzammil Basyuni
1. Mendatangkan Grand Mufti ke Indonesia bukanlah pekerjaan mudah, tetapi karena permintaan Menteri Agama [secara kebetulan kakak kandung Dubes, bukan bermaksud nepotisme] maka diusahakan semaksimal mungkin.
2. Tidak benar Islam merupakan sumber kekacauan ataupun terorisme.
3. Kalaupun ada penilaian Islam sebagai biang terorisme, mari diluruskan dengan da’wah bil haal, yaitu dengan berjihad menegakkan Islam dengan sebenar-benarnya.
4. Jihad tidaklah identik dengan peperangan, al-jihaadu laa yuraadiful-qatl. Jihad adalah mengeluarkan segenap kemampuan untuk memperjuangkan Islam yang benar, al-jihaadu huwal-juhdu li’izzatil-islam.
5. Indonesia dan Suriah sudah merdeka, sekarang saatnya mendukung negara lain, terutama Palestina, agar mendapatkan kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain.
* Kuliah Umum Grand Mufti Dr. Ahmad Badruddin Hassoun
1. Siap menjadi dosen terbang di UGM, bahkan berharap sekaligus diterima sebagai mahasiswa agar juga bisa menimba ilmu di perguruan tinggi ini.
2. Semua agama pasti mengandung dua ajaran utama: kesucian tuhan dan kemuliaan manusia.
3. Semua agama samawi dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, mengajarkan “menghormati sesama manusia”. Jika semua pemeluk agama, termasuk Islam, Yahudi, dan Kristen, konsisten dengan nilai itu, niscaya tidak ada perang di dunia ini.
4. Sebenarnya hanya ada 2 agama di muka bumi: agama dari tuhan dan agama [buatan] dari manusia. Agama dari tuhan adalah agama samawi, yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi. Adapun agama buatan manusia sesungguhnya diawali dengan langkah baik, yaitu memuji kebenaran, lalu mereka membuat simbol-simbol berbentuk dewa atau tuhan yang melambangkan kebaikan, keburukan, dll.
4. Tidak ada istilah “perang suci”. Bagaimana mungkin peperangan yang membunuh manusia-manusia tak berdosa dikatakan suci? Agama mana pun tidak ada yang mengajarkan pembunuhan, karena itu jangan pernah membunuh lalu mengatasnamakan agama.
5. Di Palestina sesungguhnya tidak ada perang antaragama, tidak ada perang antara Islam melawan Yahudi, yang ada hanyalah perang antara pemilik hak melawan kekuatan penjajah.
6. Hati-hati dengan istilah daulah diniyyah atau daulah islamiyyah, negara agama atau negara Islam. Negara yang ada seharusnya adalah daulah insaniyyah, nation state, negara bangsa alias negara yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Negara agama meniscayakan tidak boleh ada agama lain di dalamnya, sementara negara bangsa meniscayakan penghormatan hak-hak seluruh manusia, termasuk hak beragama.
7. Fatamorgana daulah islamiyyah sesungguhnya dimunculkan orang-orang penjajah, bukan berasal dari sumber-sumber ajaran agama Islam.
8. Hadits afsyus-salaam (tebarkanlah salam), menunjukkan perintah untuk menebar kedamaian, tidak sekadar menebarkan atau mengucapkan salam, selamat pagi, selamat siang, dst. Karena itu menggunakan kata afsyu, bukan alqus-salaam (sampaikanlah salam).
9. Ketika peristiwa kartun Nabi Muhammad di Denmark, muncul reaksi, kecaman, dan demo di mana-mana. Namun sepertinya itu justru melegitimasi penilaian beberapa kalangan bahwa Islam adalah agama yang beringas. Seharusnya yang dilakukan adalah dialog. Pihak Mufti Suriah sendiri setelah munculnya kartun itu di media Denmark, langsung mengirimkan surat keberatan dan mengajak dialog pemimpin media itu. Dari dialog itu, terkuak bahwa Barat baru mengetahui sedikit tentang Islam, lalu dipublikasikan dengan cara mereka sendiri melalui media-media mereka. Setelah mendapatkan penjelasan tentang Islam dari pihak Mufti Suriah, media Denmark terbuka untuk membuat semacam “ralat”. Hal itu dilakukan dengan memberi kesempatan kepada Mufti Suriah untuk mengampanyekan Islam sesuai pemahaman sebenarnya langsung dari sumber-sumber ajaran Islam. Akhirnya, empat edisi berturut-turut media Denmark itu memublikasikan ajaran Islam yang ditulis oleh kalangan Islam sendiri, dalam hal ini Mufti Suriah.
10. Demikian ahlanya berkaitan dengan peristiwa “salah ucap” Paus Benediktus atas Nabi Muhammad yang dianggap menyinggung perasaan umat Islam. Ucapan Paus ini pun memunculkan demonstrasi di mana-mana, terutama negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Tetap saja aksi-aksi semacam itu kurang mengena terhadap pelaku salah ucap itu. Oleh pihak Mufti Suriah, Paus diajak berdialog. Mufti Suriah lalu menunjukkan agar Paus membuka-buka terjemahan dari buku Syama’il Muhammadiyah. Mufti Suriah sendiri mengetahui bahwa buku-buku itu sudah ada terjemahannya di perpustakaan Vatikan. Setelah membuka buku itu, Paus mengakui kesalahannya dan mengajukan permohonan maaf.[]
RSUD Batang, 17 Oktober 2009
Monday, October 12, 2009
Urgensi Pengajaran Fiqih
Beberapa waktu yang lalu, saat mengajar di sebuah SMA, saya bertanya kepada siswa-siswi bagaimana lafal niat mandi besar. Luar biasa, dari tiga kelas, atau sekitar 100 orang, ternyata cukup banyak yang masih belum bisa melafalkan! Ironis tentunya, karena niat mandi besar merupakan salah satu prasyarat penting menjaga kesucian diri. Ya, suci dari hadats besar, paling tidak demi kesahihan ibadah paling utama: shalat.
Saya sendiri tidak habis pikir bagaimana siswa-siswi kelas dua SMA itu bisa melepaskan diri dari hadats besar. Lebih ironis lagi, banyak pula pelajar perempuan sekolah itu yang tertunduk malu tidak hafal niat mandi besar. Apakah di antara pelajar laki-laki itu, kebanyakan belum ihtilam (mimpi basah)? Atau barangkali pelajar-pelajar perempuan itu belum juga haid?
Memang, jalan seseorang menuju akil balig tidak hanya dengan ihtilam atau haid. Namun, seperti nyaris mustahil juga jika begitu banyak pelajar--yang saya yakin sudah balig karena kiranya mereka sudah melewati umur 15 tahun--melewati masa kanak-kanaknya menuju balig tidak melalui ihtilam atau haid.
Karena keterbatasan waktu di kelas, lagi pula saat itu saya sedang mengajar materi bahasa Arab, saya tidak sempat lebih jauh menjelaskan mandi besar, hadats besar, dan syarat sahnya shalat. Saya hanya menyindir bahwa barangkali masih banyak di antara mereka belum balig. Lalu sambil bercanda, saya mintakan beberapa orang yang sudah tahu lafal niat mandi besar untuk mengajari teman-temannya.
Itu adalah fenomena di sebuah sekolah menengah atas, bukan madrasah aliyah, meski sebenarnya sekolah itu tidak terlalu umum juga, karena terdapat tambahan beberapa mata pelajaran agama, termasuk bahasa Arab yang saya ampu. Saya sendiri tidak bisa menjamin apakah siswa-siswi madrasah aliyah pasti lebih mengerti fiqih daripada pelajar sekolah menengah atas itu.
Lalu, bagaimana dengan siswa-siswi sekolah menengah atas lain yang hanya mengandalkan satu mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)? Mudah-mudahan justru lebih baik, barangkali dengan inisiatif siswa-siswi itu mengaji di sore atau malam hari, atau mencari guru agama secara privat.
Itu baru soal lafal niat yang memang harus diucapkan ketika hendak mandi besar, belum soal kapan niat itu harus diucapkan jika ingin mandi besarnya sah menghilangkan hadats besar. Sementara masih banyak lagi hal-hal detail tentang mandi besar yang juga harus diperhatikan demi kesahihannya.
Sedikit menukil kitab I'anatuth Thalibin, juz 1 hlm. 91, disebutkan bahwa jika seseorang yang hendak mandi besar hanya mengucapkan niat nawaitul ghusla (aku niat mandi), maka hal itu tidak mencukupi dikatakan sebagai niat. Niat mandi besar setidaknya mengucapkan nawaitul ghusla liraf'il hadatsil akbari (aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar).
Kalimat nawaitul ghusla (aku niat mandi) tidak dianggap mencukupi karena kalimat itu seperti niat mandi-mandi biasa yang dilakukan tidak dalam rangka menghilangkan hadats besar. Jika mandi yang dilakukan adalah mandi sunnah, memang sudah cukup dengan mengucapkan kalimat itu.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam mandi besar adalah bahwa niat tadi harus diucapkan berbarengan dengan gerakan pertama ketika menyiramkan air ke badan. Jadi, jika niat baru diucapkan di tengah-tengah mandi, maka anggota badan yang sudah disiram sebelum ucapan niat harus disiram lagi. Misalnya seseorang memulai mandi dengan menyiram kepala, lalu menyiram bahu. Setelah itu, saat menyiram perut dia baru mengucapkan niat mandi besar. Jika ingin mandi besarnya sah, maka ia harus mengulang untuk menyiram kepala dan bahunya.
Sementara itu, dalam kitab Fathul Wahhab, juz 1 hlm. 36, disebutkan bahwa ketika mandi besar, seseorang harus menyiram seluruh tubuhnya, termasuk sela-sela kuku dan rambutnya, juga seluruh bagian telinga yang tampak dari luar. Bahkan, disebutkan dalam kitab karangan Syekh Zakariya al-Anshari ini, perempuan yang mandi besar sudah selayaknya mandi tidak hanya dengan berdiri. Perempuan mandi juga harus dengan duduk karena ada bagian tertentu dari tubuhnya yang hanya akan teraliri air jika ia menyiram air ke tubuhnya sambil duduk atau jongkok.
Begitulah sekelumit nilai yang barangkali belum dimengerti oleh siswa-siswi SMA yang saya ajar tadi. Padahal, hal itu merupakan nilai-nilai dasar dan masih dalam kategori wajib, tidak sekadar sunnah apalagi mubah. Karena itu, kita harus peduli untuk lebih sering mengingatkan orang-orang di sekeliling kita, baik anak-anak kita, saudara, teman, atau bahkan orang tua, bahwa pengajaran fiqih--terutama yang berkaitan dengan hal-hal wajib--sangat penting untuk dikembangkan. Jangan sampai ada orang di sekeliling kita gagal menjalankan kewajiban karena kekurangan pengetahuan.
Satu hal yang saya tawarkan di sini adalah bahwa pembelajaran fiqih kiranya tidak cukup melalui pendidikan formal. Saya merasa pengajaran ilmu pengetahuan agama justru akan lebih menancap di hati peserta didik jika diajarkan melalui kegiatan belajar mengajar nonformal seperti pengajian, kursus, atau semacamnya. Hal itu karena jika pengetahuan agama diajarkan hanya melalui pendidikan formal, maka seringkali dianggap remeh, kalah oleh pelajaran yang akan diujikan secara nasional, misalnya.
Pun kalau ada ide bahwa pelajaran Pendidikan Agama Islam di SD, SMP, dan SMA akan diujikan secara nasional, saya masih lebih memilih pengetahuan agama juga harus diajarkan secara nonformal. Kecuali jika ujian nasional PAI itu lebih menekankan aspek praktik, tentu dengan penguji yang benar-benar menguasai materi, baik teori maupun praktiknya. []
Kos Papringan, 12 Oktober 2009
Saya sendiri tidak habis pikir bagaimana siswa-siswi kelas dua SMA itu bisa melepaskan diri dari hadats besar. Lebih ironis lagi, banyak pula pelajar perempuan sekolah itu yang tertunduk malu tidak hafal niat mandi besar. Apakah di antara pelajar laki-laki itu, kebanyakan belum ihtilam (mimpi basah)? Atau barangkali pelajar-pelajar perempuan itu belum juga haid?
Memang, jalan seseorang menuju akil balig tidak hanya dengan ihtilam atau haid. Namun, seperti nyaris mustahil juga jika begitu banyak pelajar--yang saya yakin sudah balig karena kiranya mereka sudah melewati umur 15 tahun--melewati masa kanak-kanaknya menuju balig tidak melalui ihtilam atau haid.
Karena keterbatasan waktu di kelas, lagi pula saat itu saya sedang mengajar materi bahasa Arab, saya tidak sempat lebih jauh menjelaskan mandi besar, hadats besar, dan syarat sahnya shalat. Saya hanya menyindir bahwa barangkali masih banyak di antara mereka belum balig. Lalu sambil bercanda, saya mintakan beberapa orang yang sudah tahu lafal niat mandi besar untuk mengajari teman-temannya.
Itu adalah fenomena di sebuah sekolah menengah atas, bukan madrasah aliyah, meski sebenarnya sekolah itu tidak terlalu umum juga, karena terdapat tambahan beberapa mata pelajaran agama, termasuk bahasa Arab yang saya ampu. Saya sendiri tidak bisa menjamin apakah siswa-siswi madrasah aliyah pasti lebih mengerti fiqih daripada pelajar sekolah menengah atas itu.
Lalu, bagaimana dengan siswa-siswi sekolah menengah atas lain yang hanya mengandalkan satu mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)? Mudah-mudahan justru lebih baik, barangkali dengan inisiatif siswa-siswi itu mengaji di sore atau malam hari, atau mencari guru agama secara privat.
Itu baru soal lafal niat yang memang harus diucapkan ketika hendak mandi besar, belum soal kapan niat itu harus diucapkan jika ingin mandi besarnya sah menghilangkan hadats besar. Sementara masih banyak lagi hal-hal detail tentang mandi besar yang juga harus diperhatikan demi kesahihannya.
Sedikit menukil kitab I'anatuth Thalibin, juz 1 hlm. 91, disebutkan bahwa jika seseorang yang hendak mandi besar hanya mengucapkan niat nawaitul ghusla (aku niat mandi), maka hal itu tidak mencukupi dikatakan sebagai niat. Niat mandi besar setidaknya mengucapkan nawaitul ghusla liraf'il hadatsil akbari (aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar).
Kalimat nawaitul ghusla (aku niat mandi) tidak dianggap mencukupi karena kalimat itu seperti niat mandi-mandi biasa yang dilakukan tidak dalam rangka menghilangkan hadats besar. Jika mandi yang dilakukan adalah mandi sunnah, memang sudah cukup dengan mengucapkan kalimat itu.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam mandi besar adalah bahwa niat tadi harus diucapkan berbarengan dengan gerakan pertama ketika menyiramkan air ke badan. Jadi, jika niat baru diucapkan di tengah-tengah mandi, maka anggota badan yang sudah disiram sebelum ucapan niat harus disiram lagi. Misalnya seseorang memulai mandi dengan menyiram kepala, lalu menyiram bahu. Setelah itu, saat menyiram perut dia baru mengucapkan niat mandi besar. Jika ingin mandi besarnya sah, maka ia harus mengulang untuk menyiram kepala dan bahunya.
Sementara itu, dalam kitab Fathul Wahhab, juz 1 hlm. 36, disebutkan bahwa ketika mandi besar, seseorang harus menyiram seluruh tubuhnya, termasuk sela-sela kuku dan rambutnya, juga seluruh bagian telinga yang tampak dari luar. Bahkan, disebutkan dalam kitab karangan Syekh Zakariya al-Anshari ini, perempuan yang mandi besar sudah selayaknya mandi tidak hanya dengan berdiri. Perempuan mandi juga harus dengan duduk karena ada bagian tertentu dari tubuhnya yang hanya akan teraliri air jika ia menyiram air ke tubuhnya sambil duduk atau jongkok.
Begitulah sekelumit nilai yang barangkali belum dimengerti oleh siswa-siswi SMA yang saya ajar tadi. Padahal, hal itu merupakan nilai-nilai dasar dan masih dalam kategori wajib, tidak sekadar sunnah apalagi mubah. Karena itu, kita harus peduli untuk lebih sering mengingatkan orang-orang di sekeliling kita, baik anak-anak kita, saudara, teman, atau bahkan orang tua, bahwa pengajaran fiqih--terutama yang berkaitan dengan hal-hal wajib--sangat penting untuk dikembangkan. Jangan sampai ada orang di sekeliling kita gagal menjalankan kewajiban karena kekurangan pengetahuan.
Satu hal yang saya tawarkan di sini adalah bahwa pembelajaran fiqih kiranya tidak cukup melalui pendidikan formal. Saya merasa pengajaran ilmu pengetahuan agama justru akan lebih menancap di hati peserta didik jika diajarkan melalui kegiatan belajar mengajar nonformal seperti pengajian, kursus, atau semacamnya. Hal itu karena jika pengetahuan agama diajarkan hanya melalui pendidikan formal, maka seringkali dianggap remeh, kalah oleh pelajaran yang akan diujikan secara nasional, misalnya.
Pun kalau ada ide bahwa pelajaran Pendidikan Agama Islam di SD, SMP, dan SMA akan diujikan secara nasional, saya masih lebih memilih pengetahuan agama juga harus diajarkan secara nonformal. Kecuali jika ujian nasional PAI itu lebih menekankan aspek praktik, tentu dengan penguji yang benar-benar menguasai materi, baik teori maupun praktiknya. []
Kos Papringan, 12 Oktober 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)